Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Rabu, 01 Februari 2012

Sedang Menghamba Pada Imajinasi #1

Malam ini saya merasa agak aneh. Seharian baca buku memang tak ada bedanya dengan seharian berada dalam perjalanan. Menjadi lebih akut ketika perjalanan itu ditempuh dengan menaiki perahu sampan, bercadik lima, berlayar dua belas, dan sebagainya.
Setelah perahu merapat ke pinggiran pantai. Bisa dipastikan siapapun yang menjadi mantan penumpangnya akan merasa aneh. Efek yang ditimbulkan, tentu saja setelah itu kalian akan berjalan di atas tanah dengan sangat limbung. Seraya masih berada di atas derasnya ombak laut. Akan beruntung sekali sepertinya. ketika turun dari perahu. Tak ada sedikitpun makanan dalam perut yang tiba-tiba ingin eksis di dunia luar. Ataupun sekedar memberontak sembari  mengintip sedikit, sebenarnya seperti apa sih dunia di luar sana.

Saya rasa anda sendiri  pasti pernah merasa aneh. Ya, semacam keanehan ketika dengan sangat tiba-tiba anda menyadari jika diri anda sendiri ternyata aneh. Sebentar. Begini saja. Agar lebih mudah memahami maksud saya tadi. Cukup pikirkan saja, jika anda kebingungan dengan apa yang telah saya katakan tadi. Maka itulah fase terindah dalam hidup anda. Mungkin karena anda telah tergolong manusia yang meloncat dari batas kenormalan seseorang.

Maka dari itu, segeralah berpesta layaknya orang paling beruntung.  Atau setidaknya merayakan dengan diam-diam. Ataupun yang lebih tidak mengganggu orang lain. Coba rayakan semeriah mungkin, akan tetapi sebisa mungkin, anda sendiri jangan sampai tau jika anda sedang merayakan keberuntungan itu.

Sebenarnya saya sendiri merasa tidak enak badan hari ini. Sungguh terdapat penyakit aneh yang tiba-tiba datang menikam sisa hidup saya. Sebuah penyakit tanpa raga dan warna. Penyakit yang mungkin hanya bia dirasakan tanpa diketahui wujudnya. Ya, penyakit keanehan.

Memang tidak terlalu mengganggu kehidupan. Akan tetapi membuat saya lebih sering berpikir hal-hal yang aneh. Misalnya saja. Saya pernah berpikir bagaimana rasanya menjadi ikan asin. Ya, ikan asin. Ditangkap, dibekukan, dibelah, kemudian diasinkan. Bukankah ini proses pasca kelahiran yang menegangkan.

Pemikiran saya mensistematiskan konsep awal. Yaitu menjadi ikan asin. Setelah sistematis, maka terdapat rangkaian peristiwa atau runtutan momentum. Tentu saja mulai dari bagaimana saya menjadi ikan yang ditangkap.

okelah saya akan memulainya.
                                                                               ***


    Siang ini saya sedang berenang-renang mencari tempat yang agak sepi. Keriuhan di kota ini hanya terdapat di seputara titik nol atau tengah kota. Akan tetapi tak seperti biasanya. Kali ini kota terasa sepi. Suasananya seperti teranyam dari lembaran-lembaran ketakutan yang saling menindih satu sama lain.

“Ada apa dengan kota?” tanya seekor ikan tua dengan ukuran jenggot yang lebih panjang dari tingginya gedung BCA di kota ini.

“Biasa,” sambil ngupil dan dengan nanda yang sangat datar saya menjawabnya.

Ikan tua berdaster merah-kuning polkadot itu mendadak menunjukkan ekspresi agak sinisnya. “Woh, rek-arek enom jaman saiki mak koyok ngene kabeh. Beh, ora ono sopan-sopan’e nang wong tuwek. Penggaweane ku-mlaku nang ndi-endi gak jelas bluas,” ujarnya.

Sepertinya saya merasa, kalau saya memang harus terlihat agak kaget mendengar kalimat dari orang tua itu. Agar pertemuan kami sedikit terasa lebih dramatis. Dalam artian dapet soulnya.

Kemudian saya berkata, “Loh bapak reng Jember toh, waaah wes suwe ora nang kene.”

Wajah ikan tua itu tiba-tiba berubah. Dari merah menjadi agak merah sedikit. Sungguh peralihan yang begitu instan. Lalu bapak tua berkata, “Loh sampiyan kok taok lek aku wong Jember? Begh, jek tas’an ae aku ngenteni nang kene le.”

Sambil menggaruk-garuk kepala lantas saya meneruskan obrolan sesama dengan sesama ikan. “Yo ngerti lah pak. Bosone riko loh Pandalungan banget. Sampiyan nyapo toh nang kene, ayo ngopi ae!”



Bersambung ah, ngantuk soale… nanaa.. nanana.. subidu bidu.. pam..pam..