Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Selasa, 25 Juni 2013

Kemeja Hitam

Sewaktu SMA dahulu, seperti biasa saya dan beberapa teman asik nongkrong di pinggir jalan depan sekolahan. Kala itu di depan kami ada mobil pick-up putih yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga merupa stand baju. Ada salah satu baju yang jadi pusat perhatian salah satu teman saya. Baju itu berjenis kemeja berwarna hitam. Perlahan saya mencoba mencari tau, apa yang membuat teman saya ini sedari tadi memandanginya. Asumsi saya kemudian muncul, barangkali dia tertarik dengan kemeja itu karena satu hal. Mungkin karena emblem bergambar ‘Oi’ di bahu kiri kemeja itu.

Beberapa saat kemudian dengan niat untuk bercanda, saya berujar padanya, “Eh, awakmu ngerti gak lek bulan wingi iku enek kabar lek Iwan Fals mati (Eh, kamu tau kalau Iwan Fals bulan lalu dikabarkan sudah mati.” Saya benar-benar kaget ketika mengetahui respon dia atas kata-kata saya tadi. Dengan sedikit membentak dia berkata, “Eh awakmu senggenah lek ngomong (Eh kamu yang serius dikit kalau ngomong),” hardiknya.

Kemudian karena saya menganggap semakin serius saya menjelaskan maka dia akan percaya. Maka saya menambahi kebohongan yang di awal tadi, “Piye toh awakmu iki jarene arek Oi kok gak ngerti kabar tuhane dewe (kamu ini gimana sih, ngakunya anak Oi tapi gak tahu kabar tuhannya sendiri),” sambung saya. Lalu saya kaget lagi atas respon keduanya.

Bagaimana tidak kaget, dia yang tadinya dengan garang menghardik, kali ini dia mendadak lesu dan kelihatan lemas. Setelah agak lama dia memfokuskan pandangan ke bawah atau menunduk. Sambil tertawa brutal saya berkata padanya, “Wakakak.. Aku Cuma guyonan (Wakakak… Saya cuma bercanda).” Sambil menatap saya dia berkata, “Untung seng ngomong maeng awakmu bro. Cobak misale arek liyo pasti wes tak torkop (untung saja yang bilang tadi kamu bro. Coba kalau orang lain pasti sudah tak pukul).”

Ketika mengeluarkan kata-kata itu, karena dia sedang menatap saya dengan jarak yang dekat, saya baru mengetahui jika matanya sedang berkaca-kaca. Sedari tadi dia merunduk barangkali sedang merefleksi rasa kehilangan seseorang yang selama ini dia anggap hero. Sambil senyum saya hanya bisa bilang maaf sembari menawari rokok eceran kepadanya.

Beberapa hari setelah itu saya menginap di rumahnya. Rumahnya daerah pesisir pasuruan, dekat pelabuhan. Dari poster-poster yang menempel di kamar, isi lemari, lagu yang keluar dari hape dan gitarnya, saya baru menyadari jika dia ternyata sudah terlalu lampau menyukai lagu-lagu Bang Iwan.

Selain itu, suatu malam di beranda rumahnya, kami berdua menyanyikan lagu Iwan Fals, diiringi petikan gitar teman saya itu. “Kalau cinta sudah dibuang. Jangan harap keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan. Bagi mereka yang diperbudak jabatan,” lirik itu bermuncratan dari mulut kami berdua. Kala itu teman saya memakai kemeja hitam dengan emblem ‘Oi’ di bahu kirinya.

Hari ini saya merindukan Saiful, teman saya yang selalu menghiasi tubuh dengan atribut ‘Oi’ itu, termasuk seragam sekolahnya.[]