Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Senin, 16 Juli 2012

Sampah Iklan Belepotan Di Mana-mana

Malam itu saya menonton film yang diputar oleh salah satu stasiun televisi swasta. Sepertia biasa, ritual khas pecandu film selalu mengantisipasi agar ketidaknyamanan ketika menonton dapat tereleminasi. Maka dari itu sebelum duduk santai di depan televisi, saya telah menyiapkan sebungkus rokok, kopi, dan berbagai perhiasan tidur seperti bantal, guling, dan selimut. Kemudian meyakinkan diri sendiri jika nanti saya akan sangat nyaman menikmati tiap lekuk adegan dalam film.

Beberapa menit lagi adalah tayangan film hyperfavorit bagi semua mahluk yang ‘ada’ untuk ‘berpikir’. Ya memang, saya hidup untuk berpikir, berimajinasi secara bebas dengan batasan kebebasan orang lain. Dan sebagian kecil lainnya untuk mencintai remahan separuh lingkaran bulan dalam bola mata gadis mungil yang saya sayangi. Aih, ini hanyalah igauan sesaat. Sudahlah lupakan. Lupakan. Akan tetapi untuk masalah igauan, sebenarnya kita tak pernah memahami jika dalam keadaan paling sadar yang manapun, ternyata separuh dari kesadaran kita adalah mimpi.

Remote televisi sudah ada dalam genggaman. Saya menyentil tombol power. Aih, mengapa masih iklan. Sambil menunggu iklan sebelum film favorit saya diputar, alangkah lebih baiknya jika saya mengalihkan kebosanan dengan bermain handphone. Sial sekali, ternyata sedari tadi ada beberapa pesan yang tak sempat saya buka. Pesan itu berisi tentang omong kosong dan rayuan hasrat untuk membeli sebuah produk.

Saya bernapas dalam-dalam sejenak. Lalu menyandarkan bantal pada dinding, membentuk kursi empuk yang sederhana. Perlahan emosi saya mulai rileks kembali ketika punggung ini menindih bantal. Ada baiknya saya membuka situs jejaring sosial. Alangkah tak lebih buruk dari neraka, ternyata wall Facebook saya telah dipenuhi berbagai macam cara amoral dari pedagang sebuah produk. Ini benar-benar paksaan. Paksaan untuk membeli dan mengkosumsi.

Facebook saya tinggalkan. Kali ini saya mencoba jalan-jalan ke Twitter. Harapan terbesar yang tiba-tiba muncul, bagaimana agar tak saya temukan iklan lagi. Aduh koneksi lemot sekali. Mungkin mereka memang tak pernah puas menghantui saya dengan iklan lewat berbagai macam saluran informasi sebelumnya tadi. Ternyata di Twitter juga ada iklan. Bukankah ini keterlaluan yang paling.

Kemarahan benar-benar merata di sekujur tubuh kali ini. Handphone saya matikan, entah untuk beberapa bulan ke depan. Dengan berat hati merelakan diri menyewa film “The Winner”, untuk mengganti rasa penasaran akibat tak jadi menonton film yang diputar stasiun televisi swasta semalam.

Tentu saja apa yang saya tuliskan di atas sebenarnya hanyalah imajinasi belaka. Tapi belum tentu juga saya sendiri atau kalian tidak pernah mengalami. Mungkin ini hanya semacam gerbang yang menjadi jalan satu-satunya menuju pokok bahasan saya.

Kali ini saya melamun. Entah mengapa, mendadak saya trauma dengan iklan-iklan komersil. Mengapa mereka tega menyakiti hari-hari yang seharusnya bisa saya lalui dengan tenang? Mengapa mereka tega membanjiri jalur informasi dengan sampah-sampah yang menstimulus hasrat untuk membeli? Terlebih yang menggelikan, mengapa mereka memaksa saya untuk membeli barang-barang yang tak pernah saya perlukan?


Iming-Iming dari makna simbolik
Jika realitas sosial adalah sebuah tubuh. Maka kapitalisme global telah menyuntikkan virus pada lapisan kulit paling dasar. Ujung suntikkan memuntahkan penyakit yang mengeleminiasi budaya lama dengan budaya baru. Budaya baru itu adalah budaya membeli.

Kita menjadi tidak gampang puas dengan apa yang telah kita miliki. Terus-menerus terpancing untuk mempunyai berbagai macam bentuk komoditas yang sebenarnya tidak pernah kita butuhkan. Sebenarnya kita sedang dipaksa memikirkan jika berbagai masalah dapat dipecahkan lewat komoditas yang ditawarkan oleh iklan.

Betapa tidak sadarnya kita, ketika membeli terdapat sebuah pola yang cenderung aktif. Pola tersebut telah mengendap dalam kesadaran kita dalam berbagai bentuk makna simbolik. Parade iklan yang terus-menerus diulang dalam media sosial membuat kita memaknai KFC itu gaul, Marlboro itu macho, dan sebagainya. Bayangkan saja jika sebagian temanmu menjadi sepasang sepatu Adidas yang sedang berjalan.

Ternyata sebuah produk dibeli hanya berdasarkan makna simboliknya saja. Makna simbolik tersebut pada akhirnya melebur dalam diri. Secara perlahan namun kejam menggeser identitas diri. Maka anda akan segera menjadi apa yang anda konsumsi.

Bukankah menakutkan sekali misalnya ketika kamu bertemu dengan seorang teman. Dia bilang baru pulang dari Pizza Hut. Kemudian dia bercerita banyak hal tentang bagaimana rapi dan cepatnya toko itu mengemas makanan. Terlebih dia bercerita pula tentang suasana di tempat itu yang benar-benar membuat nyaman. Lalu kamu bertanya, “Bukannya kamu tadi pamit cari makan ya? Gimana kenyang apa tidak makan di sana?”

Pastilah temanmu takkan memikirkan hal itu. Bisa jadi yang sebenarnya dia cari hanyalah atribut dari sebuah tempat yang telah dicitrakan berlebihan dalam iklannya. Bahkan makna simbolik citra itu akan menjadi dirinya. Dia yang berharap status sosialnya terangkat oleh ilusi iklan. Dalam artian yang paling sederhana, dia mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari golongan kelas atas yang terbiasa mengkonsumsi komoditas itu.

Pada intinya dia tidak sedang mengkonsumsi substansi material dalam Pizza Hut, akan tetapi substansi simbol kelas Pizza Hut. Maka dia takkan peduli seberapa lezat, mengenyangkan, dan mahalnya makanan itu. Karena yang penting lobang-lobang kepesimisan diri tertutupi dengan kasta baru.


Membuat kita mencandu hasrat
Atas nama percepatan ekonomi, mega mesin kapitalis senantiasa menderu dan siap melindas apa saja yang membuat dia terhambat. Karena globalisasi atau wajah lain dari kapitalisme internasional girang sekali menaklukan negara lain dengan cara ekspansi di jalur pasar. Maka dari itu mereka akan senantiasa mengacaukan irama laju kehidupan yang sebenarnya belum terlalu rapi.

Salah satu celah yang dimainkan oleh pasar adalah karena tak ada batas bagi pemenuhan kebutuhan hasrat. Konsumen dibuat untuk patuh secara terus-menerus dan berlaku kelipatan untuk mengkonsumsi makna simbolik dalam komoditas. Objek yang dikonsumsi tersebut menjadi medium untuk menyatakan identitas diri. Konsumen dibuat bangga pada status sosial, prestise atau wibawa yang dimainkan oleh sisi yang lain dari komoditas. Kemudian konsumen diatur untuk merayakan makna-makna simbolik sekaligus melupakan nilai fungsi dari sebuah komoditas. Maka pasar mengkonstruksi perubahan dari nilai guna ke arah nilai tanda. Otomatis semakin lenyaplah batas antara realitas dengan fantasi.

Wacana untuk giat mengkonsumsi merupakan salah satu jenis penipuan massa. Diam-diam aneka ragam bayangan dalam bentuk citra ditanam dalam komoditas. Pantaslah jika iklan menjadi tangan panjang yang tak tampak dalam mengendalikan selera massa. Pada akhirnya mereka akan mengkonstruksi cara berpikir kita. Karena bagi mereka, kepulan arus asap pabrik produksi harus berbanding lurus dengan daya keinginan mengosumsi yang tinggi.

Kepuasan hampa mempengaruhi persepsi kita melalu sistem syaraf tubuh. Tiap personal akan mudah diatur pola hidupnya. Kehidupan akan berubah menjadi panggung drama dan kita memainkan skenario yang telah disiapkan oleh tuhan pasar. Menjadi masyarakat sakhau yang tenggelam dalam budaya konsumsi.

Bagi Yasraf Amir, dalam era kekinian terjadi dromologi atau percepatan informasi dan pencitraan di dalam media. Pada saat yang bersamaan terjadi pula pendangkalan makna. Misalnya saja sebuah iklan yang mengatakan jika, “Orang pintar harus minum tolak angin”. Bukankah secara tidak langsung iklan tersebut juga mengatakan jika orang-orang pintar adalah orang yang sakit-sakitan. Sedangkan orang-orang bodoh adalah mereka yang mungkin sedang sehat. Menjemukkan sekali, mana ada hubungannya obat masuk angin dengan tingkat intelektual seseorang.

Saya jadi teringat dengan Guy Debord yang mengatakan, jika semua sisi kehidupan kini menjadi komoditi, dan semua komoditi jadi tontonan. Coba liat keluar sana, udara dicemari kemudian diciptakan tabung-tabung oksigen dengan daya tawar bahwa itu adalah udara segar yang ketika menghirup serasa di pegunungan. Masyarakat hidup dengan mengontrak tanah dan air saja harus membeli. Sumber daya alam diperkosa untuk diperjual belikan, lalu diganti dengan gambar pemandangan yang memanjakan ilusi.

Tumbuhan-tumbuhan diperjual-belikan, dengan bangga si pemilik beraneka macam tumbuhan menanamnya di pelataran rumah mereka. Dengan menggelembungkan dada menganggap merekalah yang sebenarnya cinta pada kelestarian lingkungan. Betapa tidak sadarnya mereka bahwa sebenarnya telah disulap menjadi mahluk konsumtif yang mengoleksi tanaman demi sebuah citra. Mall-mall dibangun menjulang tinggi yang menjadi kurungan demi menghidupi budaya massa yang konsumtif. Pasar para pedagang kaki lima ditendang sejauh mungkin demi ekspansi sirkulasi ekonomi yang stabil dan berlipat-lipat.

Oleh karena itu saya lebih memilih menjadi orang yang gila. Berupaya menunggangi diri sendiri dengan adonan pemikiran kritis. Bahwasanya kesadaran dari orang gila seperti saya akan lebih mudah menguliti pembodohan dari politik citra iklan yang berkembangbiak dimana-mana.

Aduh sial, saya lupa menghidupkan Handphone kembali.[]





*) Tulisan ini bisa dibaca juga di Babebo[zine] Edisi #3 'Tingkah Laku Iklan'.

Babebo Zine, Pak Oga Perempatan Imajinasi

Bagi saya getaran nafas ilmu pengetahuan berbanding lurus dengan tingkat kecepatan modem. Dunia maya barangkali bisa dikatakan sebagai tiruan dari dunia yang real. Pondasi maya itu perlahan dibangun berdasarkan berbagai bentuk kesialan. Ketika masyarakat modern mulai cemburu pada realitasnya sendiri. Mereka menciptakan realitas baru untuk melampiaskan nafsunya. Nafsu yang selama ini tak mampu terealisasi di dunial yang real. Pada akhirnya kita bisa menyebut dunia maya sebagai hyperealitas. Realitas baru yang melampaui realitas sebelumnya.

Namun kebebasan mengakses tanpa sekat geografis dalam dunia maya. Secara tidak langsung menjadi tulang punggung bagi kelahiran nasionalisme. Salah satu ciri manusia modern tak lebih dari bagaimana proses kelahiran fasilitas komunkasi tanpa sekat itu sendiri. Sebagaimana sebelum terlahirnya dunia maya. Kita hanya bisa mencintai pedalaman Papua hanya secara fiktif. Berimajinasi secara nakal mengenai bagaimana Papua sebenarnya. Akan tetapi kelahiran dunia maya membuat masyarakat secara bebas berkomunikasi langsung dengan masyarakat Papua. Bahkan kita bisa mengetahui bagaimana keadaan Papua secara kekinian. Tentu saja tanpa harus menghadirkan fisik kita di sana.

Mungkin saya terlalu jauh mengantar cerita yang akan saya tulis ini. Padahal di awal, saya sudah berjanji kepada seorang teman untuk menyumbangkan tulisan tentang Babebo Zine. Ah, apa yang harus saya ceritakan terkait Zine yang baru terbit dua edisi ini. Babebo Zine juga mencoba berinteraksi dengan publik lewat ruang maya. Sampai pernah suatu kali Anitha Silvia, seorang backpacker dan pegiat Zine yang kerap dipanggil Tinta, tertipu.

Pada saat itu dia mengadakan ekspedisi ke Jember untuk bertemu para pegiat Zine. Dia bertemu dengan kami dan bertukar cerita tentang banyak hal. Kemudian dia tersenyum malu, ketika mengetahui Grup Facebook Babebo Zine telah dibuat sebelum ada satupun edisi Babebo Zine yang terbit. Sesaat tawa kami berhenti, Tinta mengeluarkan beberapa Zine dan komik dari dalam tasnya. Ini untuk teman-teman Babebo Zine, katanya.

Eh, tiba-tiba saya teringat komentar di salah satu forum Facebook. Saat itu Majalah Bobo sedang berulang tahun. Seorang teman mengatakan jika secara tiba-tiba dia tertampar dan dipaksa untuk mengingat Babebo Zine. Menurutnya Babebo Zine ini berisi karya liar yang cenderung hobi bermain pada taman imajinasi. Seperti bocah kecil. Imajinasi khas anak-anak. Mirip Majalah Bobo dengan segmentasi pasar yang difokuskan pada anak-anak. Namun, Babebo Zine tidak hanya berhenti pada permainan imajinasi khas anak-anak. Mereka memoles imajinasi itu dengan daya satir. Mereka mendobrak norma dalam lapisan sosial dan memaksa masuk dalam ruang publik. Tak peduli siapa dan dari kalangan mana yang akan menikmati karyanya.

Para pekerja Babebo Zine memang Mahasiswa. Walaupun beberapa dari mereka jarang masuk dalam kelas. Tapi setidaknya label mereka sebagai mahasiswa, akan selesai ditahapan bahwa mereka masih membayar SPP. Akan tetapi beberapa lainnya yang masih gemar dipaksa untuk ikut perkuliahan. Tetap saja tidak bisa membohongi imajinasi mereka sendiri. Ketika duduk dan dipaksa menghirup bau mulut para dosen yang banjir busa. Mereka lebih rela meluangkan waktunya untuk berimajinasi daripada menyimak bualan dosen yang teks book banget itu.

Seperti misalnya Diyah Kalpika, dia lebih sering menikam waktu monoton di dalam kelas dengan menggambar. Gambar yang khas dan sering disebut sebagai karya sketsa. Belakangan ini dia lebih aneh dari sebelumnya. Semenjak mengikuti perkumpulan para sketser di Sidoarjo. Dia sering berbincang di warung kopi bersama kami namun tetap menggambar. Dia menggambar dengan endapan kopi kami.

Sedangkan Sadam Husaen Mohammad mencoba menerjemahkan imajinasi dalam bahasa visual dan teks. Ketika keluar dari kelas seringkali dia berhasil menyelesaikan beberapa puisi dan seni visual. Bahkan seringkali dia merapalkan teks puisi ketika kami saling bertukar canda di warung kopi. Beberapa teman sering mengatakan jika hampir keseluruan karya Sadam merupakan manifestasi nafsu. Lebih tepatnya seni cabul. Mungkin ini berangkat dari ketidakpuasan dirinya pada sekat norma yang tersusun dalam lapisan sosial masyarakat. Kemudian dia ingin meremas sekat itu sampai kusut tanpa menghilangkan norma itu sendiri.

Sedangkan Afwan Fathul Barry lebih gemar mengirimkan karyanya ke beberapa media Lokal maupun Nasional. Dia sering keluar masuk dalam grup Facebook yang berisi para karikaturis. Memang Afwan lebih sering menggambar dengan ciri khasnya yang dominan pada jenis seni karikatur. Seni visualnya selalu eye catching, penuh warna, namu bernada satir. Irama kritik terselip dalam karyanya yang terkesan lugu. Kritik itu disampaikan dengan sangat halus. Bahkan saya yakin Pemerintah Kota Jember sendiri tak akan tau kalau dia dikritik ketika dia menikmati karya Afwan. Mungkin ini semua karena proses menikmati seni itu tergantung dari seberapa besar wacana yang dimiliki oleh penikmatnya. Jadi kalau tidak mengerti tentang apa itu seni karikatur. Otomatis tak akan paham apakah kritik sosial yang sengaja diselipkan dalam karya itu. Padahal seni karikatur sendiri adalah hasil dari pembacaan atas realitas. Kemudian si karikaturis mencoba mengawinkan realitas dengan imajinasi. Maka lahirlah seni karikatur yang satir.

Ada pula beberapa dari mereka yang selalu kesulitan untuk berkompromi dengan tangannya sendiri. Tetapi selalu gagal mengajukan gugatan cerai dengan imajinasinya sendiri. Mereka sangat mampu untuk mengonsep berbagai jenis karya seni. Misalnya si Umi Agustin dan Ulil Petrik. Mereka berdua mempunyai imajinasi yang digodok dengan kritik sosial. Mungkin karena kerekatan hubungan mereka dengan buku dan diskusi. Maka seringkali beberapa dari kami harus rela membolak balik rumusan wacana dalam buku, untuk sekedar menikmati, apa sih yang ingin mereka komunikasikan dalam karya seni mereka sendiri.

Kalau saya sendiri lebih gemar menulis esai, cerpen, puisi, dan menggambar abstrak. Di saat mitologi Yunani Kuno bercumbu dengan era modern. Di era kekinian benturan itu terjadi atau mungkin sudah pernah terjadi namun hanya diulang lagi. Bagi saya saat itulah terjadi pencabulan antara paman dan keponakannya sendiri. Maka imajinasi barangkali harus dibekukan dalam simbol-simbol. Saya tidak ‘menciptakan’ karya. Saya hanya mencoba menyampaikan apa yang saya pikirkan. Kemudian yang berinteraksi dengan para pembaca atau anda, bukanlah saya. Akan tetapi imajinasi saya yang berhasil keluar dari penjara untuk kemudian berkomunikasi dengan anda secara mandiri. Dan saya telah mati.

Mereka (karya) akan segera menjadi subjek yang mendampingi kehidupan anda. Mereka bergentayangan. Bergentayangan dalam imajinasi anda dalam realitas. Sory saya sengaja khilaf, sebenarnya terlalu sadis menghakimi diri saya sendiri dalam tulisan ini. Atau mungkin bukan hanya menghakimi saya sendiri. Bisa jadi semua karya para Pekerdja di Babebo Zine juga seperti itu. Sudahlah lupakan saja. Toh, anda sekarang tidak sedang membaca tulisan saya. Atau kalaupun anda ingin mengatakan kalau ini tulisan saya. Okelah ini tulisan saya. Akan tetapi saya yang lain.[]

Babebozine; Iklan itu Sadis! (Catatan Epigraf)

Jika karya adalah clue perabotan dalam dunia imajinasi. Maka iklan adalah koloni rayap yang siap menghancurkan perabotan itu dari dalam. Dia adalah seperangkat kesadisan yang selalu datang bersama senyap. Perlahan merebut diri kita. Merebut pemikiran kita. Hingga dialah kebenaran absolut yang mengendalikan pikiran kita.

Ketika melihat segala macam bentuk iklan. Berbagai jenis manusia seketika berubah. Perubahan terjadi karena iklan selalu mengagung-agungkan agar kita tertunduk pada hasrat. Budak hasrat. Kita?

Di Jember, sebuah koran lokal dengan inisial ‘Radar Jember’ mempunyai salah satu rubrik untuk publik. Bisa kita artikan sebagai ruang bagi publik untuk menyuarakan ekpresinya. Akan tetapi tetap saja ada berbagai macam bentuk atibut kepentingan di sana. Misalnya saja dalam rubrik Seni dan Budaya, karya sastra para kontributor harus bertanding dengan space iklan.

Terlebih jangankan memberikan bayaran yang sesuai dengan hasil kerja para kontributornya, menyapa para kontributor dalam email saja tak pernah. Sungguh redaktur yang malas sekali atau mungkin malah antisosial. Memanfaatkan hasil kerja orang lain demi kontinyuitas oplah cetaknya setiap hari.

Di sisi lain yang lebih menakutkan dari koran lokal. Koran itu tidak akan berani memuat berita yang berlawanan atau tidak sepaham dengan penyumbang iklan dalam medianya. Bukankah publik berhak tau atas segala informasi yang menyangkut publik an sich. Lantas mengapa penyumbang iklan menjadi lembaga sensor ketiga setelah pemimpin redaksi dan pemimpin perusahaan. Aih, pemimpin redaksi memang bukan raja dalam sebuah perusahaan media, karena masih ada tuhan dalam wujud pasar modal.

Ya, yang awal dari seni adalah hasil perkawinan antara realitas dan imajinasi. Maka dari itu Babebo edisi #3 kali ini mencoba merangkum realitas kemudian menungkan dalam gambar dan kata. Karena segala yang bernama kebenaran hanya bersifat sementara. Maka kami menodong bantuan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca imajinasi sekalian.

Terima kasih kepada Chandra Mind Zine, Saiful Bachri, juga pare pegiat zine yang telah membantu persalinan Babebo Zine #3 ini.

Viva Imadjinasi...!!


Untuk Selesai, Butuh Uang

Pagi itu seperti biasa, saya berangkat dari rumah jam setengah tujuh pagi. Kemudian nongkrong di samping jalan pantura sembari menunggu angkot. Bisanya saya tak sendiri. Teman-teman sekampung sering berangkat bareng-bareng dalam satu angkutan umum.

Saya dikenal sebagai murid yang selalu terlambat. Ketika datang terlambat, beberapa anak yang telat selalu di kumpulkan oleh satpam di gerbang masuk sekolah. Pernah suatu kali saya datang terlambat. Kemudian si satpam menyodorkan buku absensi khusus siswa yang terlambat. Di buku absensi itu terdapat kolom nama, kelas, dan lebih dari lima kotak sebagai tempat tanda tangan.

Karena sudah terlalu sering melakukan ritual semacam itu. Saya jadi terbiasa dengan aturan tanda tangan di buku besar itu. Tentusaja nama saya dan beberapa tanda tangan sudah tercantum di sana. Kemudian pagi itu saya mencari nama saya. Nah, ketemu! Lalu tinggal mencari kolom yang kosong untuk tanda tangan. Dan ternyata sial sekali, gak ada kolom kosong yang siap saya bubuhi tanda tangan. Otomatis saya tanda tanggan di luar kolom.

Hari berikutnya dan seterusnya saya masih datang terlambat ke sekolah. Sampai lebih dari lima tanda tangan saya berada di luar kolom. Pada akhirnya ketika proses belajar mengajar, saya dan beberapa teman dipanggil ke kantor. Entahlah saya tak begitu ingat tentang apa yang dikatakan oleh guru bimbingan konseling waktu itu. Namun yang jelas waktu itu diakhir ceramah yang sangat riuh, masing-masing dari kami diberi surat. Nah, surat tersebut berisi panggilan agar orang tua kami datang ke sekolah.

Setelah kami mendapat surat berukuran besar, bewarna putih, tersegel rapat, dan tertuliskan ‘Kepada Yth. Wali Murid …,” kami tak langsung masuk ke dalam kelas. Sambil bergerombol, di depan kantin kami saling mengungkapkan kegelisahan. Seorang teman perempuan berkali-kali mengusap air mata. Wuh, cantik sekali dia di kala itu. Dengan kulitnya yang putih, rok pendek bewarna biru tua, rambutnya pendek, dan tahi lalat di hidungnya. Dengan muka yang semakin memerah dia bertanya pada kami, apa yang akan kami lakukan dengan surat ini.

Sedangkan beberapa teman saya yang laki-laki, mereka hanya diam sambil menatap jauh ke depan, sebagian lainnya menerawang ke langit-langit kantin. Entah apa yang sedang mereka pikirkan. Yang jelas, mereka sedang menyesal berat. Sedangkan saya sibuk mengamati ekpresi mereka. Memikirkan apa yang sedang mereka pikirkan. Jika mereka gusar saya sedikit berlagak sombong dengan meremehkan permasalahan. Cukup sederhana saya hanya bilang ke mereka kalau surat ini takkan berarti apa-apa bagi saya. Ya, hanya surat. Tinggal menyampaikan kepada orang tua. Kalau orang tua memarahi, cukup pamitan keluar untuk main atau pasang headset kemudian tidur.

Sebenarnya apa yang saya katakan pada mereka tak sepenuhnya akan terjadi. Paling tidak tujuan utama saya adalah dengan meremehkan permasalahan, mereka akan merasa tenang. Selain itu mungkin mereka akan menganggap kalau ini hanya sekedar permasalahan kecil semata. Ya, alhasil mereka sedikit tenang. Kemudian ketenangan yang sementara itu, menumbuhkan berbagai ide baru. Seorang teman saya bilang kalau dia akan membayar tukang becak untuk menghadiri guru bimbingan konseling besok. Sedangkan salah satu teman yang lainnya hampir serupa, dia akan menyuruh temannya yang tua dan bekerja di bengkel untuk ke kantor dan menukar jasanya dengan sebungkus rokok. Wuiihh, ide yang bagus.

Mungkin saat itu adalah pertamakalinya saya memahami jika pelaksanaan sebuah ide itu selalu butuh uang. Dasar generasi instan. Bagi kami waktu itu, masa kecil adalah kehidupan yang tak pernah terlepas dari dominasi uang. Bayangkan untuk bersenang-senang dan tertawa bersama saja kami butuh uang. Misalnya beli Topi Miring atau main PS. Ya, kita akan tertawa bersama. Selain itu ikatan emosional kami lebih gampang untuk rekat antara satu dengan lainnya. Ya, karena keberadaan uang maka kami adalah kelompok yang kompak. Kemana-mana selalu bersama.

Contoh paling sederhana saja misalnya, anak sejaman saya harus merangkai ikatan emosional dengan modal uang. Biasanya kami kalau ingin akrab atau sekedar basa-basi semata, cukup keluarin rokok kemudian satu batang untuk bersama. Haha, iya joinan. Maka dari itu setiap berangkat sekolah saya tak pernah lupa beli rokok eceran. Biasanya ritual merokok bersama itu di toilet sekolah. Mungkin karena tak selamanya menjadi zona yang aman. Maka dari itu semenjak banyak grebekan, kami lebih sering merokok di kantin sekolah. Tentu saja dengan terlebih dahulu kong-kalikong dengan pemilik kantin. Lalu di ruang tersembunyi dalam kantin biasanya kami saling bercerita dan selalua ada tawa.

Memang tak perlu banyak uang. Tapi pastinya selalu harus ada uang yang mengalir dari salah satu dari kami. Beberapa teman memang mempunyai hobi meminta. Biasanya satu snack bisa dimakan berlima, satu plastik es bisa disedot bertujuh, satu gorengan dibelah jadi empat, dan sebagainya. Terkadang saya juga meminta juga. Dan terkadang mereka juga meminta pada saya.

Terlepas dari itu semua, waktu itu sayapun masih tak paham. Sebenernya mengapa kami butuh uang untuk sekedar berinteraksi. Atau sekedar merekatkan jaringan. Mungkin karena keterbatasan wacana atau kemalasan untuk sekedar melamun dan mengoreksi habis-habisan. Sampai saat inipun saya tak sepenuhnya memahami, mengapa kami butuh uang?

*Tulisan perang "GJ" dengan Si Sadam

Melipat Amarah

Apa yang anda lakukan ketika terlalu banyak orang-orang yang terlalu sulit untuk sepaham dengan anda. Seolah mereka mendominasi pemikiran publik dan berhasil merumuskan mana yang bisa dimaknai sebagai kebenaran. Kalau saya, tentu saja akan lebih memilih untuk berlari. Berlari untuk memberi jarak sejenak.

Memang tempat pelarian tidak selalu harus jauh. Tapi setidaknya saya akan berlari. Chairil juga pernah blang, jika ada peluru yang menembus tubuhnya, dia akan segera membawa tubuh beserta peluru itu untuk berlari. Mungkin dengan berlari maka segala rasa akan dilalui dengan penuh ketidaksadaran. Maka sakitpun tak akan terasa.

Begitulah, saya serigkali mencoba untuk berjarak dengan apapun. Ya, termasuk realitas. Bagaimana tidak, jarak realitas sendiri tak sejauh jarak Jember ke Surabaya. Hanya jarak antara dunia nyata dengan alam imajinasi. Atau jarak dirimu sekarang dengan dunia cyber. Bah, bukankah kedua dunia itu bisa dilalui dengan bersamaan.Dekat sekali. Bahkan lebih rapat dari nada bicara yang keluar dari mulut dengan udara.

Akan tetapi upaya untuk berjarak dengan realitas hanyalah sebuah lintasan kecil untuk menetralisir hegemoni. Tak lebih dari itu. Mungkin di sanalah letak kelahiran sebuah pemikiran independent tanpa campur tangan orang itu sendiri. Ya, walaupun segala wacana yang dilibatkan dalam pikiran kita tidak akan terlepas dari orang lain. Setidaknya kita dapat memetakan permasalan terlebih dahulu. Kemudian memploting siapa musuh dan siapa kawan.

Saya yakin perlakuan saya terhadap masalah akan mempermudah penyelesaian permasalahan itu sendiri. Plato juga pernah menemukan permasalahan pelik dalam memahami realitas. Ketika dia memandang sebuah benda misalnya botol bir. Maka yang pertama dia lakukan adalah kontak fisik dengan mata. Kemudian mata itu sendiri tidak secara independent mampu memaknai benda itu. Akan tetapi celah kekurangan yang dimiliki oleh mata kemudian ditambal oleh pikiran. Lalu pikiranlah yang akan bekerja keras untuk memaknai realitas. Namun tetap saja pikiran an sich tidak akan mampu memaknai realitas. Bahkan tanpa pandangan mata pada benda itu sebelumnya maka kita tak akan mampu mengenal benda itu. Bahkan menganggap sebagai benda yang nireksistensial.

Jika contoh tersebut dihubungkan dengan sangat terpaksa dengan Mahatma Gandhi yang pernah berkata, jika kau membalas tatapan mata dengan tatapan mata maka dunia akan buta. Mungkin sama halnya ketika kita berusaha membalas perlakukan dengan perlakuan yang serupa maka dunia akan hancur. Atau bila kita membalas amarah dengan amarah maka akan muncul kerugian antara kedua belah pihak.

Okelah, saya tetap berdiri satu kaki pada sebuah sikap saya sendiri yang memperlakukan amarah sebagaimana kawan lama yang harus kita sambut dengan sangat riang. Saya akan menyerap amarah yang kata orang kebanyakan terselip dalam simbol api atau merah. Karena bagi salah satu Filsuf pra Socrates, api adalah udara dan udara adalah air. Oleh karena itu anggap saja api terkanstruk dari substansi material utama berupa air yang dingin. Dingin sekali. Dingin.

*) Tulisan ini adalah provokasi untuk meledakkan perang "GJ" dengan kalian yg saya tag

Sepasang Sepatu yang Berjalan di Tempat

Jika waktu adalah lembaran kertas yang kosong. Maka setiap kedipan adalah sebuah coretan kecil. Pagi itu saya berjalan-jalan. Tapi tak menggunakan sepasang kaki. Yang saya butuhkan hanyalah mata dan kedua tangan. Karena perjalanan panjang yang saya tempuh adalah ringkasan dari dunia. Meski tak seluruhnya dari dunia bisa diringkas.

Orang-orang menyebutnya sebagai dunia maya. Sebuah lipatan dari realitas yang ditampilkan dalam layar kaca. Memang kita tak akan membutuhkan sepasang kaki jika ingin berlarian kecil di dalamnya. Biasanya saya hanya butuh seperangkat perlengkapan pinjaman.

Jika browsing adalah sebuah perjalanan. Pastilah demi sebuah kenyamanan dan keamanan saya punya versi sendiri. Laptop sebagai sepatunya. Catatan kecil tentang situs-situs favorit disulap jadi kompas. Selain itu harus membangun istana kecil di dekat Basecamp. Tak perlu susah payah membagun istana yang megah. Sederhana saja ambil bantal dan jadilah pemukiman kecil yang nyaman.

Tapi, pagi itu bukan saya yang sedang melakukan perjalanan. Akan tetapi kedua teman saya. Mereka adalah perempuan dengan gelar gaya hidup yang sok tinggi. Alangkah sialnya warisan waktu yang diberikan pada mereka. Karena yang mereka lakukan hanyalah menyakiti waktu dengan cara bersenang-senang. Tentu saja bukan bersenang-senang seperti apa yang selama ini ada dibenak kita.

Bagi mereka kesenangan terjadi di saat mereka menjelajahi dunia maya hanya untuk memilih sepatu. Aih, memang ketika pertamakali saya mengetahui kalau ternyata ada perempuan yang sejenis itu, rasanya seperti tertampar petir. Betapa mengherankannya mereka. Perempuan seperti mereka itu bisa saja terdefinisikan sebagai perempuan pemalas.

Sebenarnya sebagian dari kita telah tergolong sebagai kaum mereka. Entah disadari atau tidak. Kita telah terjebak pada segala hal yang cenderung terlipat. Atau sederhananya bisa kita sebut tingkah laku instan.

Bukankah lebih menyenangkan kalau kita berkeliling dari toko-ke-toko untuk mencari sepatu. Kita bisa berinteraksi langsung dengan penjualnya. Bukan hanya masalah tawar menawar harga. Budaya saling sapa pastilah hadir di sana. Sekedar berkenalan atau saling tanya kabar.

Akan tetapi coba lihat apa yang gemar teman saya lakukan. Tanpa sadar, dia telah terjebak dalam siklus sebuah pasar maya yang hadir dengan modal yang besar. Pasar itu memperlebar arena publiknya sampai ke ruang sosial di dunia maya sekalipun. Yang mereka tawarkan sebuah barang yang bisa dibeli dengan cara yang mudah. Selain itu, dengan menampilkan beraneka ragam jenis model sepatu. Para konsumer menjadi mempunyai keinginan lebih besar untuk tidak membeli satu sepatu saja.

Tak hanya itu tingkah pasar dengan modal yang besar. Diam-diam mereka mempengaruhi pemikiran para konsumen. Upaya yang mereka lakukan, memainkan hasrat para konsumen. Pertama-tama masyarakat dipecah menjadi berbagai kelas. Kelas rendahan, kampungan, ndeso, elit, dan gaul. Kemudian ditiupkan arwah pada setiap komoditas yang mereka produksi. Arwah itu mengandung status kelas sosial.

Maka muncullah berbagai macam bentuk roh yang sering didengungkan dalam iklan. Misalnya saja dengan memakai sepatu Adidas kamu bakal gaul. Jika ingin dipandang sebagai manusia dengan kelas sosial kaya dan elit maka pakailah Nike.

Kembali lagi pada kedua teman perempuan saya. Mereka berdua tak sadar jika dirinya hanyalah mengkonsumsi roh dari sebuah komoditas. Kesenangan membeli terletak pada cita rasa ilusi dan fantasi yang didembor-gemborkan oleh iklan. Namun bukan pada subtansi material atau nilai guna benda yang mereka beli.

Pantaslah jadinya kalau kedua teman saya itu ketagihan membeli sebuah ilusi. Mungkin karena terdapat kejayaan tertentu ketika status sosialnya terangkat. Harapan yang dia impikan adalah menjadi setara dengan kelas sosial yang biasa mengkonsumsi komoditas tersebut. Misalnya anak pegawai bank, anak pejabat, dan sebagainya.

Padahal jika kita mencoba membaca pesan yang dianut dalam sebuah foto. Tentu saja foto yang frame-nya mempunyai point of interest pada sepasang sepatu. Barangkali kita akan memahami jika foto tersebut sedang bercerita. Atau lebih sederhananya pemilik foto itu sedang berkomunikasi dengan kita lewat sebuah benda.

Sebagian orang ketika memaksa dirinya untuk memaknai foto itu. Barangkali dia akan menjawab, si pemilik foto sedang bercerita tentang proses hidup. Sepatu dimaknai sebagai kita yang sedang bernafas. Satu jejak yang sepatu jalani bagaikan satu hembusan nafas yang kita lalui. Bahkan lewat sepatu, kita bisa mencari tau dari mana si pemiliknya pergi.

Lantas apa hubungannya antara kedua teman saya dan sepasang sepatu gaulnya dengan pesan yang dikandung foto tadi?

Keduanya tidak sama-sama berjalan dalam waktu. Teman saya menjadi sepasang sepatu yang berjalan di tempat. Sedangkan waktu, yang berlari melampaui dirinya. Entahlah apakah sang sepatu tau jika pemiliknya hidup dalam keadaan yang setengah sadar. Kalau dia tau, mungkin dia tak pernah sempat mengingatkan.[]

*Tulisan untuk memprovokasi perang 'GJ' (tema: sepatu)