Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Ngaji Surat Keragaman di Kening Ramadhan?

Sebagaimana tuhan yang tidak bertanggung jawab atas segala yang ia ciptakan. Maka kita bertanggung jawab atas takdir masing-masing dari kita. Entahlah saya tiba-tiba ingin bercerita tentang polusi pesan yang beberapa hari ini menimbun inbox saya. Ya, tentang ucapan permohonan maaf menjelang bulan yang mereka anggap sebagai area pemutihan dosa. Memang kedua teman saya yang telah menulis tentang hal ini, telah secara tidak langsung menggandeng saya untuk berbicara tentang hal serupa.

Pesan permohonan maaf tersebut mulai membentuk barisan tsunami sejak kaki-kaki bulan ramadhan menginjak bumi. Suasana di daerah sekitar saya tinggal pun berubah secara instan. Mulai dari beberapa manusia beranjak memenggal masa lalunya untuk bersedekah pita usara di masjid. Peserta ritual ngopi memadati setiap warung kopi yang berjajar di pinggir jalan. Jalanan yang macet mendadak kala menjelang sahur dan berbuka puasa. Cafe-cafe mendadak penuh, sampai  beberapa mobil tanpa permisi menyerobot jalanan umum sebagai ganti parkiran. Berita di media masa mana pun berbusa-busa memberitakan tentang harga sembako yang direncanakan naik, arus pulang kampung, kitab suci tanpa HAKI yang dijadikan modal lawakan yang diselipkan dalam tayangan televisi, dan sebagainya.

Memang, saya tidak pernah merasa marah ketika pesan dan segala rutinitas khas ramadhan itu memonopoli kehidupan saya. Ketika menjelang hari Natal beberapa bulan yang lalu. Saya pernah mengirimkan sebuah pesan pendek tentang ucapan selamat merayakan hari kesucian. Akan tetapi hampir semua orang yang saya kirimi pesan tersebut malah kembali menghantam saya bagai cahaya senter yang dihantamkan ke sebuah kaca cembung. Alhasil cahaya itu berbalik arah ke saya dengan cahaya yang lebih besar dan keruh. Yah, memang sebagian dari mereka malah memaki-maki saya.

Padahal ketika mengirimkan pesan tersebut. Salah satu yang saya pikirkan ialah, bagaimana caranya membagi sebuah kebahagiaan tersebut minimal kepada orang-orang yang dekat dengan saya. Tentunya atas dasar toleransi antar sesama. Yang saya pikirkan kemudian ialah, mereka pasti akan meniupkan makna atas pesan yang saya kirim tersebut. Maka dari itu saya sebagai pengirim pesan ialah orang pertama yang berhak mengedit dan menilai apakah pesan tersebut bisa diterima oleh mereka. Dengan pikiran itu saya lebih lega dan dengan segala keyakinan menjadi bulat untuk mempublish.

Sebagaimana puisi atau jenis tulisan apa pun. Pembacalah yang berhak meniupkan roh ataupun arti dari tulisan si penulis. Maka dari itu saya mengganggap pembacalah yang kemudian harus bertanggung jawab atas makna yang ia ciptakan atas karya penulis. Yah memang bukan malah sebaliknya dalam artian penulis yang bertanggung jawab. Karena penulis bukanlah raja otoriter yang berhak memberikan makna secara absolut atas karyanya. Misalnya ketika saya menuliskan hujan dan saya sebagai penulis menganggap arti kata tersebut sebagai sebuah keromantisan entah dengan tuhan atau sesamanya. Nah trus bagaimana dengan anak-anak keturunan komunis yang keluarganya dibantai gerombolan militer dikala hujan, memaknai kata hujan tersebut?

Aduh, di paragraf ini saya mulai binggung mau dibawa kemana tulisan ini...hahahaha...

Entahlah, mungkin karena warga negara indonesia ini terlalu banyak orang muslimnya. Padahal kalau kita bermukim di bali. Maka segala rutinitas khas bali harus dijalankan oleh siapapun. Misalnya ketika hari raya nyepi, semua orang harus mengistirahatkan rutinitas. Bahkan mentri agama pun merelakan orang islam mengikuti ritual nyepi tersebut dengan mematikan lampu, tidak berkeliaran di luar rumah, dan sebagainya.

Pastilah lagi-lagi atas dasar toleransi, mentri agama tersebut mengijinkan semua warga bali yang beragama islam turut dalam hari kesucian nyepi. Atau saya pernah merasakan ngekos di dekat masjid. Dan yang saya rasakan ialah polusi yang mendera selama lima waktu. Sampai saya pernah mengusulkan pada seorang teman. Mending setiap rumah dipasang semacam speaker dan alat peredam. Kemudian difungsikan sebagai alarm pengingat waktu berharap (asline berdoa). Nah, ketika alarm itu memekik keras, para tetangganya yang nonmuslim ostomatis tidak terganggu.

Tentusaja ketika pendapat saya tersebut diresmikan oleh negara. Maka yang terjadi ialah perlahan peradaban melangkah sembari menciptakan mahluk-mahluk planet yang individual banget. Hal ini pun serupa dengan berbagai kasus individual yang mendera kalangan teroris. Entahlah kelompok jihad tersebut mempunyai sifat yang dekat sekali dengan kefanatikan beragama yang berdasarkan atas kepentingan kelompoknya sendiri. Lantas toleransi dipukul rata bila apa yang kelompoknya senangi maka itulah yang menjadi kesenangan publik.

Sujiwo Tejo pakar Djiancuuk (lihat aktivitas twitternya) pernah mengatakan bila setiap individu yang terlahir sebagai warga negaranya, menganggap sesamanya hanya sebatas teman. Tentu saja aku ya aku. Kesenanganku adalah apa yang mereka senangi. Hal tersebut karena putusnya ikatan darah yang menjadikan aku adalah kamu sebagai saudara. Dalam artian tak ada ikatan saudara yang saling menggenggam rasa yang sama minimal dari dua orang manusia. Yang muncul kemudian ialah bagaimana cara memonopoli kesenangan di kalangan publik. Satu per satu dari kita saling berebut kesenangan pribadi demi kelangsungan hidup yang indah.

Bila rasa ialah tembok berlin. Maka muntahan moncong meriam ialah kesenangan individual yang sangat membenci toleransi yang siap menghantamnya. Akan tetapi apa yang terjadi bila setiap bata ditembok itu saling menghormati walapun harus saling menempati ruang kiri, kanan, atas, bawah tanpa saling iri?

Haruskan kita menunggu tuhan mengubah apa yang terjadi di dunia ini? Entahlah berapa milliar juta generasi yang harus menunggu tuhan menanam benih mukjizat pada salah satu diantara mereka. Bukankah setiap manusia ialah subjek dari sejarah. Entah si miskin, si kaya, atau si apapun ialah roda penggerak peradaban. Setidaknya itu menurut Pramoedya.

Jamput bingung maneh, arep digowo nank ndi tulisan iki...hehe.. ^_^’’

Para warga Renaissan pernah berhasil melewati masa suramnya dengan menganggap setiap dari mereka adalah subjek bagi dirinya sendiri. Dalam artian setiap orang bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Mereka mulai membenci apa yang sering diberi label sebagai mitos. Dan yang muncul ialah rasa saling menghormati antar sesama lewat aliran humanisme. Walaupun setelahnya Filsafat ketimuran pun bergentayangan di Alexandria.

Selain itu, dalam keadaan sehat, bukankah rujak komplikasi beraneka buah-buahan itu lebih nikmat daripada hanya sebuah mangga muda. Dan pelangi lebih indah dengan aneka warnanya dari pada biru langit. Maka dari itu segala campuran warna dari masing-masing kita bukanlah merupakan kekurangan bagi kita. Malah sebaliknya, kita akan semakin kaya dengan keaneka ragaman. Aku punya hitam kau punya apa, mari saling melengkapi. Sampai disini saya mengucapkan terimakasih banyak atas semua pesan khas momentum sesaat yang bermukin di inbox saya. Maklum, karena salah satu kakak saya bekerja di perusahaan operator selular. Tapi jangan sekali-kali mentransfer dosa lewat sms kepada saya, karena saya akan bersedia menelan dosa itu mentah-mentah. Gila, siapa yang mau masuk surga. Orang-orang di surga itu individualis banget. Saudaranya pada di siksa di neraka tapi mereka tidak membantu sama sekali malah beradu nafsu dengan kemewahan. Satu lagi, jangan kuatir setiap sms permohonan maaf yang dikirm kepada saya, akan langsung saya forward ke nomor tuhan.

 Mohon maaf sebelumnya, mungkin kesan pertama yang kalian dapatkan dari saya lewat tulisan ini, ialah saya sebagai mahluk tengik yang atheis. Tapi bagi saya itu tidak masalah. Tapi yang jadi masalah jika ada orang yang mengatakan Nietzshe adalah penganut atheis. Hahaha...

Sebuah Cerita

Apa yang sedang dikerumuni oleh mereka yang terlalu bosan dengan himpitan aktivitas kaum urban? Siapapun dia pasti akan mencoba mencari hal lain yang bisa dikatakan aneh. Namun hal tersebut yang pada akhirnya melekat pada dirinya sebagai sebuah ciri khas. Begitu juga jika hal ini dalam sebuah ruang bernama musik. Tentu saja musik kaum urban ialah musik independent yang sedikit aneh ketika pertama kali didengar.

   Independet yang saya maksud bukan pada penekanan bagaimana proses pendanaan mereka berjalan. Akan tetapi independent yang tertanam dalam aliran musik mereka. Ya, aliran musik yang sangat berlawanan dengan band popular masa kini. Semisal “.....”, “.......”, “........”, dan sebagainya yang senantiasa digandrungi kaum muda. Sory, saya malas menyebutkan nama bandnya. Biasanya aliran musik indie dicerca sebagai aliran aneh, jadul, amoral (masalah lirik), sebagian lainnya setia pada garis perlawanan.

   Saya memang sama sekali tidak mempunyai latar belakang yang wah di bidang permusikan. Begh, apalagi jika harus mendefinisikan aliran apa yang di usung masing-masing band di indo. Tentulah saya akan menjawab tantangan itu sambil menggigil ketakutan sembari menggali kembali bakat ngibul. Lantas mengapa saya ingin menulis tentang musik indie? Atau jangan-jangan pembahasan indie ini hanya jebakan di awal tulisan dan tentu saja diakhiri dengan beberapa kalimat mengecam tuhan. Oh, tidak..!! kali ini saya hanya ingin bercerita (daripada nonton tv) mengenai musik aneh yang indah. Tapi mungkin saja saya sedang berbohong..haha yang penting saya hanya bisa meyakinkan anda jika cerita ini bukan tentang peri, angsa, putri cantik, dan semacamnya.

   Ketika masa SMA dulu, semacam ada hobi yang selalu datang tanpa bisa diramalkan kemudian menyerang keseharian kaum sebaya saya. Yaitu musim ngumpul dengan sesama pecinta aliran musik. Misalnya mereka kerap menyebut anak punk (kalo gak salah biasa ngumpul di media alfa), pecinta cobain anak grunge, anak hiphop yang biasanya main breakdance di lapangan dan alun-alun kota, yang terakhir anak metal yang sering disebut underground. Aneh, saya kenal beberapa anak di semua lini aliran musik itu. Tapi tak satupun seluk beluk aliran musik mereka yang saya tau.

   Pernah suatu kali saya main ke tempat teman saya yang katanya anak punk. Ketika dalam perjalanan ke rumahnya, saya bertanya banyak hal mengenai punk. Sesampai di rumahnya malah teman saya memberikan beberapa lembar kertas fotokopian yang isinya membahas mengenai scene musik yang ia gandrungi. Belakangan saya memikir ulang, mungkin yang dia berikan waktu itu adalah sebuah media alternatif bernama zine. Tapi saya terlalu lugu untuk bertanya mengenai hal yang tidak terlalu penting.

   Saya masih ingat, tulisan pertama yang saya baca waktu itu tentang sosok yang bisa dipanggil Waga. Entahlah itu kisah nyata ataupun karangan tapi saya sangat menikmatinya. Seingat saya, ada seorang tokoh bernama Satu-Dua-Tiga (serius, namanya emang itu) dengan perilaku menyimpang dari orang kebanyakan. Orang tua si Waga sangat mapan sekali perihal mengelola jantung perekonomian keluarga. Akan tetapi Waga mencoba berlari menjauh dari dunia keluarganya yang terlalu mapan itu. Dengan bermodal vespa, saya lupa di Malang dia ngontrak atau ngekos ya, pokoknya di kamarnya hanya ada satu poster. Poster bergambar tokoh Sakera. Dalam hal penampilan memang aneh sekali. Rambutnya dibiarkan separuh panjang dan separuhnya lagi botak begitu juga dengan kumisnya. Setiap harinya Waga hanya mau makan masakan indonesia khususnya jawa seperti rawon, lodeh, dan sebagainya.

   Tibalah suatu saat dia melintasi perempatan di jalan rampal (malang) tanpa mematuhi instruksi lalu lintas. Dengan vespa tuanya yang dipacu berkecepatan tinggi. Tanpa ia sadari ternyata ada seorang polisi yang mengejarnya, kemudian berhasil membuatnya berhenti dan menepi di bibir jalan. Lalu polisi itu sedikit kaget ketika mengetahui penampilan Waga ketika ia membuka helmnya. Tanpa memikirkan hal aneh itu terlalu panjang kemudian dia bertanya pada Waga.

“Mana surat-surat anda?”
“Sura-surat bapak mana?”, Waga malah balik bertanya.
“Jangan main-main. Saya sebagai petugas berhak meminta surat-surat anda” polisi itu sedikit menekan.
“Loh, saya sebagai warga negara juga berhak meminta surat-surat bapak” Waga malah memberikan serangan balik.

   Saya lupa percakapan selanjutnya seperti apa. Yang saya ingat setelah adu mulut itu berujung pada adu jotos. Kemudian kedua polisi yang sedari tadi mangkal di pos ternyata turun tangan juga. Ujung dari semua itu adalah tiga peluru yang bersarang di tubuh Waga. Semacam peradilan di tempat yang sangat tidak manusiawi. Bahkan bisa dikatakan Waga dibunuh tanpa melalui proses peradilan. Hal itu terjadi karena kesenjangan sosial atas nama profesi. Polisi yang semula menjadi pengaman bagi masyarakat malah justru menakut-nakuti masyarakatnya sendiri. Sekarang saja bila kalian bertemu dengan polisi apa yang kalian rasakan. Perasaan aman dan tentram? Mana mungkin, walau tak punya salah pun kalian pasti akan sedikit merinding.

   Setelah itu waga dimakamkan. Tepat di nisan Waga, beberapa temannya menulis, “Satu Dua Tiga punk sejati”. Itulah penghargaan terakhir dari kerabatnya. Cerita di atas memang tak secara persis sama dengan apa yang saya baca sekitar lima tahun yang lalu. Tapi saya yakin kurang lebih ceritanya semacam itu.

   Setelah itu saya ngobrol sedikit hal seputar punk. Sambil ngobrol mata saya menyisir seluruh bagian area kamar teman saya. Di pojok saya melihat sepasang sepatu bots warna hitam dengan talinya bewarna hitam juga. Dia juga cerita mengenai perbedaan pada warna tali sepatu itu. Betapa herannya saya ketika dia mengatakan jika punk power white itu pake wana putih, sedangkan punk nazi pake warna merah. Yang membuat saya terheran-heran ketika punk punya lebih dari satu ragam jenis. Entahlah saya tidak tau banyak mengenai hal itu.

   Terakhir ketika dia mengantarkan saya di perempatan Bonagung untuk mencari bus. Berkali-kali dia meyakinkan jika punk anarko itu bukan terfokus pada tindak anarki semacam suporter bola. Punk anarko itu punya kebersamaan yang kuat dan selalu dianggap galak karena selalu mencoba melawan ketidakadilan. Terkesan seperti terlalu muluk-muluk ya. Tapi itu memang apa yang teman saya katakan waktu itu, meskipun higga kini orang yang dia ajak ngobrol itu tidak tahu sama sekali tentang apa itu keadilan.

   Sesuatu yang aneh dari teman saya. Dia tidak berambut mohawk berbahan lem kayu rajawali. Biasa saja masalah rambutnya. Cuma dia kerap kali memakai (apa ya itu namanya) hitam-hitam yang dioleskan di sekitar mata. Selain itu selalu memakai celana street. Sampai model celana seragam SMA pun dibuatnya versi street. Saya sering diajaknya nonton gigs yang paling mahal tiket masuknya seharga dua ribu. Sialnya seringkali selalu menolak ajakan itu. Sebagai gantinya saya berjanji akan mendengarkan cerita tentang event itu di warung kopi. Ah, saya mendadak merindukan masa lalu. Yang paling saya ingat sembari tersenyum teman saya berkata, “Dadi menungso pasif iku pilihan, tapi aku luweh milih dadi wong aktif. Dan punk adalah pilihan”. Sampai saat ini aku masih gak mudeng dengan apa yang dia katakan. Lewat senyum tipis itu mungkin dia ingin mengatakan sesuatu yang paling dalam pada dunia. Tentang lirik bunga hitam yang senantiasa menjadi pemantik semangat.

Buka mata hati, buka telinga
Ciptakan semangat sampai akhir hayat
Hancurkan negri ini, ciptakan negri baru
Negeri ini butuh nurani.

   Di kalimat yang ini saya tiba-tiba menyadari, mengapa saya bercerita tentang serpihan kenangan itu. Padahal saya sangat tidak tahu menahu mengenai punk. Sudahlah, anggap saja hanya cerita. Di awal sebenarnya saya berniat akan mendongeng tentang White Shoes & The Couples Company. Tapi, ya sudahlah lain kali saja.