Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Selasa, 28 Januari 2014

Pagi di Gang Kecil


Saya memang enggan memakai kamar mandi umum. Sambil menunggu kamar mandi kontrakan kosong, teman saya bercerita mengenai anak kecil yang mencuri sepasang sandalnya beberapa hari yang lalu. Kami berdua duduk di kursi kayu. Bau masakan dari dalam rumah seorang warga silih berganti dengan bau gorong-gorong. Ada banyak rumah bertingkat yang membuat sinar matahari tak sampai ke bawah. Maka dari itu gang kecil tersebut cenderung lembab.
Kontrakan berlantai dua itu memang terisi lebih dari sepuluh kamar, akan tetapi hanya disediakan satu kamar mandi. Selain itu di depan kontrakan terdapat satu kamar mandi umum. Berjarak tiga rumah dari terdapat pula bangunan berderet berisi tiga kamar mandi umum.
Kami berada di dalam di gang kecil. Dari jalan beraspal berjarak sekitar seratus meter. Jalan masuknya berukuran sekitar satu setengah meter. Satu meter untuk lalu lalang warga sedangkan bagian yang lain merupakan gorong-gorong. Berjarak sekitar lima puluh meter mendekati kontrakan, jalan mengecil, sekitar setengah meter sepenuhnya dibangun di atas gorong-gorong. Untuk menyusuri gang kecil tersebut memang harus berdesakan. Ada warteg kecil yang dapurnya tepat di jalur masuk, warga yang kerap menghabiskan waktunya untuk bercengkrama, dan lalu lalang warga yang lain. Maka dari itu untuk berjalan hanya bisa dilalui oleh satu orang saja. 
Jika hujan turun terlalu lama, air dari gorong-gorong akan meluap. Kalau memaksakan diri berjalan ke luar, air akan merendam kaki sampai lima sentimeter di atas mata kaki. Baunya mirip dengan tempat pembuangan sampah.
Seorang perempuan muda melintas di depan kami. Rambut panjangnya diikat sekenanya, kulitnya putih. Dia tak memakai apapun selain selembar handuk yang dibuntal ke separuh bagian tubuhnya, menutupi dada sampai setengah bagian pahanya. Tangan kirinya menenteng gayung yang berisi peralatan mandi. Sedangkan tangan kanannya memegang lipatan handuk tepat di bagian atas dadanya. Dia menuju kamar mandi umum yang berisikan tiga kamar.
Selang beberapa menit perempuan itu keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang masih basah dibiarkan tergerai. Warna kulitnya terlihat lebih putih dari sebelumnya. Ketika dia berpapasan dengan tiga laki-laki muda yang memakai baju muslim dan sarung, dua orang dari pemuda itu memegang bagian tubuh perempuan itu. Tepat di bagian yang dilapisi dengan handuk. “Eh, apa Lu pegang-pegang, bayar tauk!” sambil tersenyum perempuan itu berkata. Suaranya keras sekali namun dia sedang bercanda. Ketiga pemuda itu meresponnya dengan tertawa keras. Kemudian mereka bertiga berlalu menuju masjid di ujung gang.
Beberapa kali tikus besar yang sebagian tubuhnya bewarna putih karena bulunya rontok, para pedagang air, ibu-ibu yang membawa piring kotor untuk dicuci dikamar mandi, dan pedagang jajanan melintas di depan kami. Selain itu ada pula lebih dari lima orang pemuda yang melintas. Tiga dari mereka membawa ayam jago. Ketika sampai di ujung gang, mereka membentuk lingkaran. Tak pernah terpikirkan oleh saya jika di kota sebesar ini masih saja ada orang yang hobi mengadu ayam. Selang beberapa saat, seorang pria berbaju putih hijau, di punggungya bertuliskan Front Pembela Islam melintas di depan kami. Dia seperti hendak menunju masjid. Namun dia berhenti di ujung gang.[]

*) Tulisan ini merupakan tugas deskriptif yang diberikan oleh Andreas Harsono ketika saya mengikuti Kelas Jurnalisme XII Sastrawi Yayasan Pantau. 


Kamis, 23 Januari 2014

Nuklir, Perjalanan, dan Gang Kecil di Jakarta


Selepas kelas yang dimentori Janet Steele, saya diajak seorang teman untuk singgah di rumah Fawas. “Rumahnya tak jauh dari sini,” teman saya menjelaskan, “Kita bisa menginap di sana, dari rumah Fawas ke Kantor Pantau cuma satu kali naik angkutan.”  Tak lama setelah itu Fawas datang, kami bersalaman lalu menuju rumah Fawas dengan berboncengan tiga. “Deket kok, aman gak ada polisi,” Fawas mencoba meyakinkan kami. Sepanjang perjalanan saya melihat dua supir bajai meludah di dalam kendaraanya sendiri.
Di depan rumah Fawas terdapat meja kecil berbentuk lingkaran. Ada empat kursi yang di tata melingkar mengikuti setengah lengkungan sisi meja. Di tempat itu kami bertiga menghabiskan sisa sore. Akhir-akhir ini Fawas sedang sibuk merampungkan masa pendidikannya, sebagai mahasiswa pasca sarjana, jurusan teknik nuklir.
“Sudah baca buku Hirosima?” Saya merespon disiplin ilmu akademik yang Fawas tempuh.
“Belum.”
“Dalam buku itu diceritain kalo nuklir itu gak meledak, cuma ngeluarin kilat, emang gitu ya?”
“Oh kalo di dalam zona ledakan mah emang gak kedengeran ledakannya. Tapi kalau dari luar baru kedengeran.” Sembari menyeruput kopi, saya membayangkan sejenak, entah sudah berapa banyak orang yang percaya secara mutlak, jika nuklir tidak mengeluarkan suara dentuman dari John Hersey. Sambil meletakkan gelas kopi saya kembali bertanya, ”Kapan kira-kira Indonesia bakal punya nuklir?”
“Sudah lama siap. Indonesia punya banyak orang yang sanggup bikin nuklir. Tapi gak ada fasilitas dari negara.”
“Bukannya negara yang boleh punya nuklir itu yang dianggap tidak pernah menyalahi hukum HAM?”
“Gak lah, masalah undang-undang cuma lobi-lobi politik dengan PBB, cuma masalah siapa yang paling kuat saja.”
Beberapa jam setelahnya saya diantar Fawas ke halte busway. Saya hendak memenuhi janji dengan seorang teman jurnalis untuk menemaninya ke Petak Sembilan. Dia sedang membuat foto esai tentang kegiatan di Klenteng tertua Jakarta.
Di depan peron busway saya bertanya, “Mbak, ke Glodok lewat mana?”
“Sana,” singkat sekali dia menjawab sembari  menunjuk ke arah ruang tunggu.
“Mana mbak, kiri atau kanan?”
“Sudah sana!” raut mukanya menampakkan kemarahan.
Betapa tak ramahnya petugas busway trans jakarta. Kemudian saya terpaksa masuk ke ruang tunggu. Tempat duduk model berderet hanya ada di bagian ujung. Ada belasan orang yang sedang menunggu, namun kursi tersebut hanya diisi seorang perempuan. Di bagian kanan dan kiri ruang tunggu terdapat tiga pintu. Satu pintu khusus bagi penumpang wanita dan dua yang lain agar tak terlalu berdesakan masuk.
Seperti kebanyakan orang, saya memilih untuk menunggu sambil berdiri tepat di depan pintu. Ini cara termudah agar bisa cepat dan sigap masuk ke dalam bus way. Di depan saya terdapat jalur khusus busway. Namun lebih dari setengah jam saya menunggu, sudah ada 38 sepeda motor yang melintasinya dengan sangat cepat sekali.
Dari Halte Busway Glodok saya melihat di sebrang jalan teman saya sudah menunggu. Kemudian kami menuju Petak Sembilan. Gang menuju Klenteng Kim Tek le, Vihara Dharma Bhakti sebesar ukuran satu setengah lebar mobil. Di jalan masuk terdapat puluhan lampion kecil yang masing-masing menyala merah. Ujung kawat pengait lampion itu diikat di rumah warga. Cara orang-orang memperlakukan kesakralan imlek indah sekali.
Ketika mengarahkan pandangan kebawah, para pengunjung akan mendapati bagian tengah jalan yang berlubang-lubang. Malam ini seluruh  lubang terisi air berbau busuk. Keberadaan para pedangan berderet sepanjang bibir gang, menambah kuatnya aroma khas pasar. Sisa-sisa dagangan sayur dan sampah plastik berserakan. Di samping kanan mulut gang, terdapat seorang penjual sate yang barang dagangannya dikerubungi 5 kucing.
Ternyata klenteng sudah tutup. Pintu masuknya tak dibuka lebih dari jam sembilan malam. Di depan pintu masuk klenteng yang digembok, tiba-tiba hadir tujuh orang. Masing-masing dari mereka membawa alat musik. Ada gitar, gendang, kecrek, microphone, dan empat sound kecil. Hanya satu orang yang tak membawa alat musik, tangan kanannya memegang topi. Perempuan berkulit putih, make up tebal, dan alis palsu itu berkeliling sembari menyuguhkan topinya kepada warga di sekitarnya. Dia berharap orang-orang menaruh uang pada topi itu. Setelah selesai memainkan satu lagu dangdut, mereka berpindah tempat.
Kemudian saya berlari menyusul mereka. “Sudah dari mana aja nih?” Setelah mendapatkan ijin untuk memotret aktivitas mereka, saya bertanya pada perempuan tadi.
“Jauh, keliling dari Jembatan Lima.”
Setelah itu saya meloncat geli, ada seekor tikus berukuran besar tengah lari ke arah saya. []


*) Tulisan ini merupakan tugas yang diberikan oleh Janet Steele ketika saya mengikuti Kelas Jurnalisme XII Sastrawi Yayasan Pantau.