Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Selasa, 19 Oktober 2010

Hantu Penjemput Kematian dalam The Eye

Kematian.. lebih mirip dengan akhir aktivitas. Sesuatu yang dianggap paling menakutkan.
Seperti dalam sebuah film yang berjudul The eye ini yang menceritakan seorang wanita yang mampu melihat hantu kematian. Sosok hitam mengepul bagai asap itu menjemput calon korbanya kemudian menanti sampai sang korban menempuh ajalnya. Gadis yang mahir bermain biola itu bernama Sydney Wells (Jessica Alba).
Gadis yang menderita kerusakan kornea mata waktu masa kecilnya. Terakhir ia mampu melihat dikala umurnya lima tahun. Setelelah dewasa, aktivitas hidupnya tak terlalu berbeda jauh dengan orang kebanyakan. Pergi ke restoran, jalan-jalan, mandi, dan beberapa hal lain yang ia lakukan tanpa bantuan siapapun.
Setelah itu ia melakukan oprasi mata, disinilah semua hal menakutkan itu berawal. Perlahan ia mulai bisa melihat walaupun di awal semua terlihat buram. Pasca oprasi gadis cantik berambut pirang ini mendapat kamar yang sama dengan seorang wanita tua. Nenek tua itu biasa dipangil dengan sebutan Nyonya Hilman. Letak kasur mereka berdampingan, tak begitu jauh jaraknya. Hingga suatu malam ia mendengar suara aneh. Masih dengan penglihatan yang buram, ia melihat Nyonya Hilman di jemput oleh sosok hitam.
Terlihat samar-samar nona hilman berjalan mengikuti sosok hitam itu. Perlahan dengan muka gugup ia berjalan keluar kamarnya. Ia berupaya mengucek matanya kemudian mencoba memfokuskan pandangan matanya. Kali ini ia melihat sosok hitam yang menghilang secepat kilat. Lalu wanita tua yang tempat tidurnya bersebelahan dengan kasurnya, datang tepat dimukanya kemudian menghilang. Ketika pagi hari ia membuka matanya dari tidur, beberapa suster sedang membereskan tempat tidur nenek tua itu. Kemudian ia bertanya kemanakah nenek tua itu, dengan nada datar si suster mengabarkan kematian nenek tua itu semalam.
Pendonor yang mencoba menceritakan kisah tragis hidupnya dalam mimpi sidney. Berulang kali ia mengalami mimpi yang nyaris nyata. Itu semua membuat sidney semakin gelisah dan berupaya mencari tau siapa pemilik mata yang sekarang didonorkan untuknya.
Beragam kejadian aneh pun menderanya. Diantaranya dia menabrak roh perempuan korban kecelakaan. Anehnya sosok perempuan itu tembus ketika sidney menabraknya. Seteleh itu sidney melihat sosok wanita itu dibawa pergi oleh gumpalan asap hitam yang tubuhnya menyerupai manusia. Kejadian aneh lainya ketika ia mampu melihat kebakaran di restoran china. Dia melihat asal mula ledakan yang berasal dari kompor restoran itu. Ternyata restoran itu mengalami peristiwa kebakaran dan menelan korban lima orang. Peristiwa kebakaran itu terjadi beberapa minggu dari waktu itu.
Akhirnya sidney mengetahui jika pendonornya berasal dari meksiko. Dr. Paul Faulkner (Alessandro Nivolva) menemukan satu-satunya berkas yang sesuai dengan tanggal operasi sydney. Anna Christina Martines (Fernanda Romero) memiliki ibu yang bekerja di pabrik keramik. Disekitar rumah anna banyak Graffity di tembok yang bertuliskan “BRUJA” yang berarti penyihir. Disanalah sydney dan paul bertemu dengan ibu anna yaitu Nyonya Rose Martinez (Rachel Ticotin).
Nyonya Martinez bercerita banyak hal mengenai anna. Anna dituduh oleh warga sekitarnya sebagai pembawa kematian. Padahal menurut ibunya, anna hanya dapat melihat kematian tanpa mampu menciptakanya.
Dalam perjalanan pulang dari rumah anna. Paul dan Sydney. Berulang kali anna mencoba memanipulasi mimpi sydney. Itu semua agar sydney membantunya untuk menyelamatkan puluhan orang dari sebuah tragedi kecelakaan. Akhirnya sydney mencoba merasionalkan mimpinya agar Paul percaya. Kemudian Paul membantunya untuk menyuruh semua orang agar menjauh dari tempat yang menurut Sydney akan terjadi peristiwa kecelakaan besar itu. Mereka berdua berhasil menyelamatkan puluhan orang dari gerbang maut. Tetapi dalam kejadian itu mata sydney terkena pecahan kaca mobil.
Kemampuan melihat anna ternyata membuat sydney ketakutan. Film ini ditutup dengan permainan biola dari Sydney yang diiringi dengan group orkestra para penyandang cacat.
Film ini diracik oleh Paula Wagner, Don Granger sebagai produser. Dengan bantuan sound animation yang kesan horor dari Sunday Stevens. Dan balutan animasi visual yang sesekali mengagetkan walaupun terlihat sedikit kasar dari Erick Tignini. David Moreau serta Xavier Palud ambil bagian sebagai sutradara dalam film berdurasi 98 menit ini. Film ini adalah olahan dari cerita horor klasik Cina yang pernah difilmkan pada 2002 silam di Hongkong dengan judul Gin Gwa.

Bodohnya Kita (Sebagai Budak)

Kematian para tuan…
Bukanlah kesadisan yang mengantarnya
Hanyalah jembatan semu menuju nirwarna
Sebuah keagungan…

Kini aku menempati kursi itu
Setelah sang tuan mati
Dan,
Kematian takkan mewariskan tuan baru
Selain aku…

Jika dia ada,
Ada sesuatu yang berjalan terbalik
Nafas membuatnya membunuh
Satu-satu dari kita akan menelan dendam itu..

Ah, kematian sebagai nilai tukar dosa

Maka, bunuhlah dia
Cabutlah benang-benang siluet yang mengemudikanmu
Peta-kan sendiri jalur nasibmu
Sebelum kita terbunuh olehnya…

Percayalah,
Hal yang paling abadi ialah kematian…
Anggap saja dia sedang menebus dosanya di neraka
Takkan ada tumpukkan dosa lagi

Hanya nisan,
Petanda runtuhnya kekuasaan
Simbol kebebasan
Tak ada lagi perintah absolut itu

Kemudian kau adalah dia,
Dialah kamu…
Inilah kematian para tuan…




jember
131010

Kematianku

Awan gelap terburu-buru memayungi bumi. Tetesan hujan semakin keras terdengar berpacu dengan rintihan binatang malam. Sesekali kilatnya menjilat bumi. Aku duduk di atas bangku yang ketiga kakinya keropos. Rumah kosong ini terlihat gosong sepertinya api tak kuasa menghabiskanya. kupandang gumpalan darah kering yang berceceran di tembok.  aku tetap menatap darah itu. Itu darahku. Masih terekam jelas dalam memoriku tentang kronologi kematianku disini.

Tragedi menyayat hati itu terjadi tepat memasuki detik-detik pergantian tahun. Berawal dari si sony anak semata wayangku yang sering pulang malam. Sambil membawa aroma alkohol yang menyesakkan hawa sepetak rumah warisan nenek sony yang kami huni berdua. Hari-hari yang menjadi saksi tingkah laku sony seakan menjadi lembaran yang terus menumpuk dan perlahan membentuk keresahan bagiku. Memang, selama ini aku tak memperdulikan hal itu. Aku hanya tak ingin mengikat kebebasanya dengan aturanku. Alhmarhum suamiku sering mengatakan, “biarkan anak kita tumbuh dengan banyak pengalaman di luar, pengalaman yang akan mengajarinya untuk dewasa”.

Malam itu gerimis mengiringi pergantian tahun. Rasa gelisah mengepul di dadaku karena sony yang pergi tanpa pamit dan hampir dini hari dia belum pulang juga. Tetanggaku sering menemuinya sedang berkumpul dengan teman sebayanya. Duduk melingkar dengan beberapa botol ditengah mereka. Sampai detik pergantian tahun, aku masih menunggu di ruang tamu. Melamun sambil memandang dengan tatapan kosong pada jam dinding. Malam itu sepi, hanya nyanyian detak jam yang mengunyah waktuku.

Tiba-tiba sony masuk dengan diiringi suara khas pintu rumah. Sepintas mataku menatap jarum jam yang menunjukan jam tiga pagi. Ternyata aku tertidur dan melewatkan beberapa jam waktu penantian. Dengan baju basah dia menuju kamarnya sambil meninggalkan jejak ceceran air di lantai. Sontak aku memanggilnya, “sony.. kesini sebentar, ibu mau bertanya beberapa hal tentangmu yang akhir-akhir ini selalu pergi tanpa pamit”.. dengan nada yang semakin melengking seiring sony yang berjalan semakin menjauh. Entah mengapa sepertinya emosi membakar ubun-ubunku, ketika beberapa saat sony tak menjawab kata-kataku. Akupun mencoba menghampirinya dengan langkah gontai akibat rasa capek yang mengendap ditubuhku.

“Haaaahh…”, dari kejauhan suara sony menusuk telingaku. Kupercepat jalanku menuju kamarnya dengan dahi mengombak. Dalam kamar sony yang berukuran 4x4 dengan hanya bersekat triplek. Lampu kamarnya pecah dan kacanya berserakan. Di pojok sudut ruang kotak itu soni jongkok sambil melindungi kepalanya dengan lipatan tanganya. kasurnya berantakan, cermin telah menjadi mozaik dan berserakan di lantai, bekas kopi semalam membasahi tembok triplek itu. Pemandangan itu memacu aliran jantungku. “sony..apa yang kamu lakukan..?”, sikap diamnya membuatku penasaran dengan segera aku berupaya mendekatinya. Baru baru selangkah aku berjalan kaca yang berserakan itu menyobek telapak kakiku.

 “aduh, coba liat kaki ibu keluar darah karena ulahmu.. kamu kenapa sony? Pulang malam.. pergi tanpa pamit.. pulang dengan baju basah.. badanmu bau alkohol..”  tanpa menghiraukan sakit yang membuat darah di kakiku muncrat, akupun menghujamnya dengan beberapa pertanyaan.

“diam.. ibu bikin rame aja.. sana, ibu tidur aja daripada ngomel-ngomel gak jelas”

“nak.. aku ini ibumu, aku yang telah berjuang mati-matian mengeluarkanmu dari rahimku. Dari mana kamu belajar kata-kata kasar itu..”
“huuhh..”

“jawab sony, sebelum ibu melaknatmu menjadi anak yang durhaka..?”

“diiiaaaam..”

“dasar anak durhaka.. ibu menyesal telah melahirkanmu.. kamu selalu bikin malu orang tua.. pulang malam, mabuk, tawuran.. apa kamu lupa siapa yang melahirkanmu.. sadarlah nak..”

“haaaaahhh..”

Tiba-tiba dia mengeram keras dan tanganya mengambil potongan kaca. Perlahan dia berdiri seakan siap untuk berlari. Kamar yang gelap itu menutupi wajahnya. Lalu pecahan kaca itu dia ayunkan ke perutku. Darah segar mengucur deras dari sela belahan akibat pecahan kaca itu.

“bruuggh”, tubuhku membentur lantai yang dipenuhi serakan kaca.

Mulutku kaku, saat itu tak ada yang bisa aku ucapkan. Aku masih mengingat matanya merah dan berkaca-kaca. Dia terus menghujam kearah perutku. Seketika pengelihatanku menjadi gelap.

Setelah itu, dari kejauhan aku merasa melihat sosok mayat dengan isi perut berhamburan. Darahnya menggenangi lantai. Seorang anak lelaki kecil masih menusuk wanita itu berkali-kali. Aku mendekati sosok wanita yang tergeletak di lantai. Kudapati dengan jelas wanita itu adalah aku dengan anak laki-laki bertubuh sony di sebelahnya.

“Mengapa kita harus hidup dengan skenario takdir yang sudah disepakati. Seperti apa yang kualami”, sambil merintih dan menangis perlahan aku mengeluarkan kata itu dari samping jendela.



--dipublikasikan dalam buletin PaRTIKELIR edisi Oktober--
mohon kritiknya, akan kutukar kritik kalian dengan otokritik... ^_^

proklamasi kehampaan

Ada duri yang menancap dihatiku,
Kemudian menyemprotkan buih kegelisahan
Meremas-remas sendi jiwaku
Seperti cambukan…
Seperi hentakan yang gagal diramalkan kehadiranya..

Batok kepalaku hampir pecah
Ada rasa yang enggan terelap saat ditimang

Sesak,
Seperti ada puting beliung yang terus berputar dalam dadaku
Kegelisahan dan ketakutan berkolaborasi dengan gaduh

Sampai kapan..
Kusembunyikan tangis dalam barisan kata penuh makna

Telah kutelan ribuan biji embun
Hanya untuk menjinakkan rasa ini
Tapi,
Sia..sia..

Ah,
Anggap saja rasa itu telah terbujur kaku dalam kamar mayat
Dengan wujud anonim hingga tak seorangpun mampu mengenalnya..

IRAMA PROVOKASI DALAM TEROMPET YANG RETAK "II"

Soal buku pedoman masasiwa, kami pun sempat mendapat isu itu. Kemudian beberapa dari kami berupaya konfirmasi ke PD III. Ternyata PDIII tidak mengetahui juga mengenai hal tersebut. Sepertinya memang terdapat anomali koordinasi antara dekanat dengan kemahasiswaan. Panita PK2 lanjutan ataupun Ospek Fakulas hanya mampu menjangkau prosesi tkonsep dan teknis berjalanya Ospe Fakultas, sedangkan permasalahan tersebut masih mengikuti periode Ospek Universitas. Dengan PEDE-nya penulis kemudian mencoba menarik perhatian pembaca dengan memberikan cetak tebal pada kata, “ternyata di fakultas lain TIDAK DIPUNGUT BIAYA SILUMAN UNTUK PK2!!!!”. Entahlah stereotipe penulis ditujukan pada panitia Ospek PK2 (Ospek Universias) atau PK2 Lanjutan (Ospek Fakultas). Selain itu ironis sekali asumsi penulis tersebut, padahal fakultas ekonomi memungut kontribusi maba sebesar seratus ribu, fakultas hukum dan fisip delapan puluh ribu. Jika ditinjau kebelakang, ospek PK2 lanjutan atau ospek fakultas sastra memungut dana enam puluh ribu dari MABA. Sedangkan tahun ini dengan bertambanya jumlah MABA malah biaya ospek fakultas sedikit diminimalisir menjadi lima puluh lima ribu.

Hal lain yang dapat dinyatakan penuh ketimpangan ialah penulis menorehkan kata, “Kita sebagai mahasiswa, dicetak untuk menjadi individu yang kritis dan analitis, berpikir idealis adalah kewajiban mahasiswa untuk berevolusi (merubah Pemikiran yang salah)”. Kata pasif “dicetak” yang dapat diartikan sebagai bentuk pasif dari objek yagng menunggu subjek merubahnya. Dalam konteks kaum intelektual dapat dikatakan seseorang yang hanya menunggu disadarkan. Bukankah mahasiswa sebagai kelas menengah yang menjadi tulang punggung perubahan sistem bukan menunggu sebuah sistem merubahnya. Dengan demikiaan akan memperlambat proses perubahan dan mahasiswa bukanlah menjadi kaum revlusioner akan tetapi reaksioner –hanya merespon ketika terdapat isu panas dalam kampusnya-. Seharusnya penulis berupaya membuat kalimat aktif untuk kegiatan krirtis dan analistis yang diajukanya. Sedangan kata “evolusi” –perubahan dengan proses lambat- cenderung berpihak pada ruang liberal.

Dalam kalimat penutup, penulis berupaya menawarkan solusinya mengenai dana yang dianggapnya siluman –dibalik ketidak tahuan panitia pk2 lanjutan seputar dana tersebut- agar dialokasikan untuk membeli buku-buku yang nantinya disumbangkan ke perpustakaan. Jika ditelaah ulang, itu adalah himpunan dana dari kantong orang tua ataupun wali MABA. Terdapat definisi secara khusus yaitu MABA. Yang seharusnya berkewajiban memperbarui ataupun menambah pasokan buku dalam perpustakaan adalah pemerintah.

Sehubungan dengan realitas yang diungkapkan oleh penulis bukanlah realitas yang alamiah, teapi sudah melalui porses pemaknaan ataupun telah melewati jalur penafsiran. Maka dalam represenatasi, begitu rentannya terjadi misreprsentasi keidakbenaran penggambaran seseorang, suatu kelompok, pendapat, sebuah gagasan tidak diampilkan apa adanya. Tetapi digambaran secara buruk.  Oleh kerena itu dalam hal ini penulis perlu menjelaskan lebih seputar kawan dan lawan. Disini penulis mencba mendefinisikan anggapanya dengan memanfaatkan ide common sense, mengolah asumsinya menjadi sesuatu yang logis sehingga, meskipun kenyataannya tidak ada –atau belum terjadi- tidak dipertanyakan kebenarannya. Menurut van Dijk –dalam bukunya “ structure of Discourse and Structure of Power”, proses produksi teks semacam ini akan dengan mudah melewati gerbang legitimasi melalu kontrol pikiran hingga mampu membentuk kesadaran dan konsensus.

Media bukanlah sekedar saluran yang bebas. Ia adalah subjek yang mengkonsruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakanya. Seperi apa yang dikatakan oleh Tony Bennett, media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.

Dalam kontruksivisme, subjek –penulis- dianggap sebagai faktor sentral. Menurut A. S Hikam, subyek memiliki kemampuan melakukan konrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana yang ia lontarkan. Jika ditelusuri, berbagai pernyataan –penulis- pada dasarnya adalah penciptaan makna.

Terompet sastra dapat dikatakan retak karena, pertama pembaca tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut pandang mengenai suatu peristiwa. Walaupun tidak harus dikatakan wacana yang terpinggirkan adalah wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak beragamnya perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua dapat dikatakan peminggiran wacana sebagai praktik ideologi. Seiring terdapat pihak yang termarjinalkan lewat penciptaan makna-makna tertentu. Disinilah terdapat sudut yang retak yang dengan mudah dihinggapi oleh stereotipe. Misalnya stereotipe terhadap anggota PKI yang memancing phobia masyarakat.

Karena posisi penulis sebagai subjek, maka ia bukan hanya mempunyai keleluasaan menceritakan peristiwa tetapi juga menafsirkan berbagai tindakan yang membangun peristiwa tersebut, kemudian hasil penafsiranya mengenai peristiwa itu digunakan untuk membangun pemaknaan yang ditransformasikan kepada pembaca. Selain mendefinisikan dirinya sendiri, penulis juga mendefinisikan pihak lain dalam perspektif ataupun sudut pandangnya sendiri. Ini hanyalah analisis, bukanlah sebuah pembenaran…

IRAMA PROVOKASI DALAM TEROMPET YANG RETAK "I"

-------------------------------------------------------------------
Pendidikan (yang dibuat) mahal..
Sebagai mahasiswa harus peka terhadap fenomena yang terjadi disekitar kita. Menempuh pendidikan perlu proses, di dalam pendidikan menuju ‘pintar’ seringkali kita harus mengeluarkan banyak biaya yang tidak perlu, semisal untuk pk2. Acara pengenalan lingkungan kampus sering kali menjadi celah yang sering digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Esensi dari acara pengenalan adalah membantu mahasiswa baru melewati masa transisi dari kehidupan SMA menuju kehidupan kuliah., tetapi nyatanya terkesan menjadi ajang eksploitasi mental dan materi bagi mahasiswa baru. Mahasiswa baru dikenakan biaya-biaya tambahan yang sangat tidak perlu, semisal tas dari kain blancu. Proses eksploitasi tidak berhenti disitu, bahkan untuk buku pedoman pun mahasiswa di wajibkan membayar. Padahal mereka sudah membyar DP( saat mendaftar pertama kuliah) , dalam slip tersebut sudah jelas terperinci bahwa pernik seperti buku sudah terbayar di awal. Setelah melakukan investigasi di fakultas lain, hasil yang lumayan mencencangkan didapat, ternyata di fakultas lain TIDAK DIPUNGUT BIAYA SILUMAN UNTUK PK2!!!!. Yang paling memprihatinkan adalah intimidasi yang dilakukan panitia terhadap mahasiswa baru seperti ancaman tidak mendapat serftifikat sering memberi trauma bagi mahasiswa baru yang belum tau kondisi lapangan.
Kita sebagai mahasiswa, dicetak untuk menjadi individu yang kritis dan analitis, berpikir idealis adalah kewajiban mahasiswa untuk berevolusi (meribah Pemikiran yang salah).
Aliran dana PK2 akan lebih efektif jika dana-dana dari mahasiswa baru digunakan untuk kepentingan bersama seperti digunakan untuk membeli buku-buku baru yang belum tersedia di perpus.
STOP EKSPLOITASI!!!
STOP INTIMIDASI!!!
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan diatas diketik ulang sesuai dengan apa yang tertempel di beberapa ruang sekitar  FSUJ (Fakultas Sastra Universitas Jember). Saya selaku panitia PK2 lanjutan –BOMB 2010- berupaya menganalisa tulisan yang bernada provokasi tersebut. Dengan terlebih dahulu menganggap berbagai kesalahan kosakata ataupun cara penulisan sebagai suatu hal yang manusiawi ataupun salah ketik. Seperti kata di- yang harusnya dipisah ketika kata tersebut menunjukan suatu tempat. Beberapa hal lainya seperti huruf besar kecil yang kurang mendapat perhatian, dan berbagai bentuk singkatan tanpa penjelasan yang lebih.

Tulisan dengan tema Pendidikan (yang dibuat) mahal tersebut dikandung dalam satu bilik rubrik yaitu terompet sastra. Terompet identik suatu properti yang digunakan sebagai ajang bersenang-senang ataupun pencarian sensasi belaka. Kemudian diantar dengan tema Pendidikan (yang dibuat) mahal, yang dapat dikatakan merujuk pada kepanitiaan ospek. Anggapan langsung yang cenderung memvonis tanpa investigasi real terhadap situasi dilapangan. Memang terdapat pemisahan antara pemikiran dan realitas.

Penulis yang mengharuskan seorang mahasiswa untuk peka terhadap fenomena sekitarnya. Dalam dasar pemikiran PK2 lanjutan, panitia mencantumkan harapannya agar mahasasiwa baru peka terhadap permasalahan sosial yang ada disekitarnya. Terdapat dua anggapan berbeda dalam penyelenggaraan PK2 lanjutan ini. Antara “fenomena” dan di lain pihak menyatakan “permasalahan sosial”.

Yang dimaksud fenomena adalah seorang kaum intelektual yang hanya merespon – fenomenal kuantitatif- ataupun peka terhadap permasalahan sosialnya ketika bertemu dengan fenomena –juga bisa dikatakan isu hangat ataupun kejadian yang dianggap luar biasa atau heboh- disekitar kampusnya. Terlebih dalam satu paragraf pertama penulis berupaya mengingatkan kata “seringkali” sebanyak tiga kali. Hal ini mungkin karena penulis ingin membuat pembaca sesensitif mungkin dengan isu yang dianggapnya selalu terjadi dan berulang.

Jika disambung sengan kalimat selanjutnya, penulis menyimpulkan jika pendidikan adalah proses menuju pintar. Sangat absurd sekali ketika kita mencoba mendefinisikan kata “pintar”. Berarti besar sekali harapan penulis, agar seluruh mahasiswa dan elemen organisasinya untuk sesegera mungkin mengantongi ribuan sertifikat,title, dsb tentunya agar secara instan dianggap sebagai orang pintar.

Dalam kalimat ketiga, penulis mengatakan jika acara PK2 lanjutan selalu dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Jika ditinjau ulang, para panitia PK2 lanjutan tergabung delegasi dari semua ORMAWA FSUJ. Penulis berupaya memvonis secara universal seluruh jajaran elemen kampus tersebut.

Dalam panitia PK2 lanjutan terdapat heterogenitas yang menyangkut berbagai latar belakang organisasi. Tentunya dengan mengutamakan angkatan ’09 untuk berdialektika dalam proses kepanitiaan tersebut. Memang terkesan meragukan karena beberapa panitia adalah mahasiswa yang belum menguasai perputaran roda organisasi. Tapi, dengan berbagai ruang konsolidasi untuk mengumpulkan  panitia yang terlkesan maksimal –tentunya sesuai sesuai dengan kemampuan mereka- walaupun jauh dari kesempurnaan.

Sehubungan dengan tas blancu yang disimpulkan leh penulis sebagai kegiatan eksploitasi kepada mahasiswa baru. Dapat dikatakan terjadi miss komunikasi antara penulis yang mendapat sumber dari anggota panitia semi aktif, dapat dikatakan informasi yang penulis dapatkan putus-putus. Dari anggota panitia sebagai nara sumber penulis tersebut menginformasikan harga tas tersebut sebesar “dua puluh lima ribu”, padahal dalam rapat terakhir panitia menetapkan harga tas tersebut menjadi “empat ribu” melewati berbagai macam usaha meminimalisir dana dengan mencari penjahit dan kain yang murah. Seiring dengan perimbangan semangat komunal (kebersamaan) yang akan hadir bersamaan dengan tas tersebut. Pendamping kelompok MABA diharuskan membuat forum konsolidasi angota kelompoknya unuk berkumpul dan membuat kreativitas bersama lewat media tas tersebut. Hingga pendamping yang akan mendapat evaluasi dari seuruh panitia bila terdapat anggota kelompoknya belum mendesain tas tersebut. Dalam pengerjaanya pun, anggota kelompoknya diharuskan membuatkan desain tas teman kelompoknya yang jarang berkumpul. Pembahasan tas tersebut memang menjadi suatu polemik tersendiri. Seperi halnya konsep teknis tas tersebut sampai dibahas dalam lima kali rapat panitia. Salah satu pendukungnya ialah banyak panitia yang tidak mencatat, memahami, dan minimnya tingkat kehadiran dalam rapat.

di sela ritual upacara penyambutan maba..

"berdoa mulai..", brigade sok piooner itu berupaya melayangkan skenario kelompoknya untuk mendendangkan beberapa serpihan do'a (yang seharusnya dimaknai sebagai harapan, bukan request) dari agama yang dia anggap benar.

"huuaaakkkhhh chhuuuiiiihhh.. heterogenitas ada bukan untuk saling melengkapi, tapi saling menghegemoni dan berebut kebenaran", dari kejauhan mayat berbau anyir itu meludah sembari memalingkan otaknya ke arah kiri.

_fiksi mini_

putar balik

kau tau, mereka bukan api yg mudah bergerak sesuai isarat dari anginmu..
tak lama lagi, kau akan menyaksikan api itu perlahan membengkak seraya telah menyiapkan dirinya untuk meledak tepat disela jalur sesat yg kau rakit..

"Konsep" yang hilang sebelum "aplikasi"

Siang itu (24/8) Halaman Fakultas Sastra digenangi dengan MaBa. Terlihat panitia BOMB '10 berbaris di depan maba dengan mimik muka yang sedikit terbalut nervous. Tentu saja ini bukanlah semacam hal yang aneh, itu semua karena memang inilah penampilan perdana kami di depan 270 MaBa Fakultas Sastra. Tiba-tiba si kudsi (sie.acara) menyambar mic untuk mengambil alih jalanya acara dengan berlagak macam MC. Beberapa saat kemudian mic diserahkan pada ratih (co.komdis), dengan lantang ia merapikan barisan maba dengan meneriakkan beberapa komando khas militer.
    Setelah barisan maba dianggap rapi, panitia seperti kehilangan konsep acara. Mungkin beberapa ingatan yang terbangun dari konsensus forum termakan oleh rasa nervous yang berlebihan. Sehingga ada satu rangkaian acara yang dirasa terputus dan hilang yaitu pengelompokan maba dan perkenalan pendamping pada kelompok masing-masing. Memang acara tersebut hilang sebagai gantinya ratih langsung mensosialisasikan seputar atribut yang harus dipakai MaBa untuk tanggal 27 september nanti. Semestinya kami berupaya mengelompokkan maba terlebih dahulu agar segala informasi yang terasa sulit dicerna maba dapat ditanyakan langsung pada pendampingnya.

    Selang beberapa detik aku tak mendengar suara panitia dari pengeras suara. Semacam jeda yang memancing kedatangan anomali tentang kinerja kepanitiaan. Hingga mengundang refleksitas kepalaku untuk menoleh ke barisan panitia. Ternyata beberapa orang kemahasiswaan lagi bernegosiasi dengan panitia.

    Pak santiman berada di samping kanan barisan, sedang mengutarakan beberapa kemauannya sembari berharap mic berada ditanggannya. Heru ( sosok jejaka kemahasiswaan yang konon katanya penggila wanita)  sedang berbincang dengan panitia lainya tepat di belakang Santiman. Sedangkan si doraemon Satiman menyilangkan kedua tanganya tepat di atas dadanya sambil ngobrol dengan Opel (sie.humas) di barisan paling belakang, tepatnya didepan pintu yang berlantai tinggi di sayap kiri aula.

    Shittt....!!! Ini tak lebih dari semacam provokasi dadakan yang menimpa panitia BOMB '10. Rupanya mereka berharap maba harus menyelesaikan FKRS pada hari ini juga. Ah, bukanya tahun kemarin malah molor sampai sekitar tiga hari. Aku pun berupaya mendekati santiman sambil berkata, “gini aja pak.. gimana kalau kasih waktu aja kami tiga puluh menit untuk nyelesain ini, terus kami kembalikan maba kedalam kelas lagi..”, tapi rasanya seperti sedang bernego dengan batu besar. Tak ada jawaban atau apapun yang menunjukan respon dari kata-kataku tadi. Mungkin amarahku yang terlanjur membatu takkan kuledakkan tepat di mukanya karena ini bukan demonstrasi. Pemaksaan negosiasi demi memperjuangkan kepentingan kaum mayor. Semua itu terlalu berlebihan jika dilakukan karena maba akan lebih membutuhkan pemrogram mata kuliahnya daripada ospek fakultas.

    Setelah aku sedikit menganalisa beberapa metode kepanitiaan yang ternyata banyak mengabaikan Job Desciptionnya. Hingga akhirnya terjadi miss comunication antara panitia dengan trio kemahasiswaan itu. Walaupun si kusnadi (ketupat) mengaku telah meminta izin pak hadiri ( pengakuanya di depan forum evaluasi pasca kegiatan teknis ini) tetapi beberapa dari kami merasa belum kuat dikarenakan belum mengantongi izin dari kemahasiswaan. Hingga akhirnya si santiman berhasil menguasai mic dengan mendendangkan beberapa petisi seputar FKRS dan mengumumkan pada maba untuk kembali lagi jam empat sore di halaman ini untuk melanjutkan kegiatan ini. Jam empat tersebut adalah keputusan mendadak dari beberapa panitia yang sempat bergulat dalam arena negosiasi. Setelah itu MaBa pun bubar dengan beberapa suara gemuruh dari barisan, entahlah mereka langsung pulang atau meneyelesaikan FKRSnya.

    Pasca kegiatan yang terputus itu, beberapa kritik maba menghujamku. Diantaranya seperti apa yang dikatakan MaBa Jurusan Sastra Indonesia, "panitia seperti gak niat", mungkin ini ada benarnya jika kami berupaya melirik kedalam tubuh kepanitiaan yang lebih dominan dihuni oleh orang awam dibidang ini. Satu lagi sebuah kritik dari seorang MaBa yang menitipkan argumenya kepada Alfan (Sie. Pubdekdok). Tentang contoh ID Card buat MaBa yang hanya ditunjukan pada MaBa dengan barisan paling depan saja, aku rasa mereka terlalu manja. Padahal tadi pagi aku dan Firman (Co. Perlengkapan) meminta izin bagian perlengkapan untuk memasang pamflet seputar atribut maba. Bahkan kami berdua dengan bantuan Ratih sudah menempel atribut dan tatib maba di beberapa kaca sekitar area yang sering dilalui maba.

    Sepertinya acara tersebut telihat kacau karena mentahnya pemahaman tentang konsep yang dirakit perlahan dalam forum. Hal ini yang menjadi sumber efek domino karena kegagalan mengconvert konsep kedalam wujud aplikasi teknis dilapangan.