Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Sabtu, 06 November 2010

wahai burung bangkai yang lapar

datanglah ke sarangnya

ketuk aja sekuat tenaga..



mengapa harus takut anjing galak

taringnya takkan setajam otakmu

bahkan isi tempurungnya telah mati empat ratus tahun yang lalu



tertawalah ketika kau menerima tawaran tempat duduk

karena mereka pandai bersedih



jaga apimu,

bilik ruangan itu bermusim angin ribut



setelah itu buang tawamu jauh keluar jendela,

mereka pandai mencurinya



iringi olah vokalnya dengan permainan serulingmu

anggap saja pemanasan sebelum bertanding..



kemudian,

biarkan api dihatimu membakar nyanyiannya

buat tatapan matamu serempak untuk merobek-robek topengnya

tukarkan kegelisahanmu dengan air matanya




jember,
071110

lembaran kue yang robek untuk seorang kawan..

Kawan..

selamat bercengkrama dengan titik refleksi



Maaf jika tak ada hal mewah sebagai penanda ucapan selamat

Anggap saja puisi ini adalah kue sederhana

Di atasnya tertanam 21 batang lilin

Ketika kau tiup,

Apinya padam karena tak mampu membakar masa lalumu

Permasalahanmu takkan musanah seperti asap lilin yang menghilang bersama desahan angin



Apa yang telah kau lakukan selama ini?

Gampang saja,

Bila tak ada silahkan kalikan dengan nol

Dan itulah umurmu..



ulang tahun?

ah, seandainya kau mampu mengulang tahun....



Pengulangan itu bermula setiap kau bangun pagi-pagi

Saat itulah umurmu bertambah

Pengulangan bukanlah lingkaran yang berhenti pada titik awal

Tapi telah termodifikasi oleh harimu

Biarlah titik awal itu selalu merindukan ujungnya

Yang perlu kau pikirkan ialah membentuk peradaban dari dua titik itu



mari rayakan kekalahanmu,

bersama ribuan manusia yang terbodohi candu kemenangan..






jember,
031110

Selasa, 19 Oktober 2010

Hantu Penjemput Kematian dalam The Eye

Kematian.. lebih mirip dengan akhir aktivitas. Sesuatu yang dianggap paling menakutkan.
Seperti dalam sebuah film yang berjudul The eye ini yang menceritakan seorang wanita yang mampu melihat hantu kematian. Sosok hitam mengepul bagai asap itu menjemput calon korbanya kemudian menanti sampai sang korban menempuh ajalnya. Gadis yang mahir bermain biola itu bernama Sydney Wells (Jessica Alba).
Gadis yang menderita kerusakan kornea mata waktu masa kecilnya. Terakhir ia mampu melihat dikala umurnya lima tahun. Setelelah dewasa, aktivitas hidupnya tak terlalu berbeda jauh dengan orang kebanyakan. Pergi ke restoran, jalan-jalan, mandi, dan beberapa hal lain yang ia lakukan tanpa bantuan siapapun.
Setelah itu ia melakukan oprasi mata, disinilah semua hal menakutkan itu berawal. Perlahan ia mulai bisa melihat walaupun di awal semua terlihat buram. Pasca oprasi gadis cantik berambut pirang ini mendapat kamar yang sama dengan seorang wanita tua. Nenek tua itu biasa dipangil dengan sebutan Nyonya Hilman. Letak kasur mereka berdampingan, tak begitu jauh jaraknya. Hingga suatu malam ia mendengar suara aneh. Masih dengan penglihatan yang buram, ia melihat Nyonya Hilman di jemput oleh sosok hitam.
Terlihat samar-samar nona hilman berjalan mengikuti sosok hitam itu. Perlahan dengan muka gugup ia berjalan keluar kamarnya. Ia berupaya mengucek matanya kemudian mencoba memfokuskan pandangan matanya. Kali ini ia melihat sosok hitam yang menghilang secepat kilat. Lalu wanita tua yang tempat tidurnya bersebelahan dengan kasurnya, datang tepat dimukanya kemudian menghilang. Ketika pagi hari ia membuka matanya dari tidur, beberapa suster sedang membereskan tempat tidur nenek tua itu. Kemudian ia bertanya kemanakah nenek tua itu, dengan nada datar si suster mengabarkan kematian nenek tua itu semalam.
Pendonor yang mencoba menceritakan kisah tragis hidupnya dalam mimpi sidney. Berulang kali ia mengalami mimpi yang nyaris nyata. Itu semua membuat sidney semakin gelisah dan berupaya mencari tau siapa pemilik mata yang sekarang didonorkan untuknya.
Beragam kejadian aneh pun menderanya. Diantaranya dia menabrak roh perempuan korban kecelakaan. Anehnya sosok perempuan itu tembus ketika sidney menabraknya. Seteleh itu sidney melihat sosok wanita itu dibawa pergi oleh gumpalan asap hitam yang tubuhnya menyerupai manusia. Kejadian aneh lainya ketika ia mampu melihat kebakaran di restoran china. Dia melihat asal mula ledakan yang berasal dari kompor restoran itu. Ternyata restoran itu mengalami peristiwa kebakaran dan menelan korban lima orang. Peristiwa kebakaran itu terjadi beberapa minggu dari waktu itu.
Akhirnya sidney mengetahui jika pendonornya berasal dari meksiko. Dr. Paul Faulkner (Alessandro Nivolva) menemukan satu-satunya berkas yang sesuai dengan tanggal operasi sydney. Anna Christina Martines (Fernanda Romero) memiliki ibu yang bekerja di pabrik keramik. Disekitar rumah anna banyak Graffity di tembok yang bertuliskan “BRUJA” yang berarti penyihir. Disanalah sydney dan paul bertemu dengan ibu anna yaitu Nyonya Rose Martinez (Rachel Ticotin).
Nyonya Martinez bercerita banyak hal mengenai anna. Anna dituduh oleh warga sekitarnya sebagai pembawa kematian. Padahal menurut ibunya, anna hanya dapat melihat kematian tanpa mampu menciptakanya.
Dalam perjalanan pulang dari rumah anna. Paul dan Sydney. Berulang kali anna mencoba memanipulasi mimpi sydney. Itu semua agar sydney membantunya untuk menyelamatkan puluhan orang dari sebuah tragedi kecelakaan. Akhirnya sydney mencoba merasionalkan mimpinya agar Paul percaya. Kemudian Paul membantunya untuk menyuruh semua orang agar menjauh dari tempat yang menurut Sydney akan terjadi peristiwa kecelakaan besar itu. Mereka berdua berhasil menyelamatkan puluhan orang dari gerbang maut. Tetapi dalam kejadian itu mata sydney terkena pecahan kaca mobil.
Kemampuan melihat anna ternyata membuat sydney ketakutan. Film ini ditutup dengan permainan biola dari Sydney yang diiringi dengan group orkestra para penyandang cacat.
Film ini diracik oleh Paula Wagner, Don Granger sebagai produser. Dengan bantuan sound animation yang kesan horor dari Sunday Stevens. Dan balutan animasi visual yang sesekali mengagetkan walaupun terlihat sedikit kasar dari Erick Tignini. David Moreau serta Xavier Palud ambil bagian sebagai sutradara dalam film berdurasi 98 menit ini. Film ini adalah olahan dari cerita horor klasik Cina yang pernah difilmkan pada 2002 silam di Hongkong dengan judul Gin Gwa.

Bodohnya Kita (Sebagai Budak)

Kematian para tuan…
Bukanlah kesadisan yang mengantarnya
Hanyalah jembatan semu menuju nirwarna
Sebuah keagungan…

Kini aku menempati kursi itu
Setelah sang tuan mati
Dan,
Kematian takkan mewariskan tuan baru
Selain aku…

Jika dia ada,
Ada sesuatu yang berjalan terbalik
Nafas membuatnya membunuh
Satu-satu dari kita akan menelan dendam itu..

Ah, kematian sebagai nilai tukar dosa

Maka, bunuhlah dia
Cabutlah benang-benang siluet yang mengemudikanmu
Peta-kan sendiri jalur nasibmu
Sebelum kita terbunuh olehnya…

Percayalah,
Hal yang paling abadi ialah kematian…
Anggap saja dia sedang menebus dosanya di neraka
Takkan ada tumpukkan dosa lagi

Hanya nisan,
Petanda runtuhnya kekuasaan
Simbol kebebasan
Tak ada lagi perintah absolut itu

Kemudian kau adalah dia,
Dialah kamu…
Inilah kematian para tuan…




jember
131010

Kematianku

Awan gelap terburu-buru memayungi bumi. Tetesan hujan semakin keras terdengar berpacu dengan rintihan binatang malam. Sesekali kilatnya menjilat bumi. Aku duduk di atas bangku yang ketiga kakinya keropos. Rumah kosong ini terlihat gosong sepertinya api tak kuasa menghabiskanya. kupandang gumpalan darah kering yang berceceran di tembok.  aku tetap menatap darah itu. Itu darahku. Masih terekam jelas dalam memoriku tentang kronologi kematianku disini.

Tragedi menyayat hati itu terjadi tepat memasuki detik-detik pergantian tahun. Berawal dari si sony anak semata wayangku yang sering pulang malam. Sambil membawa aroma alkohol yang menyesakkan hawa sepetak rumah warisan nenek sony yang kami huni berdua. Hari-hari yang menjadi saksi tingkah laku sony seakan menjadi lembaran yang terus menumpuk dan perlahan membentuk keresahan bagiku. Memang, selama ini aku tak memperdulikan hal itu. Aku hanya tak ingin mengikat kebebasanya dengan aturanku. Alhmarhum suamiku sering mengatakan, “biarkan anak kita tumbuh dengan banyak pengalaman di luar, pengalaman yang akan mengajarinya untuk dewasa”.

Malam itu gerimis mengiringi pergantian tahun. Rasa gelisah mengepul di dadaku karena sony yang pergi tanpa pamit dan hampir dini hari dia belum pulang juga. Tetanggaku sering menemuinya sedang berkumpul dengan teman sebayanya. Duduk melingkar dengan beberapa botol ditengah mereka. Sampai detik pergantian tahun, aku masih menunggu di ruang tamu. Melamun sambil memandang dengan tatapan kosong pada jam dinding. Malam itu sepi, hanya nyanyian detak jam yang mengunyah waktuku.

Tiba-tiba sony masuk dengan diiringi suara khas pintu rumah. Sepintas mataku menatap jarum jam yang menunjukan jam tiga pagi. Ternyata aku tertidur dan melewatkan beberapa jam waktu penantian. Dengan baju basah dia menuju kamarnya sambil meninggalkan jejak ceceran air di lantai. Sontak aku memanggilnya, “sony.. kesini sebentar, ibu mau bertanya beberapa hal tentangmu yang akhir-akhir ini selalu pergi tanpa pamit”.. dengan nada yang semakin melengking seiring sony yang berjalan semakin menjauh. Entah mengapa sepertinya emosi membakar ubun-ubunku, ketika beberapa saat sony tak menjawab kata-kataku. Akupun mencoba menghampirinya dengan langkah gontai akibat rasa capek yang mengendap ditubuhku.

“Haaaahh…”, dari kejauhan suara sony menusuk telingaku. Kupercepat jalanku menuju kamarnya dengan dahi mengombak. Dalam kamar sony yang berukuran 4x4 dengan hanya bersekat triplek. Lampu kamarnya pecah dan kacanya berserakan. Di pojok sudut ruang kotak itu soni jongkok sambil melindungi kepalanya dengan lipatan tanganya. kasurnya berantakan, cermin telah menjadi mozaik dan berserakan di lantai, bekas kopi semalam membasahi tembok triplek itu. Pemandangan itu memacu aliran jantungku. “sony..apa yang kamu lakukan..?”, sikap diamnya membuatku penasaran dengan segera aku berupaya mendekatinya. Baru baru selangkah aku berjalan kaca yang berserakan itu menyobek telapak kakiku.

 “aduh, coba liat kaki ibu keluar darah karena ulahmu.. kamu kenapa sony? Pulang malam.. pergi tanpa pamit.. pulang dengan baju basah.. badanmu bau alkohol..”  tanpa menghiraukan sakit yang membuat darah di kakiku muncrat, akupun menghujamnya dengan beberapa pertanyaan.

“diam.. ibu bikin rame aja.. sana, ibu tidur aja daripada ngomel-ngomel gak jelas”

“nak.. aku ini ibumu, aku yang telah berjuang mati-matian mengeluarkanmu dari rahimku. Dari mana kamu belajar kata-kata kasar itu..”
“huuhh..”

“jawab sony, sebelum ibu melaknatmu menjadi anak yang durhaka..?”

“diiiaaaam..”

“dasar anak durhaka.. ibu menyesal telah melahirkanmu.. kamu selalu bikin malu orang tua.. pulang malam, mabuk, tawuran.. apa kamu lupa siapa yang melahirkanmu.. sadarlah nak..”

“haaaaahhh..”

Tiba-tiba dia mengeram keras dan tanganya mengambil potongan kaca. Perlahan dia berdiri seakan siap untuk berlari. Kamar yang gelap itu menutupi wajahnya. Lalu pecahan kaca itu dia ayunkan ke perutku. Darah segar mengucur deras dari sela belahan akibat pecahan kaca itu.

“bruuggh”, tubuhku membentur lantai yang dipenuhi serakan kaca.

Mulutku kaku, saat itu tak ada yang bisa aku ucapkan. Aku masih mengingat matanya merah dan berkaca-kaca. Dia terus menghujam kearah perutku. Seketika pengelihatanku menjadi gelap.

Setelah itu, dari kejauhan aku merasa melihat sosok mayat dengan isi perut berhamburan. Darahnya menggenangi lantai. Seorang anak lelaki kecil masih menusuk wanita itu berkali-kali. Aku mendekati sosok wanita yang tergeletak di lantai. Kudapati dengan jelas wanita itu adalah aku dengan anak laki-laki bertubuh sony di sebelahnya.

“Mengapa kita harus hidup dengan skenario takdir yang sudah disepakati. Seperti apa yang kualami”, sambil merintih dan menangis perlahan aku mengeluarkan kata itu dari samping jendela.



--dipublikasikan dalam buletin PaRTIKELIR edisi Oktober--
mohon kritiknya, akan kutukar kritik kalian dengan otokritik... ^_^

proklamasi kehampaan

Ada duri yang menancap dihatiku,
Kemudian menyemprotkan buih kegelisahan
Meremas-remas sendi jiwaku
Seperti cambukan…
Seperi hentakan yang gagal diramalkan kehadiranya..

Batok kepalaku hampir pecah
Ada rasa yang enggan terelap saat ditimang

Sesak,
Seperti ada puting beliung yang terus berputar dalam dadaku
Kegelisahan dan ketakutan berkolaborasi dengan gaduh

Sampai kapan..
Kusembunyikan tangis dalam barisan kata penuh makna

Telah kutelan ribuan biji embun
Hanya untuk menjinakkan rasa ini
Tapi,
Sia..sia..

Ah,
Anggap saja rasa itu telah terbujur kaku dalam kamar mayat
Dengan wujud anonim hingga tak seorangpun mampu mengenalnya..

IRAMA PROVOKASI DALAM TEROMPET YANG RETAK "II"

Soal buku pedoman masasiwa, kami pun sempat mendapat isu itu. Kemudian beberapa dari kami berupaya konfirmasi ke PD III. Ternyata PDIII tidak mengetahui juga mengenai hal tersebut. Sepertinya memang terdapat anomali koordinasi antara dekanat dengan kemahasiswaan. Panita PK2 lanjutan ataupun Ospek Fakulas hanya mampu menjangkau prosesi tkonsep dan teknis berjalanya Ospe Fakultas, sedangkan permasalahan tersebut masih mengikuti periode Ospek Universitas. Dengan PEDE-nya penulis kemudian mencoba menarik perhatian pembaca dengan memberikan cetak tebal pada kata, “ternyata di fakultas lain TIDAK DIPUNGUT BIAYA SILUMAN UNTUK PK2!!!!”. Entahlah stereotipe penulis ditujukan pada panitia Ospek PK2 (Ospek Universias) atau PK2 Lanjutan (Ospek Fakultas). Selain itu ironis sekali asumsi penulis tersebut, padahal fakultas ekonomi memungut kontribusi maba sebesar seratus ribu, fakultas hukum dan fisip delapan puluh ribu. Jika ditinjau kebelakang, ospek PK2 lanjutan atau ospek fakultas sastra memungut dana enam puluh ribu dari MABA. Sedangkan tahun ini dengan bertambanya jumlah MABA malah biaya ospek fakultas sedikit diminimalisir menjadi lima puluh lima ribu.

Hal lain yang dapat dinyatakan penuh ketimpangan ialah penulis menorehkan kata, “Kita sebagai mahasiswa, dicetak untuk menjadi individu yang kritis dan analitis, berpikir idealis adalah kewajiban mahasiswa untuk berevolusi (merubah Pemikiran yang salah)”. Kata pasif “dicetak” yang dapat diartikan sebagai bentuk pasif dari objek yagng menunggu subjek merubahnya. Dalam konteks kaum intelektual dapat dikatakan seseorang yang hanya menunggu disadarkan. Bukankah mahasiswa sebagai kelas menengah yang menjadi tulang punggung perubahan sistem bukan menunggu sebuah sistem merubahnya. Dengan demikiaan akan memperlambat proses perubahan dan mahasiswa bukanlah menjadi kaum revlusioner akan tetapi reaksioner –hanya merespon ketika terdapat isu panas dalam kampusnya-. Seharusnya penulis berupaya membuat kalimat aktif untuk kegiatan krirtis dan analistis yang diajukanya. Sedangan kata “evolusi” –perubahan dengan proses lambat- cenderung berpihak pada ruang liberal.

Dalam kalimat penutup, penulis berupaya menawarkan solusinya mengenai dana yang dianggapnya siluman –dibalik ketidak tahuan panitia pk2 lanjutan seputar dana tersebut- agar dialokasikan untuk membeli buku-buku yang nantinya disumbangkan ke perpustakaan. Jika ditelaah ulang, itu adalah himpunan dana dari kantong orang tua ataupun wali MABA. Terdapat definisi secara khusus yaitu MABA. Yang seharusnya berkewajiban memperbarui ataupun menambah pasokan buku dalam perpustakaan adalah pemerintah.

Sehubungan dengan realitas yang diungkapkan oleh penulis bukanlah realitas yang alamiah, teapi sudah melalui porses pemaknaan ataupun telah melewati jalur penafsiran. Maka dalam represenatasi, begitu rentannya terjadi misreprsentasi keidakbenaran penggambaran seseorang, suatu kelompok, pendapat, sebuah gagasan tidak diampilkan apa adanya. Tetapi digambaran secara buruk.  Oleh kerena itu dalam hal ini penulis perlu menjelaskan lebih seputar kawan dan lawan. Disini penulis mencba mendefinisikan anggapanya dengan memanfaatkan ide common sense, mengolah asumsinya menjadi sesuatu yang logis sehingga, meskipun kenyataannya tidak ada –atau belum terjadi- tidak dipertanyakan kebenarannya. Menurut van Dijk –dalam bukunya “ structure of Discourse and Structure of Power”, proses produksi teks semacam ini akan dengan mudah melewati gerbang legitimasi melalu kontrol pikiran hingga mampu membentuk kesadaran dan konsensus.

Media bukanlah sekedar saluran yang bebas. Ia adalah subjek yang mengkonsruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakanya. Seperi apa yang dikatakan oleh Tony Bennett, media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.

Dalam kontruksivisme, subjek –penulis- dianggap sebagai faktor sentral. Menurut A. S Hikam, subyek memiliki kemampuan melakukan konrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana yang ia lontarkan. Jika ditelusuri, berbagai pernyataan –penulis- pada dasarnya adalah penciptaan makna.

Terompet sastra dapat dikatakan retak karena, pertama pembaca tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut pandang mengenai suatu peristiwa. Walaupun tidak harus dikatakan wacana yang terpinggirkan adalah wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak beragamnya perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua dapat dikatakan peminggiran wacana sebagai praktik ideologi. Seiring terdapat pihak yang termarjinalkan lewat penciptaan makna-makna tertentu. Disinilah terdapat sudut yang retak yang dengan mudah dihinggapi oleh stereotipe. Misalnya stereotipe terhadap anggota PKI yang memancing phobia masyarakat.

Karena posisi penulis sebagai subjek, maka ia bukan hanya mempunyai keleluasaan menceritakan peristiwa tetapi juga menafsirkan berbagai tindakan yang membangun peristiwa tersebut, kemudian hasil penafsiranya mengenai peristiwa itu digunakan untuk membangun pemaknaan yang ditransformasikan kepada pembaca. Selain mendefinisikan dirinya sendiri, penulis juga mendefinisikan pihak lain dalam perspektif ataupun sudut pandangnya sendiri. Ini hanyalah analisis, bukanlah sebuah pembenaran…

IRAMA PROVOKASI DALAM TEROMPET YANG RETAK "I"

-------------------------------------------------------------------
Pendidikan (yang dibuat) mahal..
Sebagai mahasiswa harus peka terhadap fenomena yang terjadi disekitar kita. Menempuh pendidikan perlu proses, di dalam pendidikan menuju ‘pintar’ seringkali kita harus mengeluarkan banyak biaya yang tidak perlu, semisal untuk pk2. Acara pengenalan lingkungan kampus sering kali menjadi celah yang sering digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Esensi dari acara pengenalan adalah membantu mahasiswa baru melewati masa transisi dari kehidupan SMA menuju kehidupan kuliah., tetapi nyatanya terkesan menjadi ajang eksploitasi mental dan materi bagi mahasiswa baru. Mahasiswa baru dikenakan biaya-biaya tambahan yang sangat tidak perlu, semisal tas dari kain blancu. Proses eksploitasi tidak berhenti disitu, bahkan untuk buku pedoman pun mahasiswa di wajibkan membayar. Padahal mereka sudah membyar DP( saat mendaftar pertama kuliah) , dalam slip tersebut sudah jelas terperinci bahwa pernik seperti buku sudah terbayar di awal. Setelah melakukan investigasi di fakultas lain, hasil yang lumayan mencencangkan didapat, ternyata di fakultas lain TIDAK DIPUNGUT BIAYA SILUMAN UNTUK PK2!!!!. Yang paling memprihatinkan adalah intimidasi yang dilakukan panitia terhadap mahasiswa baru seperti ancaman tidak mendapat serftifikat sering memberi trauma bagi mahasiswa baru yang belum tau kondisi lapangan.
Kita sebagai mahasiswa, dicetak untuk menjadi individu yang kritis dan analitis, berpikir idealis adalah kewajiban mahasiswa untuk berevolusi (meribah Pemikiran yang salah).
Aliran dana PK2 akan lebih efektif jika dana-dana dari mahasiswa baru digunakan untuk kepentingan bersama seperti digunakan untuk membeli buku-buku baru yang belum tersedia di perpus.
STOP EKSPLOITASI!!!
STOP INTIMIDASI!!!
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan diatas diketik ulang sesuai dengan apa yang tertempel di beberapa ruang sekitar  FSUJ (Fakultas Sastra Universitas Jember). Saya selaku panitia PK2 lanjutan –BOMB 2010- berupaya menganalisa tulisan yang bernada provokasi tersebut. Dengan terlebih dahulu menganggap berbagai kesalahan kosakata ataupun cara penulisan sebagai suatu hal yang manusiawi ataupun salah ketik. Seperti kata di- yang harusnya dipisah ketika kata tersebut menunjukan suatu tempat. Beberapa hal lainya seperti huruf besar kecil yang kurang mendapat perhatian, dan berbagai bentuk singkatan tanpa penjelasan yang lebih.

Tulisan dengan tema Pendidikan (yang dibuat) mahal tersebut dikandung dalam satu bilik rubrik yaitu terompet sastra. Terompet identik suatu properti yang digunakan sebagai ajang bersenang-senang ataupun pencarian sensasi belaka. Kemudian diantar dengan tema Pendidikan (yang dibuat) mahal, yang dapat dikatakan merujuk pada kepanitiaan ospek. Anggapan langsung yang cenderung memvonis tanpa investigasi real terhadap situasi dilapangan. Memang terdapat pemisahan antara pemikiran dan realitas.

Penulis yang mengharuskan seorang mahasiswa untuk peka terhadap fenomena sekitarnya. Dalam dasar pemikiran PK2 lanjutan, panitia mencantumkan harapannya agar mahasasiwa baru peka terhadap permasalahan sosial yang ada disekitarnya. Terdapat dua anggapan berbeda dalam penyelenggaraan PK2 lanjutan ini. Antara “fenomena” dan di lain pihak menyatakan “permasalahan sosial”.

Yang dimaksud fenomena adalah seorang kaum intelektual yang hanya merespon – fenomenal kuantitatif- ataupun peka terhadap permasalahan sosialnya ketika bertemu dengan fenomena –juga bisa dikatakan isu hangat ataupun kejadian yang dianggap luar biasa atau heboh- disekitar kampusnya. Terlebih dalam satu paragraf pertama penulis berupaya mengingatkan kata “seringkali” sebanyak tiga kali. Hal ini mungkin karena penulis ingin membuat pembaca sesensitif mungkin dengan isu yang dianggapnya selalu terjadi dan berulang.

Jika disambung sengan kalimat selanjutnya, penulis menyimpulkan jika pendidikan adalah proses menuju pintar. Sangat absurd sekali ketika kita mencoba mendefinisikan kata “pintar”. Berarti besar sekali harapan penulis, agar seluruh mahasiswa dan elemen organisasinya untuk sesegera mungkin mengantongi ribuan sertifikat,title, dsb tentunya agar secara instan dianggap sebagai orang pintar.

Dalam kalimat ketiga, penulis mengatakan jika acara PK2 lanjutan selalu dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Jika ditinjau ulang, para panitia PK2 lanjutan tergabung delegasi dari semua ORMAWA FSUJ. Penulis berupaya memvonis secara universal seluruh jajaran elemen kampus tersebut.

Dalam panitia PK2 lanjutan terdapat heterogenitas yang menyangkut berbagai latar belakang organisasi. Tentunya dengan mengutamakan angkatan ’09 untuk berdialektika dalam proses kepanitiaan tersebut. Memang terkesan meragukan karena beberapa panitia adalah mahasiswa yang belum menguasai perputaran roda organisasi. Tapi, dengan berbagai ruang konsolidasi untuk mengumpulkan  panitia yang terlkesan maksimal –tentunya sesuai sesuai dengan kemampuan mereka- walaupun jauh dari kesempurnaan.

Sehubungan dengan tas blancu yang disimpulkan leh penulis sebagai kegiatan eksploitasi kepada mahasiswa baru. Dapat dikatakan terjadi miss komunikasi antara penulis yang mendapat sumber dari anggota panitia semi aktif, dapat dikatakan informasi yang penulis dapatkan putus-putus. Dari anggota panitia sebagai nara sumber penulis tersebut menginformasikan harga tas tersebut sebesar “dua puluh lima ribu”, padahal dalam rapat terakhir panitia menetapkan harga tas tersebut menjadi “empat ribu” melewati berbagai macam usaha meminimalisir dana dengan mencari penjahit dan kain yang murah. Seiring dengan perimbangan semangat komunal (kebersamaan) yang akan hadir bersamaan dengan tas tersebut. Pendamping kelompok MABA diharuskan membuat forum konsolidasi angota kelompoknya unuk berkumpul dan membuat kreativitas bersama lewat media tas tersebut. Hingga pendamping yang akan mendapat evaluasi dari seuruh panitia bila terdapat anggota kelompoknya belum mendesain tas tersebut. Dalam pengerjaanya pun, anggota kelompoknya diharuskan membuatkan desain tas teman kelompoknya yang jarang berkumpul. Pembahasan tas tersebut memang menjadi suatu polemik tersendiri. Seperi halnya konsep teknis tas tersebut sampai dibahas dalam lima kali rapat panitia. Salah satu pendukungnya ialah banyak panitia yang tidak mencatat, memahami, dan minimnya tingkat kehadiran dalam rapat.

di sela ritual upacara penyambutan maba..

"berdoa mulai..", brigade sok piooner itu berupaya melayangkan skenario kelompoknya untuk mendendangkan beberapa serpihan do'a (yang seharusnya dimaknai sebagai harapan, bukan request) dari agama yang dia anggap benar.

"huuaaakkkhhh chhuuuiiiihhh.. heterogenitas ada bukan untuk saling melengkapi, tapi saling menghegemoni dan berebut kebenaran", dari kejauhan mayat berbau anyir itu meludah sembari memalingkan otaknya ke arah kiri.

_fiksi mini_

putar balik

kau tau, mereka bukan api yg mudah bergerak sesuai isarat dari anginmu..
tak lama lagi, kau akan menyaksikan api itu perlahan membengkak seraya telah menyiapkan dirinya untuk meledak tepat disela jalur sesat yg kau rakit..

"Konsep" yang hilang sebelum "aplikasi"

Siang itu (24/8) Halaman Fakultas Sastra digenangi dengan MaBa. Terlihat panitia BOMB '10 berbaris di depan maba dengan mimik muka yang sedikit terbalut nervous. Tentu saja ini bukanlah semacam hal yang aneh, itu semua karena memang inilah penampilan perdana kami di depan 270 MaBa Fakultas Sastra. Tiba-tiba si kudsi (sie.acara) menyambar mic untuk mengambil alih jalanya acara dengan berlagak macam MC. Beberapa saat kemudian mic diserahkan pada ratih (co.komdis), dengan lantang ia merapikan barisan maba dengan meneriakkan beberapa komando khas militer.
    Setelah barisan maba dianggap rapi, panitia seperti kehilangan konsep acara. Mungkin beberapa ingatan yang terbangun dari konsensus forum termakan oleh rasa nervous yang berlebihan. Sehingga ada satu rangkaian acara yang dirasa terputus dan hilang yaitu pengelompokan maba dan perkenalan pendamping pada kelompok masing-masing. Memang acara tersebut hilang sebagai gantinya ratih langsung mensosialisasikan seputar atribut yang harus dipakai MaBa untuk tanggal 27 september nanti. Semestinya kami berupaya mengelompokkan maba terlebih dahulu agar segala informasi yang terasa sulit dicerna maba dapat ditanyakan langsung pada pendampingnya.

    Selang beberapa detik aku tak mendengar suara panitia dari pengeras suara. Semacam jeda yang memancing kedatangan anomali tentang kinerja kepanitiaan. Hingga mengundang refleksitas kepalaku untuk menoleh ke barisan panitia. Ternyata beberapa orang kemahasiswaan lagi bernegosiasi dengan panitia.

    Pak santiman berada di samping kanan barisan, sedang mengutarakan beberapa kemauannya sembari berharap mic berada ditanggannya. Heru ( sosok jejaka kemahasiswaan yang konon katanya penggila wanita)  sedang berbincang dengan panitia lainya tepat di belakang Santiman. Sedangkan si doraemon Satiman menyilangkan kedua tanganya tepat di atas dadanya sambil ngobrol dengan Opel (sie.humas) di barisan paling belakang, tepatnya didepan pintu yang berlantai tinggi di sayap kiri aula.

    Shittt....!!! Ini tak lebih dari semacam provokasi dadakan yang menimpa panitia BOMB '10. Rupanya mereka berharap maba harus menyelesaikan FKRS pada hari ini juga. Ah, bukanya tahun kemarin malah molor sampai sekitar tiga hari. Aku pun berupaya mendekati santiman sambil berkata, “gini aja pak.. gimana kalau kasih waktu aja kami tiga puluh menit untuk nyelesain ini, terus kami kembalikan maba kedalam kelas lagi..”, tapi rasanya seperti sedang bernego dengan batu besar. Tak ada jawaban atau apapun yang menunjukan respon dari kata-kataku tadi. Mungkin amarahku yang terlanjur membatu takkan kuledakkan tepat di mukanya karena ini bukan demonstrasi. Pemaksaan negosiasi demi memperjuangkan kepentingan kaum mayor. Semua itu terlalu berlebihan jika dilakukan karena maba akan lebih membutuhkan pemrogram mata kuliahnya daripada ospek fakultas.

    Setelah aku sedikit menganalisa beberapa metode kepanitiaan yang ternyata banyak mengabaikan Job Desciptionnya. Hingga akhirnya terjadi miss comunication antara panitia dengan trio kemahasiswaan itu. Walaupun si kusnadi (ketupat) mengaku telah meminta izin pak hadiri ( pengakuanya di depan forum evaluasi pasca kegiatan teknis ini) tetapi beberapa dari kami merasa belum kuat dikarenakan belum mengantongi izin dari kemahasiswaan. Hingga akhirnya si santiman berhasil menguasai mic dengan mendendangkan beberapa petisi seputar FKRS dan mengumumkan pada maba untuk kembali lagi jam empat sore di halaman ini untuk melanjutkan kegiatan ini. Jam empat tersebut adalah keputusan mendadak dari beberapa panitia yang sempat bergulat dalam arena negosiasi. Setelah itu MaBa pun bubar dengan beberapa suara gemuruh dari barisan, entahlah mereka langsung pulang atau meneyelesaikan FKRSnya.

    Pasca kegiatan yang terputus itu, beberapa kritik maba menghujamku. Diantaranya seperti apa yang dikatakan MaBa Jurusan Sastra Indonesia, "panitia seperti gak niat", mungkin ini ada benarnya jika kami berupaya melirik kedalam tubuh kepanitiaan yang lebih dominan dihuni oleh orang awam dibidang ini. Satu lagi sebuah kritik dari seorang MaBa yang menitipkan argumenya kepada Alfan (Sie. Pubdekdok). Tentang contoh ID Card buat MaBa yang hanya ditunjukan pada MaBa dengan barisan paling depan saja, aku rasa mereka terlalu manja. Padahal tadi pagi aku dan Firman (Co. Perlengkapan) meminta izin bagian perlengkapan untuk memasang pamflet seputar atribut maba. Bahkan kami berdua dengan bantuan Ratih sudah menempel atribut dan tatib maba di beberapa kaca sekitar area yang sering dilalui maba.

    Sepertinya acara tersebut telihat kacau karena mentahnya pemahaman tentang konsep yang dirakit perlahan dalam forum. Hal ini yang menjadi sumber efek domino karena kegagalan mengconvert konsep kedalam wujud aplikasi teknis dilapangan.

Selasa, 31 Agustus 2010

Sang Terminal kultural

Anak sekret sebelah menjuluki sang master puisi , sekret sebelahnya lagi sering menghadiahkan panggilan sang veteran, bahkan beberapa oknum persma membaptisnya sebagai “tuhan”. Dengan goresan senyum yang tak bernominal makna aku ingin memanggilnya dengan sebutan bapak. Seorang mahluk aneh yang rela mengunyah kegelisahan si pasien. Rela memecah waktu menjadi mozaik yang dengan mudah kami ambil.

Bukan hanya menjadi sampah tempat berkoloninya segala curahan jiwa, tapi lebih dari itu dia sangat mahir mendaur ulang curhatan dengan mempersembahkan output berupa titik rekomendasi. Dari berbagai macam sisi dia berupaya mengintip sebuah masalah hanya untuk sekedar menawarkan rambu-rambu yang menjadikan masalah itu bisa dengan mudah kami lalui.

Beberapa ucapan mirip sautan kicau burung pernah berkata tentang deadline DO akan diputuskan ketika mahasiswa berproses selama lebih dari tujuh taun. Tapi si “Ayah” justru memanfaatkan dan malah menjadikan waktu senggang itu untuk “aku” dan “aku yang lainya”.

Dia seolah melompat dari mitos yang mengatakan Mahasiswa selayaknya lulus dalam jangka waktu empat tahun. Aneh, mungkin dia manusia yang mempunyai lebih dari satu hati, Puluhan atau mungkin ratusan (lebay) . usaha untuk melawan arus tentang stereotip mahasiswa abadi, menjadi mahasiswa yang peka terhadap permasalahan di sekitarnya. Walaupun dia tak pernah dinobatkan oleh publik menjadi manusia spesial, setidaknya dia patut mengkantongi mahkota “special one” dariku.

Berbagai macam jenis pasien yang melabuhkan masalah pribadi ataupun lembaga padanya. Hampir semua mahluk yang menggenang di UKM Fakultas Sastra pernah menukarkan masalah padanya. “WOW”.. kata itu pasti akan menjadi refleksitas ketika membaca tulisan ini.

Beberapa ide yang dia transfer padaku hampir menjadi tumpukan yang mengunung. walaupun menjadi sebuah ide tanpa identitas ketika masuk dalam area forum.

Aku yakin tak pernah terbesit dibenaknya untuk menjahili lembaga yang pernah mengeluh padanya. Justru dia menjadi titik balik ritual jahil itu. Hal ini dikarenakan bebarapa lembaga yang membaptisnya menjadikanya terminal tempat bercumbunya masalah A, B, dan seterusnya. dalam aroma kultural dia berupaya mengikat persaudaraan antar lembaga. Akar yang perlahan tumbuh melingkar dan membentuk suatu ikatan kerap kali menjadi rutinitasnya.

Siapakah mahluk aneh ini? Jangan kuatir, cukup dengan modal usaha untuk mampir di komplek UKM Fakultas Sastra dengan mudah kamu akan menemui sosok ini. Juru kunci dan tempat penitipan beberapa sekret yang mekangkang di komplek itu. Datanglah dan rasakan kehadiranya lewat tafsiran subyektif dari tulisan ini.

(MARSINAH) Kegelapan yang tak kunjung terang

Ketidak adilan di negri ini hanya untuk dirasakan, bukan untuk diungkap kebenaranya. Gugatan ini yang akan mengantar kita. tentunya untuk mengorek kembali coretan hitam negri ini yang perlahan sengaja dipendam. Hingga kini tak adal kepastian hukum yang mampu menjerat mata rantai pembunuh “MARSINAH”. Mungkin karena hadirnya ramalan jika kasus ini transparan akan memberikan efek domino yang berdampak sistemik bagi eksistensi penguasa orba. Hingga merangsang penguasa untuk memonopoli kebenaran versi mereka.

Mayoritas warga negara kekinian memang tak pernah menyadari. Bahwa “MARSINAH” adalah kaum hawa yang tegas memperjuangkan haknya berangkat dari elemen buruh. memang perjuanganya dalam ruang kecil kerangka pabrik yang relatif tak terkenal. Akan tetapi, gema kuantitas juangnya melambung luas melampaui sejuta cakrawala.
Meksipun ia sosok yang tak mencandu kedekatan emosional untuk menjadi idola publik. Paling tidak MARSINAH berhak menjadi kandidat pahlawan yang linear dengan beberapa tokoh pejuang yang hadir di medan perang seperti Dewi Sartika.

Dimata publik, eksistensinya sangat berbeda dengan KI Haji Abdurrahman wahid. ketika terdengar kabar atas kematia sosok yang renyah di panggil Gus Dur itu. Ribuan orang berlarian untuk menjunjung beliau agar mendapat title “Sang Guru Bangsa”. Bagaikan muntahan manusia dari berbagai pelosok negri yang berserakan mengantar kepergian jenazahnya.

Marsinah hanya manusia biasa yang tak mampu mempraksiskan konsep hegemoni Gramsci. Tak ada kekuasaan entah dalam bentuk struktur atau klasifikasi masyarakat yang mampu menjadi pemicu penanaman pengaruh darinya. Yang ada hanya bekal kemampuanya membaca realita sosial kemudian memberikan penyadaran untuk kawan seprofesinya.

Lain halnya dengan pahlawan negri ini yang dapat dipastikan borjuis ataupun embrio yang lahir dari rahim priyayi. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini merupakan buah kasih antara Sumini dan Mastin. Di usianya yang menginjak tiga Tahun, Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Masa balitanya dihabiskan dengan meneguk asuhan kasih sayang nenek dan bibinya.

Arena menggali sumber kebutuhan hidup di Desanya yang semakin sempit. Memaksanya meruncingkan tekat untuk bergelut di kota yang penuh gumpalan polusi. Di sebuah Pabrik arloji daerah kelurahan Siring Porong ia menggantungkan nasibnya.

Dengan lantang ia menyuarakan perlawanan di tengah lautan demonstran. Menyerukan tuntutan tentang tunjangan tetap yang belum dibayar pengusaha dan penetapan upah minimum sebesar 2.250/hari. Dengan landasan hukum sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Perempuan revolusioner ini yang menjadi pemicu bagi kawan-kawanya untuk mengambil kembali haknya yang dirampas oleh pengusaha.

Namun beberapa hari setelah proses negosiasi dengan pengusaha PT.CPS. Militer mendesak 13 buruh untuk menandatangani surat PHK. Belasan buruh yang diciduk Militer itu diludahi dengan berbagai bentuk stigma yang memvonis bahwa mereka golongan PKI yang memberontak negara.
Kemarahan Marsinah meluap di ubun-ubun kemudian meledak saat mengetahui perlakuan tidak humanis para tentara terhadap kawan-kawannya. Dengan gundah ia raih surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya, lantas pergi. Tapi entah kemana ia pergi, inilah yang menjadi awal kehilangan Marsinah.

Sayu-sayu entah darimana asalnya terdengar berita tentang kematian Marsinah.Mayatnya ditemukan di gubuk bersebelahan dengan sawah petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk (9/5/1993). Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul.

Lain halnya dengan sosok Kartini yang berjuang dengan menarasikan perlawanan melalui tulisan dan surat. Marsinah berjuang untuk mendapatkan hak-haknya dengan tenaga secara frontal, bahkan mempertaruhkan nyawa sebagai nilai tukar terhadap hak kaum buruh. Seharusnya simbol pejuang wanita ini menjadi bahan bakar bagi kita untuk melawan segala bentuk penindasan.

Seperti apa yang dikatakan Supaat Lathief dalam bukunya SASTRA : Eksistensialisme-Mistisisme Religius, Hidup adalah sebuah ironi. Pada hakikatnya manusia tidak pernah meminta agar dilahirkan ke dunia. Tetapi ketika ia lahir akan segera dihadapkan pada sebuah realitas yang menyakitkan hati dengan terpaksa mencintai kehidupan. Setelah itu suka atau tidak suka, senang ataupun tidak, mau tidak mau kelahiran dan kematian menjadi hal absolut yang harus dilalui.

Tapi kita tidak bisa mengingkari bahwa jiwanya tidak bisa dipenjara. Jiwanya akan membumbung tinggi untuk berubah menjadi lidah-lidah api yang akan menghanguskan segala bentuk ketidakadilan. Kematian adalah mediator untuk proses transendensi manusia itu sendiri. Badan mengidap kualitas kebendaan yang akan musnah dikala kematian datang, sedangkan jiwa mengandung kualitas rohani yang abadi walaupun kematian itu tiba.

Monopoli Kebenaran Versi Kaum Fundamentalis Agama

“Agama adalah petunjuk ke jalan yang benar,
tetapi bukan kebenaran itu sendiri”
Beberapa kata yang terangkum dalam kalimat di atas mengandung efek samping yang membuat kita sedikit gauk-garuk kepala, mengarahkan pandangan ke atas, atau mengernyitkan dahi sejenak. Suatu pernyataan yang menganggap agama sebagai jalan, bukan diperlakukan sebagai tujuan akhir yang mutlak disepakati. Lebih jelasnya dianggap titik akhir atau ekspresi final suatu kebenaran. Kemudian berujung pada pengakuan agamanya yang paling benar dan harus ditegakkan hingga beragam cara ekstreme dilakukan.
Diantar oleh beberapa bahan obrolan yang sempat menjadi adegan panas di arena warung kopi. Agama yang sejatinya mengajarkan kedamaian, tiba-tiba membuka wajah seram di balik topengnya. bom bunuh diri, pembantaian, dibakar hidup-hidup, penghancuran gedung keagamaan, diperkosa secara massal, dan hal-hal lain yang menunjukkan wajah mengerikan dari suatu agama.
Karen Armstrong dalam "Sejarah Tuhan" juga telah membedah virus Fundamentalisme agama ini dengan komprehensif, sampai pada suatu kesimpulan bahwa Fundamentalisme tidak ayal lagi sangat dekat dengan radikalisme kekarasan”.
Sedikit belajar dari fenomena hindu yang masuk dengan berupaya menyesuaikan dengan nilai-nilai kebudayaan di indonesia. Sebagai contoh warga hindu di india yang mensakralkan hewan sapi hingga hewan tersebut diagungkan dan dianggap suci. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, umat hindu di negri ini bebas menyembelih hewan yang dianggap suci itu.
Lain halnya dalam konteks kekinian beberapa agama justru menolak nilai-nilai kebudayaan tradisional maupun yang telah berkembang.
Beberapa kelompok muslim yang bercita-cita mendirikan negara islam dengan sistem khilafah tentunya menurut versi mereka masing-masing. Yang perlahan merotasi kebudayaan suatu negara dengan mengembalikan pada masa lalu periode kejayaan agamanya. Dalam bayang-bayang “de javu” melahirkan kekaguman membabi buta yang akhirnya menguras habis wacana kritis. Sebagai akibat dari pemahaman kitab dalam acuan teks, tanpa memperdulikan konteks kitab itu sendiri. Dalam artian tidak meyakini adanya gerak sejarah.
Kompleksitas agama menjalar ke ranah kepentingan politik. entah dalam bentuk adu domba antar agama atau penjinakan kaum beragama. menakut-nakuti mereka dengan api neraka dan berbagai stigma bersemi karenanya. Lebih jelasnya bukan memperbaiki moral dalam berpolitik malah menjadikan agama sebagai senjata untuk berkuasa.
Agama yang seharusnya berperan sebagai perekat heterogenitas dan pereda konflik menjadi diragukan eksistensinya. Ajaran seputar moral itu yang seharusnya menuntun kita bukan hanya untuk menghormati perbedaan, tetapi mencintai perbedaan yang mengandung unsur kekayaan atas perbedaan itu sendiri.

Untukmu Comrade..

tesa tanpa antithesa sama saja kita menelan dogma, sintesa tanpa analisa hanyalah hausinasi..
Tiada janji akan surga, tiada ancaman akan neraka.. surga dan neraka cukup sebagai peringatan, agar kita menjauhi sia-sia..
kita tumbuh dalam tempat,ruang,dan waktu yang berbeda..
penjara sekalipun tak bakal mampu mendidik kita menjadi penjilat..
tanpamu puluhan kesaksian ketimpangan ini harus menjadi sampah dan hanya layak tergeletak di tepi trotoar tanpa berlanjut pada tahap analisa..
Tetaplah membangun kesadaran untuk menyingkap gulita. Jadilah saksi dan nyamuk yang mengganggu tidurnya kesadaran para penguasa..
Perjuangan tak butuh nilai tukar yang kecill, dan kebenaran akan mengajari kita arti keberanian..
keep resist comrade..

terjemahan jiwaku..

kau yg ada di sudut hati..
dari mata hati aq dpt mencium harumnya senyummu..
yg alirkan aer suci di hatiku yg dahaga karena penindasan yg membuat perasaanku gersank kemudian hanguz tnpa abu..
kau sellalu menyelinap dalam tiap untaian sajakku yg trangkai dari buah adonan nalar yang tak terbungkus harumnya dogma..
bayangmu slalu menikam hariku..
buatku melayang di persimpangan akal sehat,dan menambah penyesaln yg tak berujung..
semoga kejernihan hatimu tetap terjaga..
kunanti di menara kehampaan..
dalam dekapan mimpi..


070707

"Konsep" yang hilang sebelum "aplikasi"

Siang itu (24/8) Halaman Fakultas Sastra digenangi dengan MaBa. Terlihat panitia BOMB '10 berbaris di depan maba dengan mimik muka yang sedikit terbalut nervous. Tentu saja ini bukanlah semacam hal yang aneh, itu semua karena memang inilah penampilan perdana kami di depan 270 MaBa Fakultas Sastra. Tiba-tiba si kudsi (sie.acara) menyambar mic untuk mengambil alih jalanya acara dengan berlagak macam MC. Beberapa saat kemudian mic diserahkan pada ratih (co.komdis), dengan lantang ia merapikan barisan maba dengan meneriakkan beberapa komando khas militer.



Setelah barisan maba dianggap rapi, panitia seperti kehilangan konsep acara. Mungkin beberapa ingatan yang terbangun dari konsensus forum termakan oleh rasa nervous yang berlebihan. Sehingga ada satu rangkaian acara yang dirasa terputus dan hilang yaitu pengelompokan maba dan perkenalan pendamping pada kelompok masing-masing. Memang acara tersebut hilang sebagai gantinya ratih langsung mensosialisasikan seputar atribut yang harus dipakai MaBa untuk tanggal 27 september nanti. Semestinya kami berupaya mengelompokkan maba terlebih dahulu agar segala informasi yang terasa sulit dicerna maba dapat ditanyakan langsung pada pendampingnya.



Selang beberapa detik aku tak mendengar suara panitia dari pengeras suara. Semacam jeda yang memancing kedatangan anomali tentang kinerja kepanitiaan. Hingga mengundang refleksitas kepalaku untuk menoleh ke barisan panitia. Ternyata beberapa orang kemahasiswaan lagi bernegosiasi dengan panitia.



Pak santiman berada di samping kanan barisan, sedang mengutarakan beberapa kemauannya sembari berharap mic berada ditanggannya. Heru ( sosok jejaka kemahasiswaan yang konon katanya penggila wanita) sedang berbincang dengan panitia lainya tepat di belakang Santiman. Sedangkan si doraemon Satiman menyilangkan kedua tanganya tepat di atas dadanya sambil ngobrol dengan Opel (sie.humas) di barisan paling belakang, tepatnya didepan pintu yang berlantai tinggi di sayap kiri aula.



Shittt....!!! Ini tak lebih dari semacam provokasi dadakan yang menimpa panitia BOMB '10. Rupanya mereka berharap maba harus menyelesaikan FKRS pada hari ini juga. Ah, bukanya tahun kemarin malah molor sampai sekitar tiga hari. Aku pun berupaya mendekati santiman sambil berkata, “gini aja pak.. gimana kalau kasih waktu aja kami tiga puluh menit untuk nyelesain ini, terus kami kembalikan maba kedalam kelas lagi..”, tapi rasanya seperti sedang bernego dengan batu besar. Tak ada jawaban atau apapun yang menunjukan respon dari kata-kataku tadi. Mungkin amarahku yang terlanjur membatu takkan kuledakkan tepat di mukanya karena ini bukan demonstrasi. Pemaksaan negosiasi demi memperjuangkan kepentingan kaum mayor. Semua itu terlalu berlebihan jika dilakukan karena maba akan lebih membutuhkan pemrogram mata kuliahnya daripada ospek fakultas.



Setelah aku sedikit menganalisa beberapa metode kepanitiaan yang ternyata banyak mengabaikan Job Desciptionnya. Hingga akhirnya terjadi miss comunication antara panitia dengan trio kemahasiswaan itu. Walaupun si kusnadi (ketupat) mengaku telah meminta izin pak hadiri ( pengakuanya di depan forum evaluasi pasca kegiatan teknis ini) tetapi beberapa dari kami merasa belum kuat dikarenakan belum mengantongi izin dari kemahasiswaan. Hingga akhirnya si santiman berhasil menguasai mic dengan mendendangkan beberapa petisi seputar FKRS dan mengumumkan pada maba untuk kembali lagi jam empat sore di halaman ini untuk melanjutkan kegiatan ini. Jam empat tersebut adalah keputusan mendadak dari beberapa panitia yang sempat bergulat dalam arena negosiasi. Setelah itu MaBa pun bubar dengan beberapa suara gemuruh dari barisan, entahlah mereka langsung pulang atau meneyelesaikan FKRSnya.



Pasca kegiatan yang terputus itu, beberapa kritik maba menghujamku. Diantaranya seperti apa yang dikatakan MaBa Jurusan Sastra Indonesia, "panitia seperti gak niat", mungkin ini ada benarnya jika kami berupaya melirik kedalam tubuh kepanitiaan yang lebih dominan dihuni oleh orang awam dibidang ini. Satu lagi sebuah kritik dari seorang MaBa yang menitipkan argumenya kepada Alfan (Sie. Pubdekdok). Tentang contoh ID Card buat MaBa yang hanya ditunjukan pada MaBa dengan barisan paling depan saja, aku rasa mereka terlalu manja. Padahal tadi pagi aku dan Firman (Co. Perlengkapan) meminta izin bagian perlengkapan untuk memasang pamflet seputar atribut maba. Bahkan kami berdua dengan bantuan Ratih sudah menempel atribut dan tatib maba di beberapa kaca sekitar area yang sering dilalui maba.



Sepertinya acara tersebut telihat kacau karena mentahnya pemahaman tentang konsep yang dirakit perlahan dalam forum. Hal ini yang menjadi sumber efek domino karena kegagalan mengconvert konsep kedalam wujud aplikasi teknis dilapangan.
14/8/10

.....

Ah, aku bingung.. entah pada siapa harus kutuangkan kegelisahan ini. Pada pohon, hewan, atau manusia yang tak sedikitpun menyadari jika tuhannya hanya menciptakan otak bukan pikiran araupun ide. Entahlah mereka menyadari atau tidak jika waktu kita termakan liburan dua minggu pra dan pasca hari raya.

Tapi, coba lihat apa yang telah kita lakukan.. “kosong”.. semua orang berpikir jika mereka adalah gelas yang siap diisi. Tanpa pernah menyadari seberapa besar ukuran gelas yang mereka miliki.
Bukan menjadi hal yang aneh jika beberapa orang beratap ekstra hanyalah menjadi patung-patung yang ditata melingkar dalam ruangan. Hingga mirip dengan suasana forum patung.
Sungguh, aku masih kesulitan jika harus merumuskan siapa diantara kita yang terorganisir dalam kawan ataupun lawan. Tapi, aku takkan memalingkan muka dari seberat apapun masalah yang berjumpa denganku. Mungkin semua itu karena aku tak siap hari ini, melainkan aku telah siap memperkosa semua masalah sudah dari jauh hari sebelum hari ini.
Apa jadinya jika forum terus diteriaki suara profokasi yang menganggap eksistensi personal menjadi agung. Dan bukan bukan hanya sekedar ramalan jika kami berpikir semua yang terkumpul akan hancur berserakan dan menjauh. Kemudian jauh sekali dari kesan mustahil bila apa yang menjauh bisa melingkar mencicipi hidangan satu emosional yang sama.


14810

Senin, 19 April 2010

Mulan ; Jendral wanita yang rela menyumbang darahnya di medan perang


Bangsa WEI yang makmur berada di bawah ancaman kekejaman suku Rouran yang buas. Guna menghadapi ancaman itu, raja pun melaksanakan perintah wajib militer pada warganya untuk menyumbang tenaga demi membela tanah air.
Hal tersebut mengundang Titah raja bahwa keluarga petani menyumbangkan makanan, sedangkan keluarga militer wajib ikut berperang sebagai kontribusi. Ayah Mulan yang sedang menderita sakit keras dan tak mempunyai keturunan lelaki untuk mewakilinya pergi ke medan perang.
Produser mendeskripsikan Mulan sebagai wanita cantik namun tomboy. Zhao Wei yang berperan menjadi Hua Mulan nekad menyamar jadi lelaki untuk bersikeras mendaftarkan diri, untuk menggantikan ayahnya Hua Hu yang bernama asli Rongguang Yu ke medan perang guna mengabdi pada negara. Resiko ini Mulan ambil demi ayahnya walaupun dengan resiko jika rahasianya terbongkar, maka hukum penggal kepala akan segera menimpanya.
Identitas Mulan hampir saja terbuka, saat ia mandi di tengah malam. Tak disangka, di kolam tempat ia mandi ada Wentai yang diperankan oleh Chen Kun, rupanya sedang menyelam saat ia masuk ke dalam kolam. Perkelahian kecil sempat terjadi, dan Mulan lebih memilih mengalah dengan segera menyelam dan melarikan diri dari Wentai.
Namun nahas baginya, keesokan harinya terjadi pemeriksaan barang karena sabuk giok milik keponakan pangeran yang hilang. Setelah beberapa saat tidak ada yang mengaku, akhirnya komandan memerintahkan semua prajurit untuk membuka baju. Walau bukan pelaku, Mulan akhirnya terpaksa mengaku sebagi pencuri demi memendam rapat identitasnya. Ia akhirnya diseret ke dalam kamar tahanan, untuk dijatuhi hukuman mati.



Untunglah sebelum hukuman mati dilaksanakan, tentara Rouran datang menyerang. Wentai yang memiliki rasa kuat kalau Mulan adalah seorang wanita, tentunya dengan melihat tanda bekas luka ditangan Mulan berkat perkelahian denganya malam itu di kolam. Wentai yakin Mulan tidak mencuri giok itu dan Mulan pasti memiliki alasan tersendiri untuk bergabung di medan perang. kemudian ketika para perampok menyerang kerajaan mereka, Wentai segera membebaskan Mulan kemudian menyuruhnya untuk segera pergi menyelamatkan diri. Detik itulah seketika Mulan masuk ke medan pertempuran dan berhasil menyelamatkan para prajurit dari kematian dengan melumpuhkan Jendral musuh.
Karena keberanian Mulan, Kaisar memerintahkanya untuk menjadi wakil komandan. Pertempuran demi pertempuran dijalani Mulan, hingga akhirnya berhasil menjabat jenderal seiring kematian satu persatu temannya di medan perang. Hingga satu saat, Mulan mengalami kejenuhan bertarung untuk membunuh lawan. Saat itulah musuh kembali menyerbu dengan kekuatan besar.
Hingga sampailah pada perang terbuka di padang pasir yang sangat luas. Srategi Mulan rupanya meleset sehingga menyebabkan logistik, petugas medis dan semua obat-obatan tersapu angin gurun. Mulan dan pasukannya yang terluka parah terpaksa hidup dalam kehausan dan kelaparan. Dalam kondisi Mulan yang kritis, Wentai menemaninya dan memberi Mulan minuman dari darahnya sendiri. kemudian Wentai yang merupakan anak ketujuh dari Kaisar Wei mengajukan diri sebagai sandera ke pihak musuh, dengan syarat menukar dirinya dengan logistik dan pasokan tenaga medis. Di saat Wentai ditawan, diam-diam Putri Rouran jatuh hati padanya. Tak lama setelah itu, Mulan pergi menyamar ke markas musuh untuk membunuh Danyu Rouran. Demi perdamaian antara Bangsa Wei dan Rouran, kaisar memerintahkan untuk mengawinkan Wentai keturunanya dengan Putri Rouran.
Film berdurasi 115 garapan Sutradara Jingle Ma ini, mengalir bagaikan simphony dari untaian not balok yang Harmony. Walaupun sebelumnya telah ada versi animasi kartun buatan Disney, tetapi karakter Mulan yang dihadirkan Jingle Ma sebagai gadis cantik tapi tomboy memberikan kesan lebih pada film action ini. Cerita yang menggambarkan perjuangan seorang anak perempuan untuk menggantikan ayahnya ke medan perang, tentu bisa dijadikan pelajaran berharga. Pengorbanan hati Mulan untuk menukar kekasihnya dengan perdamaian akan mengalirkan suasana dramatis pada ruang tontonan anda.