Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Jumat, 28 Februari 2014

Ragu

Dia merupakan peletak rangka pada fase pertama dari perkembangan filsafat modern. Meng-ada pasca Abad Pertengahan yang rumit dengan banyak hal seputar dogma gereja, ancaman, dan kekangan yang lain. Bagi dia apa yang telah dimutlakkan sebagai sebuah kebenaran di era Abad Pertengahan, harus diragukan. Akan tetapi ada banyak hal yang dia serap untuk dikembangkan dari era Renaisans.

Dia adalah Rene Descartes (1596-1650), putra dari ketua parlemen inggris yang memilki tanah luas. Ketika mewarisi tanah tersebut, dia menginvestasikannya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc per tahun. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di Universitas Jesuit di La Fleche, 1604-1612. Setelah itu dia tinggal tak lama di Paris untuk kemudian mengasingkan diri di daerah terpencil, Faubourg St. Germain untuk mempelajari lebih dalam geometri yang telah dia dapatkan di univesitas. Pada tahun 1617 dia menjadi tentara Belanda. Setelah muncul keaadaan damai di Belanda, baru kemudan dia terdorong untuk mendaftarkan diri sebagai tentara Bavaria karena memanasnya Perang Tiga Puluh Tahun, 1619.

Di Bavaria inilah kemudian Descartes merefleksikan gagasannya dalam sebuah karya baru Discours de la Methode, 1620. Kemudian dia kembai menjadi tentara untuk menyerang La Rochelle, kubu pertahanan Huguenot. Setelah perang usai, dia kembali ke Belanda untuk menenenangkan diri kembali dan bersembunyi dari ancaman penyiksaan.

Sebagian orang-orang menyatakan bahwa dia seorang penakut. Sedangkan sebagian yang lain menganggapnya sedang mencari ketenangan. Persepsi tersebut muncul ketika dia memutuskan untuk membenamkan dirinya di negara Belanda (1629-1649). Di sana dia berhubungan dekat dengan kalangan gereja, khususnya para Jesuit. Kalangan gereja sendiri menganggap Descartes sebagai seorang penganut katolik yang sangat ortodoks.

Namun masih pula ada yang menganggap bahwa ke-ortodoks-an Descartes merupakan bentuk kepura-puraan semata. Hal tersebut terjadi karena secara diam-diam dia menyimpan kekaguman dan membenarkan beberapa gagasan Galileo. Hal tersebut tercermin dari buku yang kerap gagal diterbitkan yaitu La Monde. Berisi pemaparan mengenai rotasi bumi dan ketakterhinggaan alam semesta. Sebelum era Descartes, dominasi gereja yang kuat kerap mengecam gagasan semacam ini.

Descartes merupakan seorang matematikawan dan ilmuwan. Ia menerapkan aljabar pada geometri. Merumuskan pola kerja menggunakan koordinat untuk mencari kepastian posisi sebuah titik pada bidang yang berjarak dari dua garis tetap. Bukunya yang bersi banyak hal seputar teori ilmiah ialah Principa Philosophiae, 1644. Sedangkan buku penting yang lain darinya Essais Philosophques, 1637, berisi pembahasan seputar ilmu optik dan geometri.  Dalam bukunya yang lain, De la formation du foetus, memuat ulasannya yang menyambut dengan baik penemuan mengenai sirkulasi darah oleh Harvey.

Lewat Chanut, Duta Besar Prancis di Stockholm, Descartes berkorespondensi dengan Ratu Christina di Swedia. Hingga Ratu Christina mengirim beberapa pasukannya untuk menjemput Descartes untuk menuju istana. Christina tertarik dengan surat dari Descartes mengenai harsat jiwa. Kemudian Christina ingin memperoleh pelajaran setiap hari dari Descartes, 1649. Selang beberapa saat setelah itu Chanut jatuh sakit dan Descartes yang merawatnya. Kemudian keadaan berbalik, ketika Chanut sembuh berganti Descartes yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal, 1950.


Dualisme Descartes
Memastikan eksistensinya sendiri, kemudian secara subjektif menemukan keterpilahan diri. Antara tubuh atau materi dengan jiwa. Para filsuf sebelumnya, Plato misalnya, sebenarnya beberapa langkah menuju apa yang digagas Descartes. Kemudian dualisme tersebut dikembangkan dengan bentuk lain oleh Descartes.
Ada tiga realitas yang hadir dalam diri kita secara alamiah semenjak dilahirkan. Yaitu realitas pikiran (res cogitan), realitas perluasan (res extensa, materi, atau eksistensi), sedangkan yang terakhir tuhan. Pikiran merupakan kesadaran, berada di tempat yang entah, tak terpengaruh waktu. Materi merupakan perluasan, menempati ruang dan waktu, mampu dipecah atau dibagi. Sedangkan yang terakhir tuhan, menjadi elemen pengikat bagi dua realitas sebelumnya. Dianggap sebagai penyebab ada.

Jiwa sepenuhnya independen dari tubuh. Jiwa tak akan mampu digerakkan oleh tubuh. Jiwa yang dimaksud Descartes ialah jiwa rasional. Mampu mengarahkan akan bergerak ke arah mana sebuah materi. Misalnya saya terkait etika sosial, jiwa akan mengatur bagaimana semestinya tubuh bertindak di dalam ruang tertentu. Bahkan lebih dari itu, jiwa mampu menggerakkan masyarakat.

Keluasan adalah esesnsi materi, maka dari itu ada di mana-mana. Tubuh manusia dan binatang sama, ujar Descartes. Keduanya serupa mesin. Dalam artian akan berperilaku atau bergerak secara mekanik. Suatu pola gerak yang disebabkan hukum fisika. Di luarnya, hukum alam semesta akan berlaku tetap. Tubuh akan bertindak secara otomatis. Di sisi lain dia mengabaikan adanya perasaan dan kesadaran.

Tubuh dia anggap layaknya nisan bagi jiwa. Ada konektivitas dan keadaan saling interaksi antara jiwa masing-masing tubuh dengan roh penting. Jiwa tak akan mampu mempengaruhi apa yang bertindak secara mekanik. Namun jiwa mampu mengubah arah gerak objek-objek mekanik tersebut.

Tidak ada jarak. Tak ada ruang kosong yang menjadi perantara. Atau bisa disederhanakan dengan kata lain, ada jarak namun bukan sebuah ruang kosong atau ruang hampa. Semua interaksi terjadi karena diakibatkan materi lain. Descartes hanya mempercayai adanya satu jiwa, jiwa rasional yang hanya dimiliki manusia. Sedangkan tumbuhan dan hewan tumbuh mematuhi hukum mekanik. Selain manusia segala yang ada dalam alam raya ini akan tumbuh secara alamiah.

Banyak hal yang membuat dari apa yang terjadi untuk kemudian menjadi masa lalu, sulit untuk ditransformasikan secara realitas atau sepenuhnya di era kekinian. Misalnya saja hubungan yang oleh para Cartesian ditolak, mengenai titik pertemuan antara materi dan jiwa. Ruang bagi saling interaksi tersebut terdapat di pangkal kelenjar otak, tengkuk. Ketika tubuh tersakiti maka akan muncul keinginan untuk menangis dari jiwa. Selain itu mengenai halusinasi siapa penggerak mekanik dan pencipta. Bagi Descartes ialah tuhan. Bayangan tentang tuhan itu ada secara alamiah dalam tubuh masing-masing manusia semenjak lahir. Meskipun pada akhirnya Descartes sendiri gagal menemukan kebenaran rasional mengenai hal ini.


Ketika Descartes Curiga , Ia memeriksa Realitas dengan Cogito
Descartes membangun pondasi filsafatnya dengan cara meragukan apa saya yang bisa diragukan. Dari sana muncul pra-kondisi dari langkah adaptif dengan apa yang ada di luar dirinya. Upaya bertindak skeptis. Seperti misalnya bisakah kita meragukan keberadaan masing-masing dari kita di forum ini. Bisa saja masing-masing dari kita saat ini sebenarnya sedang berada di Warung Buleck dan membayangkan mengenai ngerumpi filsafat. Atau justru sebaliknya, siapa saja yang sedang berada di samping anda sebenarnya hanyalah ilusi personal. Sebenarnya dia sedang berada di Warung Buleck. Namun malam ini anda sedang membayangkan dia hadir di samping anda.

Pengetahuan memang dihadirkan oleh  indra,  tetapi Descartes mengakui bahwa  indra  itu bisa  menyesatkan  (seperti  dalam  mimpi  dan  khayalan),  maka  dia  terpaksa  mengambil kesimpulan bahwa data keindraan tidak dapat diandalkan. Misalnya saja ketika anda bermimpi bertemu dengan malaikat. Ada kemungkinan besar karena indra pernah menginternalisasi wujud manusia, sayap, tongkat, dan piringan putih di atas kepala (film kartun). Benda-benda yang tampak dan diserap oleh indra tersebut melebur dan bersatu dalam mimpi. Itu semua terangkum dalam kekuatan halusinasi atau imajinasi.

Sedangkan apa yang dipikirkan oleh jiwa rasional akan bersifat tetap. Dalam artian tidak akan berkembang atau berubah. Saya bisa menyimpulkan hal tersebut berkat para pengidap penyakit scrizofenia. Sejak kecil para pengidap selalu merasa mempunyai teman dekat. Hubungan akan berlanjut sampai si penderita meninggal. Akan tetapi teman khayalannya tersebut tak akan tumbuh. Ketika si penderita beranjak tua, muncul keriput di tubuh, beruban, susah mengontrol tubuh, dan sebagainya. Teman bayangannya justru masih awet muda. Tak terpengaruh oleh bertambahnya waktu. Begitu juga dengan wujud segitiga sama sisi di dalam pikiran kita yang sudah ditanamkan semenjak sekolah dasar. Tak akan berubah.

Apa yang ditangkap oleh indra akan difilter atau dianalisis oleh rasio. ‘Cogito Ergo Sum’. Aku berpikir maka Aku ada. Persepsi mengenai apa yang dianggap benar muncul setelah melalui proses berpikir. Bahkan kebenaran mengenai tubuhnya sendiri. Apakah tubuh memang ada? Atau tubuh kita hanya bagian dari ilusi?
Konsep berpikir Descartes menegaskan ‘Cogito’. Kebanyakan dipahami sebagai akal atau berpikir. Atau sebagian lain memahaminya sebagai penyadaran atau sadar. Untuk itu maka kita melakukan upaya meragukan, memahami, mengerti, menegaskan, menolak, berkehendak, membayangkan, merasakan. Serangkaian proses berpikir itu akan membawa diri kita pada ‘kita yang sadar’. Dalam hal yang lain, misalnya ketika tidur, sebenarnya pikiran kita masih tetap bekerja sebagaimana mestinya.

Oleh karenanya segala hal yang ada dalam pikiran sebenarnya merupakan kloning atau tiruan dari realitas. Namun tetap saja, apa yang ditangkap oleh indra harus dikunyah terlebih dahulu oleh Cogito. Dari sana kriteria kebenaran bisa dirumuskan. Lebih dari itu, secara tidak langsung esensi dari ilmu pengetahuan akan didapatkan.[]



Disarikan dari:
- Roger Scruton, Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein, Second Revised and Enlarged Edition Published 1995, New York, Taylor & Francis Group.
- Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga -sekarang, Cetakan III Agustus 2007, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
- Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah novel filsafat, Cetakan XVIII November 2006, Bandung, -Penerbit Mizan.
- Ali Maksum, Pengantar Filsafat; Dari masa klasik hingga postmodern, Cetakan I November 2008, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media.
- Misnal Munir, Aliran-aliran -Utama Filsafat Barat Kontemporer, Cetakan I Agustus 2008, Bantul, Penerbit Lima.

Rabu, 19 Februari 2014

Elit Kampus Fakultas Sastra Unej Anti Kritik

Apa jadinya jika elite kampus mengklaim sebuah kritik sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Secara sepihak mereka telah menyatakan jika kritik merupakan kutukan keramat. Wabah kronis tersebut sangat wajar menerjang mereka yang mengidap haus kekuasaan. Sebuah jabatan hanya dimaknai sebagaimana jenjang profesi. Maka dari itu esensi dari kerja itu sendiri akan hilang. Tinggallah tingkah otoriter. Mereka tak akan menghiraukan pendapat yang hadir dari luar diri atau kelompoknya.

Saya sangat menyayangkan terkait kejadian buruk yang terjadi di Fakultas Sastra Universitas Jember. Beberapa minggu yang lalu sekelompok mahasiswa menyebarkan selembar gagasannya, berisi seputar wacana diskriminasi yang dilakukan elit kampus terhadap kebebasan berpendapat. Ada satu hal yang menarik dari tulisan mereka yaitu, anggapan mereka bahwa ‘Birokrat Babi’ hanya bisa menyampaikan teori usang di dalam kelas, meskipun mereka sendiri tak mampu merealisasikan. Saya rasa mereka benar, diawali dengan ketidaktahuan para pengajar terkait teori. Wah, banyak yang dangkal di fakultas ini, entah sampai kapan akan terus dianggap sebagai aib.

Beberapa hari setelah hari penyebaran selebaran tersebut, mereka dipanggil oleh Dekanat (Dekan, Pembantu Dekan III, Pembantu Dekan II), Fakultas Sastra Universitas Jember (FS-UJ). Secara jantan dan bertanggung jawab mereka pun kemudian datang ke ruang Dekanat. Parahnya ruangan itu mirip pengadilan bar-bar. Mereka tak diberi banyak waktu untuk menyampaikan gagasannya, namun yang muncul ialah ancaman dan makian dari Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III. Beberapa hari setelah itu, di saat mahasiswa yang lain rampung menggarap persyaratan akademik untuk menempuh mata kuliah di semester. Para mahasiswa penyebar selebaran tersebut justru dipaksa untuk tidak boleh melangsungkan perkuliahan sampai enam bulan ke depan.

Bukan hal yang aneh jika elit birokrasi kampus cenderung berwatak pragmantis. Dalam artian jenjang profesi bagi mereka lebih penting daripada menghargai ktirik yang terus bermunculan. Bukankah kita sama-sama berada pada lingkungan akademis. Kampus sebagai ruang berdialognya para intelektual hanya jadi semboyan lapuk semata.

Seharusnya dalam ruang yang penuh sesak para kaum intelektual ini, hasrat untuk berkuasa harus ditekan seminim mungkin. Jika ditinjau ulang, lahirnya objektivitas berdasarkan orok-orok yang dihimpun dari beragam subjektivitas yang muncul. Masing-masing subjektivitas dirasionalkan ulang untuk memasak konsensus. Maka dari itu tak ada proses kerja yang bisa dilakukan dengan sendirinya tanpa melibatkan unsur-unsur di luar dirinya.

Suburnya kritikan harus seimbang dengan kemauan untuk menanggapinya dengan cara sebagaimana kaum intelek bertindak. Bukan malah melawannya sebagaimana musuh. Bahkan yang paling bodoh, jika harus merespon kritik dengan mengandalkan jabatan yang secara struktural lebih tinggi daripada si pengkritik. Hasrat tersebut dianggap oleh Aristoteles sebagai sifat kehewanan yang muncul ketika manusia berhasrat untuk mendominasi. Padahal satu hal yang membedakan antara manusia dengan hewan hanya satu hal. Yaitu karena dalam diri manusia tertanam kekuatan untuk berpikir dan merasionalisasi tindakkannya.

Pemimpin yang besar itu para pemimpin yang menghargainya jasa para kritikus. Namun yang ada dalam kampus saya, segala bentuk kritikan yang muncul akan segera dihantam dengan intimidasi. Lantas orang macam apa yang menempati posisi sebagai elite birokrasi kampus jika mereka takut pada kritik. Percuma saja mengaku pernah bertahun-tahun bedialektika dalam organisasi mahasiswa jika tak mampu memerdekakan mahasiswa. Melalui analisis yang sangat sederhana saja sudah bisa dibaca jika hanya mementingkan hasrat untuk berkuasa.

Realitanya para elit birokrasi kampus kita sekarang ini mengeksekusi program kerja dengan cara menebarkan ketakutan. Tentu saja yang bermunculan di ruang publik hanyalah intruksi. Tak ada ruang bagi mereka di luar kelompok elit yang mampu menyampaikan gagasannya. Para sejarawan di sini berfungsi sebagai apa jika mereka diam saja ketika sistem kampus dipaksa berperilaku sebagaimana sistem mekanik yang dianut kerajaan.

Sebagaimana argumen usang terkait bilamana sebuah kampus adalah laboratorium mini, ibarat sebuah negara. Maka sudah seharusnya kampus mengeksekusi banyak hal agar kesehatan iklim demokrasi tetap terjaga. Menurut Roger H. Soltau, tujuan sebuah negara ialah memungkinkan rakyatnya leluasa bergerak untuk berekspresi, maka seharusnya para elit kampus mengupayakan para mahasiswanya agar “Berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin”. Sedangkan bagi Harold J. Laski, seharusnya elit kampus “Menciptakan keadaan di mana rakyatnya (mahasiswa) dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal”.

Namun bukan hal yang aneh jika demokrasi hanya sekedar teori belaka. Bagaimana tidak, jangankan menerapkannya, cara mereka mentrasfer pengetahuan kepada mahasiswa pun purba sekali. Melaui mekanisme text book atau hanya membaca ulang teks yang tertera dalam slide.

Barangkali yang terpenting bagi kita bukanlah seberapa banyak membaca buku, seberapa kuat beradu mulut atau fisik, akan tetapi seberapa pintar membaca realita sosial disekitar. Jika dipikirkan ulang lebih dalam, hakekat pendidikan adalah mencetak manusia yang memanusiakan manusia. Dalam pandangan Pauolo Freire, pendidikan tidak lain adalah proses penyadaran kembali setelah masyarakat mendapat penindasan, hegemoni, maupun kepentingan-kepentingan politis tertentu. Reproduksi pemikiran kritis itulah yang akan memicu pembongkaran terhadap sistem sosial yang tidak adil. Dalam artian, kesadaran kritis akan melahirkan anak didik yang steril dari hegemoni maupun kepentingan.

Masyarakat akan lebih peka terhadap fenomena sosial yang terjadi di sekitar mereka dengan pendidikan ktiris. Bagi freire, pendidikan bukan hanya melahirkan manusia untuk sekedar ‘mengetahui’ kemudian menghimpun pengetahuan, Banking Concept of Education, Sistem Pendidikan Gaya Bank, menerima dan menyimpan tanpa mengkritisi berbagai macam konsep, teori, informasi, data. Kaum terdidik harus mampu mengkritisi sistem yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Dengan kata lain, tak hanya menyimpan wacana pendidikan, namun menguji pengetahuanya di wilayah empiris. Berupaya mengangkat hak kelas tertindas menuju kelas yang setara dengan masyarakat lainya.

Kurikulum dan tumpukan tugas dari institusi pendidikan memang menjadikan kita manusia yang dehumanis. Menjauhkan kita dari realita di luar institusi an sich. Tanpa kita sadari konsumen institusi pendidikan terbelenggu dalam ruang kecil. Seakan kita punya dunia sendiri di luar dunia nyata. Negeri di atas awan.
Kontradiksi disiplin ilmu tak pernah kita temukan di masyarakat jika tak ada perintah dari skenario kurikulum untuk mempraktekkanya. Tentunya hanya menjadi suatu ilmu pengetahuan yang siap memberi kejutan pada pasar. Bukan hal yang aneh jika saya mengatakan, kita berenang dalam institusi pendidikan agar siap menjadi pekerja bagi pemodal asing yang mengeruk kekayaan negri ini. Apakah ijazah hanya dicari untuk memenuhi hasrat individualis, tanpa sedikitpun terdapat kadar nurani dalam jiwa kita yang berkeinginan untuk mendonorkanya pada masyarakat?

Pernahkah kita berpikir, atau bereksperimen untuk menciptakan formulasi kurikulum, yang dapat membakar rasa cinta terhadap tanah air. Dengan kata lain, bagaimana agar pendidikan menciptakan kepekaan tinggi pada kepentingan bangsa di atas kepentingan individu. Pendidikan yang membawa misi kemanusiaan yang menyelamatkan bangsa dari konflik suku, agama, ras, dan adat istiadat (SARA). Membangun pondasi bangsa yang berbalut nilai-nilai kedamaian di tengah heterogenitas budaya. Pendidikan juga harus bisa menumbuhkan semangat nasionalisme. Berupaya sekuat tenaga untuk menanamkan rasa persaudaraan, kesetiakawanan, persamaan, dan perasaan senasib. Nah, para elit birokrat FS-UJ saya rasa tak pernah mendapatkan formulasi kurikulum semacam ini.[]

Rabu, 05 Februari 2014

Pemulung Imajinasi; Sebuah Catatan Epigraf Genealogi Babebo Zine Persma Jember


Dalam sebuah organisasi (LPM), memang tak semua pengurus mampu (sempat) menyelidiki potensi anggotanya. Rutinitas monoton yang melulu jurnalistik memang tak pernah menjadi suatu warisan genetik, melainkan bentukan. Di sisi lain yang jarang sekali mampu dibaca adalah potensi yang lain dari anggota. Mungkin bisa kita sebut sebagai (yang mirip) karya sastra. Misalnya saja puisi, fotografi, cerpen, gambar, lukisan, dan esai sastra.

Sederhananya ketika kami mencoba melebarkan sayap organisasi (jaringan). Di antara celotehan khas warung kopi pasti ada saja seorang teman yang sedang menggambar. Kemudian jika anda mencoba bertanya, “Kalau sudah jadi nanti, gambarmu buat apa?” ada dua kemungkinan yang paling dominan patut dijadikan jawaban. Yang pertama untuk stok Tim Artistik Redaksi (Redaktur Artistik). Sedangkan yang kedua, dipasang di dinding kamar, kalau pindah kost ya masuk tong sampah.

Harusnya anda tertawa sepuas mungkin ketika membaca paragraf terakhir di atas. Tapi setelah tawa yang tak lebih dari tiga detik itu selesai. Anda pasti akan mencari tempat yang paling sepi untuk menangis dan pura-pura mengutuk diri sendiri.

Jika alasan yang pertama menjadi pilihan. Di Jember, kita sama-sama memahami tak ada LPM yang mampu merampungkan proses jurnalistik dengan profesional secara mutlak. Produktivitas karya seni pun hanya dianggap tumbuh ketika redaksi membutuhkan. Misalnya saja ketika sidang tema berakhir, Tim Artistik sudah mampu membaca apa yang dibutuhkan oleh redaksi. Setelah kebutuhan redaksi terpenuhi, lantas apa yang kemudian dilakukan oleh Tim Artistik? Nganggur? Itu pun kalau proses redaksi tidak mengaretkan dedline cetak. Lalu kalau tak ada proses perakitan media, Tim Artistik ngapain? Padahal proses kelahiran karya seni bisa di mana saja dan kapan saja. Cukup imajinasi sebagai bidannya.

Sedangkan jika alasan kedua yang diadopsi. Mungkin masing-masing dari kita sudah sangat memahami jika media jurnalistik terpenjara dalam kurungan kode etik. Di luar kurungan ada aneka jenis ranjau yang setia menanti. Ketika ingin berjalan-jalan ke luar dengan kegiatan semacam kuliner. Aih, meletus.

Tapi sudahlah, anggap saja kode etik bisa dimanipulasi. Tapi apakah semua LPM paham mengenai hal itu. Dan yang paling penting apakah LPM sanggup –siap- menjinakkan -perang wacana jurnalistik- ketika si ranjau ngidam untuk meledak. Sebenarnya gak penting juga saya membangkitkan nafsu emosi kehewanan anda dalam Laporan Pert-n-anggung Jawaban (LPJ) ini.

Akan tetapi intinya tetap saja tak ada kebebasan berkarya dalam media jurnalistik. Anggap saja redaksi adalah sebuah gerbang lapuk. Ketika semua benda-benda aneh yang nantinya digunakan sebagai bahan mentah media terkumpul. Otomatis harus melewati gerbang itu dahulu. Nah gerbang itulah yang menjadi janin bagi beberapa jenis permasalahan. Entah sebuah karya harus diendapkan sampai edisi yang cocok untuk mempublikasikan karya itu. Sampai pengembalian karya karena terlalu mesum, menyakiti SARA, tidak berbobot, terlalu pedas mengkritik, estetikanya kurang asin, dan sebagainya.

Lantas kemana larinya karya? Pulang pada yang sebelum imajinasi alias kehampaan. Atau malah menjadi sampah yang menyejarah di dalam loker sekret.

Proses pembentukan tim kerja
Mungkin karena kegagalan dari Sekolah PPMI, atau mungkin juga karena enggannya LPM untuk mendelegasikan anggotanya untuk PPMI-DK Jember. Maka secara darurat Sekertaris Jenderal (Sekjen) Kota membentuk tim kerja, (28/5/2011). Salah satu hasil perumusan Rapat Kerja (Raker) yang berhubungan dengan media baru ini adalah pembentukan Tim Kreatif (TK). Dalam pola hubungan dengan margin struktural yang lain, kerja-kerja TK tidak bisa dicampuri oleh pengurus yang terlibat dalam Forum PU Independent (FPI). Terlebih upaya pembentukan TK ini di dasari atas pembacaan FPI, atas rekomendasi Muskot yaitu pembentukan forum kesamaan profesi. Daripada tersesat terlalu jauh, untuk lebih jelasnya tentang hal ini, silahkan baca LPJ Sekjen kota wae.

Beberapa teman-teman yang terikat dalam LPM berkumpul di Warung Buleck, Kamis malam, (17/06/2011). Di sanalah awal mula konsep tentang media baru pertama kali dibahas secara serius. Jika mencoba mengingat kembali jauh ke belakang. Proses inisiasi bayang-bayang kecil sebuah media baru ini, hadir secara tiba-tiba, karena tak terwadahinya kontinyuitas produksi karya seni dalam LPM masing-masing.  Bahkan lebih dari itu, sebenarnya implikasi dari konsep media ini merujuk pada pertama, stok aneka jenis karya sastra untuk LPM. Kedua, forum sharing kesamaan profesi. Ketiga, berkarya secara bebas tanpa terbungkam kode etik jurnalistik.

Awalnya kami memang memaknai media baru ini sebagai ‘Buletin Komik Merah Putih’ (BKMP). Dalam penguatan konsep malam itu kami mencoba membentuk tim kerja. Tentu saja dengan menghimpun Sumber Daya Manusia (SDM) dari beberapa LPM. Secara kebetulan saja yang turut serta berdialektika dengan bayang-bayang ialah LPMM Alpha, UPM Millenium, LPMS Ideas, dan UKPKM Tegal Boto.

Dengan basis kesamaan profesi dalam LPM-nya masing-masing. Para illistrator dan layouter beberapa orang dari delegasi LPM mencoba menggabungkan dirinya. Memang tanpa kesepakatan dan bahkan kami tak sadar jika yang kami bentuk waktu itu adalah forum illustrator dan layouter.

Hasil dari pertemua malam itu, kami mencoba menyamakan persepsi tentang bagaimana agar BKMP nantinya bisa bertahan setelah hidup. Hingga kesepatakan bersama menyatakan jika media ini nantinya akan mengelola ‘kata dan gambar’. Pengertian “produksi kata” disini adalah segala macam tulisan yang berupa artikel, features, essai, puisi, cerpen. Sedangkan pemaknaan “produksi gambar” disini adalah berupa karikatur, ilustrasi, komik, foto hingga lukisan. Jadi BKMP menampung segala macam kata dan gambar yang diproduksi oleh TK.

Untuk proses kerjanya, TK kan mengadakan pertemuan tiap dua minggu sekali. Agenda pertemuan itu bisa dikatakan sebagai arena unjuk karya. Fokus utama kala itu memang pada produksi gambar, –komik, karikatur, lukisan, dan sebagainya- maka masing-masing personal diwajibkan minimal membawa satu gambar dalam pertemuan unjuk karya.  Satu-persatu secara bergiliran menceritakan mulai dari proses pembuatan karya sampai akan kita apakan karya kita ini. Di sisi lain dalam pertemuan dua mingguan itu kami harus menghasilkan satu karya yang digambar bersama-sama.

 Dalam pengelolaan karya, TK membentuk konsentrasi kerja. Sekjen kota menjadi koordinator yang disebut sebagai Pamong Imadjinasi. Kerja Sekjen adalah mendampingi kerja-kerja redaksi BKMP. Sedangkan Widi Widahyono yang dianggap senior desain grafis dan layouter Jember menjadi koerator Imadjinasi. Widi menjadi pembangkit semangat dan teman sharing bagi awak redaksi.

Sedangkan Sadam H. M. menjadi koordinator pengumpulan karya, atau kami menyebutnya sebagai Pengepoel Ingatan Lampau. Kerja Sadam sederhana sekali, berkeliling untuk menjemput karya anggota tim. Kemudian membantu hal-hal teknis seperti scan dan pengarsipan karya. Karena kelebihan Diyah A. Kalpika kepergok ketika kami mencoba menggambar bersama dalam satu kertas lusuh. Karena dengan daya kreatifnya mampu mengkombinasikan beragam coretan kecil masing-masing orang dalam tim. Maka Diyah dipercaya menjadi penyelaras karya, secara post-ilmiah kami memknainya sebagai penjelaras Karja.

Selain itu, ‘LJ’ dikutuk mejadi layouter, diberi gelar semacam gundik yaitu Penata Boesana. Tugasnya lebih sederhana daripada anggota tim yang lainnya. Hanya mengatur tata letak perwajahan media. Kemudian yang membantu kerjanya adalah Afwan F. B. sebagai Penata Rias. Dalam kerjanya Afwan menjadi perias karya dengan mengolahnya dalam aplikasi grafis. Entah mengatur tingkat kehitaman karya, cropping, membersihkan hasil scan yang lusuh, dan sebagainya. Sedangkan Umi Agustin dipaksa menjadi Badan Inteledjen Imadjinasi. Lalu yang terakhir ialah Uliel Petrix yang disewa untuk menjadi Pemanis Boeatan. Sama seperti Umi, Uliel juga menjadi kotributor yang setia menyumbangkan karya. Memang tidak menutup kemungkinan di dalam redaksi sendiri kami menginginkan beberapa orang yang fokus untuk menjadi kontributor tetap. Mungkin karena kami mengantisipasi tersendatnya produktivitas dalam berkarya. Maka dikala kesibukan teknis redaksi, harus ada beberapa orang dengan semangat tinggi dalam menghasilkan stok karya.

Namun dalam proses kerjanya, kami tidak melulu egois pada job disk masing-masing. Lebih seringnya kerja-kerja redaksi dilakukan secara bersama-sama saling saling membantu. Mungkin karena kami menyadari jika anggota tim juga sibuk dalam LPM-nya masing-masing.

Dalam pertemuan malam itu, selain pembentukan tim kerja. Kami juga berhasil merumuskan tema untuk edisi pertama yaitu, Phenomenameter. Hasil keliaran imajinasi ternyata menuntun kami untuk menyelidiki lebih detail mengenai realitas. Otomatis yang harus dilakukan sebelum berkarya adalah membaca realitas untuk kemudian diterjemahkan dalam coretan gambar. Memang pada dasarnya sebuah seni adalah hasil perkawinan antara realitas dengan imajinasi.

Format media cetak zine
Dua minggu kemudian, TK kami membawa karya sendiri-sendiri yang kemudian diapresiasi bersama. Selain itu, TK juga menggambar bersama dalam satu kertas. Terasa menyenangkan sekali, malam itu delapan orang yang berkumpul di Warung Kopi depan Galileo, kami meresmikan bentuk tubuh media cetak ini.

Hasil pertemuan kedua ini adalah;
Nama zine: Babebo
Tagline: teman belajar dan melawan
Rubrikasi zine: ada rubrik tetap dan rubrik bayangan (yang slalu berubah-ubah)
Zine disepakati berukuran kertas A4

Kemudian Babebo menggandeng Arys, pegiat Tikungan dan Dedi Supmerah, pegiat Sindikat untuk menjadi kontributor. Bukan hanya terkurung dalam wilayah Jember saja, babebo mencoba melebarkan sayap ke berbagai komunitas zine (KZ). Betapa kagetnya kami ketika apresiasi secara serentak berdatangan. Ternyata jaringan KZ mempunyai kultur yang sangat jauh sekali dari jaringan Persma. KZ merupakan media independent bawah tanah yang menjadi perantara komunikasi antara komunitas satu dengan yang lainnya.

Apresiasi pertama datang dari Anitha Silvia, seorang pegiat zine personal dan komunitas. Babebo menarik minatnya untuk mengadakan perjalanan ekpedisi Jember. Dia mencari kontributor daerah bagi zine yang dia rawat. Alhasil pasca pertemuannya di Warung Buleck dengan kami, salah seorang anggota tim Babebo diajak untuk menjadi kontributor bagi zine Halimun miliknya.

Tak hanya itu, ternyata Babebo menjadi inspirasi bagi beberapa komunitas zine. Misalnya saja Mind zine yang secara terang-terangan mengatakan jika mereka mengadopsi beberapa unsur yang ada di Babebo. Ternyata Mind zine memodifikasi beberapa unsur grafis yang telah ada dalam Babebo. Selain itu ada juga zine RAR. Mereka mengadopsi konsep Babebo yang berkarya seperti anak-anak. Dalam artian bocah kecil dimaknai sebagai individu yang bebas bertanya, berkarya tanpa tekanan, dan berimajinasi secara liar.

Salah satu anggota tim Babebo pernah berkata, seni itu seperti senyuman harusnya milik semua dan gratis. Memang pada dasarnya manusia mempunyai warisan genetik. Secara otomatis bertahan hidup dengan mencontoh atau mengadopsi dari generasi sebelumnya. Misalnya saja bagi Roland Barthes, tak ada karya yang bisa dianggap original atau baru tanpa terinspirasi dari karya lainnya. Maka dari itu demi ilmu pengetahuan dan proses pembelajaran bersama, Babebo meyakinkan dirinya sebagai media anti copyright.

Dalam edisi kedua, Babebo mengangkat isu mengenai kritik kebudayaan. Tema Babebo kala itu, Keganjilan di Sekitar Kita. Kami -hampir setengah- menyadari jika Pemerintah Daerah Jember lebih mengedepankan budaya asal yang mewah. Dalam artian Raja Jember lebih berorientasi praktis mencari laba. Oleh karenanya lebih memilih untuk menciptakan budaya baru daripada melestarikan budaya –Pandhalungan- yang sudah ada.

Kontributor Babebo perlahan meluas. Dalam edisi dua, di antaranya ada Perisman Nazara, Pelukis tinggal di Jogjakarta. Saiful  Bachri, Pelukis  asal  Jogjakarta. RupaRusak, Pegiat seni artwork bermukin di Jogjakarta. Anitha Silvia, pegiat zine dan pengurus di C2O Library Surabaya.

Pada edisi pertama, siruklasi Babebo dibagi menjadi dua. Edisi cetak hitam putih disebar ke LPM dan berbagai komunitas di Jember. Sedangkan versi bewarna dalam format *pdf diupload dalam situs database online dibantu promosi lewat microblogging atau situs jejaring sosial. Kemudian dalam edisi dua, karena kami tak memiliki kas untuk menyokong dana cetak. Maka dari itu dimulai pada edisi dua Babebo hanya akan disirkulasi dalam format *pdf. Selain itu menjadi sedikit terbantu ketika beberapa LPM juga turut serta mengiklankan Babebo dalam medianya.

Di sisi lain, Babebo membuat blog sederhana sebagai situs alamat dan situs olah karya yang berbeda dengan media cetak maupun pdf. Tentu saja blog dijadikan sebagai media baru yang digarap perlahan. Selain itu menjadi proses pembelajaran menuju situs Babebo(dot)com yang kami impikan.

Tak berhenti sampai di situ, edisi ketiga Babebo mengangkat isu tentang pencemaran ruang publik oleh iklan komersil. Tema yang dipakai ialah, Tingkah Laku Iklan. Kontributor dari luar Jember masih mampu dijaring dari orang-orang baru.

Masih banyak keinginan Babebo yang tak sempat terlaksana. Beberapa diantaranya
1.       Mengadakan bedah grafis dan layout media LPM.
2.       Menjadikan Babebo sebagai zine online.
3.       Dengan tidak meninggalkan ciri khasnya Babebo mengawal isu PPMI.
4.       Babebo menjadi rujukan stok artistik maupun kontributor pekerja artisik bagi LPM.
5.       Babebo sebagai tim kreatif dapat bekerjasama dengan BP-Jaringan Kerja untuk menambah kas PPMI.
6.       Babebo mempunyai jaringan yang bisa menguatkan BP-Litbang.


 
*) Tulisan ini merupakan Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Kota Perhimpunan Pers Masiswa (PPMI) Periode 2010-2012 yang ditulis oleh Dieqy Hasbi Widhana, telah dibahas dalam forum Musyawarah Kota, Sabtu-Senin, 23-25 Juni 2012, bertempat di Mini Hall Gedung D Unmuh Jember.

Senin, 03 Februari 2014

Mengapa Persma dan Bagian Darinya



Saya sebenarnya merasa curiga terhadap Andreas Harsono terkait tawaran mengubah istilah pers mahasiswa menjadi media mahasiswa. Apakah dia menyimpan harapan besar agar persma menjadi media humas kampus?


BUKAN HANYA saya ternyata, di Jember salah satu tulisan Andreas Harsono ramai diperbincangkan. Bertepatan ketika LPMS IDEAS sedang bermasalah dengan elit birokrasi kampus, karena majalahnya yang memuat berita mengenai Malapetaka Pasar Tradisional dan Kebijakan Jam Malam. Kemudian salah seorang reporter LPME Ecpose, dikerubungi beberapa beberapa dosen ketika melakukan wawancara. Mereka tengah mengawasi bagaimana cara dan apa yang sedang ditanyakan oleh awak Ecpose terhadap narasumbernya. Sedangkan di STAIN Jember, UPM Millenium dipaksa oleh pembinanya dari kalangan elit birokrasi, agar tidak melulu mengangkat isu yang mengkritisi fenomena dan kebijakan kampus. Jika tidak, maka STAIN akan membuat organisasi persma tandingan. Dampaknya banyak awak Persma yang salah paham terhadap apa yang ditawarkan dan dijelaskan Andreas lewat tulisannya. Beruntunglah kami membahasnya dalam forum Persma Jember beberapa hari yang lalu (28/1).

Di beberapa era, Persma berjaya menjadi media alternatif. Banyak sekali tokoh besar yang menjadi narasumber dalam media persma. Sebagian besar justru narasumbernya sendiri yang berebut. Besar kemungkinan karena terdapat kekangan yang kuat bagi pers umum untuk memberitakan mengenai realitas sosial. Era rezim otoriter Soeharto. Maka dari itu, kebanyakan narasumber lebih percaya kepada persma.

Saya yakin Andreas paham mengenai beberapa hal penting seputar peranan Persma. Banyak hal yang memang luput dan sulit dipantau oleh wartawan pers umum. Entah itu terkait fenomena sosial maupun kekuatan untuk menggali fakta secara mendalam dan dikemas mengikat. Pers umum punya tekanan yang kuat di dalam redaksinya sendiri. Lebih dari itu mereka bekerja dalam tenggat waktu yang relatif pendek. Selebihnya terkait rentannya sikap kompromis wartawan pers umum. Namun perubahan istilah pasti akan membuat banyak awak Persma sedikit tersedak. Tentu saja karena banyak dari mereka tahu, terkait bagaimana Persma lewat PPMI berdinamika dengan sebutan Persma atau penerbitan. Maklumlah jika selain dianggap terlalu praktis memahami alur hidup persma. Usulan Andreas akan dianggap terlalu tergesa.

Pers mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) memang pernah berkompromi dengan Dikti, khususnya dalam hal penamaan atau penggunaan istilah antara penerbitan dengan pers. Perdebatan panjang bermula dari Surat Edaran Dikti No. 849/D/T1989. Menteri Penerangan menganggap, hanya ada satu pers nasional yang diatur melalui Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Sedangkan penerbitan khusus yang menyangkut persma di dalamnya, diatur dengan Surat Tanda Terbit (STT). Meski berdampak perpecahan pada internal, pada akhirnya mereka mencoba tidak memperdulikan sebutan pers mahasiswa yang harus dirubah menjadi penerbitan mahasiswa. Hal tersebut terjadi karena dirasa perlu ada payung hukum yang menaungi persma. Namun Dikti hanya mengakui penerbitan mahasiswa. Bagi PPMI kala itu, tidak masalah asalkan paradigma berpikir kritis dan fungsi kontrol masih bisa jalan.

Kala itu ketika menyebut persma, maka ada hal-hal berbau negatif lain yang menyertainya. Seperti halnya awak persma Yogyakarta yang sempat akan berkunjung ke Universitas Brawijaya Malang. Dengan memakai embel-embel persma, maka mereka tidak diperbolehkan untuk berkunjung ke Brawijaya.

Namun ternyata dugaan salah. Dikti tidak peduli apakah pers atau penerbitan. Justru karena keunikan organisasi, terdapat kebingungan pers mahasiswa masuk dalam kategori yang mana. Kala itu organisasi kemahasiswaan internal kampus hanya ada Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Indonesia (SMPTI) dan organisasi kepemudaan KNPI. Sedangkan Persma tidak tergolong dua varian tersebut. Namun desakan dari pemerintah terus terjadi, organisasi macam apapun yang berharap diakui keberadaannya, harus dinaungi oleh lembaga pemerintahan tertentu.

Di Indonesia memang tak ada lembaga seperti Student Press Law Center (SPLC) yang telah dikhususkan untuk mendukung media berita mahasiswa. Salah satu fungsinya mengawal kebebasan dalam meliput isu-isu penting. Memastikan lolos kode etik dan bebas dari sensor.

Maka dari itu Upaya untuk melegalkan PPMI terus dilakukan. Terpaksa harus rela menempuh jalur rumit dan berbelit khas prosedur birokrasi pemerintahan. Di kala Direktorat Jenderal Pengembangan Pers dan Grafika (Dirjen PPG) bersedia untuk menaungi PPMI. Dikti justru menghalang-halangi niatan tersebut. Hambatan berbau politis dipraktekkan Dikti lagi.

Pada kongres kedua PPMI, harapan besar di era sebelumnya untuk berkompromi ditebang habis. Perdebatan mengenai pers atau penerbitan berakhir sudah, seiring pernyataan tegas PPMI untuk menolak legalisasi. Dalam Deklarasi Tegalboto, PPMI menyatakan sikapnya, “PPMI bertekat untuk terus memperjuangkan demokrasi, independensi, dan kebebasan pers mahasiswa Indonesia dengan tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT.” Sebuah langkah strategis untuk memudarkan kekangan terhadap kebebasan memperoleh informasi dan berpendapat. Kemudian dieksekusi. Menegasikan tubuh organisasinya menjadi otonom. Dalam artian tidak berada di bawah organisasi pemerintahan apapun. Selain itu PPMI juga turut menolak adanya sinkronisasi kurikulum diklat Persma. Ada perbedaan mendasar antara pembinaan yang dilakukan oleh Dikti dengan pengembangan versi Persma. Sebagai langkah konkrit, PPMI kemudian meracik sendiri materi dan kurikulum bagi awak Persma. Setidaknya berupaya menetralisir intervensi terhadap fungsi Persma sebagai pengontrol kebijakan dan menyesuaikan terhadap kondisi kala itu.

Kemudian beberapa keputusan yang berhasil dirumuskan dalam Kongres II PPMI direspon dengan kegiatan Sarasehan Pekan Nasional Penerbitan Mahasiswa, 19-20 September 1996 bertempat di Makassar. Terdapat tiga hal penting yang kemudian dinamakan sebagai Surat Terbuka Pena Emas 1996. Antara lain berisi: Menyerukan kepada segenap pers mahasiswa untuk menggunakan istilah pers mahasiswa bukan penerbitan mahasiswa, turut memperjuangkan hasil Kongres II PPMI tentang pengembalian nama Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT.

Penggunaan kata ‘penerbitan’ mendiskrediktan fungsi persma sebagai pengontrol kebijakan. Dalam artian ditemukan indikasi untuk melunakkan dengan cara mengarahkan fokus pembahasan persma pada dunia keilmuan.

Barangkali bagi para pegiat persma, kampus tak sekedar menjadi laboratorium kecil. Lebih dari itu, kampus merupakan Lapangan Banteng. Di sana Persma menembak mati siapapun dengan amunisi fakta dan data yang kuat. Seperti apa yang dikatakan oleh Dwijo Utomo Maksum, harus berdasarkan fakta yang sesuai lazimnya kaidah-kiadah pers yang benar. Maka jika ditanya apakah ada targetan-targetan itu, tentu ada. Namun tidak kemudian secara serampangan asal njeplak saja. Di sini ada konsep investigasi dan reportase di dalamnya. Ini yang menjadi tantangan bagi pers mahasiswa. Sehingga pilihan-pilihan yang berani dan beresiko menjadi konsekuensi.”


ADA BEBERAPA fokus persma. Pertama sebagai pers kampus mahasiswa, bergerak di bagian riset yang mewujud jurnal. Kedua, pers mahasiswa yang mempunyai keterbatasan akses terhadap pendanaan dan narasumber. Tentu saja kerap ada karena persma meng-ada sebagai unsur oposisi terhadap kebijakan kampus. Maka dari itu terdapat kekangan terhadap pola hidup terbitan mereka. Sedangkan yang terakhir, persma yang harus menjadi media kampus.

Jika ditinjau lebih dalam, media kampus merupakan medan informasi yang dikelola dengan cara memposisikan informan sebagai humas kampus. Tak heran jika konten penuh sesak dengan unsur pencitraan. Entah itu event yang berhasil diselenggarakan oleh kampus, jadwal ujian, ataupun proyek seolah ilmiah karya elit kampus. Mana mungkin media kampus www.unej.ac.id memuat ulasan mengenai kritik terhadap buku terbitan dosen. Misalnya saja terkait buku terburuk sepanjang masa, berjudul Sejarah Indonesia Lama 1500, terbitan Unit Pelaksanaan Teknis Penerbitan Uni ersitas Jember, ditulis Latifatul Izzah. Hampir seluruh isi buku itu mengutip wikipedia. Bukankah itu salah satu bentuk pelecehan terhadap ilmu pengetahuan? Bahkan lebih dari itu, bukankah kita sama-sama menyadari jika knowledge is power. Ada berapa kaum intelektual yang tertipu kemudian?

Dampak yang lebih parah ialah buku tersebut dipakai sebagai bahan wajib menempuh mata kuliah.

Jika pun Andreas Harsono berharap bahwa persma harus fokus terhadap bisnis media saya rasa juga perlu. Akan tetapi hanya untuk fokus pada peraturan mengenai sponsor atau cara menggali dana versi persma. Misalnya saja tak boleh sponsor rokok, perusahan pertambangan, institusi politik, dan sebagainya. Selanjutnya tak perlu jenuh atau terlalu serius memikirkan mengenai berbisnis. Barangkali Persma juga tegolong intelektual organik, seperti kata Antonio Gramsci. Mereka tak akan rela membagi sebagian besar energinya untuk berbisnis. Bisa jadi yang mereka cari ialah pengalaman. Tinggal eksekusi di wilayah teknis saja. Ada banyak hal yang lebih penting daripada memikirkan bisnis media yaitu kekuatan advokasi, pelatihan internal, penguatan jejaring, dan beberapa hal yang lain.

Di sisi lain independensi ruang redaksi harus dijaga ketat dari unsur terkait intervensi. Entah itu dari elit birokrasi kampus, sponsor, atau unsur kekerabatan.

Terkait persma harus segera migrasi ke media online, saya rasa perlu melihat kebutuhan. Namun dalam prosesnya tentu tak akan mudah. Selain harus mempertimbangkan kekuatan sumber daya manusia di internal. Komitmen untuk serius rutin update harus dikalkulasi secara matang.

Apakah media semacam Pantau akan menggunakan media online? Beberapa kali Andreas Harsono dan Imam Sofwan menjawab, iya akan segera. Lantas apa yang akan mereka lakukan dengan portal online tersebut? Akan mengunggah pdf dari format cetak Majalah Pantau? Atau akan menyesuaikan dengan kekurangan media online yang tak mungkin memuat tulisan panjang. Ada resiko yang besar untuk diacuhkan oleh pembacanya. Kredibilitas juga akan mengganggu. Di sisi lain kekuatan dumi atau unsur visual dan kreativitas perwajahan versi cetak akan hilang. Akan tetapi yang Pantau lakukan menurut perkiraan saya, seperti apa yang dikatakan oleh Andreas bahwa selain tulisan panjang, harus diberikan pula tulisan-tulisan pendek sebagai pendukung konten. Barangkali kita juga sama-sama paham jika Pantau memang menghindari elemen visual pendukung tulisan. Bagi Pantau ilustrasi, foto, atau karikatur merupakan opini. Jika disusun dalam halaman yang sama, maka kesucian fakta dalam berita akan terganggu.

Bagi saya mempelajari kekurangan dan kelebihan media online memang perlu. Akan tetapi persma punya ciri khas bahwa mereka akan terus menggunakan tulisan panjang, ini seperti Pantau meski berbeda pula pada banyak hal. Bahkan persma terus mengembangkan metode advokasi reporting. Seringkali yang terjadi, media online hanya akan diadopsi untuk menguatkan pola distribusi media cetak. Sedangkan hal yang lain kebanyakan dianggap tak terlalu penting.

Lantas untuk apa berpikir keras untuk mengganti istilah menjadi media mahasiswa? Secara esensi setelah bernegasi toh tetap sama. Pertimbangan Andreas Harsono hanya berdasarkan istilah saja, asal kata to press yang lebih dekat kepada media cetak. Terbitan persma tak hanya di media daring. Bahkan jarang sekali yang mampu untuk mengadopsi kekuatan audio visual. Lagi pula memangkas banyak hal termasuk bagaimana istilah persma ada, akan beresiko.

Namun saya salut kepada semangat Andreas Harsono untuk mendukung jika di masa depan macam apapun, Persma harus tetap ada. Fungsi persma mengatur keseimbangan wacana. Persma juga tak selalu benar. Sebagaimana pers umum misalnya BBC London pernah membuat kesalahan sehingga seorang narasumber mereka bunuh diri. Kemudian BBC memberitakan peristiwa itu dalam medianya sendiri. Ketika reporter The New York Times dianggap telah melakukan penipuan, The New York Times memberitakannya. Koran itu juga pernah keliru dalam soal senjata pemusnah masal di Irak dan diberitakan oleh The New York Times beserta permohonan maaf. Bagi Andreas Harsono sendiri, upaya untuk meminta maaf dan mengakui kesalahan adalah bagian dari jurnalisme an sich.

Publik juga harus mengambil bagian menjadi pembaca yang kritis. Selayaknya bertingkah laku dewasa terkait bagaimana cara untuk mengkritisi media. Perbuatan konvesional semacam ajakan adu fisik ala barbar, ancaman pembekuan, dan sebagainya. Seharusnya sudah tak terulang kembali. Tunjukkan bahwa diskusi publik, seperti apa yang dikatakan John Stuart Mill, bermoral. Benturan ide-ide merupakan penanda kehadiran dinamika ilmu pengetahuan yang selalu dalam proses menjadi.[]


Bahan bacaan:
Fathoni, Moh, Dkk. 2012. Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia. Jakarta: Komodo Books.
http://andika-khagen.blogspot.com/2009/06/andreas-harsono-praktisi-pers.html (Diakses 1 Februari 2014).