Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Rabu, 28 Maret 2012

Zaman Batu Dalam Kelas

Pernah suatu kali, di dalam kelas, dosen saya bercerita tentang konten salah satu rubrik di kompas. Dengan sangat ekspresif dia bercerita. Cerita yang menurut saya sedikit menguras waktu karena tak ada hubungannya dengan mata kuliah yang harusnya dia ajarkan. Perlahan saya mulai bosan, dia kira saya gak bisa membaca apa kok pake diceritain segala.

Di sebelah kanan saya ada deretan jendela-jendela berukuran besar. Sambil mengarahkan pandangan ke kanan dan melihat mahasiswa lain yang sedang lalu-lalang, saya masih bisa mendengar ocehan dosen itu.

Tetap memandang jauh ke luar jendela, saya memikirkan apa yang sedang dosen itu ceritakan. Intinya dia sedang bercerita tentang suatu daerah terpencil di pulau Papua. Ya, cerita yang sebetulnya bisa disampaikan dengan sederhana, akan tetapi sang dosen lebih senang menyampaikan cerita dengan cara berbelit. Mungkin dengan berbelit, segala hal terkait kekuarangan informasi yang dia dapat sebelumnya, akan sangat mudah ditutupi. Seolah dia tau segalanya. Uh, sayang sekali Bu. Anda gagal menceritakan nama daerahnya, bukannya Papua tak lebih kecil dari koran yang anda baca? Terlebih nama sukunya?

Begini, yang saya tangkap dari cerita sang dosen. Ada suatu daerah yang masih mirip dengan Zaman Batu. Maksudnya masyarakat di daerah itu masih menggunakan batu sebagai alat utama dalam menjalankan kehidupan. Kemudian dosen itu sedikit menarik bibirnya ke atas, cukup kentara dia sedang menyampaikan ekspresi sinis sambil berkata, “Ternyata di zaman semacam ini masih ada Zaman Batu di daerah Papua.”

Kemudian sepulang dari kuliah yang membosankan itu, saya berbincang sedikit hal terkait cerita sang dosen itu. Saya hanya bisa berkata pada teman-teman, “Ini kan aneh, Zaman Modern yang sedang meliput Zaman Batu kemudian menginformasikan lewat koran!” Akan tetapi teman-teman saya lebih senang menjawab kegelisahan saya dengan cara berdiam diri.



Mengapa ada ‘Periodesasi Sejarah’?
Di saat senggang, saya sering sekali melamunkan cerita sang dosen itu. Kemudian saya sedikit mengingat tentang perdebatan terkait permasalahan ‘periodesasi sejarah’ dengan teman-teman ngerumpi filsafat (Ngufil) dulu. Ya, beberapa teman pernah protes, “Ngapain sih bahas filsafat dengan peta periodesasi zaman.” Yang mereka maksudkan, mengapa kami ngobrol tentang filsafat yang dibatasi oleh zaman. Misalnya abad pertengahan ada tokoh siapa saja, pemikirannya bagaimana, dan sebagainya.

Saya masih ingat perdebatan tentang hal itu sampai panjang sekali, hanya karena saya pernah mengajak mereka berdiskusi tentang filsafat, yang tema diskusinya adalah filsafat abad pertengahan. Setelah itu kami mencoba belajar filsafat sambil meruntut pemikiran satu-persatu tokoh dimulai dari Thales.

Lantas bagaimana saya bisa lolos dari perdebatan panjang itu? Saya hanya berkata pada teman Ngupil saya, jika periodesasi sejarah itu mempunyai fungsi mempermudah memahami suatu konteks dengan batas yang sudah disediakan. Karena dalam setiap konteks mempunyai ciri khas berlainan dengan konteks yang lainnya oleh karena itu bisa diberi batas. Maka dari itu dengan periodesasi, kita bisa dengan mudah membayangkan karakter zaman. Ketika seorang teman menyebutkan zaman Pra-Socrates (Periodesasi yang dibuat Betrand Russel), maka kita akan membayangkan Athena yang penuh mitos tentang Dewa-dewa dan bagaimana cara manusia memahami alam raya.

Akan tetapi Taufik Abdullah juga pernah mengatakan fungsi kedua dari sebuah perodesasi sejarah. Bagi Taufik fungsi kedua tersebut ialah untuk menunjukkan kepada kita perihal bagaimana sebuah masa lalu itu harus dipahami. Tentu saja hal ini akan merujuk pada basis ideologis penentu periodesasi. Dalam suatu contoh misalnya Moh. Yamin pernah membagi sejarah Indonesia menjadi lima zaman yang berujung pada ‘Abad Proklamasi’. Bisa dilacak kemudian jika Moh. Yamin mencoba membangun rangkaian sejarah melalui perspektif atau sudut pandang yang mengagungkan sifat Nasionalisme. Mulai titik awal sampai akhir, yang berperan dalam sejarah adalah bangsa Indonesia yang pada akhirnya Happy Ending.



Beda wilayah, beda zaman
Kembali lagi pada pokok permasalahan yang saya temui lewat cerita sang dosen. Bagaimana suatu zaman bisa saling berbeda dengan wilayah yang lain.

Memang salah satu cara mudah untuk memahami masa lalu adalah dengan menyediakan beberapa patokan (periodesasi waktu). Dan menemukan terlebih dahulu hal apa yang menyebabkan bagian mana dari peristiwa atau periode waktu itu penting untuk menjadi sejarah. Mungkin karena betapa banjirnya peristiwa masa lalu. Maka dari itu harus disarikan, karena akan mustahil kalau semua dituliskan atau menjadi sejarah.

Selain itu, Taufik Abdullah juga pernah mengatakan bahwa sejarah tidak hanya mengenal pembatasan waktu. Akan tetapi juga terdapat pembatasan wilayah atau spasial. Maka dari itu jika terdapat suatu wilayah yang telah masuk sebagai ciri khas zaman modern, tidak menutup kemungkinan terdapat wilayah lain yang masih berada dalam zaman batu.

Tiba-tiba saya jadi memikirkan hal yang harusnya kita pikirkan bersama. Bukankah Proklamasi Kemerdekaan atau pernyataan jika Indonesia telah merdeka hanya dilaksanakan di Lapangan Ikada Jakrta? Lantas apakah hanya Jakarta saja yang merdeka?