Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Senin, 23 Desember 2013

Pementasan Teater Hipnotika; Mengkritik Kuasa Media



Jika anda Islam,
Maka anda pasti tahu
bagaimana cara memberi sakralitas pada masjid
Jika anda Hindu,
Maka anda pasti tahu
bagaimana cara memberi sakralitas pada Pura
Jika anda pecinta teater,
Maka anda pasti tahu
bagaimana cara memberi sakralitas pada panggung
(Halim Bahriz)


Kutipan di atas merupakan prawacana yang dimunculkan dari olah vokal Halim Bahriz, Sutradara sekaligus pembuat naskah Pementasa Teater Bertema Hipnotika (23/12), oleh Teater Pendopo Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian, di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa, Universitas Jember sebelum pementasan berlangsung. Pementasan berdurasi lebih dari satu jam tersebut disajikan mini kata, akan tetapi kaya akan simbol yang mampu membangkitkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Di awal pertunjukkan, ada gairah membosankan yang masuk kepada penonton, termasuk saya yang berasal atau ditularkan oleh atmosfer suasana panggung. Serasa sedang menonton kegiatan yang terus-menerus diulang hingga rutinitas itu sendiri kehilangan makna. Rutinitas kosong, tanpa esensi. Sebagaimana kutipan di atas, sang sutradara seolah sedang berkata, kita harus menciptakan banyak hal hanya agar kita sendiri menjadi budak bagi apa yang kita ciptakan.

Dengan sorotan sinar lampu bewarna kuning, seorang penari berbaju layaknya penari gandrung tanpa kipas dan dengan mahkota entah dari tarian apa, membaca koran di atas level untuk mengisi prolog. Sementara di sekitarnya seorang badut dan gadis kecil menata letak kursi. Selang beberapa saat penari tadi murka kemudian membakar koran sembari ekpresinya berubah menjadi sinis. Lima pemain menduduki masing-masing kursi. Mereka terbangun layaknya seseorang yang baru saja membuka mata setelah tidur panjang di tempat tidur. Lalu mereka bergegas mengintari pangung secara acak sambil mendorong kursi layaknya trolly, keranjang belanja atau wadah. 

Sepertinya mereka mencoba mengintegrasikan dirinya ke dalam rutinitas. Namun ketika masuk ke dalam rutinitas, ternyata masing-masing dari mereka dikawal oleh ilmu pengetahuan atau wacana. Dalam hal ini properti kursi yang dibalut dengan sobekan kertas koran bisa dipersepsikan sebagai referensi atau wacana ruang dari tiap aktor. Barangkali properti tersebut bisa mewakili dua hal, yaitu ruang dan basis habitus dari ruang itu sendiri, yaitu koran.


Kemudian hadir aktor lain di antara kelima aktor tadi. Dia berinfiltrasi ke dalam panggung dengan memakai baju kotak-kotak merah hitam. Seperti yang dituangkan seseorang dalam forum apresiasi pasca pementasan, itu mewakili atribut Jokowi. Seorang aktor tersebut lantas melempar koran ke penonton. Seperti sedang membagi potongan dari dirinya kepada publik setelah memanifestasikan diri di dalam koran tersebut.  Lalu satu-persatu dari kelima tokoh yang mewakili publik dicekoki koran tersebut.  

Ketika moment tersebut berlangsung, datang lagi si badut yang mewakili sebuah candaan atau lelucon dengan seorang gadis kekanak-kanakan yang bisa dikatakan menaburkan aura permainan, lugu, dan mengasyikkan. Injeksi besar-besaran sedang dilakukan untuk merangsek masuk bukan hanya pada kuliat luar yaitu ruang publik. Namun lebih dari itu, dia masuk pada ruang privat. Dalam artian turut mengonsep bagaimana seharusnya kelima tokoh yang mewakili publik, bertingkah laku dalam kehidupan.

Lima aktor tersebut dipersepsikan oleh sutradara sebagai perwakilan dari beberapa elemen masyarakat. Ada akademisi, pekerja kantoran, pemuda, dan dokter. Masing-masing aktor juga mewakili respon terhadap lima media cetak harian yaitu Surya, Memo, Kompas, Sindo, dan Jawa Pos. Secara sederhana bisa dilihat dari properti yang dipakai, lima media cetak dari perusahaan pers umum.

 Anehnya cara membaca dan cara merespon kelima aktor tersebut sama. Entah itu cara memahami atau mendalami dan cara bereskpresi terhadap realitas dalam koran. Saya jadi curiga jika media kekinian meskipun berlainan nama, namun secara konten satu dengan lainnya tak jauh beda. Peristiwa yang mereka kabarkan sama, namun cara mengemas informasi dan cara mendeskripsikan isu bisa jadi berbeda. 

Sempat kelima tokoh tersebut secara berulang kali meremas dan membuang koran. Akan tetapi mereka lalu mengambi dan membaca koran itu kembali. Seperti ada rutinitas mutlak yang tak mampu mereka hindari yang telah dirasuki oleh bujukan untuk mengkonsumsi kembali. Jika tidak melakukan hal itu, mereka akan sakhaw. Kelimbungan atau bingung dengan sendirinya. Hingga titik jenuh menyisir klimaks, kelima tokoh mencoba menghindari koran yang telah dia buang. Belum selesai mengatur strategi persembunyian, ternyata mereka kepergok oleh koran itu sendiri.

Ada satu fragmen  yang barangkali berada pada titik puncak dari alur pertunjukkan. Di saat seorang penari menghamburkan nuansa erotis dalam gerak dan gestur tubuh. Datanglah seorang aktor laki-laki yang memakai bajuk kotak-kotak sebagai simbolisasi kekuatan partai politik. Laki laki tersebut masuk ke dalam rok penari wanita. Setelah itu mereka berdua menari bersama dengan gerakan yang selaras.

Saya pernah menjumpai tarian tersebut dalam film Opera Jawa. Sebagian kecil yang saya ingat dalam film tersebut divisualisasikan simbol dari perselingkuhan. Bisa jadi pencomotan adegan dalam film tersebut oleh sutradara mempunyai maksud serupa. Namun maksud dalam film mencoba dikontekskan dalam alur dan ide naskah teater Hipnotika. Dalam hal ini perselingkukan bukan lagi antara selir kerajaan dengan para prajurit, akan tetapi antara kuasa perusahaan pers yang mengatur alur hidup kebudayaan masyarakat dengan kepentingan partai politik.

Pernah suatu hari saya iseng bertanya kepada seorang tukang becak di daerah Jember. “Siapa presiden Indonesia?” sederhana sekali pertanyaan saya. Kemudian tukang becak tersebut menjawab dengan enteng, “Jokowi.” Saya kemudian terbahak. Si tukang becak pun menunjukkan kepada saya mimik muka kebingungannya. Dalam hal ini sangat mungkin jika media telah berulangkali bertindak untuk melakukan sentralisasi kota manapun bagian dari Indonesia ke Jakarta. Informasi mengenai Jakarta atau khususnya Jokowi secara masif dilempar untuk menerjang pola pikir publik. Sesak sekali, ruang publik banjir sampah.

Hipnotika mencoba mengupas dan menyajikan kepada para penonton, bagaimana pola kerja internal perusahaan pers umum membentuk kuasa. Di dalam pola kerja tersebut terkonstruksi bagaimana cara mengatur publik. Dalam artian perusahaan menskenariokan bagaimana caranya agar konsumen bahagia, menangis, marah, cemas, ketakutan, dan sebagainya. Meskipun pada realitasnya si konsumen itu sendiri tidak menyadarinya. Atau bahkan menyadarinya sebagai ekpresi natural yang lahir dari kehendak dirinya sendiri. Padahal jika ditelaah lebih dalam, respon yang muncul dari kelima aktor terhadap apa yang dia baca, sebenarnya telah digerakkan dari luar dirinya. 

Maka dari itu sutradara mengklaim realitas kekinian yang ia rangkum dalam sakralitas pertunjukkan teater tersebut, sebagai era perobotan individu atau konsumen. Publik telah dihipnotis, manusia telah melakukan banyak hal tanpa disadari. Masyarakat telah dikotrol dan digerakkan oleh kuasa perusahaan pers umum. 

Sederhananya saja, eksternalisasi dari individu itu sendiri akan secara tidak langsung menjadikan individu tersebut sebagai objek. Misalnya saja contoh alat kerja pacul yang diciptakan untuk para petani. Peng-ada-an pacul berdasarkan daya cipta dari manusia. Akhirnya para petani menggunakan pacul tersebut untuk bekerja di ladang. Lama kelamaan, apa yang bisa petani lakukan di ladang tanpa bantuan pacul? Ada banyak kemungkinan, barangkali petani tersebut akan segera membeli, meminjam, atau bahkan memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Hal tersebut juga akan terjadi pada pembuat pacul itu sendiri jika dia bertindak menjadi petani. 

Ada hal yang merisaukan dari ekternalisasi ini. Bagaimana cara pembuat pacul membatasi atau mencegah perbuatan-perbuatan yang akan muncul dari paculnya. Misalnya saja yang paling mengerikan yaitu, ketika pacul dipakai oleh petani untuk membunuh. Bukankah hal tersebut bisa dan sudah seringkali terjadi. Pada akhirnya kita harus sama-sama memahami jika pada akhirnya setiap manusia akan takluk atau tak berdaya terhadap apa yang ia ciptakan sendiri.

Sama halnya dengan perusahaan pers. Mereka ada atas dasar kemungkinan mutlak bahwa publik berhak untuk tahu. Memperoleh dan menyampaikan gagasan adalah hak asasi dari masing-masing individu. Maka dari itu konsekuensi dari meng-ada-nya pers umum ialah, menjadikan publik sebagai sasaran utama bagi loyalitasnya. Namun jika orientasi perusahaan pers sudah melampaui fungsi dasar yang menyangkut mengapa dia harus ada. Misalnya saja lebih dekat kepada tokoh politik, kelompok, pemilik perusahaan besar pertambangan yang mengeksploitasi negeri ini, dan sebagainya. Publik jangan diam saja, selain pengawalan, mereka harus melakukan tindakan. Jangan jadi konsumen pasi, jadilah elemen publik yang kritis.[Dieqy Hasbi Widhana]

Senin, 04 November 2013

Lack of Local Government Concern with dunes, Jember Youth Held Save Gumuk

Dune is a mound -like hill, but the volume is smaller than a mountain . Jember first earned the nickname as the 'City of a thousand dunes'. But gradually it lost thousands dunes one by one. The environmental damage turned out to attract the sympathy of the community, the organization, and the band to join in the evening activities donation 'Save Dunes'.

Save dunes is a collective concern tangle of various communities in Jember. Activities led by the Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Jember city or Pers Mahasiswa (Persma) Jember took place on Saturday night (28/9) in Gumuk Gunung Batu, Jember, East Java. Then they work with the Sekolah Bermain, Cangkrukan Lewat Botol Kosong, and Young Gun Veins to develop the concept of save dunes. After that slowly other communities began to arrive to help event titled is 'A Thousand Dollar For Gumuk'.

According Nurmaida, Chairman of Supervisory Save dunes, "This event is simple. We do not think heroics to buy dune. But this event is our first step to unite among organitation, Lembaga Pers Mahasiswa, a community of Jember, and all walks of life together to preserve the dunes together," he explained. He also added Hopefully after this event, many students from diverse faculties and universities that conduct research on the dunes.

In his speech, Nurul Priyantari, S.Si, M.Si, Assistant Dean of the Faculty of Mathematics, University of Jember, really appreciate this kind of activity, "In the midst of an increasingly widespread news about juvenile delinquency, here we can be very entertained with concern you against nature. As the younger generation would have to have a concern for nature. I really appreciate all these events," he said. Nurul also added his hope that such an event is followed up with another activity that is more serious.

Gumuk Gunung Batu is one of the dunes in Jember poor condition. The dunes have lived half, while the others have been exploited. In the normal save dune, half broken landscapes are taken as the stage background. Additionally dunes decorated with lots of torches and the visitors who come are required by the route provided by the committee, which passed dunes prior to the location of activities.

Some indie band Jember who attended and participated filling the dunes save disclose their complaints regarding the condition of the natural environment. "We know the conditions in Jember dunes such as one that is behind us now. The event is at least made ​​us aware that there is a very critical thing," said Dion, Black Dog Vocalist. It is also revealed by Alex Gunawan, Vocalist The Penkors, "It is a great role for the dunes, and it makes perfect sense if we have to keep the existence of dunes that amount is not on the wane. Still maintain the remaining dunes. Hopefully many more who love dunes remaining," he said.

Save this event contains dunes Band Acoustic Performance, Poetry Readings, Dance Kedok Putih, Cangkruk'an, Collecting Coins For Gumuk, Empty Bottle Collection, Signature Solidarity Actions Save dunes, and Live Art Performing. Band Acoustic Performance by the band filled indie Jember some of them, namely, The Penkors, Black Dog, From This Accident, Pispot, Gudang Productions, and amusement.

While reading two poems by young poets and Jember ie Bahriz Halim Abdul Gani, be a reflection momentum. Therefore intends to encourage the reading of poetry visitors about the human desire to contemplate the damage natural ecosystems. "Fate must be formulated, where we were born and found myself as a human being," a piece of poetry that was read by Abdul Ghani. White mask dance then presented by the Student Activity Unit Kurusetra Arts, Faculty of Economics, University of Jember.

Performing a live art performances Jember street art activists in the location. With capitalize spray paint, the young artist is showing her skills in paint incised on the vinyl . Among Fiky Old Skull Hart Kore (OSHK), Dullboy OHSK, Asgar Fucking My Name (FMN), Mubin Tuban Rest, Nizar Everything of Art (EVA), Network of local artists Jember street art and drawing is joined together on-site activities.

In addition there is a series of events for the coin collection that became the core of the show dunes save dune. Piooner collecting donations to buy this dune has been around a long time by some nature lovers in Jember. They wanted to change the status of dunes as private property belong together. Therefore we intend to support the plan of buying dunes by collecting donations. [Dieqy Hasbi Widhana]

Stop Exploitation Dunes, Save Jember Future

Natural ecosystems including humans in it should move in a balanced manner . In Jember, exploitation dunes began to appear in 1990 . One of the content of the stone plate dunes, considered to have a high economic value if unloaded . Most of the dunes in Jember destroyed for the sake of a few people economically. Though natural dune formation is a phenomenon that is unique and one of a bona fide function as a buffer against natural disasters.

"We used to hear that the city of Jember thousand dunes. So the name is a nickname that's an identity. And that's true identity we want to take back. It used to be said there are a thousand more, now it is only six hundreds, including one that is behind us that conditions are exploitative. Looks like it is almost flat," said Cak Oyong, Founder of Sekolah Bermain .

For Cak Oyong, restore dunes that have been lost is impossible. "But there's still hope we can reduce exploitation actions of those who are rich," her said. Indeed, most of the dunes in Jember an individual property. Likely to prevent the emergence of exploitation dunes can still be done in various ways. Whether it's through persuasion by way of transmitting the discourse surrounding the dunes or the other function.

Ir. Wahyu Giri suspected cause of a destructive tornado Jember City a few months ago. "Case tornado in Jember city that's so weird, a few years ago there was something like that. Since 85 years I never was a story that never existed in Jember City tornado," he said. Previously there was no record in history that ever hit Jember tornado. Allegedly this kind of natural phenomenon arises because more and more dunes were destroyed. Of course along with the destruction of the function as a barrier dunes and wind breaker would go extinct as well.

According to Giri, in 2005, there has been discussion that led to a serious discussion about the dunes. At that time the discussion didapatan conclusion , that not all dunes in Jember to be rescued. However it must be sorted dune which one had to be rescued and dunes which can be converted into land to meet human needs. But there is no real continuity after the discussion was over.

Indeed if viewed Spatial Plan (Spatial) Jember is now being discussed, there was no dunes are a unique geological landscapes that should be saved . But being threatened everything for mine, exploitation. "Hopefully dune landscape geology to be included in the spatial plan," said Giri .

Additionally Giri also expressed hope in the future if successfully protected by dunes buy first. "If you bought dunes, his dream is waqf, sorry for the other religions, but I just termed it is a loss of waqaf property. I'm sure only friends who have not lost the right reward donations. Later ( dunes are bought ) for anything, do not be left unharmed only result is tolerable. But it could be a vehicle for education dunes, it could be to save or collect rare plants , all kinds lah , that dream can be built together," he explained. Until the date of July 26, 2013, funds collected by Wahyu Giri and nature lovers in Jember concerned with dune collected Rupiah 5,135,70.

On the other hand after 2005, source dunes surrounding literacy in Jember not develop. Like what was said by Lozz Akbar, Jember blogger, "If we type the JFC in google, it will find a lot of information. But if we type the dunes, will we get very little information about the dunes. At least we will meet in Parangtritis reference sand banks or maybe writing long nature lover friends. Yet if we think, before Jember Fashion Carnaval was echoed in the world, we actually already have a characteristic that is second to none in the world," he said.

As no reference about the development of dunes, it turns knowledge level of the dune Jember residents remains very low. "Yesterday, about a week ago, I put the logo of the save dune. Then a lot of people are asking, what is the dunes? Jember these people themselves are still many who do not know about the dunes," said Akbar.

Akbar also regretted mining rocks contained by dunes. He also hoped that this kind of activity provides awareness to the public about the importance of the function of dunes. "But unfortunately, dredged dunes slowly because a person of interest. Hopefully this event wrote awaken our memories with each other that can not be controlled dune individually, but together create," said Akbar.

Regarding the activities of Rohim Zabriansyah Hakim Judge, environmentalist, singer Sightseeing expressed his pride towards the implementation of the Student Press Jember save dune by cooperating with its network of collective work. "To save the event dune driving motor Persma comrades as Jember. Persma also not turn a blind eye, they also invite other communities. Salute for Persma comrades as Jember can invite all the community, including proactive invites fellow lover of nature , art , and punk comrades," he said.

The event was attended by hundreds of visitors aims to build public awareness of the importance of maintaining and caring for dunes in Jember. Indeed dunes in Jember mostly owned by individuals. But when the bear destroyed not only the impact but Indonesian Jember. Because dunes that had been protecting us from the presence of a natural disaster. [ Dieqy Hasbi Widhana]

Kamis, 29 Agustus 2013

The Stilts Festival IV Tanoker in Jember Indonesia

Unique Costume Festival participants stilts IV Ledokombo, Jember, East Java, on Saturday (24/08/2013). This year the race jury hiking and dancing on stilts imported from foreign countries, namely Max Boon (Netherlands), Amadou Diawara (Senegal), Gill Westaway (Australia). Participants dance on stilts and demonstrate proficiency attractions. Things to do in front of the jury was to the accompaniment of music. Regent of Jember, MZA Djalal opened the event. With this event in addition to the traditional culture of the game that will be stronger kearagaman expected to strengthen the tribes and cultures of Indonesia.






Pementasan Naskah Carung Colitik Oleh Dewan Kesenian Kampus

Pementasan Naskah Carung Colitik Oleh Dewan Kesenian Kampus

Pementasan Naskah Njingan olehTeater Tiang

Pementasan Naskah Njingan olehTeater Tiang

Senyum Di Balik Selendang Kuning

Senyum Di Balik Selendang Kuning

Pertunjukan Reog Sargulo Anurogo Unej

Pertunjukan Reog Sargulo Anurogo Unej

Kamis, 25 Juli 2013

Kemerdekaan Semu

Apakah hanya negara yang bebas menentukan mana yang benar dan mana yang salah? Mengapa negara menganakemaskan golongan mayoritas dan mereka yang bermodal besar? Disembunyikan di manakah suara mereka yang tergolong minoritas? Sampai kapan kita akan bertahan untuk pura-pura merdeka?

Hasil Reportase Saya di Harian Surya 3 Juli 2013

Selasa, 25 Juni 2013

Kemeja Hitam

Sewaktu SMA dahulu, seperti biasa saya dan beberapa teman asik nongkrong di pinggir jalan depan sekolahan. Kala itu di depan kami ada mobil pick-up putih yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga merupa stand baju. Ada salah satu baju yang jadi pusat perhatian salah satu teman saya. Baju itu berjenis kemeja berwarna hitam. Perlahan saya mencoba mencari tau, apa yang membuat teman saya ini sedari tadi memandanginya. Asumsi saya kemudian muncul, barangkali dia tertarik dengan kemeja itu karena satu hal. Mungkin karena emblem bergambar ‘Oi’ di bahu kiri kemeja itu.

Beberapa saat kemudian dengan niat untuk bercanda, saya berujar padanya, “Eh, awakmu ngerti gak lek bulan wingi iku enek kabar lek Iwan Fals mati (Eh, kamu tau kalau Iwan Fals bulan lalu dikabarkan sudah mati.” Saya benar-benar kaget ketika mengetahui respon dia atas kata-kata saya tadi. Dengan sedikit membentak dia berkata, “Eh awakmu senggenah lek ngomong (Eh kamu yang serius dikit kalau ngomong),” hardiknya.

Kemudian karena saya menganggap semakin serius saya menjelaskan maka dia akan percaya. Maka saya menambahi kebohongan yang di awal tadi, “Piye toh awakmu iki jarene arek Oi kok gak ngerti kabar tuhane dewe (kamu ini gimana sih, ngakunya anak Oi tapi gak tahu kabar tuhannya sendiri),” sambung saya. Lalu saya kaget lagi atas respon keduanya.

Bagaimana tidak kaget, dia yang tadinya dengan garang menghardik, kali ini dia mendadak lesu dan kelihatan lemas. Setelah agak lama dia memfokuskan pandangan ke bawah atau menunduk. Sambil tertawa brutal saya berkata padanya, “Wakakak.. Aku Cuma guyonan (Wakakak… Saya cuma bercanda).” Sambil menatap saya dia berkata, “Untung seng ngomong maeng awakmu bro. Cobak misale arek liyo pasti wes tak torkop (untung saja yang bilang tadi kamu bro. Coba kalau orang lain pasti sudah tak pukul).”

Ketika mengeluarkan kata-kata itu, karena dia sedang menatap saya dengan jarak yang dekat, saya baru mengetahui jika matanya sedang berkaca-kaca. Sedari tadi dia merunduk barangkali sedang merefleksi rasa kehilangan seseorang yang selama ini dia anggap hero. Sambil senyum saya hanya bisa bilang maaf sembari menawari rokok eceran kepadanya.

Beberapa hari setelah itu saya menginap di rumahnya. Rumahnya daerah pesisir pasuruan, dekat pelabuhan. Dari poster-poster yang menempel di kamar, isi lemari, lagu yang keluar dari hape dan gitarnya, saya baru menyadari jika dia ternyata sudah terlalu lampau menyukai lagu-lagu Bang Iwan.

Selain itu, suatu malam di beranda rumahnya, kami berdua menyanyikan lagu Iwan Fals, diiringi petikan gitar teman saya itu. “Kalau cinta sudah dibuang. Jangan harap keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan. Bagi mereka yang diperbudak jabatan,” lirik itu bermuncratan dari mulut kami berdua. Kala itu teman saya memakai kemeja hitam dengan emblem ‘Oi’ di bahu kirinya.

Hari ini saya merindukan Saiful, teman saya yang selalu menghiasi tubuh dengan atribut ‘Oi’ itu, termasuk seragam sekolahnya.[]

Minggu, 14 April 2013

Mengkalkulasi Imajinasi dan Amplop Tebal


Tiba-tiba beberapa hari sebelum benar-benar (8/2/2013), ada pesan singkat masuk ke ponsel saya. Ternyata pesan itu dari salah satu panitia kegiatan All Chemist in Action. Mereka akan mengadakan lomba mading 3 dimensi. Target pesertanya para siswa SMP se-Kresidenan Besuki. Mendengar diksi al chemist, saya jadi teringat salah satu novel Paulo Coelho, The Alchemist. Cerita dalam novel itu mengenai kisah hidup seorang pemuda yang sederhana. Hari-hari dia lalu dengan cara mengembara, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Akan tetapi tunggu dulu, sepertinya undangan dari panitia agar saya turut serta menjadi juri lomba mading 3 dimensi tersebut tidak berhubungan terlalu jauh dengan Coelho.

Memang saya tidak bisa berkata ‘iya’ secara gampang kepada panitia. Biasanya dua atau tiga hari sebelum kegiatan dimulai saya baru bisa memberikan konfirmasi. Akan tetapi semenjak pesan singkat tersebut masuk ke ponsel, saya sudah berkali-kali melamunkan mengenai apa yang harus saya lakukan ketika menjadi juri nanti.

Lomba yang diadakan di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Jember (UJ) tersebut, dikelola oleh mahasiswa yang bergiat di Himpunan Mahasiswa Kimia (Himaki). Ketika kegiatan dimulai, saya mendapat breifing dari panitia mengenai bagaimana nanti teknis menilai mading yang dilombakan. Kala itu yang menjadi juri bukan hanya saya sendiri. Ada dua orang yang lain. Tanti Haryati, S.Si., M.Si, Dosen Kimia FMIPA UJ, difungsikan untuk menilai teama setiap mading, seputar bagaimana konsep sebuah mading itu menjadi ada dan dikatakan sesuai dengan tema besar. Ada juga Yeni Fatmawati, Pengurus Himaki Bidang Jurnalistik, menilai mengenai karya tulis yang menempel di mading para siswa. Sedangkan saya sendiri mewakili Perhimpunan Pers Mahasiswa indonesia (PPMI) Kota Jember, terpaksa harus merubah hasil penampakan mata menjadi angka untuk mengkalkulasi kreativitas mading.

Menjadi juri lomba mading memang menjadi pengalaman pertama bagi saya. Memang pernah suatu kali saya ikut mengelola mading kampus. Namun itu bukan mading 3 dimensi. Kebanyakan konten dalam mading lebih menguatkan atau fokus terhadap karya dalam bentuk karikatur, ilustrasi, dan yang utama yakni tulisan. Hal tersebut berbading terbalik dengan mading 3 dimensi. Kerap kali kekuatan sebuah mading 3 dimensi terletak pada unsur kreativitas yang dibangun dari susunan peralatan sederhana yang membentuk sebuah bangunan estetis. Maka kekuatannya bukan pada karya tulis akan tetapi bentuk fisik bangunan itu, hampir mirip dengan puisi konkrit.

Kebetulan panitia kegiatan membuat satu peraturan yang cenderung unik bagi saya. Yaitu para peserta lomba harus memanfaatkan barang-barang bekas di sekitar mereka untuk dijadikan bahan dasar mading. Maka dari itu saya selalu memanfaatkan interaksi untuk mengetahui lebih dalam terkait kerja para peserta lomba. Peraturan yang lain yaitu, para peserta harus mengerjakan 50% bahan mading di rumah dan 50% lagi di tempat perlombaan. Akan tetapi banyak peserta yang mengeluh. Ketika saya bertanya, “Mengapa madingnya masih belum selesai penuh?” Sebagian besar dari mereka selalu menjawabnya dengan serentetan alasan yang cenderung beragam dan panjang. Namun ada satu hal yang saya tangkap yaitu panitia memajukan tanggal kegiatan secara mendadak. Belum jadinya mading adalah dampak dari hal tersebut.

Pada akhirnya saya tidak menghiraukan bentuk fisik secara penuh. Untuk menilai karya mereka yang khususnya belum sepenuhnya jadi, saya melakukan dengan cara bertanya. Pertanyaan tersebut seputar apa konsep kalian, pada nantinya apa mau kalian dengan menara yang belum jadi itu, apa fungsinya, apa tujuan kalian memasukkan mobil kecil ke dalam mading, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut membuat saya sendiri harus membangun mading impian mereka dalam pikiran saya. Kemudian saya menilai imajinasi saya sendiri.

Di sisi lain saya juga menanyakan kepada mereka mengenai bagaimana proses mencari bahan dan cara membuat. Rata-rata sebagian besar dari mereka mencari bahan barang-barang bekas di area pembuangan di dalam sekolah. Sedangkan mengenai cara membuatnya cenderung beragam. Pertanyaan yang saya ajukan sampai ke hal-hal mendasar, bagaimana cara merekatkan, dengan bahan apa kalian merekatkannya. Tak banyak dari mereka yang berani berkata jujur. Lebih dari separuh jawaban sekali dipenuhi dengan alasan yang cenderung tak logis dan bersifat membela karyanya. Barangkali pembelaan tersebut harusnya tak ada. Sebuah karya tak perlu dibela. Benda harus hidup mandiri tanpa pembuatnya. Sedangkan mereka yang membuat, harusnya hanya bercerita mengenai proses kreatifnya saja.

Setelah tugas untuk menjuri selesai, saya tak langsung pulang. Ada beberapa rekan persma dari Lembaga Pers Mahasiswa Sastra (LPMS) Ideas yang sedang meliput kegiatan tersebut. Pada akhirnya saya harus menemani mereka sampai pemenang lomba diumumkan.

Ketika asik mengobrol ditemani rintik gerimis di depan gedung PKM, ada seorang panitia yang memanggil saya. Dari jauh dia bilang, “Mas, ada yang ketinggalan.” Saya langsung berjalan mendekatinya sambil bertanya mengenai apa yang ketinggalan. Kemudian dia mengeluarkan amplop kecil dari dalam map yang sedari tadi dipeluknya. Sambil tersenyum dia bilang, “Ini buat Mas.” Kemudian saya sedikit terkaget ketika menyadi ternyata dia sedang menyodorkan amplop bewarna putih. Amplop itu kulitnya tipis, sehingga saya bisa melihat ada baluran warna biru. Selain itu amplop tersebut terlihat tebal. Sambil tersenyum saya berkata, “Oh, itu buat panitia saja, buat Himaki saja.” Setelahnya saya berjalan menjauh sambil tersenyum sedangkan di terus saja merengek minta amplopnya saya terima.

Terima kasih panitia karena sudah mengundang saya. Tentu saja undangan dan sambutan yang baik di saat saya hadir memenuhi undangan tersebut, harganya sudah sangat mahal. Lebih mahal dari amplop setebal apapun. Mari berjejaring dan saling menguatkan.[]

Konsumsi Literatur yang Tidak Teratur


Jika saya ditanya sudah membaca berapa buku bulan ini. Tentu saja jawaban saya, tidak ada. Tidak sama sekali. Entahlah belakangan ini saya sulit sekali merelakan waktu terbuang untuk menghabiskan satu buku sekalipun. Selain itu, saya mulai nyaman dengan cara lain dalam menggali wacana. Mencoba mencari tau banyak hal dengan cara browsing di internet.

Barangkali sudah bukan hal yang aneh jika setiap personal harusnya menjaga pola membacanya. Tentu saja  mencangkup dua hal. Pertama terkait konsistensi dalam membaca. Semakin banyak meluangkan waktu untuk membaca justru semakin baik. Sedangkan yang kedua, mengenai fokus buku bacaan. Pada bagian yang kedua ini seringkali membuat tiap personal kebingungan. Lebih dari itu mungkin dia tidak tahu bahwa sebenarnya sedang kebingungan. 

Mengenai ruang lingkup fokus bacaan, saya sendiri juga sedang kebingungan terkait hal ini. Belakangan buku-buku yang sering saya baca agak rancu. Rata-rata buku filsafat, sastra, jurnalistik, desain, dan sejarah. Itu skala rata-rata yang paling sering saya baca. Di sisi lain memang ada sesuatu yang sedang saya pelajari namun melenceng dari fokus. Beberapa yang berjalan di luar fokus itu mengenai topik lingkungan, hukum, ekonomi, budaya, dan sebagainya. 

Apa jadinya jika hari-hari saya dengan terpaksa harus dipenuhi dengan bahan bacaan di luar fokus tersebut. Biasa saja. Akan tetapi agak sulit dalam  menjelaskan banyak hal terkait salah satu genre atau topik wacana. Tentu saja karena semakin banyak jenis wacana yang kita cari tau seluk beluknya, maka semakin sulit untuk memperdalam satu persatu. Biasanya banyaknya bahan bacaan yang cenderung beragam akan memangkas ketahuan kita akan satu hal secara mendalam. 

Bahkan bisa saja lebih dari itu. Ketahuan saya atas bacaan yang harusnya diprimerkan akan tergeser oleh klasifikasi sekunder. Misalnya saja pengetahuan saya seputar sejarah. Jika ditelusuri lebih dalam maka saya akan menemukan kedangkalan wacana. Sedikit sekali pengetahuan saya mengenai hal ini. Lebih banyaknya hanya seputar teori penulisan sejarah dan perkembangan penulisannya. Tentu saja hal tersebut membuat saya merasa bodoh. Padahal saya adalah mahasiswa jurusan sejarah.

Banyak sekali teman yang memperingatkan saya terkait pola konsumsi literatur saya yang tidak beraturan. Mereka seringkali bilang, lebih baik saya fokus pada satu hal tapi mendalam sampai ke akar. Sulit sekali. Sungguh sulit saya menerapkan kritikan dari teman-teman dekat tersebut. 

Ada beberapa hal yang membuat saya cenderung beralih fokus. Barangkali pengalihan fokus tersebut paling kentara dipengaruhi oleh lingkungan. Memang kondisi atau perkemangan habitus terdekat akan mempengaruhi konsumsi literatur seseorang. Awalnya memang pelan-pelan. Namun ketika hampir  tengah jalan setiap personal akan dengan kaget memergoki permasalahan semacam ini.

Selain itu, apa sebenarnya yang membuat saya tidak mengkonsumsi literatur cetak akhir-akhir ini. Bukan masalah waktu sebenarnya. Akan tetapi saya merasa lebih nyaman dengan mengakses literatur lewat dunia maya. Misalnya saja saya ingin mencari literatur seputar kritik sastra. Kalau merasa postingan di blog atau wes yang saya dapat kualitas font atau pengaturan paragrafnya kaca. Maka saya terlebih dahulu mempermak sedikit penampilannya lewat microsoft word sebelum memabacanya.

Ketika bosan membaca sekian banyak literatur dari dunia maya yang cenderung pendek tersebut. saya bisa langsung download lagu atau sekedar searching video  di youtube. Kerap kali saya segera mencari video-video yang bersifat komedi. Tentu saja boring saya seketika menghilang. Akan tetapi bahaya juga jika tidak bisa mengatur diri sendiri. Lama-lama merasa keenakan sampai lupa bahwa harus mengkonsumsi literatur yang lebih serius. Dalam artian materi literatur yang sesuai kebutuhan, bukan literatur yang hanya berfungsi memanjakan kesenangan dalam diri.[]