“Tidak ada sejarah yang betul-betul objektif”
(George Junus Aditjondro)
Ketika pertama kali saya membaca halaman depan buku dengan judul asli “De Cheribonsche Onlusten van 1818, Naar Oorpronkelijke Stukken”.
Catatan Van der Kemp yang telah diterjemahkan oleh B.Panjaitan.
Bayangan awal yang muncul ialah saya akan membaca sebuah buku sejarah
yang tersebar titik atau koma lebih dari satu di setiap kalimatnya.
Sebagaimana yang selama ini saya ketahui dalam setiap buku terjemahan.
Namun ketika mencoba untuk membaca, jujur saya sangat sulit dalam
memahami buku ini di setiap kalimatnya. Mungkin karena bahasa asli buku
ini adalah Belanda yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Ditambah lagi alpanya titik atau koma yang telah saya
bayangkan sebelumnya itu ternyata sama sekali tidak bekerjasama dengan
pembaca demi kemudahan memahami buku ini. Alhasil setiap kalimat akan
terasa panjang dan menguras nafas.
Sejarah pemberontakan
petani Cirebon yang ditulis Van der Kemp ini diterbitkan oleh YAYASAN
IDAYU tahun 1979. Berawal dari penerapan sistem liberal oleh Pemerintah
Belanda. Van der Kemp mengatakan pada tahun 1816 markas “Kaum perusuh”
berada di Krawang, namun ditengarai jika perlawanan yang sebenarnya
berasal dari Cirebon. Keputusan pemerintah tanggal 8 Desember 1816 No.41
memerintahkan kepada Residen Cirebon, agar mewaspadai dan mencari tau
latar belakang perpindahan Jabin, yang bersama 20 orang anak buahnya
berpindah dari Laummalang ke Cirebon. Pada 6 Desember pemerintah
kolonial berniat memperketat keamanan militer yang keras. Hal tersebut
karena laporan residen yang menyatakan bahwa kerusuhan meningkat. Namun
keinginan tersebut gagal dilaksanakan karena hantaman dari Inggris
berupa ejekan yang dipublikasikan beberapa media di Inggris. Akan tetapi
ketika Inggris meninggalkan pulau Jawa tanggal 19 Juni 1817. Pemerintah
Belanda berhasil memperkeras peraturan bagi tuan-tuan partikelir.
Pada
pertengahan kedua Januari kepala distrik Blandong dibunuh oleh
pemberontak yang berjumlah 100 orang. Dalam laporan Residen Bogor
muncullah nama-nama baru para pemberontak, Bagus Diwongso (Serit) dan
Nairem. Ketika opsiner kehutanan dikirim ke Cirebon, Praudants, dan
berhasil menyelamatkan diri dari para pemberontak. Sedangkan Heyden
bersama 60 orang berusaha menyerang para pemberontak dengan menunggang
kuda. Namun akhirnya ia mendapat serangan di pagi hari dan terbunuh.
Sedangkan kapten Joseph Gerrish merasa beruntung karena ketika ditawan
oleh pemberontak ia berhasil melarikan diri.
Surat
Residen Cirebon tanggal 30 Januari memberitakan pendaratan pasukan di
Batavia, disamping itu mengirimkan instruksi yang penting yaitu,
serangan umum ditetapkan pada tanggal 2 Februari. Namun terjadi
perselisihan antara gubernur jendral dengan panglima tentara. Akibat
dari perselisihan itu serangan umum yang telah direncanakan menjadi
gagal. Pada 4 Februari pemberontakan dan kerusuhan di Cirebon dipadamkan
oleh Letnan Borneman dan Kapten Elout. Akan tetapi hanya Kapten Elout
saja yang menerima penghargaan atas jasanya. Selain itu Neirem berhasil
ditangkap dan keamanan telah pulih.
Serrit mengajak tiga
sultan di Cirebon agar turut serta dalam pemberontakan yang dipimpin
olehnya. Mengatahui hal itu pemerintah kolonial memberi kewenangan
kepada residen, untuk mengumumkan bagi siapa saja yang mampu menangkap
Serrit, hidup atau mati, akan diberikan hadiah F 2.200. tanggal 8
Agustus terjadi bentrokan antara pemberontak dengan pasukan yang
dipimpin Kapten Krieger. Akan tetapi Serrit, pemimpin pemberontakan
mampu melarikan diri. Di luar itu, Krieger, Residen De Rider, dan sultan
sepuh mengejar para pemberontak yang melarikan diri. Pada akhirnya
Serrit berhasil ditangkap. Serrit dan Neirem dijatuhi hukuman mati lain
halnya dengan Sapie, Lejo, Ribut yang kemudian dibuang selama tujuh
tahun sembari memakai rantai. Para tahanan lainnya, 14 tahanan dikirim
ke Banda, untuk bekerja seumur hidup, 7 orang ke Banyuwangi, bekerja di
kebun kopi. Krieger mendapat penghargaan besar atas jasanya karena telah
berhasil meredam pemberontakan di Maluku dan Cirebon.
Tidak
menutup kemungkinan Sumber-sumber utama yang dipergunakan oleh Van der
Kemp, ialah dari arsip negara di negeri Belanda dan di Batavia. Bisa
dikatakan pula jika penulis atau peneliti mengabaikan sumber-sumber
Indonesia. Bukankah sumber lokal lebih peka terhadap masalah sosial di
sekitarnya? Selain itu Pemerintah Kolonial Belanda selalu ditempatkan
pada domain sebagai pencerah, pendorong kemajuan, dan senantiasa
melindungi kepentingan penduduk asli.
lingkup temporal
dalam buku ini adalah tahun 1818. Tahun 1818 menjadi batasan watu pada
buku ini karena pada tahun inilah terjadi aksi pemberontakan petani di
Cirebon. Sedangkan ruang lingkup spasial dalam buku ini jelas yakni di
Cirebon, sebab kasus yang menjadi objek penelitian penulis ini terjadi
di daerah tersebut. Dengan kata lain, penulisan sejarah dalam pembahasan
buku ini merupakan sejarah lokal. Dengan penulisan sejarah lokal ini
diharapkan dapat memberikan kejelasan dan pengertian dalam perkembangan
sejarah nasional, sebab sejarah yang ada di tingkat nasional, harus bisa
dimengerti dengan lebih baik apabila kita mengerti pula perkembangan
sejarah di tingkat lokal. Selain itu bagi sejarawan modern, ruang lokal
menjadi patokan sebagai batas yang nantinya akan mempermudah dalam
mengintepretasikan kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
Sejarah nasional warisan kolonial
Sejarah
nasional memiliki makna yang beragam. Historiografi nasional dapat
berarti penulisan sejarah yang mengkrucut pada pembangunan sebuah
nasion. Bisa juga dikatakan sebagai penulisan sejarah yang dapat
diterapkan kepada negara atau bangsa tertentu. Dalam artian sebuah
narasi sejarah yang memicu keyakinan setiap warga negara jika masa depan
negara adalah milik mereka bersama. Dalam hal ini, Van der Kemp
berupaya mengikat kesadaran warga negara Belanda dengan hasil penelitian
berperspektif kolonialnya. Dengan adanya narasi besar ini maka akan
muncul kesadaran bersama dan hasrat yang tinggi untuk melindungi negara.
Dalam
penulisan sejarah berperspektif kolonial, ada sedikit perbedaan
pandangan tentang kualitas moral pemerintah kolonial dengan peranan
negara. Dalam buku ini misalnya, Pemerintah kolonial Belanda dinarasikan
seolah pelaku utama yang mewakili pencerahan, kemajuan, dan senantiasa
melindungi kepentingan penduduk asli. Dan penyempitan cerita pun
dilakukan mengenai sebab pemberontakan, bagaimana para pemberontak
mengorganisir massa, upaya kekerasan yang dilakukan oleh pihak kolonial,
dan sebagainya. Van der Kemp sama sekali tidak menggunakan ilmu bantu
sejarah dalam menjernihkan pandangan tentang keadaan sosial, ekonomi,
atau politik khususnya wilayah Cirebon.
Memang setiap orang yang menentang Belanda akan diartikan sebagai pemberontak yang bar-bar, anti rust en orde,
tidak tahu terimakasih dan yang sejenisnya. Sedangkan eksploitasi dan
kekejaman Belanda tidak pernah ditampilkan, malah kekejaman yang
ditampilkan oleh Belanda menjadi sebuah prestasi atas jasa para
pejuangnya dalam memerangi kejahatan. Sebagaimana apa yang dikatakan
oleh Sartono Kartodirjo, “Tulisan mengenai sejarah indonesia oleh
sejarawan Belanda atau sejarawan asing, yang sering meletakkan kekuasaan
kolonial sebagai kekuatan sentral dan menyeluruh dibalik pengembang
kehidupan modern dalam bentuk apapun di Nusantara.”
Jika
ditinjau dari sumber-sumber yang dipergunakan oleh buku ini, sebagian
besar adalah laporan-laporan dan surat resmi dari pejabat-pejabat,
ketetapan pemerintah, catatan harian militer, berita-berita resmi.
Memang otentisitas dokumen tidak perlu diragukan. Akan tetapi
dokumen-dokumen pemerintahan itu ditulis dari sudut pandang para
pejabat-pejabat kolonial. Pada akhirnya antara sudut pandang dan
kecemasan pemerintah kolonial kala itu dengan pemberontakan kaum tani
memiliki kuantitas yang sama.
Dari hal tersebut bisa
dipahami jika sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa
sentris atau pun Belanda sentris. Sepanjang peristiwa adalah serentetan
aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai
kompeni atau orang-orang kulit putih, berbagai hal tentang kegiatan para
gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan. Maka
dari itu, bisa dikatakan buku ini adalah sebuah sejarah warisan
kolonial. Kala itu kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda menempati
puncak hirarki sosial, ekonomi, maupun politik. Latar belakang mengenai
hal ini bisa dikatakan, apabila fokus utama pembahasan adalah bangsa
Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa
penjajahan Belanda.
Pengkisahan sejarah itu jelas sebagai
suatu kenyataan subyektif, karena setiap orang atau setiap generasi
dapat mengarahkan sudut pandangannya terhadap apa yang telah terjadi
dengan berbagai interpretasi individu. Setiap penulis berhak menyelipkan
opini atau pun gagasannya mengenai sebuah peristiwa. Mungkin inilah
yang menjadi perbedaan mendasar antara jurnalistik dan historiografi.
Sebagaimana mestinya seorang jurnalis hanya bertindak sebagai pewarta.
Terlepas dari itu semua jurnalis akan melanggar kode etik jurnalisme,
jika mencampuradukkan opini pribadi dalam hasil reportasenya. Oleh
karena itu setiap opini pribadi dalam historiografi harus memiliki
berbagai penyangga ataupun penguat pendapat itu sendiri.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh George Junus Aditjondro bahwa, “Tidak ada sejarah
yang betul-betul objektif.” Bisa dikatakan jika objektifitas ialah
sekumpulan subjektivitas. Yang terlebih dahulu diolah dengan berbagai
kritik atau pun pertimbangan yang matang. Dalam hal ini Aditjondro
berupaya mengatakan jika peringkat objektifitas ditentukan oleh seberapa
besar sejarawan menekan subjektivitas. Mungkin lebih tepat bila
dikatakan, bahwa objektivitas setinggi-tingginya diperoleh dengan
menekan subjektivitas serendah-rendahnya. []