Jika anda Islam,
Maka anda pasti tahu
bagaimana cara memberi sakralitas pada masjid
Jika anda Hindu,
Maka anda pasti tahu
bagaimana cara memberi sakralitas pada Pura
Jika anda pecinta teater,
Maka anda pasti tahu
bagaimana cara memberi sakralitas pada panggung
(Halim Bahriz)
Kutipan di atas
merupakan prawacana yang dimunculkan dari olah vokal Halim Bahriz, Sutradara
sekaligus pembuat naskah Pementasa Teater Bertema Hipnotika (23/12), oleh
Teater Pendopo Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian, di Gedung Pusat Kegiatan
Mahasiswa, Universitas Jember sebelum pementasan berlangsung. Pementasan berdurasi
lebih dari satu jam tersebut disajikan mini kata, akan tetapi kaya akan simbol
yang mampu membangkitkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Di awal
pertunjukkan, ada gairah membosankan yang masuk kepada penonton, termasuk saya
yang berasal atau ditularkan oleh atmosfer suasana panggung. Serasa sedang
menonton kegiatan yang terus-menerus diulang hingga rutinitas itu sendiri
kehilangan makna. Rutinitas kosong, tanpa esensi. Sebagaimana kutipan di atas,
sang sutradara seolah sedang berkata, kita harus menciptakan banyak hal hanya agar
kita sendiri menjadi budak bagi apa yang kita ciptakan.
Dengan sorotan
sinar lampu bewarna kuning, seorang penari berbaju layaknya penari gandrung tanpa
kipas dan dengan mahkota entah dari tarian apa, membaca koran di atas level
untuk mengisi prolog. Sementara di sekitarnya seorang badut dan gadis kecil
menata letak kursi. Selang beberapa saat penari tadi murka kemudian membakar
koran sembari ekpresinya berubah menjadi sinis. Lima pemain menduduki
masing-masing kursi. Mereka terbangun layaknya seseorang yang baru saja membuka
mata setelah tidur panjang di tempat tidur. Lalu mereka bergegas mengintari
pangung secara acak sambil mendorong kursi layaknya trolly, keranjang belanja atau wadah.
Sepertinya mereka
mencoba mengintegrasikan dirinya ke dalam rutinitas. Namun ketika masuk ke
dalam rutinitas, ternyata masing-masing dari mereka dikawal oleh ilmu
pengetahuan atau wacana. Dalam hal ini properti kursi yang dibalut dengan
sobekan kertas koran bisa dipersepsikan sebagai referensi atau wacana ruang
dari tiap aktor. Barangkali properti tersebut bisa mewakili dua hal, yaitu
ruang dan basis habitus dari ruang itu sendiri, yaitu koran.
Kemudian hadir
aktor lain di antara kelima aktor tadi. Dia berinfiltrasi ke dalam panggung
dengan memakai baju kotak-kotak merah hitam. Seperti yang dituangkan seseorang
dalam forum apresiasi pasca pementasan, itu mewakili atribut Jokowi. Seorang aktor
tersebut lantas melempar koran ke penonton. Seperti sedang membagi potongan
dari dirinya kepada publik setelah memanifestasikan diri di dalam koran
tersebut. Lalu satu-persatu dari kelima
tokoh yang mewakili publik dicekoki koran tersebut.
Ketika moment
tersebut berlangsung, datang lagi si badut yang mewakili sebuah candaan atau
lelucon dengan seorang gadis kekanak-kanakan yang bisa dikatakan menaburkan
aura permainan, lugu, dan mengasyikkan. Injeksi besar-besaran sedang dilakukan
untuk merangsek masuk bukan hanya pada kuliat luar yaitu ruang publik. Namun lebih
dari itu, dia masuk pada ruang privat. Dalam artian turut mengonsep bagaimana
seharusnya kelima tokoh yang mewakili publik, bertingkah laku dalam kehidupan.
Lima aktor
tersebut dipersepsikan oleh sutradara sebagai perwakilan dari beberapa elemen
masyarakat. Ada akademisi, pekerja kantoran, pemuda, dan dokter. Masing-masing
aktor juga mewakili respon terhadap lima media cetak harian yaitu Surya, Memo,
Kompas, Sindo, dan Jawa Pos. Secara sederhana bisa dilihat dari properti yang
dipakai, lima media cetak dari perusahaan pers umum.
Anehnya cara membaca dan cara merespon kelima
aktor tersebut sama. Entah itu cara memahami atau mendalami dan cara
bereskpresi terhadap realitas dalam koran. Saya jadi curiga jika media kekinian
meskipun berlainan nama, namun secara konten satu dengan lainnya tak jauh beda.
Peristiwa yang mereka kabarkan sama, namun cara mengemas informasi dan cara
mendeskripsikan isu bisa jadi berbeda.
Sempat kelima
tokoh tersebut secara berulang kali meremas dan membuang koran. Akan tetapi
mereka lalu mengambi dan membaca koran itu kembali. Seperti ada rutinitas
mutlak yang tak mampu mereka hindari yang telah dirasuki oleh bujukan untuk
mengkonsumsi kembali. Jika tidak melakukan hal itu, mereka akan sakhaw. Kelimbungan atau bingung dengan
sendirinya. Hingga titik jenuh menyisir klimaks, kelima tokoh mencoba
menghindari koran yang telah dia buang. Belum selesai mengatur strategi
persembunyian, ternyata mereka kepergok oleh koran itu sendiri.
Ada satu
fragmen yang barangkali berada pada titik
puncak dari alur pertunjukkan. Di saat seorang penari menghamburkan nuansa
erotis dalam gerak dan gestur tubuh. Datanglah seorang aktor laki-laki yang
memakai bajuk kotak-kotak sebagai simbolisasi kekuatan partai politik. Laki laki
tersebut masuk ke dalam rok penari wanita. Setelah itu mereka berdua menari
bersama dengan gerakan yang selaras.
Saya pernah
menjumpai tarian tersebut dalam film Opera Jawa. Sebagian kecil yang saya ingat dalam film tersebut divisualisasikan simbol dari
perselingkuhan. Bisa jadi pencomotan adegan dalam film tersebut oleh sutradara
mempunyai maksud serupa. Namun maksud dalam film mencoba dikontekskan dalam
alur dan ide naskah teater Hipnotika. Dalam hal ini perselingkukan bukan lagi
antara selir kerajaan dengan para prajurit, akan tetapi antara kuasa perusahaan
pers yang mengatur alur hidup kebudayaan masyarakat dengan kepentingan partai
politik.
Pernah suatu
hari saya iseng bertanya kepada seorang tukang becak di daerah Jember. “Siapa
presiden Indonesia?” sederhana sekali pertanyaan saya. Kemudian tukang becak
tersebut menjawab dengan enteng, “Jokowi.” Saya kemudian terbahak. Si tukang
becak pun menunjukkan kepada saya mimik muka kebingungannya. Dalam hal ini
sangat mungkin jika media telah berulangkali bertindak untuk melakukan
sentralisasi kota manapun bagian dari Indonesia ke Jakarta. Informasi mengenai
Jakarta atau khususnya Jokowi secara masif dilempar untuk menerjang pola pikir
publik. Sesak sekali, ruang publik banjir sampah.
Hipnotika
mencoba mengupas dan menyajikan kepada para penonton, bagaimana pola kerja
internal perusahaan pers umum membentuk kuasa. Di dalam pola kerja tersebut terkonstruksi
bagaimana cara mengatur publik. Dalam artian perusahaan menskenariokan
bagaimana caranya agar konsumen bahagia, menangis, marah, cemas, ketakutan, dan
sebagainya. Meskipun pada realitasnya si konsumen itu sendiri tidak
menyadarinya. Atau bahkan menyadarinya sebagai ekpresi natural yang lahir dari
kehendak dirinya sendiri. Padahal jika ditelaah lebih dalam, respon yang muncul
dari kelima aktor terhadap apa yang dia baca, sebenarnya telah digerakkan dari
luar dirinya.
Maka dari itu
sutradara mengklaim realitas kekinian yang ia rangkum dalam sakralitas
pertunjukkan teater tersebut, sebagai era perobotan individu atau konsumen. Publik
telah dihipnotis, manusia telah melakukan banyak hal tanpa disadari. Masyarakat
telah dikotrol dan digerakkan oleh kuasa perusahaan pers umum.
Sederhananya
saja, eksternalisasi dari individu itu sendiri akan secara tidak langsung
menjadikan individu tersebut sebagai objek. Misalnya saja contoh alat kerja
pacul yang diciptakan untuk para petani. Peng-ada-an pacul berdasarkan daya
cipta dari manusia. Akhirnya para petani menggunakan pacul tersebut untuk
bekerja di ladang. Lama kelamaan, apa yang bisa petani lakukan di ladang tanpa
bantuan pacul? Ada banyak kemungkinan, barangkali petani tersebut akan segera
membeli, meminjam, atau bahkan memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Hal tersebut
juga akan terjadi pada pembuat pacul itu sendiri jika dia bertindak menjadi
petani.
Ada hal yang
merisaukan dari ekternalisasi ini. Bagaimana cara pembuat pacul membatasi atau
mencegah perbuatan-perbuatan yang akan muncul dari paculnya. Misalnya saja yang
paling mengerikan yaitu, ketika pacul dipakai oleh petani untuk membunuh. Bukankah
hal tersebut bisa dan sudah seringkali terjadi. Pada akhirnya kita harus
sama-sama memahami jika pada akhirnya setiap manusia akan takluk atau tak
berdaya terhadap apa yang ia ciptakan sendiri.
Sama halnya
dengan perusahaan pers. Mereka ada atas dasar kemungkinan mutlak bahwa publik
berhak untuk tahu. Memperoleh dan menyampaikan gagasan adalah hak asasi dari
masing-masing individu. Maka dari itu konsekuensi dari meng-ada-nya pers umum
ialah, menjadikan publik sebagai sasaran utama bagi loyalitasnya. Namun jika
orientasi perusahaan pers sudah melampaui fungsi dasar yang menyangkut mengapa dia
harus ada. Misalnya saja lebih dekat kepada tokoh politik, kelompok, pemilik
perusahaan besar pertambangan yang mengeksploitasi negeri ini, dan sebagainya. Publik
jangan diam saja, selain pengawalan, mereka harus melakukan tindakan. Jangan
jadi konsumen pasi, jadilah elemen publik yang kritis.[Dieqy Hasbi Widhana]