Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Selasa, 22 Desember 2009

“KAMPUS + BHP = RUMAH BORDIL”

kampus selalu menerapkan kebijakan yang tidak demokratis, diskriminatif dan tidak berpihak kepada orang miskin. Banyak mahasiswa yang tidak dapat mengikuti ujian bukan karna mereka melakukan tidakan kriminal ataupun melakukan tindakan indisipliner, Tetapi hanya karna masalah klasik yaitu “BIAYA”.

Dunia pendidikan memang hakim yang paling kejam dan tak adil bagi status sosial seseorang.
Kampus menjadi hampir sama dengan “RUMAH BORDIL”, yang bisa masuk dan menikmati isi di dalamnya hanya yang memiliki uang. Karena sama dengan rumah bordil, kampus pun penuh sesak dengan orang-orang yang siap memperbudak dirinya demi uang.

Badai neo-liberalisme yang menghantam dunia pendidikan ikut menjauhkan orang miskin dari pendidikan khususnya perguruan tinggi. Privatisasi yang menjadi salah satu program kebijakan neo-liberalisme menjelma menjadi kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan penjualan berbagai aset pemerintah, termasuk perguruan tinggi. Privatisasi kampus berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga layak dilepas pemerintah. Otonomi kampus inilah yang menjadi landasan kampus memungut biaya semaunya. Belum lagi menerapkan kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya yang otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.

Salah satu dampak dari ini, kurikulum Perguruan Tinggi harus menyesuaikan terhadap kebutuhan perusahaan - perusahaan yang menanamkan modalnya. Lebih luas lagi, fakultas atau jurusan yang tidak dibutuhkan oleh investor bisa digusur karena basis kurikulumnya sama sekali tidak dibutuhkan dalam industrialisasi seperti Filsafat atau sebagian Ilmu Budaya. Maka tak heran jika perguruan tinggi berlomba-lomba menetapkan harga tinggi dengan dalih untuk peningkatan mutu dan kualitas. walaupun tidak selamanya peningkatan mutu dan kualitas diikuti harga yang mahal.

kurikulum yang anti realitas menempatkan pelajar dan mahasiswa sebagai calon buruh-buruh murah yang kembali pada kepentingan para kapitalis. Rendah dan minimnya sarana infrastruktur pendidikan juga merupakan persoalan yang berawal dari lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan infrastruktur yang cukup dan memadai untuk peserta didik, ditambah lagi dengan adanya privatisasi dimana pengelolaan pendidikan diserahkan kepada pihak swasta, akan menambah deretan potret buram dunia pendidikan yang akan berakibat pada melambungnya biaya kuliah yang tidak bisa terjangkau oleh mayoritas rakyat.

pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara justru diserahkan pada beban individu masing-masing. kampus negeri yang dahulu terkenal sebagai kampus bagi rakyat, saat ini justru hanya dapat dinikmati oleh mahasiswa-mahasiswa dari klas atas.

BHP melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi dan tentunya komersialisasi yang hebat.

Privatisasi juga melahirkan penindas – penindas baru yang dibidani dan termotivasi oleh dendam, contohnya seorang mahasiswa kedokteran yang menghabiskan ratusan juta untuk menggapai gelarnya setelah lulus pasti berusaha mengembalikan modal kuliah tersebut kegenggamanya. Itulah sebabnya sangat susah mencari dokter yang peduli dengan orang miskin.

Hari ibu bukan mother's day

TULISAN ini bertujuan untuk melakukan tilikan akar historis menyangkut Hari Ibu, berkaitan dengan munculnya berbagai pandangan yang memaknai Hari Ibu di Tanah Air. Seperti tampak pada tulisan Bintoro Gunadi (Kompas, 20 Desember 2004)

menurut arus utama yang berkembang, Hari Ibu di Indonesia dimaknai mengikuti tradisi Mother’s Day ala Amerika Serikat atau Eropa yang mendedikasikan hari itu sebagai penghormatan terhadap jasa para ibu dalam merawat anak-anak dan suami serta mengurus rumah tangga.

Pada hari itu kaum perempuan dibebaskan dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Manifestasi Mother’s Day ini kerap dinyatakan dengan mengirim kartu, memberikan bunga, menggantikan peran ibu di dapur, dan membelikan hadiah. Biasanya hadiah yang dipilih pun adalah benda yang mencerminkan "sifat keibuan", seperti perlengkapan dapur yang cantik.

Inti pemaknaan Mother’s Day macam ini adalah perayaan peran domestik perempuan sekaligus peneguhan posisi perempuan sebagai makhluk domestik. Domestifikasi perempuan ini mengawetkan bilik dapur, sumur, dan kasur sebagai domain kaum perempuan.

Hari Ibu di Tanah Air yang jatuh pada tanggal 22 Desember mempunyai akar sejarah dan makna jauh berbeda dari tradisi Mother’s Day model Barat. Momentum ini bertolak dari semangat pembebasan nasib kaum perempuan dari belenggu ketertindasan pada waktu itu.

Peristiwa ini terjadi pada momentum Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928 (dua bulan setelah Sumpah Pemuda) yang dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Tujuan kongres ini untuk mempersatukan cita-cita dan usaha memajukan perempuan Indonesia dan menggabungkan organisasi-organisasi perempuan Indonesia dalam suatu badan federasi yang demokratis tanpa memandang latar belakang agama, politik, dan kedudukan sosial dalam masyarakat.

Sifat yang luas dan demokratis dari Kongres Perempuan I ini dibuktikan oleh ikutnya, antara lain, organisasi Wanita Utomo, Wanita Tamansiswa, Putri Indonesia, Aisyiyah, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Wanita Katholik, dan Jong Java bagian Perempuan.

Kongres ini adalah salah satu puncak kesadaran berorganisasi kaum perempuan Indonesia. Kongres Perempuan I ini berhasil merumuskan beberapa tuntutan yang penting bagi kaum perempuan Indonesia, seperti penentangan terhadap perkawinan anak-anak dan kawin paksa, tuntutan akan syarat-syarat perceraian yang menguntungkan pihak perempuan, sokongan pemerintah untuk para janda dan anak yatim, beasiswa untuk anak perempuan dan sekolah-sekolah perempuan.

Bila kita tilik, cakupan persoalan yang dibahas Kongres Perempuan I ini menunjukkan keluasan persoalan dan upaya memperjuangkan hak-hak kaum perempuan secara lebih baik pada waktu itu. Dan, yang cukup penting kita cermati adalah hasil keputusan kongres tersebut untuk mendirikan badan permufakatan bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang bertujuan menjadi pertalian segala perhimpunan perempuan Indonesia dan memperbaiki nasib dan derajat perempuan Indonesia.

Untuk mencapai maksud itu, ada rekomendasi-rekomendasi yang sangat maju bahkan untuk ukuran saat ini, seperti membuat kongres perempuan tiap tahun; mengupayakan beasiswa bagi anak-anak perempuan; menerbitkan surat kabar yang menjadi media perempuan Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak, kewajiban, kebutuhan, dan kemajuan kaum perempuan; mengirimkan mosi kepada pemerintah untuk memperbanyak sekolah bagi anak perempuan; dan menyediakan dana bagi para janda dan anak yatim.

PPPI mampu menyelenggarakan kongres-kongres hampir tiap tahun. Dari notula rapat yang dimuat dalam buku Peringatan 30 tahun Kesatuan Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1958 bisa dilihat perkembangan mereka. Pada tahun 1930 kongres PPPI merekomendasikan berbagai kerja konkret yang lebih maju lagi, seperti menguatkan Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (P4A), menyelidiki kondisi kesehatan perempuan dan kematian bayi di pedesaan, membuat propaganda tentang dampak buruk perkawinan dini bagi perempuan, mendirikan kantor penyuluh perburuhan, hak-hak perempuan dalam perkawinan, mempelajari hak pilih bagi kaum perempuan.

Semua rekomendasi ini dibuat oleh gerakan perempuan Indonesia tiga perempat abad lalu dan tak bisa kita ingkari kekaguman kita terhadap mereka, serta rasa malu untuk melihat betapa mundurnya gerakan perempuan kita saat ini. Kampanye antiperdagangan perempuan dan anak yang sekarang baru menjadi tren di kalangan organisasi perempuan, sudah secara konkret menjadi agenda gerakan perempuan sejak 75 tahun lalu!

Makna historis penting lainnya dari Kongres Perempuan I adalah menjadi batu pertama yang menandai babak baru bangkitnya gerakan kaum perempuan Indonesia pada waktu itu untuk berorganisasi secara demokratis tanpa membedakan agama, etnis, dan kelas sosial.

Lebih jauh lagi, Kongres Perempuan I, yang hari berlangsungnya sekarang diperingati menjadi Hari Ibu, ini telah mengilhami gerakan perempuan di wilayah politik dan ekonomi untuk mencapai tahap yang cukup berarti. Buah perjuangan perempuan tersebut bisa dilihat dari pengakuan bahwa perjuangan gerakan perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan nasional, seperti tercantum dari pidato-pidato dan kata sambutan pengurus pusat berbagai partai politik dan tokoh-tokoh Indonesia terkemuka pada Peringatan Ke-25 Hari Ibu pada tahun 1953. Buah-buah itu pun bisa dinikmati kalangan perempuan pada zaman itu, seperti hak pilih bagi perempuan, syarat perceraian yang menguntungkan pihak perempuan, serta dibukanya penitipan anak bagi pekerja pabrik dan buruh kebun.

PENETAPAN tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953 dirayakan meriah di tak kurang dari 85 kota Indonesia, mulai dari Meulaboh sampai Ternate.

Berbagai bentuk perayaan Hari Ibu pada masa-masa itu juga sangat menarik untuk kita kaji kembali. Di Solo, misalnya, 25 tahun Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Pada waktu itu panitia Hari Ibu Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok.

Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung. Dan, bentuk-bentuk perjuangan tersebut tentu sangat berbeda dibandingkan dengan perayaan Hari Ibu pada masa kini yang mencerminkan domestifikasi kaum perempuan dan lebih merupakan perayaan budaya konsumerisme.

Sudah 76 tahun berlalu semenjak diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia I yang saat ini kita peringati sebagai Hari Ibu. Gerakan perjuangan mereka yang menyentuh kepentingan dan kemajuan konkret kaum perempuan bisa menjadi teladan bagi gerakan perempuan di masa kini. Ada banyak hal telah dicapai dan masih sangat banyak yang belum.

Tuntutan mereka masih aktual sampai sekarang karena sampai saat ini banyak kaum perempuan Indonesia belum mendapatkan hak-haknya dan persatuan gerakan perempuan di Indonesia belum terwujud. Bahkan, dalam konteks berorganisasi keberadaan organisasi perempuan sekarang ini harus diakui jauh tertinggal dari masa itu.

Adalah kewajiban penting dari gerakan perempuan dan gerakan rakyat saat ini untuk meneruskan tradisi maju yang telah diletakkan di Indonesia pada titik sejarah yang sangat bermakna itu.