Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Senin, 14 Januari 2013

Kerja Kaki Merawat Jaringan

Berpindahtangannya tanggung jawab sebagai Sekjen Kota Jember dari Rizky Akbari S kepada Dian Teguh Wahyu Hidayat, terjadi pergantian pula terhadap letak Sekretariat PPMI Kota Jember. Awalnya menjadi satu dengan perpustakaan kecil di Jawa VII. Kemudian ditempatkan terpisah dengan perpustakaan yaitu di Jalan Tidar. Hingga pada akhirnya ada permasalahan baru terkait harus di mana PPMI Kota Jember akan menyimpan dokumen keorganisasiannya.
Ada anggapan kita akan memperpanjang kontrak sekret di Tidar. Namun sampai kapan kita akan bertahan karena dana yang seringkali minim. Terlebih beberapa pengurus kota mempunyai kesibukan di tempat yang saling berlainan dan memang harus menjadi tempat tinggal mereka. Kalaupun dipaksa untuk terus menempati Tidar, otomatis kami tidak akan secara intens berada di sana.
Banyak sekali pertimbangan yang muncul dan silih berganti. Posistif dan negatif dikupas berulangkali. Hingga akhirnya muncul keputusan bahwa PPMI Kota Jember akan menyimpan dokumennya  di Sekretariat LPM Manifest FTP Unej. Menjadi satu dengan Manifest. Pada proses pemindahan sekretariat, kami tidak sampai berboyong-boyong untuk memindahkan dokumen-dokumen. Ternyata sebagian besar dokumen ada dalam bentuk digital, sedangkan bagian lain yang berbentuk fisik masih muat dimasukkan dalam satu tas kecil.
Memang keputusan tersebut berangkat dari beberapa hal. Yang pertama karena permasalahan dana untuk menyewa rumah kontrakan mending ditukar dengan biaya cetak Buletin Merah Putih (itupun kalau ada). Sedangkan yang kedua kami ingin lebih mendekatkan diri ke LPM secara riil. Nah yang ketiga, ada yang manis-manis di Manifest. Sedangkan hal lainnya seperti kemudahan akses, jaminan terawatnya dokumen, sekretariat LPM dari Biro Umum kota dan Sekjen kota. Di sisi lain kami juga berkaca kepada PPMI Nasional kepengurusan Andi Mahifal yang bersekretariat di LPM Dimensi. Selain itu memang kemudahan di kepengurusan tahun lalu karena PPMI Kota Jember hanya mempunyai perangkat struktur tunggal, hanya ada Sekjen kota yang pada akhirnya memudahkan pengalamatan. Sedangkan dikepengurusan periode ini lebih riuh. Mungkin tepatnya sedikit agak riuh.
Bukan hal yang aneh jika beberapa teman LPM sering kesasar ketika berkunjung di Sekret PPMI Kota Jember yang dulu (Tidar). Hal itu akan terjadi secara wajar. Akan tetapi jika teman-teman LPM tidak mengetahui sekretariat LPM lainnya maka itu adalah hal yang sangat aneh. Akan terbukti  jika kelemahan kita ada pada kerja kaki merawat jaringan.
Di awal kepengurusan kota terbentuk, ternyata banyak sekali LPM yang tidak mengetahui di mana letak Sekretariat LPM Manifest. Kami hampir kesulitan mendefinisikan sebenarnya kutukan macam apa yang sedang mendera pengurus PPMI Kota Jember pada periode ini.
Hal tersebut kita asumsikan menjadi permasalahan bersama. Harus ada solusi atau antisipasi agar tak terulang pada beberapa periode ke depan. Barangkali yang harus kita lakukan adalah tidak bosan-bosannya keliling LPM. Sembari mengajak satu atau dua anggota baru untuk sekedar membagi undangan, majalah, buletin, majalah tempel, atau beramah-tamah. Paling tidak kader yang akan menjadi tulang punggung bagi generasi selanjutnya sudah saling kenal di tataran kota. Tentu saja hal tersebut akan memperkuat pola kerja profesi bagi masing-masing internal LPM.
Selain itu seperti yang telah dilakukan di kepengurusan PPMI Kota Jember sebelumnya. Mengadakan diskusi secara bergiliran. Akan tetapi pada kepengurusan sebelumnya diskusi sangat jarang sekali ada. Terlebih sebagian besar diskusi diadakan di warung kopi. Oleh karena itu diperlukan forum-forum diskusi yang lebih banyak dan berganti-ganti tempat dari satu LPM ke LPM yang lain.
Kalau pada nantinya beberapa pengurus PPMI Kota Jember singgah di LPM teman-teman. Jangan sok-sokan kaget atau histeris. Tapi saya rasa hal tersebut sudah sering dilakukan. Rame-rame sembari mengajak teman-teman LPM lain untuk berkeliling dari satu LPM ke LPM yang lain. Bahan obrolan pun tak sekedar mengenai seluk beluk internal LPM. Tapi lebih dari itu. Lebih gak jelas maksudnya.
Bisa jadi mengikat jaringan baru terasa lebih mudah daripada upaya secara kontinyu untuk merawat jaringan itu sendiri. Berjeraring akan membuat kita memahami kelemahan dan tak lantas mengutuk diri sendiri. Akan tetapi akan berlanjut pada pendiskusian dengan teman seprofesi. Mari berjeraring, saling berbagi dan saling menguatkan.
Jabat erat,

Jantung Habitus


Dalam sebuah puisinya, Wiji Thukul melemparkan pendapat ke publik, dia seperti sedang berteriak lantang, pada dasarnya manfaat dari ilmu pengetahuan terletak pada distribusi pada kelompok sosial terdekat. Tak ada yang lebih dari sia-sia, dari menggunungnya wacana dalam kedirian, tanpa disertai proses dialektika dalam poros ilmu pengetahuan an sih.

Betapa gilanya Socrates, seorang filsuf yang bagi beberapa orang proses kediriannya hanya mampu dilacak lewat Plato, setiap kali masa senggang hadir, dia menyisir beberapa sirip jalan. Kemudian berhenti di depan seorang pedagang untuk bertanya, Apa arti keberanian menurut kamu? Lalu berjalan lagi dan berhenti lagi, untuk sekedar bertanya hal yang sama kepada seorang pandai besi. Demikian seterusnya.

Jika Socrates adalah ilmu pengetahuan, maka setiap tapak kaki yang menindih tanah adalah perjalanan dari sebuah ilmu pengetahuan. Selalu ada jeda untuk sekedar memahami apa yang ada di dalam, kemudian melemparkan pada tembok di luar dirinya. Dia lemparkan dengan keras. Keras sekali, sampai pecah. Seoalah segenap kekuatan yang diikatnya untuk melempar, mewakili ketidakpercayaannya pada sebuah kebenaran absolut yang tunggal. Lalu mengajak mereka yang diluar, merangkai bersama-sama.

Entahlah  apa yang diinginkan oleh mereka yang secara kontinyu menerima-memahami-mengolah-menolak ilmu pengetahuan. Bisa saja kebenaran bagai mereka, hanyalah titik klimaks yang berlaku dengan sangat sementara. Seperti gelisah Aristoteles pada warna apel. Bukankah warna merah hanya berlaku sementara. Bagaimana bisa menyatakan apel bewarna merah, jika waktu adalah tuhan kecil yang senantiasa bekerja untuk merubah. Merubah yang sebelumnya kita maknai sebagai sebagai kebenaran. Merubah warna apel yang merah menjadi merah kecoklatan dalam rentang waktu tertentu.

Di sisi lain, terjadi pula proses menaklukan waktu. Sebuah perjalanan menggeser posisi tuhan. Menjadikan diri sebagai peletak kebenaran tunggal. Namun di setiap bilik waktu yang manapun, tetap saja hanya mampu bernafas sepanjang fiksi mini. Berlalu cepat. Secepat satu kali menyeruput kopi. Namun yang tersisa dan berlaku lama hanyalah endapannya. Dia yang tak selalu hitam tapi selalu sulit untuk diputihkan.

Mungkin Hitler secara tidak sengaja pernah mengkudeta waktu atau meniadakan dialektika. Ketika tentara Rusia mendesak Jerman. Terjadilah proyek pengosongan arsip negara. Seluruh arsip yang tadinya tersimpan rapi di laci dan berbagai tempat aman lainnya, dibuang lewat jendela untuk dikumpulkan di tengah lapangan. Kemudian dibakar dengan sangat tergesa. Entah dalam keadaan sadar atau tidak, berubahlah makna sebuah ritual upacara, yang tadinya untuk mengenang segala kerjadian masa lalu demi melestarikan rasa nasionalisme. Menjadi sebuah perayaan untuk meraba-raba masa lalu, apa sebenarnya yang terjadi di masa itu.

Bukankah sama halnya dengan apa yang dilakukan jenderal besar angkatan darat kita, Soeharto. Pada masa ketuhannannya, hampir seluruh media yang mengkritik dirinya harus dibredel. Sambil lalu, membentuk sebuah kelompok kecil sejarawan, kebetulan diketuai oleh Nugroho Notosusanto. Tidak hanya itu, untuk mengagungkan atau mengekalkan fiksi mini tentang kepahlawananya, dia juga membuat sebuah film pendek. Tentu saja segala yang dia lalukan hanyalah seputar bagaimana cara mempengaruhi publik untuk mengabadikan kebenaran kediriannya, lewat jalur yang tak sepenuhnya patas. Harapan terbesar bagi dirinya adalah, kelahiran dan berkembangbiaknya kubu positivis dengan meniadakan mereka yang kritis.

Bolehlah jika saya sedikit berujar bilamana perpustakaan adalah pos kasir. Ada jeda di sana bagi sebuah perjalanan ilmu pengetahuan. Ada embrio hening yang terus bernapas dalam lalu lalang di sana. Sebuah institusi atau kelompok dengan modal sosial tertentu, selalu menyediakan tempat ini sebagai jantung bagi dirinya. []

*) Tulisan ini pernah dipublikasikan di Bulletin Partikelir LPMS Ideas

Sedikit Hal Tentang Pasar Tradisional dan Modern


Pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli. Dalam arti lain proses transaksi menjadi ruang baru bagi rumah sakit sosial. Secara tidak langsung pasar mempengaruhi keadaan sosial dalam masyarakat. Interaksi antar personal berkembang menjadi relasi sosial. Maka dari itu di dalam pasar bukan hanya terjadi transaksi komoditas, melainkan transaksi sosial secara sekaligus hadir di sana. 

Dalam sebuah pasar tradisional terdapat pola komunikasi antar personal yang cenderung lunak. Bukan hanya antar pedagang dengan pedagang lain, hubungan pembeli dan pedagang pun mengandung unsur kekerabatan. Dalam kesetaraan status sosial tersebut, pembeli  tidak hanya mementingkan barang yang mereka beli. Bahan obrolan pun tidak melulu pada seluk beluk komoditas yang mereka beli. Akan tetapi pada suasana persaudaraan, misalnya bertanya tentang anak penjual atau pembeli sekolah di mana, biayanya berapa, apa untungnya sekolah di situ. Otomatis terdapat transaksi bertukar informasi tentang permasalahan sosial yang sama-sama mereka hadapi.

 Sedangkan para pedagangpun tidak hanya mementingkan barang mereka harus laku terjual dengan harga yang menguntungkan. Bahkan terkadang mereka tidak memperdulikan harga barang yang mereka jual laku dengan murah. Atau kerap kali ada personal yang hanya mampu membeli dengan cara menukar dengan barang lain atau jasa, seringkali pedagang tradisional dengan rela hati menerimanya. Bahkan ketika pedagang tertidur pulas karena kelelahan, biasanya pedagang yang lapaknya bersebelahan ikut membantu melayani pembeli. Suasana cair sekali. 

Hal ini sangat berlawanan dengan efek diadakannya pasar modern. Di dalam pasar modern terdapat pemutusan rantai relasi antar personal. Tak ada interaksi lain kecuali terbelinya komoditas yang dibutuhkan konsumen. Dalam artian pasar modern turut menciptakan personal yang asosial. Antara satu dengan lainnya tak saling peduli dengan permasalahan sosial. 

Selain itu pasar modern tidak hanya menjual komoditas. Setiap komoditas ditanam nilai citra, hingga para konsumen terbujuk bukan lega karena telah membeli barang, akan tetapi simbol atau citra an sich. Terlebih para konsumen dihalusinasi untuk membeli fasilitas. Pasar modern kerap menyediakan fasilitas mewah yang tidak ada hubungannya dengan nilai fungsi dari komoditas. Misalnya saja MC Donald, selain toilet bersih di dalamnya juga tersedia tempat bermain bagi anak-anak. Pasar modern juga memprovokasi budaya setempat untuk segera menjadi masyarakat yang konsumtif. 

Pasar tradisional yang umumnya kumuh, becek, tak terawat, berserakan barang dimana-mana membuat konsumen ogah untuk mengunjunginya. Fasilitas minim yang dimiliki oleh pasar tradisional seringkali menjadi acuan bagi upaya untuk menggusur. Padahal di dalam pasar tradisional terdapat terminal sosial yang menghubungkan kepekaan sosial antar personal. Parahnya lagi para petani dan nelayan daerah sangat bergantung pada tersedianya pasar tradisional ini. 

Kelalaian penerapan kebijakan daerah tentang pembatasan jumlah dan jarak pasar modern menjadi kerugian tersendiri bagi pasar tradisional. Persaingan yang timpang sebelah itu membuat rakyat kecil menjadi kebingungan. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya modal mendirikan pasar modern dan cara mengemas komoditas yang mampu menjaring ketertarikan para konsumen.

Terlebih keberadaan pasar berjejaring modern juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan pasar tradisional. Kelebihan pasar berjejaring ada pada stok barang yang sudah diperkirakan tak akan pernah kehabisan. Komoditas yang mereka tawarkan pun bisanya komoditas yang diambil dari daerah lain. Dari sini kita akan memahami bahwa akses penjualan produk petani atau nelayan lokal secara tidak langsung diblokir. Tidak heran memang jika kita sering menjumpai ikan dan sayuran berbahan pengawet atau sudah tidak segar lagi.[]


*) Tulisan ini pernah menjadi ToR diskusi di LPM Aktualita Unmuh Jember

Pasar Tanjung

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung. Depan warung sudah banjir katanya. Setelah itu saya mencoba bermain ombak dini hari sekitar jam 00:00WIB. Saya kaget ombak menyentuh bagian mulut saya, padahal saya masih di ketinggian sekitar 3 meter. Dini hari yang masih gelap membuat saya memutuskan agar tidak motret. Barangkali yang pertama masalah jangkauan flash, hasil tidak maksimal, dan keselamatan diri. Hingga pagi hari sekitar pukul 5:30WIB baru saya berani menyisir bekas kerusakan Papuma sembari memotretnya.












Selasa, 08 Januari 2013

Menjadi Pembaca yang Kritis*

     Mengapa orang indonesia yang berjuang kala itu disebut sebagai pahlawan, sedangkan lawan perangnya disebut sebagai penjajah? Padahal mereka saling bunuh. Di sisi lain pemaknaan yang muncul di Belanda sendiri justru sebaliknya. Bisa jadi hal tersebut hadir karena setiap kelompok mempunyai definisi masing-masing dalam memaknai realitas. Setelahnya mereka akan membangun wacana tertentu untuk menyampaikan realitas versi kelompoknya.

     Kedua pemaknaan tersebut berangkat dari satu peristiwa yang sama. Namun masing-masing dari kedua belah pihak mempunyai penilaian yang berbeda. Hal tersebut terjadi karena sudut pandang atau kerangka frame yang disajikan berlainan.

     Dalam hal ini media memiliki peranan sentral sebagai penyampai. Menginformasikan sebuah realitas yang berjarak dengan publik. Namun secara sekaligus media juga menyampaikan kepada publik definisinya atau pemaknaannya atas realitas. Publik dikatakan Ignas Kleden sebagai kaum literasi sekunder. Dalam artian menerima informasi mengenai peristiwa tertentu lewat berita. Atau dengan kata lain sebagai pembaca realitas yang telah terlebih dahulu dikunyahkan oleh media. Publik memaknai sebuah peristiwa yang telah dimaknai media.

    Media mengemas realitas dalam bentuk berita. Ada bagian tertentu yang ditonjolkan atau sengaja dihilangkan. Potongan-potongan realitas yang diinginkan oleh media untuk ditojolkan kerap kali berhubungan dengan pengulangan atau penguatan aspek tertentu dari sebuah peristiwa. Biasanya dengan cara mengatur gaya bahasa, bantuan foto, penempatan berita pada headline, karikatur, dll. Media tersebut berharap publik akan mudah mengenali atau bahkan mengingatnya. Sedangkan terkait penghilangan aspek tertentu dibuat sebaliknya. Renik peristiwa yang tidak ingin disampaikan akan dianaktirikan atau bahkan tidak dimasukkan dalam tubuh berita. Akan tetapi hal ini sudah terjadi sejak awal, ketika wartawan memandang fakta dari sudut pandang tertentu otomatis dia telah menghilangkan dan mempertajam bagian tertentu dari realitas.

     Bentuk penyajian berita antara satu media dengan yang lain berbeda. Karena setiap kelompok memiliki ideologi maka setiap media memiliki standart objektif versinya sendiri. Lewat metode penulisan berita 5w+1h yang diploting dalam piramida terbalik, media memainkan unsur peristiwa. Mana bagian yang dianggap penting untuk disampaikan dan mana yang tidak. Terlebih model penyampainnya disistematiskan mulai dari yang paling penting sampai bagian yang dianggap tidak terlalu penting.

    Wartawan pada umumnya terikat terhadap aturan perusahaan persnya. Cara mereka membingkai berita, memahami peristiwa dari sudut pandang tertentu, mengemas berita dan mengarahkan pembaca merupakan pola kerja bentukan perusahaan persnya. Tuntutan dari redaksi membuat wartawan harus patuh terhadap nilai berita yang telah menjadi ketetapan di perusahaan itu. Tidak semua hal terkait sebuah peristiwa bisa dilaporkan, wartawan harus menilainya terlebih dahulu bagian mana dari peristiwa yang dianggap bernilai berita tinggi. Hingga memunculkan rumusan mana peristiwa yang layak dianggap sebagai berita dan mana yang bukan berita.

     Karena publik memiliki kelemahan dalam mendapatkan informasi maka media memiliki fungsi penting terhadapnya. Fungsi pertamanya sebagai pengontrol realitas sosial. Dalam hal ini media massa memiliki peranan sebagai transparasi dan pengontrol kebijakan yang menyangkut publik. Di sisi lain juga melakukan monitoring terhadap fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya tawuran antar suku, kenakalan remaja, tumbuh suburnya ayam kampus, dll. Sedangkan yang kedua, media memiliki fungsi untuk mendidik masyarakat. Bagaimana membuat masyarakat peka, mampu mengatasi, memposisikan moral dan etika terhadap realitas sosial yang terjadi di sekitarnya. Sedangkan yang terakhir sebagai penghibur. Hal ini yang kerap kali dimanfaatkan oleh media sebagai adegan komersil. Misalnya saja menyulap gosip menjadi rentetan berita rutin yang dikemas seolah serius dan penting untuk diketahui masyarakat.

     Sebuah realitas tidak hadir secara natural dari seorang wartawan. Fakta yang dikemas oleh wartawan dan dilaporkan ke publik bukan comotan seluruh bagian dari realitas yang disampaikan mentah-mentah. Setiap media memiliki pola kerja tertentu untuk memaknai, memilah, dan menyampaikan fakta. Maka dari itu tidak ada realitas yang disampaikan secara apa adanya. Bentuk penyajian berhubungan dengan ideologi atau sangat dekat dengan visi dan misi dari sebuah media.

    Harusnya loyalitas atau keberpihakan seluruh media massa diperuntukkan ke publik. Setiap media menjadi ada karena terdapatnya hak publik untuk tahu. Namun seringkali kita temui beberapa media yang cenderung lebih loyal terhadap pemerintah atau sumber dana tertentu. Mereka tidak sedang menyampaikan fakta yang mengandung unsur kontrol realitas sosial dan mendidik. Barangkali mereka lebih bisa dikatakan sedang memaksakan sebuah pandangan atas suatu peristiwa kepada masyarakat.

     Kecenderungan berpihaknya media kepada pemerintah atau sumber dana tertentu sengaja menghalusinasi publik. Misalnya saja bagaimana peristiwa lumpur lapindo disampaikan dalam dua hal. Yaitu menggunakan diksi tragedi dan bencana. Contoh lain misalnya bagaimana media memberitakan penggusuran sebagai pemindahan tempat pedagang. Ataupun demontrasi mahasiswa yang lebih fokus terhadap peristiwanya bukan apa yang membuat mahasiswa melakukan demonstrasi. Terlebih media seringkali menerima tawaran untuk menyampaikan berita pesanan dari tokoh politik tertentu untuk disampaikan kepada publik.

     Menjadi pembaca yang kritis untuk memahami agenda setting di balik kemasan berita adalah hal yang barangkali mutlak harus dilakukan. Pembaca harus selalu merasa curiga terhadap bagaimana media memilah, mengolah, menyajikan, menempatkan berita dalam memberitakan peristiwa tertentu. Terlebih mencoba mengawasi alur pemberitaan media, bagaimana mereka menskenariokan alur pikir publik.[]


Daftar bacaan: http://www.satrioarismunandar6.blogspot.com diakses 17 Juni 2012. Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Kontstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LKIS. Yogyakarta. Fairclough, Norman. 2003. Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi. Boyan publishing. Malang.



*) Tulisan ini merupakan Term of Reference untuk diskusi seputar media di Aula STAIN Jember, 7 Januari 2013. Dalam salah satu agenda Launching Majalah UPM Millenium.