Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Minggu, 31 Agustus 2014

ISIS dan Layunya Ilmu Pengetahuan

Banyak orang tak paham asal muasal Negara Islam Irak dan Suria (ISIS). Begitu juga saya. Saya tak terlalu yakin penyebabnya. Mungkin karena tak banyak orang berani begitu saja mempercayai sejarah. Bisa jadi, hasil pelacakan yang dikemas dalam bentuk sejarah, sengaja tak dibuat untuk membuat orang lain paham. Ada bagian yang sebenarnya paling ringkih dalam sejarah, yaitu sebuah upaya untuk menginventarisasi kubu. Semacam penjelasan yang ditujukan untuk meraih simpati. Namun disertai esensi magnetik yang di awali dengan kemarahan.

Saya tak memiliki pengetahuan yang kuat memang tentang ISIS. Akan tetapi, bolehlah jika saya mencoba untuk sekadar memanifestasikan keresahan. Meskipun tak ada manifestasi yang bisa disampaikan secara penuh. Apa yang pada akhirnya sampai kepada pembaca pun akan melalui proses tumbuh. Pemaknaan akan berkembang biak, terus bercabang. Bagi saya, hal tersebut yang pada akhirnya membuat kita sadar bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang. Jika berhenti, bisa dikatakan telah mati, layak untuk diabaikan sebagai ilmu pengetahuan.

Ada yang tiba-tiba merimba di pemikiran orang Indonesia. Dalam waktu yang singkat, kita bisa sama-sama memahami jika infomasi tentang perkumpulan garis keras itu, pada awalnya sebuah berita. Semakin kuat media memberitakan isu ISIS, bukan hal yang aneh jika di bawah, keresahan masyarakat semakin berlipat ganda derasnya.

Sebagai warga Indonesia, kita memang hidup dengan cara yang setengah-setengah. Tak sepenuhnya menganut paham tertentu secara fundamental. Seolah berpura-pura bahagia berada dalam fase ‘di antara’. Ada banyak bagian dari paham macam manapun yang hadir dengan terlebih dahulu melalui proses penyaringan. Inti sari dari sebuah paham itulah yang pada akhirnya direstui untuk dijadikan acuan hidup. Selalu saja hanya bagian terkecil. Akan tetapi, sebelumnya telah ditelaah, direvisi, dan disesuaikan dengan keadaan sosial budaya negeri ini. Maksud setengah-setengah tadi, menurut saya ialah kita tak sepenuhnya ortodoks atau mewarisi dan mengimpor wacana secara mentah. Bahkan kita pun tak sepenuhnya sepakat menjadi beragam.

Sebagai salah satu bagian dari generasi pemuda negeri ini, saya masih menganggap bahwa Indonesia adalah salah satu tulang punggung bagi kelahiran organisasi kuat. Untuk mengetahui mengapa begitu, mudah saja. Bisa dilihat dari kita yang setengah-setengah tadi. Di sana, organisasi macam manapun yang berkeinginan besar untuk bertindak menginternasional butuh jaringan di Indonesia. Bagian terpenting dari Indonesia ialah menyimpan potensi menjadi kuat. Oleh karenanya, ISIS tak sedang menyasar di negeri ini. Akan tetapi mereka jeli membaca perkembangan pemikiran suatu negara.

ISIS membutuhkan dukungan dari beberapa titik. Biasanya minimal hanya perlu mengguncang satu kota. Misalnya saja di Indonesia, untuk melakukan perubahan massal, cukup adakan desakan secara sporadis di Jakarta. Kebanyakan memang mengecoh daerah lain dari pusat negara akan lebih ringan untuk dilakukan. Jika dalam tiap negara terdapat satu titik, gerakan besar bisa segera dimulai.

Di Indonesia, entah mengapa saya merasa yakin jika lambat laun kita akan mendapati ada yang menyambut dengan riang dasar pemikiran ISIS. Tak mungkin secara individual, karena untuk mengawali bisa mendatangkan personal yang membawa bingkisan ideologi garis keras itu. Dengan begitu, injeksi pemikiran tidak akan berlangsung beserta rasa sakitnya. Perlahan dan halus sekali.

Oleh karenanya, di awal, mereka akan ada dalam bentuk kelompok. Setelahnya, mereka akan memerangi kelompok manapun. Tentu saja yang berseberangan atau berlainan ide dengan kelompoknya sendiri. Hal itu dilakukan pertama untuk menegaskan keberadaan mereka yang disusul dengan menjemput rekan dari kelompok lain. Mungkin bisa diistilahkan dengan memancing di kolam tetangga.

Jangankan memeranginya, berharap kesadaran kritis senantiasa terjaga untuk mewaspadai penyebarannya saja sulit. Mereka bisa menyelinap masuk dalam negeri ini dengan nama lain. Meskipun ada satu hal yang sebenarnya mereka butuhkan, yaitu deklarasi. Tanpa hal itu, akan sulit sekali bertahan hidup. Barangkali sebabnya ialah pasokan dana yang hanya bisa ditagih dengan bukti bertambahnya pengikut. Tak murah memang menjadi kubu dengan pola penyebaran yang sengaja dibuat instan dan keras.

Jika ditinjau lebih dalam, tak ada gagasan dari sebuah gerakan yang melata datang dari omong kosong belaka. Pada umumnya, pasti melalui serangkaian proses berpikir yang panjang. Ada keseriusan di sana. Begitu pula ISIS yang menurut saya digerakkan oleh kekecewaan yang giga. Setiap kekecewaan akan membutuhkan imajinasi liar untuk mencapai solusi.

ISIS memang telah merumuskan solusi untuk mengobati kekecewaannya. Mereka memiliki jalan sendiri. Tak banyak orang tahu apa bagian terpenting yang memunculkan kekecewaan beratnya. Kebanyakan kita hanya mampu menerka-nerka melalui dampak keberadaan ISIS. Dari sana, akan tampak mengapa mereka tidak puas dengan perwujudan dinamika sejarah. Persoalannya terletak pada bagaimana manusia memandang realitas dan memaksakan pandangan keagamaan sebagai solusi.

Teks agama selalu saja pecah berkeping-keping ketika sampai ke masing-masing pembacanya. Tumbuh sedemikian lebat. Bercabang-cabang. ISIS adalah salah satu cabangnya. Sayangnya, setelah cabang itu diadopsi oleh ISIS akan segera menjadi layu dan kering. Salah satu sudut pandang untuk memahami teks agama tersebut akan berhenti tumbuh. Sederhananya, menjadi sesuatu yang bersifat tetap. Maka dari itu, solusi yang ditawarkan oleh ISIS bagi para penganutnya akan berlaku mutlak.

Bukan hanya sebagai landasan. Lebih dari itu, saya rasa ISIS menjaga agama agar tetap tajam karena mereka memfungsikannya sebagai parang. Bukan hanya untuk menakut-nakuti melainkan untuk membunuh. Bisa saja bagi para penganutnya, rasa kemanusiaan harus diacuhkan demi bayang-bayang ketuhanan ala ISIS. Pembantaian dan penghancuran dianggap sebagai tahapan untuk mencapai solusi. Seolah ISIS berambisi mencapai suatu kedamaian yang dibangun dari jutaan kemuraman.

Tak heran jika hingga detik ini, ISIS akan terus memperluas medan perangnya. Siapapun bisa menjadi musuh atau kawan. Percayalah, hari akhir belum dimulai. Masing-masing cabang pengetahuan belum mencapai titik akhirnya. Sebisa mungkin buatlah terus berkembang.[]

*) Esai ini pernah dimuat dalam Rubrik Social Midjournal http://midjournal.com/2014/08/isis-dan-layunya-ilmu-pengetahuan/

Senin, 30 Juni 2014

Cahaya

Beberapa hari yang lalu saya bertanya kepada seorang teman mengenai momen apa yang paling estetik selama dia memelihara ayam? Dengan respon cepat dia menjawab, “Ketika tangan saya terkena tai ayam.” Rentang sesaat tersebut bagi saya, ayam tak lebih dari sekedar tengah menghadiahkan cermin. Koreksi. Saya jadi teringat dengan pepatah kuno di pintu masuk Kuil Delphi, berbunyi gnothi seauton yang berati kenalilah dirimu sendiri.

Sebelumnya beberapa kali teman saya tadi menegaskan, jika dirinya telah diperbudak oleh ayam-ayam peliharaannya sendiri. Bagaimana itu bisa terjadi? Secara sederhana sebenarnya dia sedang berkomunikasi sama ayam, dengan cara menerka-nerka. Sama saja dengan berkomunikasi dengan diri sendiri. Komunikasi satu arah, dari dan kepada dirinya sendiri.

Sesekali ia menyadari bahwa, bentuk interaksi yang terjalin antara dirinya dengan ayam, hanyalah pemaknaan terhadap ayam. Akhirnya apa yang dipersepsikan oleh si ayam tak lain dari perilaku menanggapi diri sendiri. Hanya saja kerap terlambat dipahami.

Bisa jadi secara tak sadar, teman saya terjebak dalam proses penyatuan antara aku dan kehendak. Bagi Nietzsche penyatuan dalam kesementaraan tersebut menimbulkan aku-tuan. Seolah terbentuk struktur hirarki antara dia-tuan dengan ayam. Namun setelahnya selalu hadir ketidakmampuan untuk melebur dengan dominasi diri. Mungkin saja rentang yang tak sepenuhnya kosong tersebut, mengakibatkan keterserakan sentimen yang berujung pada aku-budak. Misalnya jika dikontekskan pada kondisi aku-tuan selalu memberi makan atau bahkan terkena tai ayam. Dalam hal ini, teman saya bukan menjadi subjek yang terbelah, akan tetapi terebut. Terseret ke dalam kehendak yang hidup dalam realitas imajinasi.

Sebenarnya ayam senantiasa mengajari kita akan banyak hal. Mengenai telur misalnya, bagaimana dia menyimpan kehidupan di dalam cangkang yang kuat. Di sisi lain, proses peralihan antara malam menuju terang bisa ditandai dengan berkokoknya para ayam. Seolah beralih fungsi menjadi lonceng, mengingatkan manusia, untuk segera bergegas menjemput yang terang. Terang yang membuat sebagian besar dari semesta menjadi terlihat.

Asal mula cahaya barangkali api. Bagi Heraklitos api merupakan bapak dari segala sesuatu. Alam mengalami metamorfosis setelah kemunculan api. Ia menyebutnya sebagai Arche, asal dan penyangga alam semesta. Api memang bergerak, tapi dia sedang beristirahat dalam proses geraknya. Segalanya ada tersebab cahaya. Matahari menghidupkan mata sekaligus mematikan cemas semesta.

Di negeri matahari terbit, Jepang ada legenda yang diremajakan setiap waktu. mengenai genealogi pulau-pulau Jepang yang merupakan hasil dari perkawinan Dewa Izanagi dan Dewi Izanami. Setelah melahirkan Jepang, Izanagi melahirkan Dewi Matahari, Amaterasu. Dewi yang dilahirkan dari mata kiri ayahnya itu, kemudian menjadi titik koordinat bagi silsilah keluarga kerajaan Jepang.

Amaterasu adalah cahaya. Bersamaan dengan datangnya roh-roh halus yang melekat di kegelapan dan menyatu pada tiada. Amaterasu mengajari kepada orang-orang tentang waktu kosong yang harus segera diisi. Sesuatu yang harus dijadikan kebiasaan atas dasar kebutuhan untuk bertahan hidup. Manusia harus segera berbenah menanam padi dan gandum, menenun, dan membudidayakan ulat sutera.

Pemikiran tentang Amaterasu Oomikami dan kosmologi menjadi masa silam yang diyakini orang Jepang. Peran  Amaterasu Oomikami menjadi aspek yang utama dalam ideologi pemerintah Jepang. Namun  sekaligus menjadi mekanisme pengontrol ideologi kerajaan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18. Ia menganggap ideologi sebagai visi yang komprehensif, cara memandang segala sesuatu. Dia orang pertama yang mendefinisikan identitas rasio tiap individu tersebut.

Struktur Amaterasu Oomikami yang tri-adik menjadikannya sebagai penjaga lingkungan langit, lingkungan bumi, dan lingkungan manusia. Hubungan penetrasi berpusat pada Amaterasu Oomikami yang merupakan sumber keselarasan yang dilestarikan dalam kebudayaan Jepang.

Dunia terdiri dari dunia ideal yaitu dunia pengetahuan dan dunia nyata. Hubungan kedua dunia ini berlangsung terus menerus, melibatkan alam semesta dan pengetahuan manusia. Orang Jepang menyadari baik secara sadar maupun tidak sadar bahwa, semesta harus harmonis dengan dirinya, lingkungannya, dan para dewa. Keselarasan merupakan cara terbaik untuk menghindari harmoni kehidupan yang sumbang. Antara manusia dan segala yang ada di alam semesta harus selaras, merupakan bagian satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Pohon, rumput, burung, bunga, dan sebagainya disematkan pada corak pakaian yang mereka kenakan. Begitu pula dalam meracik menu dan cita rasa masakan. Mereka sangat menghargai masakan sebagaimana bentuk alaminya. Bentuk, warna, dan rasa masakan dipertahankan se-alami mungkin.

Lingkungan sebagai sebuah mikrokosmos, menjadi arsitektur yang selaras dengan bangunan masa, yaitu rumah). Di dalamnya, keteraturan selalu berjalan beriringan dengan ketidakteraturan. Sebagaimana berlangsung terus menerus secara dialektis. Kewajiban dan tanggung jawab manusia adalah untuk mengembalikan keseimbangan dunia dari ketidakteraturan.

Amaterasu adalah matahari. Sumber kehidupan. Anak-anak matahari yang dijahit untuk menyisir jalur politheis bisa saja kelak akan berani berkata, agama kami adalah semesta yang tak angkuh. Dari pemaknaan tersebut, Amaterasu, nenek moyang kami, juga disimbolkan sebagai cermin yang berarti kerendahan hati, koreksi. Notalgia menyisir yang telah lalu barangkali, merupakan langkah koreksi terbesi. Itu merupakan bagian dari teologi Shinto yang menuntun jiwa.

Mungkin mereka terdengar sebagai seorang Budhisme, mempunyai prinsip samsara yang berarti menjalani kehidupan dengan mengontrol harapan dan keinginan. Lagi pula mereka bertujuan mencapai satori. Dalam tradisi pemikiran orang Jepang yang natural, pragmatik, dan realistis telah diaplikasikan dan direkonstruksi dari bonno o tatsu (mengontrol harapan dan keinginan) menjadi bonno o ikasu (mengendalikan harapan dan keinginan).

Akar realitas bagi Jepang bisa jadi, merupakan visi berlebihan untuk tetap ada sinkronitas antara ilmu langit dengan perilaku manusia di bumi. Akan tetapi di semesta ini, tak selalu kehadiran cahaya atau penerang disambut dengan gembira. Sebagaimana kelahiran bagi yang bernama kedewasaan dalam berpikir. Pembaharuan bagi ilmu pengetahuan acap kali dimusuhi, diredam, atau dihilangkan.

Sebagai penganut pragmatisme, John Dewey menganggap terlalu mengakar dalam memikirkan sifat realitas, hanya akan membuatmu menjadi gila. Berbeda dengan Galileo Galilei misalnya, dia berani menerima resiko dianggap gila karena menentang tatanan kebenaran umum yang bebal.

Bumi mengintari matahari, teori dari Fisikawan dan Astronom Galileo, kala itu seketika memancing amarah Paus Urbanus VIII (pada era abad pertengahan) beberapa saat pasca diproklamirkan. Satu setengah abad yang lalu, masa tersebut adalah era kegelapan. Fase dalam sejarah yang ditandai dengan terkekangnya kehendak untuk bebas. Kegilaan akan dianggap sebagai ancaman yang harus diberangus. Sebab kegilaan berawal dari ketidaksesuain cara berkipikir orang kebanyakan. Segala jenis penemuan baru yang berkontradiksi dengan keyakinan gereja akan dianggap menyimpang. Sesat.

Kekuatan yang luar biasa dari Gereja Katolik Roma berasal dari susunan rapi beberapa rohaniawan yang melestarikan dogma. Para rohaniawan memiliki otoritas untuk menyebarkan agama atau doktrin Gereja. Masyarakat dipaksa berlutut untuk menyepakati kebenaran versi gereja.

Berbagai ancaman penyiksaan, penjara, bahkan ancaman dibakar di tiang mewarnai masa kegelapan. Otoritas gereja harus dijaga ketat agar tak surut, demi status quo. Ada harapan yang kuat bahwa situasi yang mengganggu harus segera menguap. Lewat kekuasaannya, gereja mengasingkan kebebasan berpikir.
Gereja telah memutuskan gagasan bahwa, matahari bergerak mengelilingi bumi adalah fakta mutlak dari kitab suci. Maka tak boleh ada tingkah kompromis untuk memperdebatkannya. Galileo diperintahkan untuk menyerahkan diri ke Kantor Kudus. Dia dipaksa memulai percobaan untuk memegang keyakinan Gereja Katolik Roma, bahwa bumi, bukan matahari, adalah pusat alam semesta.

Galileo diberitahu kemudian bahwa, ia bisa mempertimbangkan ide sebatas hipotetis yang tak perlu diuji. Tak mampu bertindak lebih, Galileo sepakat untuk tidak mengajarkan ajaran sesat lagi. Sebagai konsekuensi ia harus menghabiskan sisa hidupnya untuk mendekam dalam tahanan rumah. Butuh waktu lebih dari 300 tahun bagi gereja untuk mengakui bahwa Galileo benar, sekaligus untuk membersihkan nama Galileo dari klaim menyimpang.

Kekuasaan dihuni oleh, yang menurut Focault sebagai rezim diskursus (kekuasaan wacana). Ada permainan dan penetapan kebenaran absolut. Celakanya setiap kekuasaan hanya mampu diraih dan dirobohkan degan cara, menguasai mesin produksi kebenaran. (kebenaran dogmatis dan kebenaran rasio yang besifat dinamis)
Aufklarung pada mulanya hanya sekedar bayang-banyang ide semata. Kemunculan era pencerahan tersebut, merupakan sebuah ruang yang selalu dalam proses menuju, klaim diri sebagai spesies subjek yang merdeka. Pelepasan diri dari anomali mitos yang menciptakan kebenaran absolut tanpa argumen yang logis. Berharap terbit masa perayaan kebebasan tanpa campur tangan kekuatan di luar dirinya. Masing-masing dari kita menjadi subjek otonom. Terputus dari rantai ketergantungan. Ada adalah tindakan. Cerahan harus segera dijemput, tak hanya sekali, namun berulangkali.[]

*) Esain ini pernah dimuat di http://persmaideas.com/2014/06/23/cahaya/

Kamis, 08 Mei 2014

Sister in Danger

Sebuah lembaga dokumentasi yang didirikan untuk mengakhiri tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, Virtual Knowledge Centre, mendapati antara 20.000 sampai 50.000 perempuan diperkosa. Fenomena buruk tersebut terjadi selama perang 1992-1995 di Bosnia dan Herzegovina. Sementara itu terdapat pula sekitar 250.000 sampai 500.000 perempuan dan anak perempuan, menjadi sasaran dalam genosida tahun 1994 di Rwanda.

Di tempat yang lain, Kongo atau Democratic Republic of Congo timur, setidaknya terdata 200.000 kasus kekerasan seksual. Kebanyakan melibatkan perempuan dan anak perempuan. Angka tersebut telah didokumentasikan sejak tahun 1996. Namun ada dugaan besar jika jumlah yang sebenarnya jauh lebih tinggi dari itu.

Itu masih sebagaian kecil dari rentetan sejarah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Lantas sebesar apa jika dikalkulasi dalam tingkatan internasional?

Situs media daring The Guardian, pada Juni 2013 mengutip data World Healt organization (WHO) bahwa 35,6% perempuan di dunia, telah menjadi korban tindak kekerasan. Sedangkan di Asia Selatan sendiri mencapai 40,2%.

Kepala WHO Margaret Chan, kepada BBC pada Juni 2013 mengatakan, kekerasan terhadap perempuan merupakan, “Masalah kesehatan global yang bersifat epidemi.” Lebih dari satu dari tiga wanita di seluruh dunia telah mengalami kekerasan fisik atau seksual. Terus berlangsung, ibarat bola salju, akan semakin membesar dan terjadi dengan cepat.

Menurut National Crime Record Bureau (NCRB), pada tahun 2009, di India terdapat laporan 89.546 kasus kekejaman suami dan kerabat, 21.397 kasus perkosaan, 11.009 kasus pelecehan seksual, dan 5.650 kasus pelecehan mahar.

Sedangkan di Indonesia sendiri, berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu)  Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap  Perempuan (Komnas Perempuan),  menunjukkan  sepanjang  tahun  2012  ada  4.336  kasus kekerasan  seksual. Data tersebut merujuk dari  total  211.822  kasus  kekerasan  terhadap  perempuan  yang  dilaporkan. Kasus  kekerasan  seksual  paling  banyak  terjadi  di  ranah  publik yaitu  2.920  kasus. Bentuk kekerasan seksual yang didapati antara lain yaitu  pencabulan  dan perkosaan 1.620 kasus,  percobaan perkosaan  8 kasus, pelecehan seksual  118 kasus,  dan  women  trafficking 403 kasus.  Di samping itu sebanyak 1.416  kasus-kasus kekerasan seksual terjadi di ranah personal.

Bagi Jacques Lacan, pendiskriminasian terhadap kaum perempuan terjadi atas sebab keterasingan yang dialami perempuan ketika ia tumbuh dewasa. Ada berbagai simbol yang berkeliaran di sekitarnya yang dikomunikasikan melalui bahasa maskulin. Wacana di masyarakat didominasi oleh para lelaki. Penggeseran menujuh struktur di bawah lelaki, membuat perempuan terasing dari dirinya sendiri. Struktur maskulin memainkan peran sebagai perumus kebenaran yang bersifat sentral dan dominan. Oleh karena itu, barangkali perempuan menjadi begitu sulit untuk menyampaikan permasalahan yang ia alami kepada publik. Semenjak bahasa atau alat komunikasi tersebut bukan menjadi milik mereka lagi.

Tak pelak jika para korban  kekerasan  seksual kerap merelakan diri untuk bungkam. Bagi mereka menceritakan kasus kekerasan yang menimpa dirinya sendiri merupakan aib bagi diri, keluarga, dan  wilayah sosial terdekatnya. Di samping itu para perempuan  korban  kekerasan  seksual kerap diposisikan  menjadi  pihak  yang salah. Munculnya tindak kekerasan diklaim murni karena perempuan itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Di sisi lain perempuan korban kekerasan dilabeli stigma negatif. Pada kenyataannya hal tersebut yang kemudian masyarakat meresponnya dengan tindakan diskriminatif.

Ketakutan para perempuan  korban tindak kekerasan kebanyakan dipicu oleh beredarnya stigma negatif tentang dirinya. Bagi Komnas Perempuan, dukungan masyarakat untuk melawan kekerasan seksual semakin bertambah. Roadshow  Sister  In  Danger, bekerjasama dengan  band  musik  Simponi salah satunya. Masyarakat turut tergerak untuk mengenali dan  menangani  kekerasan  seksual  terhadap  perempuan.
Dalam mini albumnya, Sindikat Musik Penghuni Bumi yang kerap disingkat Simponi, menyuarakan betapa pentingnya tanggung jawab sosial bagi masing-masing personal, untuk empati terhadap perempuan korban kekerasan. Mini album bertajuk ‘Cinta Bumi Manusia’ tersebut berisikan empat lagu yaitu Sejenak Mengerti, Sister In Danger, Vonis, We Are Sinking.

Pada setiap album yang dijual seharga 30.000 rupiah itu, pembeli telah sekaligus berdonasi 5.000 rupiah untuk Pundi Perempuan, Komnas Perempuan yang dikelola Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (YSIK), untuk kemudian disalurkan kepada beberapa Women Crisis Center di Indonesia. Kemudian bagian 5.000 rupiah lagi berdonasi untuk organisasi donor darah ‘Blood For Life Indonesia’.

Di lain sisi, Simponi secara kontinyu melakukan ‘Tur Diskusi Musikal’. Konsepnya sederhana, di beberapa kota, mereka melakukan kombinasi dari presentasi, diskusi, dan pentas musik akustik selama 2 jam. Setelah itu mengajak para peserta diskusi musikal untuk bersama-sama mendiskusikan persoalan kekerasan seksual. Terlebih Simponi juga mensosialisasikan tentang kekerasan seksual: siapa pelaku, siapa korban, berbagai jenis kekerasan, dasar hukum, kesetaraan gender, bagaimana mencegah atau melawan, kenapa harus bersimpati kepada korban dan penyintas (survivor), bagaimana agar laki-laki menghormati perempuan dalam ucapan dan tindakan sehari-hari, bagaimana agar perempuan berani menolak ucapan atau tindakan yang melecehkan, dan berani melaporkan jika menjadi korban. Dengan kata lain Simfoni berupaya menyampaikan pendapatnya bahwa jika hanya dengan bermusik saja, masalah macam apapun tak akan selesai.

Permasalahan kekinian di Indonesia ialah, proses menjadi setengah modern dan setengah tradisional. Modern dengan pilihan sebagaimana tetap menjunjung tinggi nilai-nilai feodal. Proyeksinya ke arah ideologi para lelaki sebagai pusat kontrol negara, gejala patriarki. Maka dari itu menurut Gadis Arivia, perempuan tak pernah dianggap sebagai bagian dari budaya. Akan tetapi hanya sekedar dipandang sebagai bagian dari alam yang hadir secara natural dan mekanis. Sebagaimana pemikiran Helene Cixous, lelaki dianggap mewakil simbol aktif. Sedangkan perempuan disimbolkan sebagai mereka yang pasif. Dalam hal ini perempuan dipaksa mengenakan busana sebagai pemeran sekunder atau pelengkap saja.

Ada satu senjata yang dimiliki oleh kaum lelaki, yaitu penguasaan diskursus. Lewat perilaku tersebut, dengan mudah nilai-nilai dan keyakinan masyarakat direkayasa. Pembentukan konsensus dari ideologi dominan tersebut menjadi bagian yang melegitimasi kekerasan kepada perempuan. Cara berpikir dan sikap kita terhadap menjadikan perempuan sebagai bagian sekunder dibentuk. Jalurnya bisa lewat mana saja. Melalui pemberitaan mengenai jangan lemah seperti perempuan, iklan-iklan komersil yang menjadikan perempuan sebagai komoditas pelaris, dan sebagainya.

Di Nanking, para tentara pemerkosa ratusan perempuan berkata, “Mungkin kami sedang memperkosanya, kami melihatnya hanya sebagai perempuan dan ketika kami membunuhnya kami melihatnya sebagai babi.” Para tentara yang memanfaatkan kondisi perang dalam negara yang kacau tersebut melecehkan hak asasi manusia. Bagi mereka, kehormatan perempuan tak ada bedanya dengan kehormatan seekor babi.

Perempuan dan berita populer mengenai kekerasan terhadap dirinya menjadi bagian yang secara kontinyu diacuhkan oleh negara. Kaum perempuan dengan sengaja dikurung dalam by design partiarkal yang haus kekuasaan. Menjadikannya sebagai reranting rapuh yang tak akan sanggup berontak ketika diinjak-injak. Jika anda perempuan atau bagian dari masyarakat yang peka terhadap bagaimana semestinya perjuangan hak asasi manusia. Maka berhati-hatilah, di manapun dan kapanpun anda rentan mendapatkan ancaman.[]

*) Esai ini pernah dimuat dalam rubrik Kolom http://persmaideas.com/2014/05/01/sister-in-danger/

Senin, 14 April 2014

Golput

Tenggang menuju pemilihan umum (pemilu) semakin rapat. Kemeriahan kosong itu muncul sebagaimana mayat-mayat di pemakaman tua yang dibangkitkan kembali. Karakternya tetap sama seperti yang silam. Namun kemasannya keriput dan compang-camping. Pemilu tinggallah ampas saja. Tak lebih dari sekedar mayat politik. Roh yang dianggap sebagai gagasan telah menguap entah ke mana.

Banyak hal yang tiba-tiba muncul begitu saja. Masyarakat dipaksa bernostalgia pada kebisingan pemilu yang sia-sia. Mulai dari spanduk di jalur protokol dan yang dipaku di pohon. Sampai mobil bermotif partai politik tertentu yang tak pernah terjebak kemacetan karena dikawal polisi. Itu semua alat kampanye modern yang bagi Sumbo Tinarbuko dianggap sebagai sampah visual. Bertujuan  mengedepankan aspek popularitas. Memajang foto diri. Semakin besar ukuran wajah sama halnya dengan semakin bergemanya teriakan.
Bukan hal yang aneh jika para elit politik berubah wujud menjelma sales. Menjajakan yang sekedar kata-kata ke masyarakat. Tercerabutnya nilai sosial tak masalah yang penting laku jual. Hadir bukan untuk mendengar melainkan sekedar mengenalkan diri. Menghamburkan kalimat yang berapi-api disertai bualan janji-janji di atas panggung.

Tak ada yang sepenuhnya baru. Para tokoh yang membantai mahasiswa di era 1998 tetap ada. Pembunuh sipil di Papua tetap ada. Para pelaku penghilangan pejuang hak asasi manusia tetap ada. Tokoh yang dibesarkan dan ditimang politik redaksi berbagai media tetap ada. Penyebab berhamburnya lumpur Lapindo Sidoarjo tetap ada. Para tokoh penebang keberagaman tetap ada. Penjual aset-aset negara juga tetap ada. Para tokoh pencipta petaka yang lain pun tetap ada. Tokoh-tokoh tersebut masih bermain di arena suprastruktur politik. Di sadari atau tidak, semua masalah yang dibuat para tokoh tersebut masih belum terselesaikan sampai saat ini.

Rutinitas dangkal itu di kala mereka pergi ke daerah, lalu para demagog itu menyelenggarakan ritual pagan. Masyarakat dihadirkan untuk menjadi budak politik. Isi otak masyarakat terlebih dahulu dikuras dengan goyangan erotis para penari dangdut. Setelah terlena dan melayang, pemimpin pagan mengagresi wacana masyarakat untuk memilih dia. Dari sana pola pikir masyarakat diskenariokan oleh partai politik tertentu. Terlucuti. Masyarakat berubah menjadi berbagai benda yang mengambang di sungai. Bergerak mengikuti arus. Berhasil ditundukkan oleh kekuatan bahasa. Tak berdaya dihantam barisan kata-kata pseudo ilmiah. Padahal rumusan ilmiah yang dilontarkan belum tentu melalui proses kedewasaan berpikir. Tak sepenuhnya digodok dalam metode yang ketat.

Upaya untuk mempercayai janji atau retorika para demagog hanya sia-sia belaka. Sama halnya dengan melakukan evaluasi terhadap seseorang yang belum melakukan apa-apa. Kosong. Akan tetapi dipaksa memiliki makna penting. Apologi irasional para demagog menembus alam bawah sadar masyarakat. Friedrich Kittler pernah menghimbau agar masyarakat lebih berhati-hati, “Semua wacana adalah informasi, tetapi tidak semua informasi adalah wacana.”

Dari sekian masyarakat yang pola pikirnya di-kanal-kan. Masih ada sebagian yang menolak pengulangan uforia pemilu yang dangkal itu. Bisa jadi mereka sudah merasa sangat letih. Bagi mereka pemilu hanya ornamen semu yang sengaja dibangun berulang. Monoton. Pada akhirnya mempercayai partai politik sama saja dengan mengasingkan diri sendiri.

Kewenangan menjalankan negara memang disusun secara bertahap, lewat instrumen lembaga penyokong demokrasi. Akan tetapi yang terjadi kekinian ialan kondisi yang bagi Jacques Ranciere sebut sebagai post-demokrasi. Gejalanya ialah ketika suprastruktur demokrasi tergelincir kembali dalam kontrol kelompok elit. Perputaran kembali pola kerja imitasi semacam ini mengembalikan ke masa pra-demokrasi. Ketika demokrasi yang rapuh itu bermutasi, pemerintahan secara tidak langsung telah beralih fungsi menjadi agen bisnis.

Para jurnalis juga seringkali lalai mengemban tugas suci menjadi perwakilan kaum marjinal. Minim keberanian untuk menggali jejak dan ide para tokoh dengan kritis. Sebagian besar justru asik sendiri  menjadi elemen pemanis buatan. Eufemisme berserakan di mana-mana. Para pendahulu dianggap sebagai investasi bagi pengembangan citra. Semacam membentuk intertekstualitas, tokoh ini dihubungkan dengan pejuang yang itu. Jangan-jangan secara diam-diam beralih menjadi pemuja terselubung. Di sisi yang lain, sebagian jurnalis memicu sentimen dan fanatisme. Ketegangan muncul bukan karena benturan ide. Melainkan serangan politik yang menghujam ke dalam anomali partai. Menambang sinisme. Bagi Giorgo Agamben, mereka telah memasung diri sendiri untuk menjadi spesies bidak dalam strategi politik.

Demokrasi tak sedangkal itu. Ada baiknya kita merefleksikan ulang beberapa baris kalimat dalam puisi Walt Whitman, seorang penyair yang mendedikasikan hidupnya untuk cemas pada perkembangan politik, “Demokrasi, bila dipahami dengan baik, bukan hanya sistem pemerintahan, tetapi komitmen untuk kesetaraan manusia universal.” Ada ketakutan yang akan berlipat ganda dalam diri Whitman, jika perbudakan semakin meluas. Dominasi elit politik yang mengontrol negara harus segera digantikan dengan kehendak rakyat.

Lantas bagaimana seharusnya respon para mahasiswa terkait fenomena sosial menjelang pemilu? Bisa jadi takkan mungkin memilih untuk menjadi golongan paternalis. Dalam artian mengadopsi tokoh mana yang dipilih oleh orang tua, pemimpin pesantren, dosen, rektor, dan sebagainya. Budaya membuntut.
Kaum intelektual memiliki keteguhan, sensitivitas, dan gagasan yang mandiri. Mereka ialah ahli waris dari kesadaran kritis. Senyawa yang paham bahwa setiap kebenaran itu takkan berdurasi panjang. Keberanian untuk berjarak dan menelaah lebih dalam, membuat kesadaran mereka tak mudah dimanipulasi. Pemilu bukan fasilitas transisi agar siapapun yang terpilih bebas melakukan malpraktek terhadap negara.

Besar kemungkinan para mahasiswa tetap memilih untuk menjadi golongan yang tidak memilih. Jika dirujuk lebih dalam, maka akan ditemui esensinya bahwa sebenarnya mereka tidak menjadi golongan putih (golput). Hanya saja mereka tidak ingin menyia-nyiakan hak pilihnya untuk disumbangkan pada kedangkalan pemilu.[]


*) Esai ini pernah dimuat di rubrik Kolom http://persmaideas.com/2014/04/07/golput/

Minggu, 30 Maret 2014

Teror

“Lebih baik suatu akhiran dengan teror daripada teror yang tanpa akhir!” Teriakan tersebut menguap dari mulut para borjuasi dalam parlemen yang memimpin rakyatnya secara otoriter. Mereka tengah dikoyak-koyak kecemasan. Teror bisa berupa apa saja. Bom bunuh diri, pembajakan pesawat, vandal, poster, selebaran gelap, puisi, cerpen, dan sebagainya. Pada mulanya teror selalu disertai enigma. Ketika dibongkar. Seluruh isi teror merupakan akibat dari tak diterimanya pendapat.

Ide bisa menjadi awal persoalan. Ketika ditekan justru akan semakin menjalar ke mana-mana. Banyak orang beranggapan bahwa diam akan menghasilkan kekosongan belaka. Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Di dalam diam, kebisingan akan berkembang biak. Semakin dekat pada inti kekosongan, maka perenungan secara bertahap akan menemui sisi radikalnya. Serupa dengan keberanian untuk menjemput akar persoalan.

Sebuah ide akan terkoneksi dengan lingkungan sosial terdekatnya. Satu dengan lainnya bukan akan menjatuhkan ide tiap personal. Pada realitasnya justru masing-masing dari personal akan memasaknya. Sama halnya dengan bola salju. Semakin jauh digelindingkan, maka akan semakin besar.

Dalam beberapa sendi waktu, sebuah ide kemudian akan menempuh jalur manifestonya masing-masing. Semacam akumulasi yang diterjemahkan dalam konsep kerja. Ketika dieksekusi, ide akan beranjak dari masa silamnya. Ide akan hadir dalam bentuk produk atau karya. Sedangkan sebagian dari manifestasi ide akan dipersepsikan sebagai kritik.

Di luar lingkaran kritik, terjadi kebebalan dan saling tumpang tindihnya hasrat untuk mendominasi. Watak monopoli. Salah satu bagian dari prakteknya akan muncul di dalam instiusi pendidikan, kampus misalnya. Jejaring birokrasi yang di-boneka-kan dalam sruktur organisasi, akan mendikte para mahasiswanya. Tujuannya sebenarnya lebih dari untuk melakukan kontroling. Mereka terasuki hasrat untuk merobotkan para mahasiswanya. Menyulap institusi pendidikan serupa gereja-gereja di abad pertengahan. Menjadi pusat bagi perumusan kebenaran. Apa saja yang dititahkan oleh gereja akan menjadi kebenaran mutlak.

Di luar elit gereja abad pertengahan. Siapapun yang tergerak untuk mendefinisikan sesuatu akan segera dibungkam. Dihukum tanpa perlu proses peradilan. Tentu saja karena harus gereja saja yang menjadi mesin pendefinisi tunggal. Barangkali insitusi pendidikan kita mengadopsi banyak hal dari aib abad pertengahan itu.
Peraturan menjadi formulasi yang disusun untuk menggerakkan objek sesuai keinginan. Dibuat linier dengan halusinasi untuk memonopoli kebenaran dan mengacuhkan perbedaan pendapat.

Pada dasarnya tidak ada sebuah peraturan yang hadir dengan sendirinya. Seonggok jagung tak akan tumbuh dengan sendirinya di dalam kamar, tanpa terlebih dahulu kita mengambil bibitnya di ladang. Peraturan macam apapun tak tumbuh di liang prakondisi. Selalu saja lahir setelah memahami kondisi masyarakat yang akan diaturnya. Setelah itu dihidupkan melalui konsensus. Bisa jadi mereka yang tak sepakat dengan hal ini merupakan orang-orang sisa-sisa kejayaan kolonial. Menjadi yang dominan atau pusat kebenaran. Menganut pola pikir persis raja-raja Jawa.

Bagi Mao Zedong, manusia bukanlah suatu ‘produk yang sudah jadi’. Ia hidup dan berkembang dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan di sekelilingnya, terutama lewat pendidikan. Melalui pendidikan, kesadaran sosial seseorang dapat dibentuk. Institusi pendidikan menjadi sendi yang srategis. Meskipun sekaligus menjadi yang paling rentan. Dari sanalah asal mula kebudayaan.

Harusnya ruang pendidikan kita bukan melulu menghapal rumus atau menyimak ceramah. Cobalah beranjak sejengkal saja. Pancing para peserta didik untuk terbiasa berpendapat. Tak hanya itu, buatlah mereka bertanggung jawab pada pendapatnya. Menjadikan peserta didik berposisi setara dengan dosen akan memaksimalkan budaya kritik. Dari sanalah dialektika baru bisa mengalir.

Segala perlakuan dalam Institusi pendidikan dan unsur-unsur demokrasi, tidak dapat dipisahkan. Berjalan beriringan. Saling mengisi dan memperbaiki. Perbedaan pendapat merupakan bagian dari demokrasi. Seharusnya antar penyampai pendapat tidak saling menjatuhkan. Akan tetapi yang perlu dilakukan ialah menemukan titik temu dari beragam kritik. Semacam upaya untuk mendialogkan ulang secara rasional. Seluruh perangkat perbedaan dari tiap personal akan bermigrasi dengan menyisir alur kompromis tersebut.

Jangan heran jika kritik dari mahasiswa dianggap sebagai teror bagi kalangan birokrasi kampus. Ketika kritik dilancarkan seketika kalangan birokrasi akan menderita kecemasan yang liar. Kemudian mereka akan melakukan upaya pembungkaman opini mahasiswa dari jalur yang lain.

Mahasiswa pada dasarnya mereka yang telah berkomitmen untuk menyatukan jiwa dengan institusi pendidikan. Besar sekali harapan masing-masing dari mereka untuk menyalurkan dan mengembangkan idenya. Sebab institusi pendidikan merupakan yang Bourdieu sebut sebagai ranah. Bourdieu juga mempunyai persepsi mengenai mahasiswa atau kalangan intelektual, “The  genuine intellectual is defined by her or his independence from temporal powers, from the interfence of  economic, and political authority.” Oleh karena kebutuhan untuk mengembangkan dan menyampaikan ide itulah, apapun yang menghalanginya akan mendapat teror. Menjadi lingkaran suci. Interfensi dari luar mereka (mahasiswa), tak akan berlaku.

Maka dari itu selama kritik dari mahasiswa terus-menerus diacuhkan. Atau bahakan diredam dan dibungkam dengan serangkaian peraturan istitusi kampus yang tak rasional.

Kritik dari kalangan mahasiswa akan semakin deras mengalir. Satu-satunya jalan paling kompromis ialah mendengar pendapat mahasiswa dan melibatkan mereka dalam perumusan peraturan. “Nasib orang banyak harus ditentukan oleh orang banyak pula, tidak oleh satu golongan kecil yang berbahagia,” ujar Bung Hatta.
Sampai kapanpun mahasiswa akan percaya bahwa sesuatu yang dianggap mutlak benar hanya bersifat sementara. Tak ada apapun yang telah mencapai kebenaran tak terbantahkan. Justru sebenarnya kebenaran itu sendiri tak lebih dari sekedar ilusi. Kebenaran kabut tebal. Tak jernih dan rapuh. Maka harus dilawan dengan teror.[]

Jumat, 28 Februari 2014

Ragu

Dia merupakan peletak rangka pada fase pertama dari perkembangan filsafat modern. Meng-ada pasca Abad Pertengahan yang rumit dengan banyak hal seputar dogma gereja, ancaman, dan kekangan yang lain. Bagi dia apa yang telah dimutlakkan sebagai sebuah kebenaran di era Abad Pertengahan, harus diragukan. Akan tetapi ada banyak hal yang dia serap untuk dikembangkan dari era Renaisans.

Dia adalah Rene Descartes (1596-1650), putra dari ketua parlemen inggris yang memilki tanah luas. Ketika mewarisi tanah tersebut, dia menginvestasikannya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc per tahun. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di Universitas Jesuit di La Fleche, 1604-1612. Setelah itu dia tinggal tak lama di Paris untuk kemudian mengasingkan diri di daerah terpencil, Faubourg St. Germain untuk mempelajari lebih dalam geometri yang telah dia dapatkan di univesitas. Pada tahun 1617 dia menjadi tentara Belanda. Setelah muncul keaadaan damai di Belanda, baru kemudan dia terdorong untuk mendaftarkan diri sebagai tentara Bavaria karena memanasnya Perang Tiga Puluh Tahun, 1619.

Di Bavaria inilah kemudian Descartes merefleksikan gagasannya dalam sebuah karya baru Discours de la Methode, 1620. Kemudian dia kembai menjadi tentara untuk menyerang La Rochelle, kubu pertahanan Huguenot. Setelah perang usai, dia kembali ke Belanda untuk menenenangkan diri kembali dan bersembunyi dari ancaman penyiksaan.

Sebagian orang-orang menyatakan bahwa dia seorang penakut. Sedangkan sebagian yang lain menganggapnya sedang mencari ketenangan. Persepsi tersebut muncul ketika dia memutuskan untuk membenamkan dirinya di negara Belanda (1629-1649). Di sana dia berhubungan dekat dengan kalangan gereja, khususnya para Jesuit. Kalangan gereja sendiri menganggap Descartes sebagai seorang penganut katolik yang sangat ortodoks.

Namun masih pula ada yang menganggap bahwa ke-ortodoks-an Descartes merupakan bentuk kepura-puraan semata. Hal tersebut terjadi karena secara diam-diam dia menyimpan kekaguman dan membenarkan beberapa gagasan Galileo. Hal tersebut tercermin dari buku yang kerap gagal diterbitkan yaitu La Monde. Berisi pemaparan mengenai rotasi bumi dan ketakterhinggaan alam semesta. Sebelum era Descartes, dominasi gereja yang kuat kerap mengecam gagasan semacam ini.

Descartes merupakan seorang matematikawan dan ilmuwan. Ia menerapkan aljabar pada geometri. Merumuskan pola kerja menggunakan koordinat untuk mencari kepastian posisi sebuah titik pada bidang yang berjarak dari dua garis tetap. Bukunya yang bersi banyak hal seputar teori ilmiah ialah Principa Philosophiae, 1644. Sedangkan buku penting yang lain darinya Essais Philosophques, 1637, berisi pembahasan seputar ilmu optik dan geometri.  Dalam bukunya yang lain, De la formation du foetus, memuat ulasannya yang menyambut dengan baik penemuan mengenai sirkulasi darah oleh Harvey.

Lewat Chanut, Duta Besar Prancis di Stockholm, Descartes berkorespondensi dengan Ratu Christina di Swedia. Hingga Ratu Christina mengirim beberapa pasukannya untuk menjemput Descartes untuk menuju istana. Christina tertarik dengan surat dari Descartes mengenai harsat jiwa. Kemudian Christina ingin memperoleh pelajaran setiap hari dari Descartes, 1649. Selang beberapa saat setelah itu Chanut jatuh sakit dan Descartes yang merawatnya. Kemudian keadaan berbalik, ketika Chanut sembuh berganti Descartes yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal, 1950.


Dualisme Descartes
Memastikan eksistensinya sendiri, kemudian secara subjektif menemukan keterpilahan diri. Antara tubuh atau materi dengan jiwa. Para filsuf sebelumnya, Plato misalnya, sebenarnya beberapa langkah menuju apa yang digagas Descartes. Kemudian dualisme tersebut dikembangkan dengan bentuk lain oleh Descartes.
Ada tiga realitas yang hadir dalam diri kita secara alamiah semenjak dilahirkan. Yaitu realitas pikiran (res cogitan), realitas perluasan (res extensa, materi, atau eksistensi), sedangkan yang terakhir tuhan. Pikiran merupakan kesadaran, berada di tempat yang entah, tak terpengaruh waktu. Materi merupakan perluasan, menempati ruang dan waktu, mampu dipecah atau dibagi. Sedangkan yang terakhir tuhan, menjadi elemen pengikat bagi dua realitas sebelumnya. Dianggap sebagai penyebab ada.

Jiwa sepenuhnya independen dari tubuh. Jiwa tak akan mampu digerakkan oleh tubuh. Jiwa yang dimaksud Descartes ialah jiwa rasional. Mampu mengarahkan akan bergerak ke arah mana sebuah materi. Misalnya saya terkait etika sosial, jiwa akan mengatur bagaimana semestinya tubuh bertindak di dalam ruang tertentu. Bahkan lebih dari itu, jiwa mampu menggerakkan masyarakat.

Keluasan adalah esesnsi materi, maka dari itu ada di mana-mana. Tubuh manusia dan binatang sama, ujar Descartes. Keduanya serupa mesin. Dalam artian akan berperilaku atau bergerak secara mekanik. Suatu pola gerak yang disebabkan hukum fisika. Di luarnya, hukum alam semesta akan berlaku tetap. Tubuh akan bertindak secara otomatis. Di sisi lain dia mengabaikan adanya perasaan dan kesadaran.

Tubuh dia anggap layaknya nisan bagi jiwa. Ada konektivitas dan keadaan saling interaksi antara jiwa masing-masing tubuh dengan roh penting. Jiwa tak akan mampu mempengaruhi apa yang bertindak secara mekanik. Namun jiwa mampu mengubah arah gerak objek-objek mekanik tersebut.

Tidak ada jarak. Tak ada ruang kosong yang menjadi perantara. Atau bisa disederhanakan dengan kata lain, ada jarak namun bukan sebuah ruang kosong atau ruang hampa. Semua interaksi terjadi karena diakibatkan materi lain. Descartes hanya mempercayai adanya satu jiwa, jiwa rasional yang hanya dimiliki manusia. Sedangkan tumbuhan dan hewan tumbuh mematuhi hukum mekanik. Selain manusia segala yang ada dalam alam raya ini akan tumbuh secara alamiah.

Banyak hal yang membuat dari apa yang terjadi untuk kemudian menjadi masa lalu, sulit untuk ditransformasikan secara realitas atau sepenuhnya di era kekinian. Misalnya saja hubungan yang oleh para Cartesian ditolak, mengenai titik pertemuan antara materi dan jiwa. Ruang bagi saling interaksi tersebut terdapat di pangkal kelenjar otak, tengkuk. Ketika tubuh tersakiti maka akan muncul keinginan untuk menangis dari jiwa. Selain itu mengenai halusinasi siapa penggerak mekanik dan pencipta. Bagi Descartes ialah tuhan. Bayangan tentang tuhan itu ada secara alamiah dalam tubuh masing-masing manusia semenjak lahir. Meskipun pada akhirnya Descartes sendiri gagal menemukan kebenaran rasional mengenai hal ini.


Ketika Descartes Curiga , Ia memeriksa Realitas dengan Cogito
Descartes membangun pondasi filsafatnya dengan cara meragukan apa saya yang bisa diragukan. Dari sana muncul pra-kondisi dari langkah adaptif dengan apa yang ada di luar dirinya. Upaya bertindak skeptis. Seperti misalnya bisakah kita meragukan keberadaan masing-masing dari kita di forum ini. Bisa saja masing-masing dari kita saat ini sebenarnya sedang berada di Warung Buleck dan membayangkan mengenai ngerumpi filsafat. Atau justru sebaliknya, siapa saja yang sedang berada di samping anda sebenarnya hanyalah ilusi personal. Sebenarnya dia sedang berada di Warung Buleck. Namun malam ini anda sedang membayangkan dia hadir di samping anda.

Pengetahuan memang dihadirkan oleh  indra,  tetapi Descartes mengakui bahwa  indra  itu bisa  menyesatkan  (seperti  dalam  mimpi  dan  khayalan),  maka  dia  terpaksa  mengambil kesimpulan bahwa data keindraan tidak dapat diandalkan. Misalnya saja ketika anda bermimpi bertemu dengan malaikat. Ada kemungkinan besar karena indra pernah menginternalisasi wujud manusia, sayap, tongkat, dan piringan putih di atas kepala (film kartun). Benda-benda yang tampak dan diserap oleh indra tersebut melebur dan bersatu dalam mimpi. Itu semua terangkum dalam kekuatan halusinasi atau imajinasi.

Sedangkan apa yang dipikirkan oleh jiwa rasional akan bersifat tetap. Dalam artian tidak akan berkembang atau berubah. Saya bisa menyimpulkan hal tersebut berkat para pengidap penyakit scrizofenia. Sejak kecil para pengidap selalu merasa mempunyai teman dekat. Hubungan akan berlanjut sampai si penderita meninggal. Akan tetapi teman khayalannya tersebut tak akan tumbuh. Ketika si penderita beranjak tua, muncul keriput di tubuh, beruban, susah mengontrol tubuh, dan sebagainya. Teman bayangannya justru masih awet muda. Tak terpengaruh oleh bertambahnya waktu. Begitu juga dengan wujud segitiga sama sisi di dalam pikiran kita yang sudah ditanamkan semenjak sekolah dasar. Tak akan berubah.

Apa yang ditangkap oleh indra akan difilter atau dianalisis oleh rasio. ‘Cogito Ergo Sum’. Aku berpikir maka Aku ada. Persepsi mengenai apa yang dianggap benar muncul setelah melalui proses berpikir. Bahkan kebenaran mengenai tubuhnya sendiri. Apakah tubuh memang ada? Atau tubuh kita hanya bagian dari ilusi?
Konsep berpikir Descartes menegaskan ‘Cogito’. Kebanyakan dipahami sebagai akal atau berpikir. Atau sebagian lain memahaminya sebagai penyadaran atau sadar. Untuk itu maka kita melakukan upaya meragukan, memahami, mengerti, menegaskan, menolak, berkehendak, membayangkan, merasakan. Serangkaian proses berpikir itu akan membawa diri kita pada ‘kita yang sadar’. Dalam hal yang lain, misalnya ketika tidur, sebenarnya pikiran kita masih tetap bekerja sebagaimana mestinya.

Oleh karenanya segala hal yang ada dalam pikiran sebenarnya merupakan kloning atau tiruan dari realitas. Namun tetap saja, apa yang ditangkap oleh indra harus dikunyah terlebih dahulu oleh Cogito. Dari sana kriteria kebenaran bisa dirumuskan. Lebih dari itu, secara tidak langsung esensi dari ilmu pengetahuan akan didapatkan.[]



Disarikan dari:
- Roger Scruton, Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein, Second Revised and Enlarged Edition Published 1995, New York, Taylor & Francis Group.
- Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga -sekarang, Cetakan III Agustus 2007, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
- Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah novel filsafat, Cetakan XVIII November 2006, Bandung, -Penerbit Mizan.
- Ali Maksum, Pengantar Filsafat; Dari masa klasik hingga postmodern, Cetakan I November 2008, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media.
- Misnal Munir, Aliran-aliran -Utama Filsafat Barat Kontemporer, Cetakan I Agustus 2008, Bantul, Penerbit Lima.

Rabu, 19 Februari 2014

Elit Kampus Fakultas Sastra Unej Anti Kritik

Apa jadinya jika elite kampus mengklaim sebuah kritik sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Secara sepihak mereka telah menyatakan jika kritik merupakan kutukan keramat. Wabah kronis tersebut sangat wajar menerjang mereka yang mengidap haus kekuasaan. Sebuah jabatan hanya dimaknai sebagaimana jenjang profesi. Maka dari itu esensi dari kerja itu sendiri akan hilang. Tinggallah tingkah otoriter. Mereka tak akan menghiraukan pendapat yang hadir dari luar diri atau kelompoknya.

Saya sangat menyayangkan terkait kejadian buruk yang terjadi di Fakultas Sastra Universitas Jember. Beberapa minggu yang lalu sekelompok mahasiswa menyebarkan selembar gagasannya, berisi seputar wacana diskriminasi yang dilakukan elit kampus terhadap kebebasan berpendapat. Ada satu hal yang menarik dari tulisan mereka yaitu, anggapan mereka bahwa ‘Birokrat Babi’ hanya bisa menyampaikan teori usang di dalam kelas, meskipun mereka sendiri tak mampu merealisasikan. Saya rasa mereka benar, diawali dengan ketidaktahuan para pengajar terkait teori. Wah, banyak yang dangkal di fakultas ini, entah sampai kapan akan terus dianggap sebagai aib.

Beberapa hari setelah hari penyebaran selebaran tersebut, mereka dipanggil oleh Dekanat (Dekan, Pembantu Dekan III, Pembantu Dekan II), Fakultas Sastra Universitas Jember (FS-UJ). Secara jantan dan bertanggung jawab mereka pun kemudian datang ke ruang Dekanat. Parahnya ruangan itu mirip pengadilan bar-bar. Mereka tak diberi banyak waktu untuk menyampaikan gagasannya, namun yang muncul ialah ancaman dan makian dari Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III. Beberapa hari setelah itu, di saat mahasiswa yang lain rampung menggarap persyaratan akademik untuk menempuh mata kuliah di semester. Para mahasiswa penyebar selebaran tersebut justru dipaksa untuk tidak boleh melangsungkan perkuliahan sampai enam bulan ke depan.

Bukan hal yang aneh jika elit birokrasi kampus cenderung berwatak pragmantis. Dalam artian jenjang profesi bagi mereka lebih penting daripada menghargai ktirik yang terus bermunculan. Bukankah kita sama-sama berada pada lingkungan akademis. Kampus sebagai ruang berdialognya para intelektual hanya jadi semboyan lapuk semata.

Seharusnya dalam ruang yang penuh sesak para kaum intelektual ini, hasrat untuk berkuasa harus ditekan seminim mungkin. Jika ditinjau ulang, lahirnya objektivitas berdasarkan orok-orok yang dihimpun dari beragam subjektivitas yang muncul. Masing-masing subjektivitas dirasionalkan ulang untuk memasak konsensus. Maka dari itu tak ada proses kerja yang bisa dilakukan dengan sendirinya tanpa melibatkan unsur-unsur di luar dirinya.

Suburnya kritikan harus seimbang dengan kemauan untuk menanggapinya dengan cara sebagaimana kaum intelek bertindak. Bukan malah melawannya sebagaimana musuh. Bahkan yang paling bodoh, jika harus merespon kritik dengan mengandalkan jabatan yang secara struktural lebih tinggi daripada si pengkritik. Hasrat tersebut dianggap oleh Aristoteles sebagai sifat kehewanan yang muncul ketika manusia berhasrat untuk mendominasi. Padahal satu hal yang membedakan antara manusia dengan hewan hanya satu hal. Yaitu karena dalam diri manusia tertanam kekuatan untuk berpikir dan merasionalisasi tindakkannya.

Pemimpin yang besar itu para pemimpin yang menghargainya jasa para kritikus. Namun yang ada dalam kampus saya, segala bentuk kritikan yang muncul akan segera dihantam dengan intimidasi. Lantas orang macam apa yang menempati posisi sebagai elite birokrasi kampus jika mereka takut pada kritik. Percuma saja mengaku pernah bertahun-tahun bedialektika dalam organisasi mahasiswa jika tak mampu memerdekakan mahasiswa. Melalui analisis yang sangat sederhana saja sudah bisa dibaca jika hanya mementingkan hasrat untuk berkuasa.

Realitanya para elit birokrasi kampus kita sekarang ini mengeksekusi program kerja dengan cara menebarkan ketakutan. Tentu saja yang bermunculan di ruang publik hanyalah intruksi. Tak ada ruang bagi mereka di luar kelompok elit yang mampu menyampaikan gagasannya. Para sejarawan di sini berfungsi sebagai apa jika mereka diam saja ketika sistem kampus dipaksa berperilaku sebagaimana sistem mekanik yang dianut kerajaan.

Sebagaimana argumen usang terkait bilamana sebuah kampus adalah laboratorium mini, ibarat sebuah negara. Maka sudah seharusnya kampus mengeksekusi banyak hal agar kesehatan iklim demokrasi tetap terjaga. Menurut Roger H. Soltau, tujuan sebuah negara ialah memungkinkan rakyatnya leluasa bergerak untuk berekspresi, maka seharusnya para elit kampus mengupayakan para mahasiswanya agar “Berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin”. Sedangkan bagi Harold J. Laski, seharusnya elit kampus “Menciptakan keadaan di mana rakyatnya (mahasiswa) dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal”.

Namun bukan hal yang aneh jika demokrasi hanya sekedar teori belaka. Bagaimana tidak, jangankan menerapkannya, cara mereka mentrasfer pengetahuan kepada mahasiswa pun purba sekali. Melaui mekanisme text book atau hanya membaca ulang teks yang tertera dalam slide.

Barangkali yang terpenting bagi kita bukanlah seberapa banyak membaca buku, seberapa kuat beradu mulut atau fisik, akan tetapi seberapa pintar membaca realita sosial disekitar. Jika dipikirkan ulang lebih dalam, hakekat pendidikan adalah mencetak manusia yang memanusiakan manusia. Dalam pandangan Pauolo Freire, pendidikan tidak lain adalah proses penyadaran kembali setelah masyarakat mendapat penindasan, hegemoni, maupun kepentingan-kepentingan politis tertentu. Reproduksi pemikiran kritis itulah yang akan memicu pembongkaran terhadap sistem sosial yang tidak adil. Dalam artian, kesadaran kritis akan melahirkan anak didik yang steril dari hegemoni maupun kepentingan.

Masyarakat akan lebih peka terhadap fenomena sosial yang terjadi di sekitar mereka dengan pendidikan ktiris. Bagi freire, pendidikan bukan hanya melahirkan manusia untuk sekedar ‘mengetahui’ kemudian menghimpun pengetahuan, Banking Concept of Education, Sistem Pendidikan Gaya Bank, menerima dan menyimpan tanpa mengkritisi berbagai macam konsep, teori, informasi, data. Kaum terdidik harus mampu mengkritisi sistem yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Dengan kata lain, tak hanya menyimpan wacana pendidikan, namun menguji pengetahuanya di wilayah empiris. Berupaya mengangkat hak kelas tertindas menuju kelas yang setara dengan masyarakat lainya.

Kurikulum dan tumpukan tugas dari institusi pendidikan memang menjadikan kita manusia yang dehumanis. Menjauhkan kita dari realita di luar institusi an sich. Tanpa kita sadari konsumen institusi pendidikan terbelenggu dalam ruang kecil. Seakan kita punya dunia sendiri di luar dunia nyata. Negeri di atas awan.
Kontradiksi disiplin ilmu tak pernah kita temukan di masyarakat jika tak ada perintah dari skenario kurikulum untuk mempraktekkanya. Tentunya hanya menjadi suatu ilmu pengetahuan yang siap memberi kejutan pada pasar. Bukan hal yang aneh jika saya mengatakan, kita berenang dalam institusi pendidikan agar siap menjadi pekerja bagi pemodal asing yang mengeruk kekayaan negri ini. Apakah ijazah hanya dicari untuk memenuhi hasrat individualis, tanpa sedikitpun terdapat kadar nurani dalam jiwa kita yang berkeinginan untuk mendonorkanya pada masyarakat?

Pernahkah kita berpikir, atau bereksperimen untuk menciptakan formulasi kurikulum, yang dapat membakar rasa cinta terhadap tanah air. Dengan kata lain, bagaimana agar pendidikan menciptakan kepekaan tinggi pada kepentingan bangsa di atas kepentingan individu. Pendidikan yang membawa misi kemanusiaan yang menyelamatkan bangsa dari konflik suku, agama, ras, dan adat istiadat (SARA). Membangun pondasi bangsa yang berbalut nilai-nilai kedamaian di tengah heterogenitas budaya. Pendidikan juga harus bisa menumbuhkan semangat nasionalisme. Berupaya sekuat tenaga untuk menanamkan rasa persaudaraan, kesetiakawanan, persamaan, dan perasaan senasib. Nah, para elit birokrat FS-UJ saya rasa tak pernah mendapatkan formulasi kurikulum semacam ini.[]

Rabu, 05 Februari 2014

Pemulung Imajinasi; Sebuah Catatan Epigraf Genealogi Babebo Zine Persma Jember


Dalam sebuah organisasi (LPM), memang tak semua pengurus mampu (sempat) menyelidiki potensi anggotanya. Rutinitas monoton yang melulu jurnalistik memang tak pernah menjadi suatu warisan genetik, melainkan bentukan. Di sisi lain yang jarang sekali mampu dibaca adalah potensi yang lain dari anggota. Mungkin bisa kita sebut sebagai (yang mirip) karya sastra. Misalnya saja puisi, fotografi, cerpen, gambar, lukisan, dan esai sastra.

Sederhananya ketika kami mencoba melebarkan sayap organisasi (jaringan). Di antara celotehan khas warung kopi pasti ada saja seorang teman yang sedang menggambar. Kemudian jika anda mencoba bertanya, “Kalau sudah jadi nanti, gambarmu buat apa?” ada dua kemungkinan yang paling dominan patut dijadikan jawaban. Yang pertama untuk stok Tim Artistik Redaksi (Redaktur Artistik). Sedangkan yang kedua, dipasang di dinding kamar, kalau pindah kost ya masuk tong sampah.

Harusnya anda tertawa sepuas mungkin ketika membaca paragraf terakhir di atas. Tapi setelah tawa yang tak lebih dari tiga detik itu selesai. Anda pasti akan mencari tempat yang paling sepi untuk menangis dan pura-pura mengutuk diri sendiri.

Jika alasan yang pertama menjadi pilihan. Di Jember, kita sama-sama memahami tak ada LPM yang mampu merampungkan proses jurnalistik dengan profesional secara mutlak. Produktivitas karya seni pun hanya dianggap tumbuh ketika redaksi membutuhkan. Misalnya saja ketika sidang tema berakhir, Tim Artistik sudah mampu membaca apa yang dibutuhkan oleh redaksi. Setelah kebutuhan redaksi terpenuhi, lantas apa yang kemudian dilakukan oleh Tim Artistik? Nganggur? Itu pun kalau proses redaksi tidak mengaretkan dedline cetak. Lalu kalau tak ada proses perakitan media, Tim Artistik ngapain? Padahal proses kelahiran karya seni bisa di mana saja dan kapan saja. Cukup imajinasi sebagai bidannya.

Sedangkan jika alasan kedua yang diadopsi. Mungkin masing-masing dari kita sudah sangat memahami jika media jurnalistik terpenjara dalam kurungan kode etik. Di luar kurungan ada aneka jenis ranjau yang setia menanti. Ketika ingin berjalan-jalan ke luar dengan kegiatan semacam kuliner. Aih, meletus.

Tapi sudahlah, anggap saja kode etik bisa dimanipulasi. Tapi apakah semua LPM paham mengenai hal itu. Dan yang paling penting apakah LPM sanggup –siap- menjinakkan -perang wacana jurnalistik- ketika si ranjau ngidam untuk meledak. Sebenarnya gak penting juga saya membangkitkan nafsu emosi kehewanan anda dalam Laporan Pert-n-anggung Jawaban (LPJ) ini.

Akan tetapi intinya tetap saja tak ada kebebasan berkarya dalam media jurnalistik. Anggap saja redaksi adalah sebuah gerbang lapuk. Ketika semua benda-benda aneh yang nantinya digunakan sebagai bahan mentah media terkumpul. Otomatis harus melewati gerbang itu dahulu. Nah gerbang itulah yang menjadi janin bagi beberapa jenis permasalahan. Entah sebuah karya harus diendapkan sampai edisi yang cocok untuk mempublikasikan karya itu. Sampai pengembalian karya karena terlalu mesum, menyakiti SARA, tidak berbobot, terlalu pedas mengkritik, estetikanya kurang asin, dan sebagainya.

Lantas kemana larinya karya? Pulang pada yang sebelum imajinasi alias kehampaan. Atau malah menjadi sampah yang menyejarah di dalam loker sekret.

Proses pembentukan tim kerja
Mungkin karena kegagalan dari Sekolah PPMI, atau mungkin juga karena enggannya LPM untuk mendelegasikan anggotanya untuk PPMI-DK Jember. Maka secara darurat Sekertaris Jenderal (Sekjen) Kota membentuk tim kerja, (28/5/2011). Salah satu hasil perumusan Rapat Kerja (Raker) yang berhubungan dengan media baru ini adalah pembentukan Tim Kreatif (TK). Dalam pola hubungan dengan margin struktural yang lain, kerja-kerja TK tidak bisa dicampuri oleh pengurus yang terlibat dalam Forum PU Independent (FPI). Terlebih upaya pembentukan TK ini di dasari atas pembacaan FPI, atas rekomendasi Muskot yaitu pembentukan forum kesamaan profesi. Daripada tersesat terlalu jauh, untuk lebih jelasnya tentang hal ini, silahkan baca LPJ Sekjen kota wae.

Beberapa teman-teman yang terikat dalam LPM berkumpul di Warung Buleck, Kamis malam, (17/06/2011). Di sanalah awal mula konsep tentang media baru pertama kali dibahas secara serius. Jika mencoba mengingat kembali jauh ke belakang. Proses inisiasi bayang-bayang kecil sebuah media baru ini, hadir secara tiba-tiba, karena tak terwadahinya kontinyuitas produksi karya seni dalam LPM masing-masing.  Bahkan lebih dari itu, sebenarnya implikasi dari konsep media ini merujuk pada pertama, stok aneka jenis karya sastra untuk LPM. Kedua, forum sharing kesamaan profesi. Ketiga, berkarya secara bebas tanpa terbungkam kode etik jurnalistik.

Awalnya kami memang memaknai media baru ini sebagai ‘Buletin Komik Merah Putih’ (BKMP). Dalam penguatan konsep malam itu kami mencoba membentuk tim kerja. Tentu saja dengan menghimpun Sumber Daya Manusia (SDM) dari beberapa LPM. Secara kebetulan saja yang turut serta berdialektika dengan bayang-bayang ialah LPMM Alpha, UPM Millenium, LPMS Ideas, dan UKPKM Tegal Boto.

Dengan basis kesamaan profesi dalam LPM-nya masing-masing. Para illistrator dan layouter beberapa orang dari delegasi LPM mencoba menggabungkan dirinya. Memang tanpa kesepakatan dan bahkan kami tak sadar jika yang kami bentuk waktu itu adalah forum illustrator dan layouter.

Hasil dari pertemua malam itu, kami mencoba menyamakan persepsi tentang bagaimana agar BKMP nantinya bisa bertahan setelah hidup. Hingga kesepatakan bersama menyatakan jika media ini nantinya akan mengelola ‘kata dan gambar’. Pengertian “produksi kata” disini adalah segala macam tulisan yang berupa artikel, features, essai, puisi, cerpen. Sedangkan pemaknaan “produksi gambar” disini adalah berupa karikatur, ilustrasi, komik, foto hingga lukisan. Jadi BKMP menampung segala macam kata dan gambar yang diproduksi oleh TK.

Untuk proses kerjanya, TK kan mengadakan pertemuan tiap dua minggu sekali. Agenda pertemuan itu bisa dikatakan sebagai arena unjuk karya. Fokus utama kala itu memang pada produksi gambar, –komik, karikatur, lukisan, dan sebagainya- maka masing-masing personal diwajibkan minimal membawa satu gambar dalam pertemuan unjuk karya.  Satu-persatu secara bergiliran menceritakan mulai dari proses pembuatan karya sampai akan kita apakan karya kita ini. Di sisi lain dalam pertemuan dua mingguan itu kami harus menghasilkan satu karya yang digambar bersama-sama.

 Dalam pengelolaan karya, TK membentuk konsentrasi kerja. Sekjen kota menjadi koordinator yang disebut sebagai Pamong Imadjinasi. Kerja Sekjen adalah mendampingi kerja-kerja redaksi BKMP. Sedangkan Widi Widahyono yang dianggap senior desain grafis dan layouter Jember menjadi koerator Imadjinasi. Widi menjadi pembangkit semangat dan teman sharing bagi awak redaksi.

Sedangkan Sadam H. M. menjadi koordinator pengumpulan karya, atau kami menyebutnya sebagai Pengepoel Ingatan Lampau. Kerja Sadam sederhana sekali, berkeliling untuk menjemput karya anggota tim. Kemudian membantu hal-hal teknis seperti scan dan pengarsipan karya. Karena kelebihan Diyah A. Kalpika kepergok ketika kami mencoba menggambar bersama dalam satu kertas lusuh. Karena dengan daya kreatifnya mampu mengkombinasikan beragam coretan kecil masing-masing orang dalam tim. Maka Diyah dipercaya menjadi penyelaras karya, secara post-ilmiah kami memknainya sebagai penjelaras Karja.

Selain itu, ‘LJ’ dikutuk mejadi layouter, diberi gelar semacam gundik yaitu Penata Boesana. Tugasnya lebih sederhana daripada anggota tim yang lainnya. Hanya mengatur tata letak perwajahan media. Kemudian yang membantu kerjanya adalah Afwan F. B. sebagai Penata Rias. Dalam kerjanya Afwan menjadi perias karya dengan mengolahnya dalam aplikasi grafis. Entah mengatur tingkat kehitaman karya, cropping, membersihkan hasil scan yang lusuh, dan sebagainya. Sedangkan Umi Agustin dipaksa menjadi Badan Inteledjen Imadjinasi. Lalu yang terakhir ialah Uliel Petrix yang disewa untuk menjadi Pemanis Boeatan. Sama seperti Umi, Uliel juga menjadi kotributor yang setia menyumbangkan karya. Memang tidak menutup kemungkinan di dalam redaksi sendiri kami menginginkan beberapa orang yang fokus untuk menjadi kontributor tetap. Mungkin karena kami mengantisipasi tersendatnya produktivitas dalam berkarya. Maka dikala kesibukan teknis redaksi, harus ada beberapa orang dengan semangat tinggi dalam menghasilkan stok karya.

Namun dalam proses kerjanya, kami tidak melulu egois pada job disk masing-masing. Lebih seringnya kerja-kerja redaksi dilakukan secara bersama-sama saling saling membantu. Mungkin karena kami menyadari jika anggota tim juga sibuk dalam LPM-nya masing-masing.

Dalam pertemuan malam itu, selain pembentukan tim kerja. Kami juga berhasil merumuskan tema untuk edisi pertama yaitu, Phenomenameter. Hasil keliaran imajinasi ternyata menuntun kami untuk menyelidiki lebih detail mengenai realitas. Otomatis yang harus dilakukan sebelum berkarya adalah membaca realitas untuk kemudian diterjemahkan dalam coretan gambar. Memang pada dasarnya sebuah seni adalah hasil perkawinan antara realitas dengan imajinasi.

Format media cetak zine
Dua minggu kemudian, TK kami membawa karya sendiri-sendiri yang kemudian diapresiasi bersama. Selain itu, TK juga menggambar bersama dalam satu kertas. Terasa menyenangkan sekali, malam itu delapan orang yang berkumpul di Warung Kopi depan Galileo, kami meresmikan bentuk tubuh media cetak ini.

Hasil pertemuan kedua ini adalah;
Nama zine: Babebo
Tagline: teman belajar dan melawan
Rubrikasi zine: ada rubrik tetap dan rubrik bayangan (yang slalu berubah-ubah)
Zine disepakati berukuran kertas A4

Kemudian Babebo menggandeng Arys, pegiat Tikungan dan Dedi Supmerah, pegiat Sindikat untuk menjadi kontributor. Bukan hanya terkurung dalam wilayah Jember saja, babebo mencoba melebarkan sayap ke berbagai komunitas zine (KZ). Betapa kagetnya kami ketika apresiasi secara serentak berdatangan. Ternyata jaringan KZ mempunyai kultur yang sangat jauh sekali dari jaringan Persma. KZ merupakan media independent bawah tanah yang menjadi perantara komunikasi antara komunitas satu dengan yang lainnya.

Apresiasi pertama datang dari Anitha Silvia, seorang pegiat zine personal dan komunitas. Babebo menarik minatnya untuk mengadakan perjalanan ekpedisi Jember. Dia mencari kontributor daerah bagi zine yang dia rawat. Alhasil pasca pertemuannya di Warung Buleck dengan kami, salah seorang anggota tim Babebo diajak untuk menjadi kontributor bagi zine Halimun miliknya.

Tak hanya itu, ternyata Babebo menjadi inspirasi bagi beberapa komunitas zine. Misalnya saja Mind zine yang secara terang-terangan mengatakan jika mereka mengadopsi beberapa unsur yang ada di Babebo. Ternyata Mind zine memodifikasi beberapa unsur grafis yang telah ada dalam Babebo. Selain itu ada juga zine RAR. Mereka mengadopsi konsep Babebo yang berkarya seperti anak-anak. Dalam artian bocah kecil dimaknai sebagai individu yang bebas bertanya, berkarya tanpa tekanan, dan berimajinasi secara liar.

Salah satu anggota tim Babebo pernah berkata, seni itu seperti senyuman harusnya milik semua dan gratis. Memang pada dasarnya manusia mempunyai warisan genetik. Secara otomatis bertahan hidup dengan mencontoh atau mengadopsi dari generasi sebelumnya. Misalnya saja bagi Roland Barthes, tak ada karya yang bisa dianggap original atau baru tanpa terinspirasi dari karya lainnya. Maka dari itu demi ilmu pengetahuan dan proses pembelajaran bersama, Babebo meyakinkan dirinya sebagai media anti copyright.

Dalam edisi kedua, Babebo mengangkat isu mengenai kritik kebudayaan. Tema Babebo kala itu, Keganjilan di Sekitar Kita. Kami -hampir setengah- menyadari jika Pemerintah Daerah Jember lebih mengedepankan budaya asal yang mewah. Dalam artian Raja Jember lebih berorientasi praktis mencari laba. Oleh karenanya lebih memilih untuk menciptakan budaya baru daripada melestarikan budaya –Pandhalungan- yang sudah ada.

Kontributor Babebo perlahan meluas. Dalam edisi dua, di antaranya ada Perisman Nazara, Pelukis tinggal di Jogjakarta. Saiful  Bachri, Pelukis  asal  Jogjakarta. RupaRusak, Pegiat seni artwork bermukin di Jogjakarta. Anitha Silvia, pegiat zine dan pengurus di C2O Library Surabaya.

Pada edisi pertama, siruklasi Babebo dibagi menjadi dua. Edisi cetak hitam putih disebar ke LPM dan berbagai komunitas di Jember. Sedangkan versi bewarna dalam format *pdf diupload dalam situs database online dibantu promosi lewat microblogging atau situs jejaring sosial. Kemudian dalam edisi dua, karena kami tak memiliki kas untuk menyokong dana cetak. Maka dari itu dimulai pada edisi dua Babebo hanya akan disirkulasi dalam format *pdf. Selain itu menjadi sedikit terbantu ketika beberapa LPM juga turut serta mengiklankan Babebo dalam medianya.

Di sisi lain, Babebo membuat blog sederhana sebagai situs alamat dan situs olah karya yang berbeda dengan media cetak maupun pdf. Tentu saja blog dijadikan sebagai media baru yang digarap perlahan. Selain itu menjadi proses pembelajaran menuju situs Babebo(dot)com yang kami impikan.

Tak berhenti sampai di situ, edisi ketiga Babebo mengangkat isu tentang pencemaran ruang publik oleh iklan komersil. Tema yang dipakai ialah, Tingkah Laku Iklan. Kontributor dari luar Jember masih mampu dijaring dari orang-orang baru.

Masih banyak keinginan Babebo yang tak sempat terlaksana. Beberapa diantaranya
1.       Mengadakan bedah grafis dan layout media LPM.
2.       Menjadikan Babebo sebagai zine online.
3.       Dengan tidak meninggalkan ciri khasnya Babebo mengawal isu PPMI.
4.       Babebo menjadi rujukan stok artistik maupun kontributor pekerja artisik bagi LPM.
5.       Babebo sebagai tim kreatif dapat bekerjasama dengan BP-Jaringan Kerja untuk menambah kas PPMI.
6.       Babebo mempunyai jaringan yang bisa menguatkan BP-Litbang.


 
*) Tulisan ini merupakan Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Kota Perhimpunan Pers Masiswa (PPMI) Periode 2010-2012 yang ditulis oleh Dieqy Hasbi Widhana, telah dibahas dalam forum Musyawarah Kota, Sabtu-Senin, 23-25 Juni 2012, bertempat di Mini Hall Gedung D Unmuh Jember.