Dalam sebuah organisasi (LPM), memang tak
semua pengurus mampu (sempat) menyelidiki potensi anggotanya. Rutinitas monoton
yang melulu jurnalistik memang tak pernah menjadi suatu warisan genetik,
melainkan bentukan. Di sisi lain yang jarang sekali mampu dibaca adalah potensi
yang lain dari anggota. Mungkin bisa kita sebut sebagai (yang mirip) karya
sastra. Misalnya saja puisi, fotografi, cerpen, gambar, lukisan, dan esai
sastra.
Sederhananya ketika kami mencoba
melebarkan sayap organisasi (jaringan). Di antara celotehan khas warung kopi
pasti ada saja seorang teman yang sedang menggambar. Kemudian jika anda mencoba
bertanya, “Kalau sudah jadi nanti, gambarmu buat apa?” ada dua kemungkinan yang
paling dominan patut dijadikan jawaban. Yang pertama untuk stok Tim Artistik
Redaksi (Redaktur Artistik). Sedangkan yang kedua, dipasang di dinding kamar,
kalau pindah kost ya masuk tong sampah.
Harusnya anda tertawa sepuas mungkin
ketika membaca paragraf terakhir di atas. Tapi setelah tawa yang tak lebih dari
tiga detik itu selesai. Anda pasti akan mencari tempat yang paling sepi untuk
menangis dan pura-pura mengutuk diri sendiri.
Jika alasan yang pertama menjadi pilihan.
Di Jember, kita sama-sama memahami tak ada LPM yang mampu merampungkan proses
jurnalistik dengan profesional secara mutlak. Produktivitas karya seni pun
hanya dianggap tumbuh ketika redaksi membutuhkan. Misalnya saja ketika sidang
tema berakhir, Tim Artistik sudah mampu membaca apa yang dibutuhkan oleh
redaksi. Setelah kebutuhan redaksi terpenuhi, lantas apa yang kemudian
dilakukan oleh Tim Artistik? Nganggur? Itu pun kalau proses redaksi tidak
mengaretkan dedline cetak. Lalu kalau tak ada proses perakitan media, Tim
Artistik ngapain? Padahal proses kelahiran karya seni bisa di mana saja dan
kapan saja. Cukup imajinasi sebagai bidannya.
Sedangkan jika alasan kedua yang diadopsi.
Mungkin masing-masing dari kita sudah sangat memahami jika media jurnalistik
terpenjara dalam kurungan kode etik. Di luar kurungan ada aneka jenis ranjau yang
setia menanti. Ketika ingin berjalan-jalan ke luar dengan kegiatan semacam
kuliner. Aih, meletus.
Tapi sudahlah, anggap saja kode etik bisa
dimanipulasi. Tapi apakah semua LPM paham mengenai hal itu. Dan yang paling
penting apakah LPM sanggup –siap- menjinakkan -perang wacana jurnalistik- ketika
si ranjau ngidam untuk meledak. Sebenarnya gak penting juga saya membangkitkan
nafsu emosi kehewanan anda dalam Laporan Pert-n-anggung Jawaban (LPJ) ini.
Akan tetapi intinya tetap saja tak ada
kebebasan berkarya dalam media jurnalistik. Anggap saja redaksi adalah sebuah
gerbang lapuk. Ketika semua benda-benda aneh yang nantinya digunakan sebagai
bahan mentah media terkumpul. Otomatis harus melewati gerbang itu dahulu. Nah
gerbang itulah yang menjadi janin bagi beberapa jenis permasalahan. Entah
sebuah karya harus diendapkan sampai edisi yang cocok untuk mempublikasikan
karya itu. Sampai pengembalian karya karena terlalu mesum, menyakiti SARA,
tidak berbobot, terlalu pedas mengkritik, estetikanya kurang asin, dan
sebagainya.
Lantas kemana larinya karya? Pulang pada
yang sebelum imajinasi alias kehampaan. Atau malah menjadi sampah yang
menyejarah di dalam loker sekret.
Proses pembentukan tim
kerja
Mungkin karena kegagalan dari Sekolah
PPMI, atau mungkin juga karena enggannya LPM untuk mendelegasikan anggotanya
untuk PPMI-DK Jember. Maka secara darurat Sekertaris Jenderal (Sekjen) Kota
membentuk tim kerja, (28/5/2011). Salah satu hasil perumusan Rapat Kerja
(Raker) yang berhubungan dengan media baru ini adalah pembentukan Tim Kreatif
(TK). Dalam pola hubungan dengan margin struktural yang lain, kerja-kerja TK
tidak bisa dicampuri oleh pengurus yang terlibat dalam Forum PU Independent
(FPI). Terlebih upaya pembentukan TK ini di dasari atas pembacaan FPI, atas
rekomendasi Muskot yaitu pembentukan forum kesamaan profesi. Daripada tersesat
terlalu jauh, untuk lebih jelasnya tentang hal ini, silahkan baca LPJ Sekjen
kota wae.
Beberapa teman-teman yang terikat dalam
LPM berkumpul di Warung Buleck, Kamis malam, (17/06/2011). Di sanalah awal mula
konsep tentang media baru pertama kali dibahas secara serius. Jika mencoba
mengingat kembali jauh ke belakang. Proses inisiasi bayang-bayang kecil sebuah
media baru ini, hadir secara tiba-tiba, karena tak terwadahinya kontinyuitas
produksi karya seni dalam LPM masing-masing.
Bahkan lebih dari itu, sebenarnya implikasi dari konsep media ini
merujuk pada pertama, stok aneka jenis karya sastra untuk LPM. Kedua, forum
sharing kesamaan profesi. Ketiga, berkarya secara bebas tanpa terbungkam kode
etik jurnalistik.
Awalnya kami memang memaknai media baru
ini sebagai ‘Buletin Komik Merah Putih’ (BKMP). Dalam penguatan konsep malam
itu kami mencoba membentuk tim kerja. Tentu saja dengan menghimpun Sumber Daya
Manusia (SDM) dari beberapa LPM. Secara kebetulan saja yang turut serta
berdialektika dengan bayang-bayang ialah LPMM Alpha, UPM Millenium, LPMS Ideas,
dan UKPKM Tegal Boto.
Dengan basis kesamaan profesi dalam
LPM-nya masing-masing. Para illistrator dan layouter beberapa orang dari delegasi
LPM mencoba menggabungkan dirinya. Memang tanpa kesepakatan dan bahkan kami tak
sadar jika yang kami bentuk waktu itu adalah forum illustrator dan layouter.
Hasil dari pertemua malam itu, kami
mencoba menyamakan persepsi tentang bagaimana agar BKMP nantinya bisa bertahan
setelah hidup. Hingga kesepatakan bersama menyatakan jika media ini nantinya
akan mengelola ‘kata dan gambar’. Pengertian “produksi kata” disini adalah
segala macam tulisan yang berupa artikel, features, essai, puisi, cerpen.
Sedangkan pemaknaan “produksi gambar” disini adalah berupa karikatur,
ilustrasi, komik, foto hingga lukisan. Jadi BKMP menampung segala macam kata
dan gambar yang diproduksi oleh TK.
Untuk proses kerjanya, TK kan mengadakan
pertemuan tiap dua minggu sekali. Agenda pertemuan itu bisa dikatakan sebagai
arena unjuk karya. Fokus utama kala itu memang pada produksi gambar, –komik,
karikatur, lukisan, dan sebagainya- maka masing-masing personal diwajibkan
minimal membawa satu gambar dalam pertemuan unjuk karya. Satu-persatu secara bergiliran menceritakan
mulai dari proses pembuatan karya sampai akan kita apakan karya kita ini. Di
sisi lain dalam pertemuan dua mingguan itu kami harus menghasilkan satu karya
yang digambar bersama-sama.
Dalam
pengelolaan karya, TK membentuk konsentrasi kerja. Sekjen kota menjadi
koordinator yang disebut sebagai Pamong Imadjinasi. Kerja Sekjen adalah
mendampingi kerja-kerja redaksi BKMP. Sedangkan Widi Widahyono yang dianggap
senior desain grafis dan layouter Jember menjadi koerator Imadjinasi. Widi
menjadi pembangkit semangat dan teman sharing bagi awak redaksi.
Sedangkan Sadam H. M. menjadi koordinator
pengumpulan karya, atau kami menyebutnya sebagai Pengepoel Ingatan Lampau.
Kerja Sadam sederhana sekali, berkeliling untuk menjemput karya anggota tim.
Kemudian membantu hal-hal teknis seperti scan dan pengarsipan karya. Karena
kelebihan Diyah A. Kalpika kepergok ketika kami mencoba menggambar bersama
dalam satu kertas lusuh. Karena dengan daya kreatifnya mampu mengkombinasikan
beragam coretan kecil masing-masing orang dalam tim. Maka Diyah dipercaya
menjadi penyelaras karya, secara post-ilmiah kami memknainya sebagai penjelaras
Karja.
Selain itu, ‘LJ’ dikutuk mejadi layouter,
diberi gelar semacam gundik yaitu Penata Boesana. Tugasnya lebih sederhana
daripada anggota tim yang lainnya. Hanya mengatur tata letak perwajahan media. Kemudian
yang membantu kerjanya adalah Afwan F. B. sebagai Penata Rias. Dalam kerjanya
Afwan menjadi perias karya dengan mengolahnya dalam aplikasi grafis. Entah
mengatur tingkat kehitaman karya, cropping, membersihkan hasil scan yang lusuh,
dan sebagainya. Sedangkan Umi Agustin dipaksa menjadi Badan Inteledjen
Imadjinasi. Lalu yang terakhir ialah Uliel Petrix yang disewa untuk menjadi
Pemanis Boeatan. Sama seperti Umi, Uliel juga menjadi kotributor yang setia
menyumbangkan karya. Memang tidak menutup kemungkinan di dalam redaksi sendiri
kami menginginkan beberapa orang yang fokus untuk menjadi kontributor tetap.
Mungkin karena kami mengantisipasi tersendatnya produktivitas dalam berkarya.
Maka dikala kesibukan teknis redaksi, harus ada beberapa orang dengan semangat
tinggi dalam menghasilkan stok karya.
Namun dalam proses kerjanya, kami tidak
melulu egois pada job disk masing-masing. Lebih seringnya kerja-kerja redaksi
dilakukan secara bersama-sama saling saling membantu. Mungkin karena kami
menyadari jika anggota tim juga sibuk dalam LPM-nya masing-masing.
Dalam pertemuan malam itu, selain
pembentukan tim kerja. Kami juga berhasil merumuskan tema untuk edisi pertama
yaitu, Phenomenameter. Hasil keliaran imajinasi ternyata menuntun kami untuk
menyelidiki lebih detail mengenai realitas. Otomatis yang harus dilakukan
sebelum berkarya adalah membaca realitas untuk kemudian diterjemahkan dalam
coretan gambar. Memang pada dasarnya sebuah seni adalah hasil perkawinan antara
realitas dengan imajinasi.
Format media cetak zine
Dua minggu kemudian, TK kami membawa karya
sendiri-sendiri yang kemudian diapresiasi bersama. Selain itu, TK juga
menggambar bersama dalam satu kertas. Terasa menyenangkan sekali, malam itu
delapan orang yang berkumpul di Warung Kopi depan Galileo, kami meresmikan
bentuk tubuh media cetak ini.
Hasil
pertemuan kedua ini adalah;
Nama zine: Babebo
Tagline: teman belajar dan melawan
Rubrikasi zine: ada rubrik tetap dan rubrik bayangan
(yang slalu berubah-ubah)
Zine disepakati berukuran kertas A4
Kemudian Babebo menggandeng Arys, pegiat
Tikungan dan Dedi Supmerah, pegiat Sindikat untuk menjadi kontributor. Bukan
hanya terkurung dalam wilayah Jember saja, babebo mencoba melebarkan sayap ke
berbagai komunitas zine (KZ). Betapa kagetnya kami ketika apresiasi secara
serentak berdatangan. Ternyata jaringan KZ mempunyai kultur yang sangat jauh
sekali dari jaringan Persma. KZ merupakan media independent bawah tanah yang
menjadi perantara komunikasi antara komunitas satu dengan yang lainnya.
Apresiasi pertama datang dari Anitha
Silvia, seorang pegiat zine personal dan komunitas. Babebo menarik minatnya
untuk mengadakan perjalanan ekpedisi Jember. Dia mencari kontributor daerah
bagi zine yang dia rawat. Alhasil pasca pertemuannya di Warung Buleck dengan
kami, salah seorang anggota tim Babebo diajak untuk menjadi kontributor bagi
zine Halimun miliknya.
Tak hanya itu, ternyata Babebo menjadi
inspirasi bagi beberapa komunitas zine. Misalnya saja Mind zine yang secara
terang-terangan mengatakan jika mereka mengadopsi beberapa unsur yang ada di
Babebo. Ternyata Mind zine memodifikasi beberapa unsur grafis yang telah ada
dalam Babebo. Selain itu ada juga zine RAR. Mereka mengadopsi konsep Babebo
yang berkarya seperti anak-anak. Dalam artian bocah kecil dimaknai sebagai
individu yang bebas bertanya, berkarya tanpa tekanan, dan berimajinasi secara
liar.
Salah satu anggota tim Babebo pernah
berkata, seni itu seperti senyuman harusnya milik semua dan gratis. Memang pada
dasarnya manusia mempunyai warisan genetik. Secara otomatis bertahan hidup
dengan mencontoh atau mengadopsi dari generasi sebelumnya. Misalnya saja bagi
Roland Barthes, tak ada karya yang bisa dianggap original atau baru tanpa
terinspirasi dari karya lainnya. Maka dari itu demi ilmu pengetahuan dan proses
pembelajaran bersama, Babebo meyakinkan dirinya sebagai media anti copyright.
Dalam edisi kedua, Babebo mengangkat isu
mengenai kritik kebudayaan. Tema Babebo kala itu, Keganjilan di Sekitar Kita. Kami
-hampir setengah- menyadari jika Pemerintah Daerah Jember lebih mengedepankan
budaya asal yang mewah. Dalam artian Raja Jember lebih berorientasi praktis
mencari laba. Oleh karenanya lebih memilih untuk menciptakan budaya baru
daripada melestarikan budaya –Pandhalungan- yang sudah ada.
Kontributor Babebo perlahan meluas. Dalam
edisi dua, di antaranya ada Perisman Nazara, Pelukis tinggal di Jogjakarta. Saiful Bachri, Pelukis asal
Jogjakarta. RupaRusak, Pegiat seni artwork bermukin di Jogjakarta.
Anitha Silvia, pegiat zine dan pengurus di C2O Library Surabaya.
Pada edisi pertama, siruklasi Babebo
dibagi menjadi dua. Edisi cetak hitam putih disebar ke LPM dan berbagai
komunitas di Jember. Sedangkan versi bewarna dalam format *pdf diupload dalam
situs database online dibantu promosi lewat microblogging atau situs jejaring
sosial. Kemudian dalam edisi dua, karena kami tak memiliki kas untuk menyokong
dana cetak. Maka dari itu dimulai pada edisi dua Babebo hanya akan disirkulasi
dalam format *pdf. Selain itu menjadi sedikit terbantu ketika beberapa LPM juga
turut serta mengiklankan Babebo dalam medianya.
Di sisi lain, Babebo membuat blog
sederhana sebagai situs alamat dan situs olah karya yang berbeda dengan media cetak
maupun pdf. Tentu saja blog dijadikan sebagai media baru yang digarap perlahan.
Selain itu menjadi proses pembelajaran menuju situs Babebo(dot)com yang kami
impikan.
Tak berhenti sampai di situ, edisi ketiga
Babebo mengangkat isu tentang pencemaran ruang publik oleh iklan komersil. Tema
yang dipakai ialah, Tingkah Laku Iklan. Kontributor dari luar Jember masih
mampu dijaring dari orang-orang baru.
Masih banyak keinginan Babebo yang tak
sempat terlaksana. Beberapa diantaranya
1. Mengadakan bedah grafis dan layout media LPM.
2. Menjadikan Babebo sebagai zine online.
3. Dengan tidak meninggalkan ciri khasnya Babebo mengawal isu PPMI.
4. Babebo menjadi rujukan stok artistik maupun kontributor pekerja
artisik bagi LPM.
5. Babebo sebagai tim kreatif dapat bekerjasama dengan BP-Jaringan
Kerja untuk menambah kas PPMI.
6. Babebo mempunyai jaringan yang bisa menguatkan BP-Litbang.
*) Tulisan ini merupakan Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Kota Perhimpunan Pers Masiswa (PPMI) Periode 2010-2012 yang ditulis oleh Dieqy Hasbi Widhana, telah dibahas dalam forum Musyawarah Kota, Sabtu-Senin, 23-25 Juni 2012, bertempat di Mini Hall Gedung D Unmuh Jember.