Oleh: Armand Dhani Bustomi
kutemukan dirimu lusuh dalam tumpukan rindu
kisahmu serumit gumpalan benang kenang kusut
teranyam tiap helai bait diantara detak gerigi akal
sebesar apapun gelisah yang berkaca-kaca,
tak akan sanggup menerjemahkan remukan kisah sesal kita
Membaca puisi empat penyair muda Jember ini membangkitkan semangat saya untuk terus menulis. Mereka yang dalam kesibukannya masing-masing mampu membuat karya yang menarik. Lebih dari itu keintiman sajak-sajak yang ada lahir dari pergaulan intens dengan karya sastra lain. Hal ini membuat saya ingat perkataan Andrea Hirata yang mengatakan Sastra tak laku di Indonesia. Saya kira ia tak kenal empat pemuda ini.
Dalam sebuah esainya Sutardji menulis "puisi adalah alibi
kata-kata". Lahir dari upaya untuk melepaskan arti yang tunggal dan
melahirkan telaah yang lebih dari biasanya. Bahwa puisi tak harus sejalan
dengan kamus. Puisi tak mesti setuju dengan norma. Dan yang jelas puisi tak
harus seragam seperti baju sekolahan. Sutardji melahirkan apa yang disebut
sebagai usaha membebaskan kata dari makna.
Tapi itu barangkali hanya seloroh yang dibikin bikin. Atau bisa jadi
Sutadji benar. Kata sudah dibebani makna begitu hebat. Sehingga ia kehilangan
fungsinya sebagai penyampai pesan. Tapi bukan tentang itu saya ingin menulis
artikel ini. Ada baiknya kita belajar untuk menikmati puisi sebagai sebuah
momen. Sebagai sebuah ruang yang bisa jadi liar, syahdu, intim, keras, pekat
dan sebagainya dan sebagainya. Puisi adalah proses menjadi. Bahwa puisi
menggunakan kata-kata sebagai medium itu perkara lain.
Dalam artikel yang ditulis di Kompas pada 3 Maret lalu, Gerson Poyk,
menuliskan tentang poetic sense. Baginya pengalaman puitis berhubungan erat
dengan citarasa puitis (poetic sense) dalam diri penyair. Sehingga bagi Gerson
Poyk, pengalaman pribadi seorang penyair akan mempengaruhi Citarasa puitis
dalam sajak-sajaknya. Hal ini barangkali sejalan dengan pemikiran Harold Bloom
yang melahirkan leksikon Anxiety of Influence. Bahwa puisi mau tak mau lahir
dari rahim “lingkungan dimana si penyair besar dan berkembang sebagai seorang
manusia.
Puisi, meminjam istilah Poyk, ibarat jiwa dalam diri manusia karena
memiliki hubungan langsung dengan intuisi puitis. Ia lantas mengatakan bahwa “poetic
sense dalam sebuah karya tak dapat dipisahkan dari bentuk verbal di mana
kata-kata bukan hanya merupakan tanda dari konsep atau ide” katanya, tetapi
sebagai sebuah ”obyek yang merdu”. Objek merdu berarti puisi tak hanya harus
indah sebagai sebuah bacaan namun juga indah apabila dibacakan.
Tak berhenti di situ Poyk juga menawarkan beberapa konsep imajinasi yang
membantu kelahiran puisi yaitu; “imajinasi yang muncul ke akal permukaan,
kehidupan dan kebutuhan sehari-hari”, lalu “imajinasi yang dikuasai oleh naluri
atau libido dan kenangan pahit,” dan yang terakhir “imajinasi yang dapat
melahirkan konsep-konsep dan ide-ide abstrak, digetarkan oleh poetic intuition.”
Dan saya sendiri menambahkan satu konsep imajinasi lain yaitu imajinasi diksi.
Konsep dari Poyk ini akan saya gunakan untuk mendedah beberapa sajak dari
empat penyair muda Jember. Yang pertama dari Siti Nur Ashiya dalam sajak Tertipu. Dalam sajak ini menggunakan
imajinasi dikuasi oleh naluri atau libido dak kenangan pahit. Meski tak harus
sama persis namun sajak Tertipu ini juga bercerita perihal hidup yang keras
(barangkali) dari mereka yang hidup di jalanan.
Saat matahari mulai padam
Saatnya ayam dan anak-anaknya pulang,
Namun sayang
Lonteku tak kunjung datang
Pembukaan sajak ini menampilkan
deskripsi dari sebuah momen. Namun sayangnya Siti terlalu boros menggunakan
deskripsi. Ia menggunakan “Saat matahari mulai padam” untuk menggambarkan sore
hari, disaat yang sama juga menggunakan “Saatnya ayam dan anak-anaknya pulang,”
barangkali akan lebih efektif jika satu saja yang digunakan. Narasi deskripsi
juga seperti dipaksa terpenggal ketika peralihan waktu langsung bercerita
tentang “lonteku tak kunjung datang,” menurut hemat saya penggunaan “namun
sayang” terasa tanggung dan mengganggu.
Di sisi lain. Siti dengan cerdas menggunakan idiom-idiom tertentu untuk
menggambarkan sebuah kondisi perasaan/pikiran seseorang. Seperti dalam “Kegundahan mulai terbakar, Jarum
jam terus berputar” atau “Terus berjalan berlaku liar, Di tepi jalan kududuk
bagai terlantar”. Sayang ada penggunaan kata yang saya rasa tak perlu dan
mengganggu unsur estetika puitik dari sajaknya. Kata semacam “bagai”, “mulai”.
Seharusnya frasa “kegundahan mulai terbakar” akan menjadi lebih dramatis ketika
ia ditulis “Kegundahan terbakar”.
Puisi semestinya memancing daya kreasi dan daya khayal bagi pembacanya. Puisi
selayaknya juga membuat para pendengarnya bisa menutup mata dan membayangkan
sebuah dimensi yang lepas dari pembacaan puisi. Di sini Siti gagal, saya kira
pada akhir-akhir sajaknya ia seperti kehilangan stamina dan membuat sajaknya
terengah-engah. Frasa “Di ujung jalan buntu, pertama kita bertemu / Merasa
cocok, ikat janji untuk bersatu” dan “Sungguh sial aku tertipu, Yang kutunggu
telah berlalu,” malah berubah seperti pantun. Di sini ada inkonsistensi yang
terasa sangat mengganggu.
Barangkali Siti ingin menciptakan puisi naratif yang bercerita tentang
seseorang yang berjanji bertemu muka setelah berkenalan. Tapi ternyata bukannya
bertemu si calon kekasih, ia malah dicopet/ditipu ketika menunggu. Ada unsur
komedi dalam puisi ini, yang ia tuliskan dalam akhir sajak dalam frasa “Dompetku
yang tebal tak ada di saku”. Sayang sedari awal Siti tak bisa membuat relasi
yang kuat antara satu bait dan bait sajak lainnya untuk menciptakan momen
puitik. Namun secara umum pembaca bisa dengan gamblang membaca makna dari puisi
tertipu ini.
Sementara dari puisi Habib
Firdaus saya menemukan kekuatan puitik yang sederhana namun sangat menarik. Dalam
sajak yang berjudul Mata Habib mampu
menggunakan kata-kata dengan sangat efektif sehingga melahirkan imaji yang
utuh. Poyk barangkali akan memasukan puisi ini dalam kategori imajinasi yang
muncul ke akal permukaan dari kehidupan dan kebutuhan sehari-hari.
jika mata dan mata
saling bertemu
maka akan terbalik duniaku
Puisi ini barangkali adalah puisi favorit
saya dalam antalogi ini. Karena kesederhanaan dalam puisi ini melahirkan
imajinasi yang begitu menarik. Ada yang genit, ada yang malu-malu, ada yang
penasaran, ada yang gundah dan ada yang kasmaran. Puisi ini bercerita tentang
cinta tanpa perlu menuliskan kata cinta dan idiom-idiom sebangsanya. Puisi ini
seperti memampatkan perasaan dalam sebuah pertemuan antara dua sejoli yang kasmaran.
Tapi di sisi lain ia bisa juga bercerita tentang perasaan yang meledak-ledak.
Sementara di sajak Plang Jalan Habib
bermain-main dengan narasi. Sayang habib kurang menggali lagi unsur kejutan. Pada
pembukaan sajak ini pembaca diajak membayangkan sebuah tanda/marka jalan. Si “aku”
dalam sajak ini merenungi tanda itu sebagai sebuah dialog dan perintah “hati-hati”.
Yang pada bait kedua ia jawab sambil menggerutu dengan kata “Iya”.
sekejap
memandang
plang
jalan, ku baca
"hati-hati
sering
terjadi
kecelakaan"
sekejap
diriku hilang
seketika
akalku berhenti
terheran
ah,
hatiku berbisik usil!
"iya
Ada yang jenaka disini. Si aku melihat tanda/marka jalan seolah-olah ada
orang yang berbicara dan ketika ia sadar sebagai sebuah tanda ia hanya benda
mati. Sehingga ia menghidupkan benda mati dan membuatnya sebagai estetika
sendiri. Proses kreatif semacam ini sering dimanfaatkan oleh Afrizal Malna
dalam puisi-puisinya. Namun sayangnya Habib tak maksimal dan terkesan
setengah-setengah. Namun terlepas apapun itu Habib sejauh ini yang paling
berhasil dalam menggali ragam jenis teknik puisi secara menyeluruh.
Sebelum membahas penyair dan sajak berikutnya. Ada
baiknya saya berbagi sedikit tentang istilah “Avant-Garde and Kitsch” yang
pernah dilontarkan oleh Clement Greenberg dalam sebuah artikel pada 1939. Bagi
Greenberg yang seorang kritikus seni rupa terma avant-garde atau pembaharu dan
kitsch atau murahan hanyalah perkara sudut pandang estetis. Dalam esainya yang
masyur itu ia mem-bandingkan puisi dari penyair T.S Elliot dan lirik lagu dari
penyanyi Tin Pan Alley. Siapa yang berhak menilai bahwa yang satu lebih
superior dari yang lain?
Dalam artikelnya itu Greenberg berpendapat bahwa sebuah
masyarakat cenderung untuk terus menerus gagal menemukan keterikatan dan
pemahaman yang sama antara hubungannya dengan penulis/pengarang/penyair. Hal ini
disebabkan sebagai pribadi dan pencipta seorang penyair tak bisa membagi secara
utuh pengalaman personalnya dalam sebuah sajak kepada para pembacanya. Akan selalu
ada “jurang yang tak terlihat” dan “putusnya makna” sekeras apapun seorang
penyair berusaha menjelaskan.
Namun puisi berbeda dengan lukisan atau patung
yang menjadi objek seni rupa dan keahlian Greenberg. Beberapa puisi tak
memiliki bentuk yang estetik, beberapa hanya berupa tanda-tanda baca saja, dan
yang lain bisa sangat abstrak sehingga tafsir susah sekali dilakukan.
Puisi-puisi Sutarji, Saut Sitompul, dan puisi mbeling ala Remy Sylado misalnya.
Beberapa puisi dilahirkan hanya untuk dimengeri oleh segelintir orang dan yang
lainnya bisa dipahami secara telanjang.
Greenberg mewaspadai apa yang ia sebut
sebagai imitasi dari imitasi. Jean baudrillard, seorang pemikir post
strukturalis Perancis, kelak menyebut ini sebagai simulacrum. Greenberg
memaknai bahwa tak mungkin ada yang orisinal seusai penciptaan sebuah karya. Apabila
sebuah karya itu bagus, baik puisi maupun seni rupa, akan menghasilkan
glorifikasi, tiruan dan saduran. Sehingga untuk melihat sebuah karya sebagai
karya yang lahir sendiri dan tak dipengaruhi apapun adalah hal yang mustahil.
Di sini para penyair muda Jember dalam antalogi
puisi ini tak berusaha mendobrak obsesi ke-penyairan perihal kemurnian. Alih-alih
mencipta yang baru penyair-penyair ini malah asyik dalam dunianya sendiri dan
mencoba mengeksplorasi tema-tema yang ada disekitarnya. Permasalahan sosial di
sekitar rumah tinggal penyair kerap menjadi inspirasi puisi. Hal ini karena
keseharian yang terasa salah itu menggelitik nurani dan membuat para penyair
seolah Ingin mencipta sajak. Seperti apa yang dilakukan oleh Abdul Gani dalam sajaknya yang berjudul Kabar Tak Sampai.
Pembuka sajak ini begitu melekat dikepala saya “Pak Lukman / Menghitung
detik-detik jam tangannya yang berguguran,”. Abdul Gani pintar memainkan diksi
sehingga melahirkan rangkaian kata yang unik. Tak hanya itu stamina, irama dan
nafas sajak ini terjaga dan tak sesak. Sehingga ketika dibaca dan direnungi
sajak ini melahirkan kisah yang sembilu perihal keluarga yang ditinggalkan
sanak famili merantau sebagai buruh migran. Di ujung sajak ada twist yang menyenangkan
Dalam bait lainnya Abdul Gani menggambarkan sebuah keadaan dengan cerdik.
Dadanya dipukul-pukul ketakutan
Matanya semakin kecil dan lincah seperti ikan-ikan teri
Jantungnya kecut
Dia sudah lupa bau angin yang sedari tadi menelan tubuhnya
Dadanya dipukul-pukul ketakutan
Matanya semakin kecil dan lincah seperti ikan-ikan teri
Jantungnya kecut
Dia sudah lupa bau angin yang sedari tadi menelan tubuhnya
Pada
bait itu kekuatan diksi bermain secara sentral. Penggunaan ikan teri dan kecut
melahirkan nuansa yang segar namun disaat bersamaan pesan yang diinginkan
sampai. Lantas di baris sajak lain ia menuliskan “Dua tahun lalu sudah disembunyikan jarak di Saudi / Yang tertinggal
hanya kerinduan menjerit-jerit”. Penggunaan metafora diksi Abdul Gani
begitu renyah namun tak terlihat murahan. Mengawinkan jarak dan rentang waktu
bagi saya adalah sebuah pencapaian puitik yang menarik.
Berbeda dengan tiga rekan yang
lainnya Dieqy Hasbi Widhana lebih banyak menggali lirik sebagai sebuah
peristiwa puitik. Pada sajak Patahan
panahmu masih tertinggal Dieqy menjalin narasi sebagai kekuatan utama
puisinya, selain diksi dan metafora tentunya. Narasi yang saya maksud adalah
penceritaan lebih pendek dari puisi epik yang panjang dan seringkali bertema
kepahlawanan. Narasi liris lebih pendek dengan tema-tema yang lebih cair. Coba saja
tengok bait berikut ini :
kutemukan dirimu lusuh dalam tumpukan rindu
kisahmu serumit gumpalan benang kenang kusut
teranyam tiap helai bait diantara detak gerigi akal
sebesar apapun gelisah yang berkaca-kaca,
tak akan sanggup menerjemahkan remukan kisah sesal kita
Puisi
ini terdengar/terbaca profetik. Ada yang kudus namun dekat. Tetapi jika dibaca
lebih seksama balutan kata yang dipilih Dieqy ada yang lepas dan hilang. Bait ini
adalah puisi yang berusaha menemukan “yang lain”. Entah itu cinta, kekasih,
sahabat atau perasaan yang urung ditemukan. Ignas Kleden dalam Esai yang
berjudul Puisi dan Dekonstruksi menawarkan tiga cara membaca sajak. Cara
pertama adalah cara semiotik yang melihat semua bunyi bahasa dalam sajak itu
sebagai tanda dan hubungan antartanda. Cara yang kedua adalah cara semantik
yaitu melihat hubungan kode leksikal dengan makna.
Sementara cara yang ketiga adalah cara hermeneutik
yaitu melihat hubungan antara kode bahasa dengan makna, dan hubungan makna
dengan konteks kebudayaan yang luas. Pada puisi Dieqy bahasa dan tanda bukan masalah. Karena hampir seluruh
diksi yang dipilih adalah kata-kata sehari-hari yang ditemui dalam
sebuah percakapan. Yang membedakan barangkali adalah penempatan dan sinergi
dari kata tersebut yang melahirkan unsur dramatis. Seperti pada dua larik sajak
berikut:
...
bulan, aku mencintaimu tanpa kemewahan
…
aku tak gila tentang biji kelopak kata,
...
bulan, aku mencintaimu tanpa kemewahan
…
aku tak gila tentang biji kelopak kata,
Kalimat
itu terdengar sangat gombal, tetapi bukan sembarang gombal. Tentu seorang
pedagang obat yang piawai akan menjalin kata-kata semanis dan semurah mungkin
untuk menjual dagangannya agar laku. Sebagai penyair tentu Dieqy bisa lebih
banyak memanfaatkan jalinan kata dan menempatkannya dengan kata lain sehingga
melahirkan imaji yang lebih liar. Dalam kasus ini Dieqy sukses menjadi gombal
tanpa terlihat gombal. Frasa Aku tak gila tentang biji kelopak mata tentu
adalah rayuan. Tapi kata ini tak jatuh pada kategori picisan malah menjadi
romantis.
Sebagai penutup saya
inggin menggunakan dua baris dari sajak Dieqy yang membuat saya berpikir
panjang. Tentang perpisahan yang syahdu, tentang sebuah kehilangan yang pedih,
bukan tentang rasa sakit saya menyukai sajak ini. Tapi lebih pada upaya
melahirkan adegan yang hiperbolis dari interaksi dua arah yang saling menjauh.
mengapa dengan sekali pecutan kau berlari beradu punggung denganku
bukankah, seharusnya aku yang merayakan lupa
mengapa dengan sekali pecutan kau berlari beradu punggung denganku
bukankah, seharusnya aku yang merayakan lupa
Membaca puisi empat penyair muda Jember ini membangkitkan semangat saya untuk terus menulis. Mereka yang dalam kesibukannya masing-masing mampu membuat karya yang menarik. Lebih dari itu keintiman sajak-sajak yang ada lahir dari pergaulan intens dengan karya sastra lain. Hal ini membuat saya ingat perkataan Andrea Hirata yang mengatakan Sastra tak laku di Indonesia. Saya kira ia tak kenal empat pemuda ini.