Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Selasa, 31 Agustus 2010

Sang Terminal kultural

Anak sekret sebelah menjuluki sang master puisi , sekret sebelahnya lagi sering menghadiahkan panggilan sang veteran, bahkan beberapa oknum persma membaptisnya sebagai “tuhan”. Dengan goresan senyum yang tak bernominal makna aku ingin memanggilnya dengan sebutan bapak. Seorang mahluk aneh yang rela mengunyah kegelisahan si pasien. Rela memecah waktu menjadi mozaik yang dengan mudah kami ambil.

Bukan hanya menjadi sampah tempat berkoloninya segala curahan jiwa, tapi lebih dari itu dia sangat mahir mendaur ulang curhatan dengan mempersembahkan output berupa titik rekomendasi. Dari berbagai macam sisi dia berupaya mengintip sebuah masalah hanya untuk sekedar menawarkan rambu-rambu yang menjadikan masalah itu bisa dengan mudah kami lalui.

Beberapa ucapan mirip sautan kicau burung pernah berkata tentang deadline DO akan diputuskan ketika mahasiswa berproses selama lebih dari tujuh taun. Tapi si “Ayah” justru memanfaatkan dan malah menjadikan waktu senggang itu untuk “aku” dan “aku yang lainya”.

Dia seolah melompat dari mitos yang mengatakan Mahasiswa selayaknya lulus dalam jangka waktu empat tahun. Aneh, mungkin dia manusia yang mempunyai lebih dari satu hati, Puluhan atau mungkin ratusan (lebay) . usaha untuk melawan arus tentang stereotip mahasiswa abadi, menjadi mahasiswa yang peka terhadap permasalahan di sekitarnya. Walaupun dia tak pernah dinobatkan oleh publik menjadi manusia spesial, setidaknya dia patut mengkantongi mahkota “special one” dariku.

Berbagai macam jenis pasien yang melabuhkan masalah pribadi ataupun lembaga padanya. Hampir semua mahluk yang menggenang di UKM Fakultas Sastra pernah menukarkan masalah padanya. “WOW”.. kata itu pasti akan menjadi refleksitas ketika membaca tulisan ini.

Beberapa ide yang dia transfer padaku hampir menjadi tumpukan yang mengunung. walaupun menjadi sebuah ide tanpa identitas ketika masuk dalam area forum.

Aku yakin tak pernah terbesit dibenaknya untuk menjahili lembaga yang pernah mengeluh padanya. Justru dia menjadi titik balik ritual jahil itu. Hal ini dikarenakan bebarapa lembaga yang membaptisnya menjadikanya terminal tempat bercumbunya masalah A, B, dan seterusnya. dalam aroma kultural dia berupaya mengikat persaudaraan antar lembaga. Akar yang perlahan tumbuh melingkar dan membentuk suatu ikatan kerap kali menjadi rutinitasnya.

Siapakah mahluk aneh ini? Jangan kuatir, cukup dengan modal usaha untuk mampir di komplek UKM Fakultas Sastra dengan mudah kamu akan menemui sosok ini. Juru kunci dan tempat penitipan beberapa sekret yang mekangkang di komplek itu. Datanglah dan rasakan kehadiranya lewat tafsiran subyektif dari tulisan ini.

(MARSINAH) Kegelapan yang tak kunjung terang

Ketidak adilan di negri ini hanya untuk dirasakan, bukan untuk diungkap kebenaranya. Gugatan ini yang akan mengantar kita. tentunya untuk mengorek kembali coretan hitam negri ini yang perlahan sengaja dipendam. Hingga kini tak adal kepastian hukum yang mampu menjerat mata rantai pembunuh “MARSINAH”. Mungkin karena hadirnya ramalan jika kasus ini transparan akan memberikan efek domino yang berdampak sistemik bagi eksistensi penguasa orba. Hingga merangsang penguasa untuk memonopoli kebenaran versi mereka.

Mayoritas warga negara kekinian memang tak pernah menyadari. Bahwa “MARSINAH” adalah kaum hawa yang tegas memperjuangkan haknya berangkat dari elemen buruh. memang perjuanganya dalam ruang kecil kerangka pabrik yang relatif tak terkenal. Akan tetapi, gema kuantitas juangnya melambung luas melampaui sejuta cakrawala.
Meksipun ia sosok yang tak mencandu kedekatan emosional untuk menjadi idola publik. Paling tidak MARSINAH berhak menjadi kandidat pahlawan yang linear dengan beberapa tokoh pejuang yang hadir di medan perang seperti Dewi Sartika.

Dimata publik, eksistensinya sangat berbeda dengan KI Haji Abdurrahman wahid. ketika terdengar kabar atas kematia sosok yang renyah di panggil Gus Dur itu. Ribuan orang berlarian untuk menjunjung beliau agar mendapat title “Sang Guru Bangsa”. Bagaikan muntahan manusia dari berbagai pelosok negri yang berserakan mengantar kepergian jenazahnya.

Marsinah hanya manusia biasa yang tak mampu mempraksiskan konsep hegemoni Gramsci. Tak ada kekuasaan entah dalam bentuk struktur atau klasifikasi masyarakat yang mampu menjadi pemicu penanaman pengaruh darinya. Yang ada hanya bekal kemampuanya membaca realita sosial kemudian memberikan penyadaran untuk kawan seprofesinya.

Lain halnya dengan pahlawan negri ini yang dapat dipastikan borjuis ataupun embrio yang lahir dari rahim priyayi. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini merupakan buah kasih antara Sumini dan Mastin. Di usianya yang menginjak tiga Tahun, Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Masa balitanya dihabiskan dengan meneguk asuhan kasih sayang nenek dan bibinya.

Arena menggali sumber kebutuhan hidup di Desanya yang semakin sempit. Memaksanya meruncingkan tekat untuk bergelut di kota yang penuh gumpalan polusi. Di sebuah Pabrik arloji daerah kelurahan Siring Porong ia menggantungkan nasibnya.

Dengan lantang ia menyuarakan perlawanan di tengah lautan demonstran. Menyerukan tuntutan tentang tunjangan tetap yang belum dibayar pengusaha dan penetapan upah minimum sebesar 2.250/hari. Dengan landasan hukum sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Perempuan revolusioner ini yang menjadi pemicu bagi kawan-kawanya untuk mengambil kembali haknya yang dirampas oleh pengusaha.

Namun beberapa hari setelah proses negosiasi dengan pengusaha PT.CPS. Militer mendesak 13 buruh untuk menandatangani surat PHK. Belasan buruh yang diciduk Militer itu diludahi dengan berbagai bentuk stigma yang memvonis bahwa mereka golongan PKI yang memberontak negara.
Kemarahan Marsinah meluap di ubun-ubun kemudian meledak saat mengetahui perlakuan tidak humanis para tentara terhadap kawan-kawannya. Dengan gundah ia raih surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya, lantas pergi. Tapi entah kemana ia pergi, inilah yang menjadi awal kehilangan Marsinah.

Sayu-sayu entah darimana asalnya terdengar berita tentang kematian Marsinah.Mayatnya ditemukan di gubuk bersebelahan dengan sawah petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk (9/5/1993). Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul.

Lain halnya dengan sosok Kartini yang berjuang dengan menarasikan perlawanan melalui tulisan dan surat. Marsinah berjuang untuk mendapatkan hak-haknya dengan tenaga secara frontal, bahkan mempertaruhkan nyawa sebagai nilai tukar terhadap hak kaum buruh. Seharusnya simbol pejuang wanita ini menjadi bahan bakar bagi kita untuk melawan segala bentuk penindasan.

Seperti apa yang dikatakan Supaat Lathief dalam bukunya SASTRA : Eksistensialisme-Mistisisme Religius, Hidup adalah sebuah ironi. Pada hakikatnya manusia tidak pernah meminta agar dilahirkan ke dunia. Tetapi ketika ia lahir akan segera dihadapkan pada sebuah realitas yang menyakitkan hati dengan terpaksa mencintai kehidupan. Setelah itu suka atau tidak suka, senang ataupun tidak, mau tidak mau kelahiran dan kematian menjadi hal absolut yang harus dilalui.

Tapi kita tidak bisa mengingkari bahwa jiwanya tidak bisa dipenjara. Jiwanya akan membumbung tinggi untuk berubah menjadi lidah-lidah api yang akan menghanguskan segala bentuk ketidakadilan. Kematian adalah mediator untuk proses transendensi manusia itu sendiri. Badan mengidap kualitas kebendaan yang akan musnah dikala kematian datang, sedangkan jiwa mengandung kualitas rohani yang abadi walaupun kematian itu tiba.

Monopoli Kebenaran Versi Kaum Fundamentalis Agama

“Agama adalah petunjuk ke jalan yang benar,
tetapi bukan kebenaran itu sendiri”
Beberapa kata yang terangkum dalam kalimat di atas mengandung efek samping yang membuat kita sedikit gauk-garuk kepala, mengarahkan pandangan ke atas, atau mengernyitkan dahi sejenak. Suatu pernyataan yang menganggap agama sebagai jalan, bukan diperlakukan sebagai tujuan akhir yang mutlak disepakati. Lebih jelasnya dianggap titik akhir atau ekspresi final suatu kebenaran. Kemudian berujung pada pengakuan agamanya yang paling benar dan harus ditegakkan hingga beragam cara ekstreme dilakukan.
Diantar oleh beberapa bahan obrolan yang sempat menjadi adegan panas di arena warung kopi. Agama yang sejatinya mengajarkan kedamaian, tiba-tiba membuka wajah seram di balik topengnya. bom bunuh diri, pembantaian, dibakar hidup-hidup, penghancuran gedung keagamaan, diperkosa secara massal, dan hal-hal lain yang menunjukkan wajah mengerikan dari suatu agama.
Karen Armstrong dalam "Sejarah Tuhan" juga telah membedah virus Fundamentalisme agama ini dengan komprehensif, sampai pada suatu kesimpulan bahwa Fundamentalisme tidak ayal lagi sangat dekat dengan radikalisme kekarasan”.
Sedikit belajar dari fenomena hindu yang masuk dengan berupaya menyesuaikan dengan nilai-nilai kebudayaan di indonesia. Sebagai contoh warga hindu di india yang mensakralkan hewan sapi hingga hewan tersebut diagungkan dan dianggap suci. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, umat hindu di negri ini bebas menyembelih hewan yang dianggap suci itu.
Lain halnya dalam konteks kekinian beberapa agama justru menolak nilai-nilai kebudayaan tradisional maupun yang telah berkembang.
Beberapa kelompok muslim yang bercita-cita mendirikan negara islam dengan sistem khilafah tentunya menurut versi mereka masing-masing. Yang perlahan merotasi kebudayaan suatu negara dengan mengembalikan pada masa lalu periode kejayaan agamanya. Dalam bayang-bayang “de javu” melahirkan kekaguman membabi buta yang akhirnya menguras habis wacana kritis. Sebagai akibat dari pemahaman kitab dalam acuan teks, tanpa memperdulikan konteks kitab itu sendiri. Dalam artian tidak meyakini adanya gerak sejarah.
Kompleksitas agama menjalar ke ranah kepentingan politik. entah dalam bentuk adu domba antar agama atau penjinakan kaum beragama. menakut-nakuti mereka dengan api neraka dan berbagai stigma bersemi karenanya. Lebih jelasnya bukan memperbaiki moral dalam berpolitik malah menjadikan agama sebagai senjata untuk berkuasa.
Agama yang seharusnya berperan sebagai perekat heterogenitas dan pereda konflik menjadi diragukan eksistensinya. Ajaran seputar moral itu yang seharusnya menuntun kita bukan hanya untuk menghormati perbedaan, tetapi mencintai perbedaan yang mengandung unsur kekayaan atas perbedaan itu sendiri.

Untukmu Comrade..

tesa tanpa antithesa sama saja kita menelan dogma, sintesa tanpa analisa hanyalah hausinasi..
Tiada janji akan surga, tiada ancaman akan neraka.. surga dan neraka cukup sebagai peringatan, agar kita menjauhi sia-sia..
kita tumbuh dalam tempat,ruang,dan waktu yang berbeda..
penjara sekalipun tak bakal mampu mendidik kita menjadi penjilat..
tanpamu puluhan kesaksian ketimpangan ini harus menjadi sampah dan hanya layak tergeletak di tepi trotoar tanpa berlanjut pada tahap analisa..
Tetaplah membangun kesadaran untuk menyingkap gulita. Jadilah saksi dan nyamuk yang mengganggu tidurnya kesadaran para penguasa..
Perjuangan tak butuh nilai tukar yang kecill, dan kebenaran akan mengajari kita arti keberanian..
keep resist comrade..

terjemahan jiwaku..

kau yg ada di sudut hati..
dari mata hati aq dpt mencium harumnya senyummu..
yg alirkan aer suci di hatiku yg dahaga karena penindasan yg membuat perasaanku gersank kemudian hanguz tnpa abu..
kau sellalu menyelinap dalam tiap untaian sajakku yg trangkai dari buah adonan nalar yang tak terbungkus harumnya dogma..
bayangmu slalu menikam hariku..
buatku melayang di persimpangan akal sehat,dan menambah penyesaln yg tak berujung..
semoga kejernihan hatimu tetap terjaga..
kunanti di menara kehampaan..
dalam dekapan mimpi..


070707

"Konsep" yang hilang sebelum "aplikasi"

Siang itu (24/8) Halaman Fakultas Sastra digenangi dengan MaBa. Terlihat panitia BOMB '10 berbaris di depan maba dengan mimik muka yang sedikit terbalut nervous. Tentu saja ini bukanlah semacam hal yang aneh, itu semua karena memang inilah penampilan perdana kami di depan 270 MaBa Fakultas Sastra. Tiba-tiba si kudsi (sie.acara) menyambar mic untuk mengambil alih jalanya acara dengan berlagak macam MC. Beberapa saat kemudian mic diserahkan pada ratih (co.komdis), dengan lantang ia merapikan barisan maba dengan meneriakkan beberapa komando khas militer.



Setelah barisan maba dianggap rapi, panitia seperti kehilangan konsep acara. Mungkin beberapa ingatan yang terbangun dari konsensus forum termakan oleh rasa nervous yang berlebihan. Sehingga ada satu rangkaian acara yang dirasa terputus dan hilang yaitu pengelompokan maba dan perkenalan pendamping pada kelompok masing-masing. Memang acara tersebut hilang sebagai gantinya ratih langsung mensosialisasikan seputar atribut yang harus dipakai MaBa untuk tanggal 27 september nanti. Semestinya kami berupaya mengelompokkan maba terlebih dahulu agar segala informasi yang terasa sulit dicerna maba dapat ditanyakan langsung pada pendampingnya.



Selang beberapa detik aku tak mendengar suara panitia dari pengeras suara. Semacam jeda yang memancing kedatangan anomali tentang kinerja kepanitiaan. Hingga mengundang refleksitas kepalaku untuk menoleh ke barisan panitia. Ternyata beberapa orang kemahasiswaan lagi bernegosiasi dengan panitia.



Pak santiman berada di samping kanan barisan, sedang mengutarakan beberapa kemauannya sembari berharap mic berada ditanggannya. Heru ( sosok jejaka kemahasiswaan yang konon katanya penggila wanita) sedang berbincang dengan panitia lainya tepat di belakang Santiman. Sedangkan si doraemon Satiman menyilangkan kedua tanganya tepat di atas dadanya sambil ngobrol dengan Opel (sie.humas) di barisan paling belakang, tepatnya didepan pintu yang berlantai tinggi di sayap kiri aula.



Shittt....!!! Ini tak lebih dari semacam provokasi dadakan yang menimpa panitia BOMB '10. Rupanya mereka berharap maba harus menyelesaikan FKRS pada hari ini juga. Ah, bukanya tahun kemarin malah molor sampai sekitar tiga hari. Aku pun berupaya mendekati santiman sambil berkata, “gini aja pak.. gimana kalau kasih waktu aja kami tiga puluh menit untuk nyelesain ini, terus kami kembalikan maba kedalam kelas lagi..”, tapi rasanya seperti sedang bernego dengan batu besar. Tak ada jawaban atau apapun yang menunjukan respon dari kata-kataku tadi. Mungkin amarahku yang terlanjur membatu takkan kuledakkan tepat di mukanya karena ini bukan demonstrasi. Pemaksaan negosiasi demi memperjuangkan kepentingan kaum mayor. Semua itu terlalu berlebihan jika dilakukan karena maba akan lebih membutuhkan pemrogram mata kuliahnya daripada ospek fakultas.



Setelah aku sedikit menganalisa beberapa metode kepanitiaan yang ternyata banyak mengabaikan Job Desciptionnya. Hingga akhirnya terjadi miss comunication antara panitia dengan trio kemahasiswaan itu. Walaupun si kusnadi (ketupat) mengaku telah meminta izin pak hadiri ( pengakuanya di depan forum evaluasi pasca kegiatan teknis ini) tetapi beberapa dari kami merasa belum kuat dikarenakan belum mengantongi izin dari kemahasiswaan. Hingga akhirnya si santiman berhasil menguasai mic dengan mendendangkan beberapa petisi seputar FKRS dan mengumumkan pada maba untuk kembali lagi jam empat sore di halaman ini untuk melanjutkan kegiatan ini. Jam empat tersebut adalah keputusan mendadak dari beberapa panitia yang sempat bergulat dalam arena negosiasi. Setelah itu MaBa pun bubar dengan beberapa suara gemuruh dari barisan, entahlah mereka langsung pulang atau meneyelesaikan FKRSnya.



Pasca kegiatan yang terputus itu, beberapa kritik maba menghujamku. Diantaranya seperti apa yang dikatakan MaBa Jurusan Sastra Indonesia, "panitia seperti gak niat", mungkin ini ada benarnya jika kami berupaya melirik kedalam tubuh kepanitiaan yang lebih dominan dihuni oleh orang awam dibidang ini. Satu lagi sebuah kritik dari seorang MaBa yang menitipkan argumenya kepada Alfan (Sie. Pubdekdok). Tentang contoh ID Card buat MaBa yang hanya ditunjukan pada MaBa dengan barisan paling depan saja, aku rasa mereka terlalu manja. Padahal tadi pagi aku dan Firman (Co. Perlengkapan) meminta izin bagian perlengkapan untuk memasang pamflet seputar atribut maba. Bahkan kami berdua dengan bantuan Ratih sudah menempel atribut dan tatib maba di beberapa kaca sekitar area yang sering dilalui maba.



Sepertinya acara tersebut telihat kacau karena mentahnya pemahaman tentang konsep yang dirakit perlahan dalam forum. Hal ini yang menjadi sumber efek domino karena kegagalan mengconvert konsep kedalam wujud aplikasi teknis dilapangan.
14/8/10

.....

Ah, aku bingung.. entah pada siapa harus kutuangkan kegelisahan ini. Pada pohon, hewan, atau manusia yang tak sedikitpun menyadari jika tuhannya hanya menciptakan otak bukan pikiran araupun ide. Entahlah mereka menyadari atau tidak jika waktu kita termakan liburan dua minggu pra dan pasca hari raya.

Tapi, coba lihat apa yang telah kita lakukan.. “kosong”.. semua orang berpikir jika mereka adalah gelas yang siap diisi. Tanpa pernah menyadari seberapa besar ukuran gelas yang mereka miliki.
Bukan menjadi hal yang aneh jika beberapa orang beratap ekstra hanyalah menjadi patung-patung yang ditata melingkar dalam ruangan. Hingga mirip dengan suasana forum patung.
Sungguh, aku masih kesulitan jika harus merumuskan siapa diantara kita yang terorganisir dalam kawan ataupun lawan. Tapi, aku takkan memalingkan muka dari seberat apapun masalah yang berjumpa denganku. Mungkin semua itu karena aku tak siap hari ini, melainkan aku telah siap memperkosa semua masalah sudah dari jauh hari sebelum hari ini.
Apa jadinya jika forum terus diteriaki suara profokasi yang menganggap eksistensi personal menjadi agung. Dan bukan bukan hanya sekedar ramalan jika kami berpikir semua yang terkumpul akan hancur berserakan dan menjauh. Kemudian jauh sekali dari kesan mustahil bila apa yang menjauh bisa melingkar mencicipi hidangan satu emosional yang sama.


14810