Saya memang enggan memakai kamar mandi
umum. Sambil menunggu kamar mandi kontrakan kosong, teman saya bercerita
mengenai anak kecil yang mencuri sepasang sandalnya beberapa hari yang lalu.
Kami berdua duduk di kursi kayu. Bau masakan dari dalam rumah seorang warga
silih berganti dengan bau gorong-gorong. Ada banyak rumah bertingkat yang
membuat sinar matahari tak sampai ke bawah. Maka dari itu gang kecil tersebut
cenderung lembab.
Kontrakan berlantai dua itu memang terisi
lebih dari sepuluh kamar, akan tetapi hanya disediakan satu kamar mandi. Selain
itu di depan kontrakan terdapat satu kamar mandi umum. Berjarak tiga rumah dari
terdapat pula bangunan berderet berisi tiga kamar mandi umum.
Kami berada di dalam di gang kecil. Dari
jalan beraspal berjarak sekitar seratus meter. Jalan masuknya berukuran sekitar
satu setengah meter. Satu meter untuk lalu lalang warga sedangkan bagian yang
lain merupakan gorong-gorong. Berjarak sekitar lima puluh meter mendekati
kontrakan, jalan mengecil, sekitar setengah meter sepenuhnya dibangun di atas
gorong-gorong. Untuk menyusuri gang kecil tersebut memang harus berdesakan. Ada
warteg kecil yang dapurnya tepat di jalur masuk, warga yang kerap menghabiskan
waktunya untuk bercengkrama, dan lalu lalang warga yang lain. Maka dari itu untuk
berjalan hanya bisa dilalui oleh satu orang saja.
Jika hujan turun terlalu lama, air dari
gorong-gorong akan meluap. Kalau memaksakan diri berjalan ke luar, air akan
merendam kaki sampai lima sentimeter di atas mata kaki. Baunya mirip dengan
tempat pembuangan sampah.
Seorang perempuan muda melintas di depan
kami. Rambut panjangnya diikat sekenanya, kulitnya putih. Dia tak memakai
apapun selain selembar handuk yang dibuntal ke separuh bagian tubuhnya, menutupi
dada sampai setengah bagian pahanya. Tangan kirinya menenteng gayung yang
berisi peralatan mandi. Sedangkan tangan kanannya memegang lipatan handuk tepat
di bagian atas dadanya. Dia menuju kamar mandi umum yang berisikan tiga kamar.
Selang beberapa menit perempuan itu keluar
dari kamar mandi. Rambutnya yang masih basah dibiarkan tergerai. Warna kulitnya
terlihat lebih putih dari sebelumnya. Ketika dia berpapasan dengan tiga
laki-laki muda yang memakai baju muslim dan sarung, dua orang dari pemuda itu memegang
bagian tubuh perempuan itu. Tepat di bagian yang dilapisi dengan handuk. “Eh,
apa Lu pegang-pegang, bayar tauk!” sambil tersenyum perempuan itu berkata.
Suaranya keras sekali namun dia sedang bercanda. Ketiga pemuda itu meresponnya
dengan tertawa keras. Kemudian mereka bertiga berlalu menuju masjid di ujung
gang.
Beberapa kali tikus besar yang sebagian
tubuhnya bewarna putih karena bulunya rontok, para pedagang air, ibu-ibu yang
membawa piring kotor untuk dicuci dikamar mandi, dan pedagang jajanan melintas
di depan kami. Selain itu ada pula lebih dari lima orang pemuda yang melintas.
Tiga dari mereka membawa ayam jago. Ketika sampai di ujung gang, mereka
membentuk lingkaran. Tak pernah terpikirkan oleh saya jika di kota sebesar ini
masih saja ada orang yang hobi mengadu ayam. Selang beberapa saat, seorang pria
berbaju putih hijau, di punggungya bertuliskan Front Pembela Islam melintas di
depan kami. Dia seperti hendak menunju masjid. Namun dia berhenti di ujung
gang.[]
*) Tulisan ini merupakan tugas deskriptif yang diberikan oleh Andreas Harsono ketika
saya mengikuti Kelas Jurnalisme XII Sastrawi Yayasan Pantau.