Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Sabtu, 31 Desember 2011

Nenek

Siang itu saya ngopi di warung Bulek. Ini siang yang terkesan sedikit cepat. Mungkin karena begitu tebalnya awan hitam melindungi atap rumah dari sinar mentari. Saya satu meja dengan empat orang teman. Setiap meja ada dua kursi panjang yang masing-masing muat diisi tiga orang. Kami berbincang tentang topik yang beragam.

Ketika empat kopi yang kami pesan hanya tersisa ampas. Datang seorang nenek tua mendekat kepada kami. Sambil mengulurkan tangannya dia meminta sedekah dari kami. Tanpa berpikir panjang beberapa orang dari kami memberinya. Sedangkan saya pun ikut merogoh kantong.

Sialnya uang saya tinggal dua ribu. Itupun untuk bayar kopi nanti. Kemudian saya ingin berbagi sedikit tentang nenek itu. Tentu saja dengan menyumbangkan pikiran. Saya berjanji akan menulis cerita tentang ini. Saat itu, tak ada yang saya punya untuk dibagi, selain tawa dan pikiran.

Setelah nenek itu pergi. Salah seorang teman saya bercerita. Ternyata nenek itu tinggal tak jauh dari sini. Parahnya lagi, nenek itu menghidupi lima cucu dari anaknya yang tak lama meninggal. Setelah teman saya bercerita. Kami hanya bisa diam. Dan mungkin berkhayal. Atau berimajinasi tepatnya. Tiba-tiba saya berimajinasi tentang suatu hal. Sistem perekonomian yang lebih muda dari pada Republik milik Plato. Sosialis.

Mungkin berawal dari keheranan yang berlebihan. Perihal beberapa negara yang sangat menginginkan sistem sosialis diterapkan, sebagai acuan jalannya perekonomian. Terlebih, mereka yang ingin menyusuri jembatan emas itu, demi sebuah tujuan yang murni. Negeri komunis.

Sebenarnya seperti apa gagasan ideal sistem tersebut. Hingga tak jarang untuk merealisasikan sistem itu memerlukan pengorbanan yang sangat lama. Tidak mengherankan jika sosialis partikular selalu menjadi sebuah ketakutan yang sangat besar. Bahkan akan selalu muncul pertentangan keras dari geng dogmatis islam, terkait sistem ini. Padahal jika mereka menyadari, jika islam telah merealisasikan sistem sosialis, semenjak tiga abad sebelum Karl Marx lahir, mungkin mereka akan malu. Ternyata islam itu cikal bakal komunis. Hah!

Saya pernah berpikir ulang. Bukankah sistem ekonomi sosialis telah lahir lama di sekitar kita. Misalkan saja di beberapa komunitas. Mereka bekerja atas dasar kolektivitas. Bahkan mereka sangat menghargai kebersamaan dalam kelas sosial. Tak ada jabatan tertentu yang membuat satu individu lebih agung daripada lainnya. Peran dan tanggung jawab menjadi milik bersama. Bukankah sudah banyak?

Jika dalam sistem kapitalisme, setiap individu harus berusaha memenuhi kehidupannya sendiri. Maka sosialis berlawanan dengan hal itu. Sosialis mengutamakan kebersamaan. Saling menolong untuk mencapai kesejahteraan bersama-sama. Identik sekali dengan apa yang Semaoen bilang, “Sama rata, sama rasa”. Atau “Satu untuk semua, semua untuk satu”.

Selain itu dalam sosialis, tak dikenal apa yang disebut dengan kepemilikan pribadi. Sehingga kekayaan material yang dimiliki masing-masing warga adalah sama. Bahkan sebidang tanah dimiliki dan dirawat secara kolektif. Secara bersama-sama tanah tersebut dikembangbiakkan. Misalnya dengan menjadikan tanah tersebut sebagai sawah, yang nantinya dirawat bersama. Ketika panen tiba, hasil tersebut dibagikan secara rata. Alat-alat produksi yang dimiliki secara bersama-sama akan menjadikan mudah untuk mengelola tanah tersebut. Dengan demikian warga tidak perlu menyewa traktor atau menyewa alat pemanen padi.

Segala macam alat produksi menjadi milik bersama. Pengelola diserahkan langsung kepada negara. Tak ada peran pihak swasta di sini. Sehingga ketika masyarakat ingin menggunakan alat produksi, maka mereka akan menggunakan secara gratis. Sedangkan kepala suku hanya bertugas mengawasi. Kepala suku?

Bisa dikatakan semacam itu, pemimpin pusat bukanlah seorang pe(me)rintah. Lebih jauh lagi mereka memaknainya sebagai pemimpin suku. Fidel Castro pernah bilang, kurang lebih seputar pengakuan atas dirinya, jika dia bukanlah pe(me)rintah, melainkan kepala suku.

Lantas apa bedanya? Wah, saya sendiri bukan pelajar yang fokus mengkaji masalah ini. Namun, jika asumsi sementara yang kalian inginkan. Mungkin kepala suku lebih dekat pada para anggota sukunya, daripada seorang presiden. Yang lebih kental lagi, seorang kepala suku akan terus berusaha mempertahankan budaya nenek moyangnya.

Di sisi lain, tak ada tekanan serius bagi pekerja di luar kemampuannya. Menurut Arief Budiman, apabila penekanan kapitalisme adalah setiap orang bekerja menurut kebutuhan pasar dan dibayar sesuai dengan prestisnya. Maka sosialisme mendasarkan diri pada, setiap orang bekerja menurut kemampuan dan dibayar menurut kebutuhannya.

Dalam hal ini, jika ada seorang nenek yang mempunyai kebutuhan tinggi untuk menyekolahkan kelima anaknya. Namun nenek tersebut tidak mampu bekerja terlalu berat. Maka, dia diperbolehkan untuk bekerja semampunya. Selain itu, akan mendapat upah kerja sesuai dengan berapa yang dia butuhkan. Bahkan upah nenek tersebut bisa lebih besar daripada seorang dokter yang hanya butuh untuk menghidupi dirinya sendiri, belum berkeluarga.

Nek, apa kita terlahir di negri yang salah?

Rabu, 23 November 2011

Membaca Sejarah Dalam Perspektif Kolonial

“Tidak ada sejarah yang betul-betul objektif”
(George Junus Aditjondro)


Ketika pertama kali saya membaca halaman depan buku dengan judul asli “De Cheribonsche Onlusten van 1818, Naar Oorpronkelijke Stukken”. Catatan Van der Kemp yang telah diterjemahkan oleh B.Panjaitan. Bayangan awal yang muncul ialah saya akan membaca sebuah buku sejarah yang tersebar titik atau koma lebih dari satu di setiap kalimatnya. Sebagaimana yang selama ini saya ketahui dalam setiap buku terjemahan. Namun ketika mencoba untuk membaca, jujur saya sangat sulit dalam memahami buku ini di setiap kalimatnya. Mungkin karena bahasa asli buku ini adalah Belanda yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ditambah lagi alpanya titik atau koma yang telah saya bayangkan sebelumnya itu ternyata sama sekali tidak bekerjasama dengan pembaca demi kemudahan memahami buku ini. Alhasil setiap kalimat akan terasa panjang dan menguras nafas.

Sejarah pemberontakan petani Cirebon  yang ditulis Van der Kemp ini diterbitkan oleh YAYASAN IDAYU tahun 1979. Berawal dari penerapan sistem liberal oleh Pemerintah Belanda. Van der Kemp  mengatakan pada tahun 1816 markas “Kaum perusuh” berada di Krawang, namun ditengarai jika perlawanan yang sebenarnya berasal dari Cirebon. Keputusan pemerintah tanggal 8 Desember 1816 No.41 memerintahkan kepada Residen Cirebon, agar mewaspadai dan mencari tau latar belakang perpindahan Jabin, yang bersama 20 orang anak buahnya berpindah dari Laummalang ke Cirebon. Pada 6 Desember pemerintah kolonial berniat memperketat keamanan militer yang keras. Hal tersebut karena laporan residen yang menyatakan bahwa kerusuhan meningkat. Namun keinginan tersebut gagal dilaksanakan karena hantaman dari Inggris berupa ejekan yang dipublikasikan beberapa media di Inggris. Akan tetapi ketika Inggris meninggalkan pulau Jawa tanggal 19 Juni 1817. Pemerintah Belanda berhasil memperkeras peraturan bagi tuan-tuan partikelir.

Pada pertengahan kedua Januari kepala distrik Blandong dibunuh oleh pemberontak yang berjumlah 100 orang. Dalam laporan Residen Bogor muncullah nama-nama baru para pemberontak, Bagus Diwongso (Serit) dan Nairem. Ketika opsiner kehutanan dikirim ke Cirebon, Praudants, dan berhasil menyelamatkan diri dari para pemberontak. Sedangkan Heyden bersama 60 orang berusaha menyerang para pemberontak dengan menunggang kuda. Namun akhirnya ia mendapat serangan di pagi hari dan terbunuh. Sedangkan kapten Joseph Gerrish merasa beruntung karena ketika ditawan oleh pemberontak ia berhasil melarikan diri.  

Surat Residen Cirebon tanggal 30 Januari memberitakan pendaratan pasukan di Batavia, disamping itu mengirimkan instruksi yang penting yaitu, serangan umum ditetapkan pada tanggal 2 Februari. Namun terjadi perselisihan antara gubernur jendral dengan panglima tentara. Akibat dari perselisihan itu serangan umum yang telah direncanakan menjadi gagal. Pada 4 Februari pemberontakan dan kerusuhan di Cirebon dipadamkan oleh Letnan Borneman dan Kapten Elout. Akan tetapi hanya Kapten Elout saja yang menerima penghargaan atas jasanya. Selain itu Neirem berhasil ditangkap dan keamanan telah pulih.

Serrit mengajak tiga sultan di Cirebon agar turut serta dalam pemberontakan yang dipimpin olehnya. Mengatahui hal itu pemerintah kolonial memberi kewenangan kepada residen, untuk mengumumkan bagi siapa saja yang mampu menangkap Serrit, hidup atau mati, akan diberikan hadiah F 2.200. tanggal 8 Agustus terjadi bentrokan antara pemberontak dengan pasukan yang dipimpin Kapten Krieger. Akan tetapi Serrit, pemimpin pemberontakan mampu melarikan diri. Di luar itu, Krieger, Residen De Rider, dan sultan sepuh mengejar para pemberontak yang melarikan diri. Pada akhirnya Serrit berhasil ditangkap. Serrit dan Neirem dijatuhi hukuman mati lain halnya dengan Sapie, Lejo, Ribut yang kemudian dibuang selama tujuh tahun sembari memakai rantai. Para tahanan lainnya, 14 tahanan dikirim ke Banda, untuk bekerja seumur hidup, 7 orang ke Banyuwangi, bekerja di kebun kopi. Krieger mendapat penghargaan besar atas jasanya karena telah berhasil meredam pemberontakan di Maluku dan Cirebon.

Tidak menutup kemungkinan Sumber-sumber utama yang dipergunakan oleh Van der Kemp, ialah dari arsip negara di negeri Belanda dan di Batavia. Bisa dikatakan pula jika penulis atau peneliti mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Bukankah sumber lokal lebih peka terhadap masalah sosial di sekitarnya? Selain itu Pemerintah Kolonial Belanda selalu ditempatkan pada domain sebagai pencerah, pendorong kemajuan, dan senantiasa melindungi kepentingan penduduk asli.

lingkup temporal dalam buku ini adalah tahun 1818. Tahun 1818 menjadi batasan watu pada buku ini karena pada tahun inilah terjadi aksi pemberontakan petani di Cirebon. Sedangkan ruang lingkup spasial dalam buku ini jelas yakni di Cirebon, sebab kasus yang menjadi objek penelitian penulis ini terjadi di daerah tersebut. Dengan kata lain, penulisan sejarah dalam pembahasan buku ini merupakan sejarah lokal.  Dengan penulisan sejarah lokal ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan pengertian dalam perkembangan sejarah nasional, sebab sejarah yang ada di tingkat nasional, harus bisa dimengerti dengan lebih baik apabila kita mengerti pula perkembangan sejarah di tingkat lokal. Selain itu bagi sejarawan modern, ruang lokal menjadi patokan sebagai batas yang nantinya akan mempermudah dalam mengintepretasikan kondisi sosial, ekonomi, dan politik.


Sejarah nasional warisan kolonial
Sejarah nasional memiliki makna yang beragam. Historiografi nasional dapat berarti penulisan sejarah yang mengkrucut pada pembangunan sebuah nasion. Bisa juga dikatakan sebagai penulisan sejarah yang dapat diterapkan kepada negara atau bangsa tertentu. Dalam artian sebuah narasi sejarah yang memicu keyakinan setiap warga negara jika masa depan negara adalah milik mereka bersama. Dalam hal ini, Van der Kemp berupaya mengikat kesadaran warga negara Belanda dengan hasil penelitian berperspektif kolonialnya. Dengan adanya narasi besar ini maka akan muncul kesadaran bersama dan hasrat yang tinggi untuk melindungi negara.

Dalam penulisan sejarah berperspektif kolonial, ada sedikit perbedaan pandangan tentang kualitas moral pemerintah kolonial dengan peranan negara. Dalam buku ini misalnya, Pemerintah kolonial Belanda dinarasikan seolah pelaku utama yang mewakili pencerahan, kemajuan, dan senantiasa melindungi kepentingan penduduk asli. Dan penyempitan cerita pun dilakukan mengenai sebab pemberontakan, bagaimana para pemberontak mengorganisir massa, upaya kekerasan yang dilakukan oleh pihak kolonial, dan sebagainya. Van der Kemp sama sekali tidak menggunakan ilmu bantu sejarah dalam menjernihkan pandangan tentang keadaan sosial, ekonomi, atau politik khususnya wilayah Cirebon.

Memang setiap orang yang menentang Belanda akan diartikan sebagai pemberontak yang bar-bar, anti rust en orde, tidak tahu terimakasih dan yang sejenisnya. Sedangkan eksploitasi dan kekejaman Belanda tidak pernah ditampilkan, malah kekejaman yang ditampilkan oleh Belanda menjadi sebuah prestasi atas jasa para pejuangnya dalam memerangi kejahatan. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Sartono Kartodirjo, “Tulisan mengenai sejarah indonesia oleh sejarawan Belanda atau sejarawan asing, yang sering meletakkan kekuasaan kolonial sebagai kekuatan sentral dan menyeluruh dibalik pengembang kehidupan modern dalam bentuk apapun di Nusantara.”

Jika ditinjau dari sumber-sumber yang dipergunakan oleh buku ini, sebagian besar adalah laporan-laporan dan surat resmi dari pejabat-pejabat, ketetapan pemerintah, catatan harian militer, berita-berita resmi. Memang otentisitas dokumen tidak perlu diragukan. Akan tetapi dokumen-dokumen pemerintahan itu ditulis dari sudut pandang para pejabat-pejabat kolonial. Pada akhirnya antara sudut pandang dan kecemasan pemerintah kolonial kala itu dengan pemberontakan kaum tani memiliki kuantitas yang sama.

Dari hal tersebut bisa dipahami jika sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentris atau pun Belanda sentris. Sepanjang peristiwa adalah serentetan aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni atau orang-orang kulit putih, berbagai hal tentang kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan. Maka dari itu, bisa dikatakan buku ini adalah sebuah sejarah warisan kolonial. Kala itu kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda menempati puncak hirarki sosial, ekonomi, maupun politik. Latar belakang mengenai hal ini bisa dikatakan, apabila fokus utama pembahasan adalah bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda.

Pengkisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan subyektif, karena setiap orang atau setiap generasi dapat mengarahkan sudut pandangannya terhadap apa yang telah terjadi dengan berbagai interpretasi individu. Setiap penulis berhak menyelipkan opini atau pun gagasannya mengenai sebuah peristiwa. Mungkin inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara jurnalistik dan historiografi. Sebagaimana mestinya seorang jurnalis hanya bertindak sebagai pewarta. Terlepas dari itu semua jurnalis akan melanggar kode etik jurnalisme, jika mencampuradukkan opini pribadi dalam hasil reportasenya. Oleh karena itu setiap opini pribadi dalam historiografi harus memiliki berbagai penyangga ataupun penguat pendapat itu sendiri.

Sebagaimana yang dikatakan oleh George Junus Aditjondro bahwa, “Tidak ada sejarah yang betul-betul objektif.” Bisa dikatakan jika objektifitas ialah sekumpulan subjektivitas. Yang terlebih dahulu diolah dengan berbagai kritik atau pun pertimbangan yang matang. Dalam hal ini Aditjondro berupaya mengatakan jika peringkat objektifitas ditentukan oleh seberapa besar sejarawan menekan subjektivitas. Mungkin lebih tepat bila dikatakan, bahwa objektivitas setinggi-tingginya diperoleh dengan menekan subjektivitas serendah-rendahnya. []

Sabtu, 15 Oktober 2011

Ngaji Surat Keragaman di Kening Ramadhan?

Sebagaimana tuhan yang tidak bertanggung jawab atas segala yang ia ciptakan. Maka kita bertanggung jawab atas takdir masing-masing dari kita. Entahlah saya tiba-tiba ingin bercerita tentang polusi pesan yang beberapa hari ini menimbun inbox saya. Ya, tentang ucapan permohonan maaf menjelang bulan yang mereka anggap sebagai area pemutihan dosa. Memang kedua teman saya yang telah menulis tentang hal ini, telah secara tidak langsung menggandeng saya untuk berbicara tentang hal serupa.

Pesan permohonan maaf tersebut mulai membentuk barisan tsunami sejak kaki-kaki bulan ramadhan menginjak bumi. Suasana di daerah sekitar saya tinggal pun berubah secara instan. Mulai dari beberapa manusia beranjak memenggal masa lalunya untuk bersedekah pita usara di masjid. Peserta ritual ngopi memadati setiap warung kopi yang berjajar di pinggir jalan. Jalanan yang macet mendadak kala menjelang sahur dan berbuka puasa. Cafe-cafe mendadak penuh, sampai  beberapa mobil tanpa permisi menyerobot jalanan umum sebagai ganti parkiran. Berita di media masa mana pun berbusa-busa memberitakan tentang harga sembako yang direncanakan naik, arus pulang kampung, kitab suci tanpa HAKI yang dijadikan modal lawakan yang diselipkan dalam tayangan televisi, dan sebagainya.

Memang, saya tidak pernah merasa marah ketika pesan dan segala rutinitas khas ramadhan itu memonopoli kehidupan saya. Ketika menjelang hari Natal beberapa bulan yang lalu. Saya pernah mengirimkan sebuah pesan pendek tentang ucapan selamat merayakan hari kesucian. Akan tetapi hampir semua orang yang saya kirimi pesan tersebut malah kembali menghantam saya bagai cahaya senter yang dihantamkan ke sebuah kaca cembung. Alhasil cahaya itu berbalik arah ke saya dengan cahaya yang lebih besar dan keruh. Yah, memang sebagian dari mereka malah memaki-maki saya.

Padahal ketika mengirimkan pesan tersebut. Salah satu yang saya pikirkan ialah, bagaimana caranya membagi sebuah kebahagiaan tersebut minimal kepada orang-orang yang dekat dengan saya. Tentunya atas dasar toleransi antar sesama. Yang saya pikirkan kemudian ialah, mereka pasti akan meniupkan makna atas pesan yang saya kirim tersebut. Maka dari itu saya sebagai pengirim pesan ialah orang pertama yang berhak mengedit dan menilai apakah pesan tersebut bisa diterima oleh mereka. Dengan pikiran itu saya lebih lega dan dengan segala keyakinan menjadi bulat untuk mempublish.

Sebagaimana puisi atau jenis tulisan apa pun. Pembacalah yang berhak meniupkan roh ataupun arti dari tulisan si penulis. Maka dari itu saya mengganggap pembacalah yang kemudian harus bertanggung jawab atas makna yang ia ciptakan atas karya penulis. Yah memang bukan malah sebaliknya dalam artian penulis yang bertanggung jawab. Karena penulis bukanlah raja otoriter yang berhak memberikan makna secara absolut atas karyanya. Misalnya ketika saya menuliskan hujan dan saya sebagai penulis menganggap arti kata tersebut sebagai sebuah keromantisan entah dengan tuhan atau sesamanya. Nah trus bagaimana dengan anak-anak keturunan komunis yang keluarganya dibantai gerombolan militer dikala hujan, memaknai kata hujan tersebut?

Aduh, di paragraf ini saya mulai binggung mau dibawa kemana tulisan ini...hahahaha...

Entahlah, mungkin karena warga negara indonesia ini terlalu banyak orang muslimnya. Padahal kalau kita bermukim di bali. Maka segala rutinitas khas bali harus dijalankan oleh siapapun. Misalnya ketika hari raya nyepi, semua orang harus mengistirahatkan rutinitas. Bahkan mentri agama pun merelakan orang islam mengikuti ritual nyepi tersebut dengan mematikan lampu, tidak berkeliaran di luar rumah, dan sebagainya.

Pastilah lagi-lagi atas dasar toleransi, mentri agama tersebut mengijinkan semua warga bali yang beragama islam turut dalam hari kesucian nyepi. Atau saya pernah merasakan ngekos di dekat masjid. Dan yang saya rasakan ialah polusi yang mendera selama lima waktu. Sampai saya pernah mengusulkan pada seorang teman. Mending setiap rumah dipasang semacam speaker dan alat peredam. Kemudian difungsikan sebagai alarm pengingat waktu berharap (asline berdoa). Nah, ketika alarm itu memekik keras, para tetangganya yang nonmuslim ostomatis tidak terganggu.

Tentusaja ketika pendapat saya tersebut diresmikan oleh negara. Maka yang terjadi ialah perlahan peradaban melangkah sembari menciptakan mahluk-mahluk planet yang individual banget. Hal ini pun serupa dengan berbagai kasus individual yang mendera kalangan teroris. Entahlah kelompok jihad tersebut mempunyai sifat yang dekat sekali dengan kefanatikan beragama yang berdasarkan atas kepentingan kelompoknya sendiri. Lantas toleransi dipukul rata bila apa yang kelompoknya senangi maka itulah yang menjadi kesenangan publik.

Sujiwo Tejo pakar Djiancuuk (lihat aktivitas twitternya) pernah mengatakan bila setiap individu yang terlahir sebagai warga negaranya, menganggap sesamanya hanya sebatas teman. Tentu saja aku ya aku. Kesenanganku adalah apa yang mereka senangi. Hal tersebut karena putusnya ikatan darah yang menjadikan aku adalah kamu sebagai saudara. Dalam artian tak ada ikatan saudara yang saling menggenggam rasa yang sama minimal dari dua orang manusia. Yang muncul kemudian ialah bagaimana cara memonopoli kesenangan di kalangan publik. Satu per satu dari kita saling berebut kesenangan pribadi demi kelangsungan hidup yang indah.

Bila rasa ialah tembok berlin. Maka muntahan moncong meriam ialah kesenangan individual yang sangat membenci toleransi yang siap menghantamnya. Akan tetapi apa yang terjadi bila setiap bata ditembok itu saling menghormati walapun harus saling menempati ruang kiri, kanan, atas, bawah tanpa saling iri?

Haruskan kita menunggu tuhan mengubah apa yang terjadi di dunia ini? Entahlah berapa milliar juta generasi yang harus menunggu tuhan menanam benih mukjizat pada salah satu diantara mereka. Bukankah setiap manusia ialah subjek dari sejarah. Entah si miskin, si kaya, atau si apapun ialah roda penggerak peradaban. Setidaknya itu menurut Pramoedya.

Jamput bingung maneh, arep digowo nank ndi tulisan iki...hehe.. ^_^’’

Para warga Renaissan pernah berhasil melewati masa suramnya dengan menganggap setiap dari mereka adalah subjek bagi dirinya sendiri. Dalam artian setiap orang bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Mereka mulai membenci apa yang sering diberi label sebagai mitos. Dan yang muncul ialah rasa saling menghormati antar sesama lewat aliran humanisme. Walaupun setelahnya Filsafat ketimuran pun bergentayangan di Alexandria.

Selain itu, dalam keadaan sehat, bukankah rujak komplikasi beraneka buah-buahan itu lebih nikmat daripada hanya sebuah mangga muda. Dan pelangi lebih indah dengan aneka warnanya dari pada biru langit. Maka dari itu segala campuran warna dari masing-masing kita bukanlah merupakan kekurangan bagi kita. Malah sebaliknya, kita akan semakin kaya dengan keaneka ragaman. Aku punya hitam kau punya apa, mari saling melengkapi. Sampai disini saya mengucapkan terimakasih banyak atas semua pesan khas momentum sesaat yang bermukin di inbox saya. Maklum, karena salah satu kakak saya bekerja di perusahaan operator selular. Tapi jangan sekali-kali mentransfer dosa lewat sms kepada saya, karena saya akan bersedia menelan dosa itu mentah-mentah. Gila, siapa yang mau masuk surga. Orang-orang di surga itu individualis banget. Saudaranya pada di siksa di neraka tapi mereka tidak membantu sama sekali malah beradu nafsu dengan kemewahan. Satu lagi, jangan kuatir setiap sms permohonan maaf yang dikirm kepada saya, akan langsung saya forward ke nomor tuhan.

 Mohon maaf sebelumnya, mungkin kesan pertama yang kalian dapatkan dari saya lewat tulisan ini, ialah saya sebagai mahluk tengik yang atheis. Tapi bagi saya itu tidak masalah. Tapi yang jadi masalah jika ada orang yang mengatakan Nietzshe adalah penganut atheis. Hahaha...

Sebuah Cerita

Apa yang sedang dikerumuni oleh mereka yang terlalu bosan dengan himpitan aktivitas kaum urban? Siapapun dia pasti akan mencoba mencari hal lain yang bisa dikatakan aneh. Namun hal tersebut yang pada akhirnya melekat pada dirinya sebagai sebuah ciri khas. Begitu juga jika hal ini dalam sebuah ruang bernama musik. Tentu saja musik kaum urban ialah musik independent yang sedikit aneh ketika pertama kali didengar.

   Independet yang saya maksud bukan pada penekanan bagaimana proses pendanaan mereka berjalan. Akan tetapi independent yang tertanam dalam aliran musik mereka. Ya, aliran musik yang sangat berlawanan dengan band popular masa kini. Semisal “.....”, “.......”, “........”, dan sebagainya yang senantiasa digandrungi kaum muda. Sory, saya malas menyebutkan nama bandnya. Biasanya aliran musik indie dicerca sebagai aliran aneh, jadul, amoral (masalah lirik), sebagian lainnya setia pada garis perlawanan.

   Saya memang sama sekali tidak mempunyai latar belakang yang wah di bidang permusikan. Begh, apalagi jika harus mendefinisikan aliran apa yang di usung masing-masing band di indo. Tentulah saya akan menjawab tantangan itu sambil menggigil ketakutan sembari menggali kembali bakat ngibul. Lantas mengapa saya ingin menulis tentang musik indie? Atau jangan-jangan pembahasan indie ini hanya jebakan di awal tulisan dan tentu saja diakhiri dengan beberapa kalimat mengecam tuhan. Oh, tidak..!! kali ini saya hanya ingin bercerita (daripada nonton tv) mengenai musik aneh yang indah. Tapi mungkin saja saya sedang berbohong..haha yang penting saya hanya bisa meyakinkan anda jika cerita ini bukan tentang peri, angsa, putri cantik, dan semacamnya.

   Ketika masa SMA dulu, semacam ada hobi yang selalu datang tanpa bisa diramalkan kemudian menyerang keseharian kaum sebaya saya. Yaitu musim ngumpul dengan sesama pecinta aliran musik. Misalnya mereka kerap menyebut anak punk (kalo gak salah biasa ngumpul di media alfa), pecinta cobain anak grunge, anak hiphop yang biasanya main breakdance di lapangan dan alun-alun kota, yang terakhir anak metal yang sering disebut underground. Aneh, saya kenal beberapa anak di semua lini aliran musik itu. Tapi tak satupun seluk beluk aliran musik mereka yang saya tau.

   Pernah suatu kali saya main ke tempat teman saya yang katanya anak punk. Ketika dalam perjalanan ke rumahnya, saya bertanya banyak hal mengenai punk. Sesampai di rumahnya malah teman saya memberikan beberapa lembar kertas fotokopian yang isinya membahas mengenai scene musik yang ia gandrungi. Belakangan saya memikir ulang, mungkin yang dia berikan waktu itu adalah sebuah media alternatif bernama zine. Tapi saya terlalu lugu untuk bertanya mengenai hal yang tidak terlalu penting.

   Saya masih ingat, tulisan pertama yang saya baca waktu itu tentang sosok yang bisa dipanggil Waga. Entahlah itu kisah nyata ataupun karangan tapi saya sangat menikmatinya. Seingat saya, ada seorang tokoh bernama Satu-Dua-Tiga (serius, namanya emang itu) dengan perilaku menyimpang dari orang kebanyakan. Orang tua si Waga sangat mapan sekali perihal mengelola jantung perekonomian keluarga. Akan tetapi Waga mencoba berlari menjauh dari dunia keluarganya yang terlalu mapan itu. Dengan bermodal vespa, saya lupa di Malang dia ngontrak atau ngekos ya, pokoknya di kamarnya hanya ada satu poster. Poster bergambar tokoh Sakera. Dalam hal penampilan memang aneh sekali. Rambutnya dibiarkan separuh panjang dan separuhnya lagi botak begitu juga dengan kumisnya. Setiap harinya Waga hanya mau makan masakan indonesia khususnya jawa seperti rawon, lodeh, dan sebagainya.

   Tibalah suatu saat dia melintasi perempatan di jalan rampal (malang) tanpa mematuhi instruksi lalu lintas. Dengan vespa tuanya yang dipacu berkecepatan tinggi. Tanpa ia sadari ternyata ada seorang polisi yang mengejarnya, kemudian berhasil membuatnya berhenti dan menepi di bibir jalan. Lalu polisi itu sedikit kaget ketika mengetahui penampilan Waga ketika ia membuka helmnya. Tanpa memikirkan hal aneh itu terlalu panjang kemudian dia bertanya pada Waga.

“Mana surat-surat anda?”
“Sura-surat bapak mana?”, Waga malah balik bertanya.
“Jangan main-main. Saya sebagai petugas berhak meminta surat-surat anda” polisi itu sedikit menekan.
“Loh, saya sebagai warga negara juga berhak meminta surat-surat bapak” Waga malah memberikan serangan balik.

   Saya lupa percakapan selanjutnya seperti apa. Yang saya ingat setelah adu mulut itu berujung pada adu jotos. Kemudian kedua polisi yang sedari tadi mangkal di pos ternyata turun tangan juga. Ujung dari semua itu adalah tiga peluru yang bersarang di tubuh Waga. Semacam peradilan di tempat yang sangat tidak manusiawi. Bahkan bisa dikatakan Waga dibunuh tanpa melalui proses peradilan. Hal itu terjadi karena kesenjangan sosial atas nama profesi. Polisi yang semula menjadi pengaman bagi masyarakat malah justru menakut-nakuti masyarakatnya sendiri. Sekarang saja bila kalian bertemu dengan polisi apa yang kalian rasakan. Perasaan aman dan tentram? Mana mungkin, walau tak punya salah pun kalian pasti akan sedikit merinding.

   Setelah itu waga dimakamkan. Tepat di nisan Waga, beberapa temannya menulis, “Satu Dua Tiga punk sejati”. Itulah penghargaan terakhir dari kerabatnya. Cerita di atas memang tak secara persis sama dengan apa yang saya baca sekitar lima tahun yang lalu. Tapi saya yakin kurang lebih ceritanya semacam itu.

   Setelah itu saya ngobrol sedikit hal seputar punk. Sambil ngobrol mata saya menyisir seluruh bagian area kamar teman saya. Di pojok saya melihat sepasang sepatu bots warna hitam dengan talinya bewarna hitam juga. Dia juga cerita mengenai perbedaan pada warna tali sepatu itu. Betapa herannya saya ketika dia mengatakan jika punk power white itu pake wana putih, sedangkan punk nazi pake warna merah. Yang membuat saya terheran-heran ketika punk punya lebih dari satu ragam jenis. Entahlah saya tidak tau banyak mengenai hal itu.

   Terakhir ketika dia mengantarkan saya di perempatan Bonagung untuk mencari bus. Berkali-kali dia meyakinkan jika punk anarko itu bukan terfokus pada tindak anarki semacam suporter bola. Punk anarko itu punya kebersamaan yang kuat dan selalu dianggap galak karena selalu mencoba melawan ketidakadilan. Terkesan seperti terlalu muluk-muluk ya. Tapi itu memang apa yang teman saya katakan waktu itu, meskipun higga kini orang yang dia ajak ngobrol itu tidak tahu sama sekali tentang apa itu keadilan.

   Sesuatu yang aneh dari teman saya. Dia tidak berambut mohawk berbahan lem kayu rajawali. Biasa saja masalah rambutnya. Cuma dia kerap kali memakai (apa ya itu namanya) hitam-hitam yang dioleskan di sekitar mata. Selain itu selalu memakai celana street. Sampai model celana seragam SMA pun dibuatnya versi street. Saya sering diajaknya nonton gigs yang paling mahal tiket masuknya seharga dua ribu. Sialnya seringkali selalu menolak ajakan itu. Sebagai gantinya saya berjanji akan mendengarkan cerita tentang event itu di warung kopi. Ah, saya mendadak merindukan masa lalu. Yang paling saya ingat sembari tersenyum teman saya berkata, “Dadi menungso pasif iku pilihan, tapi aku luweh milih dadi wong aktif. Dan punk adalah pilihan”. Sampai saat ini aku masih gak mudeng dengan apa yang dia katakan. Lewat senyum tipis itu mungkin dia ingin mengatakan sesuatu yang paling dalam pada dunia. Tentang lirik bunga hitam yang senantiasa menjadi pemantik semangat.

Buka mata hati, buka telinga
Ciptakan semangat sampai akhir hayat
Hancurkan negri ini, ciptakan negri baru
Negeri ini butuh nurani.

   Di kalimat yang ini saya tiba-tiba menyadari, mengapa saya bercerita tentang serpihan kenangan itu. Padahal saya sangat tidak tahu menahu mengenai punk. Sudahlah, anggap saja hanya cerita. Di awal sebenarnya saya berniat akan mendongeng tentang White Shoes & The Couples Company. Tapi, ya sudahlah lain kali saja.

Kamis, 14 Juli 2011

Pertanyaan dan Kerendahan Jiwa

Saya tahu bahwa saya tidak tahu”
(Socrates)


    Sosok berbadan gemuk dan kumuh itu terus mengejar lawan bicaranya dengan serangkaian pertanyaan. Dia adalah Socrates. Entahlah betapa geramnya jika saya harus memposisikan diri sebagai lawan bicaranya. Mungkin yang akan saya lakukan ialah secepatnya balik ke kamar kost dan kembali dengan topik pembicaraan yang telah matang. Tentu saja beserta berbagai jawaban dari segala kemungkinan yang akan dia tanyakan. Akan tetapi saya akan segera menyadari jika dia sedang tidak memposisikan diri sebagai tuhan. Dalam artian segala pembicaraan yang dia sampaikan kepadaku tidak beratribut kebenaran yang bersifat absolut (kebenaran final tanpa sanggahan). Dia tidak sedang merendamku dalam genangan doktrinnya, melainkan merangkulku untuk ikut serta berpikir bersama. Dari sanalah muncul sebuah keberanian untuk berpikir.


    Jika ide adalah sebuah bayi, maka socrates selalu berusaha membantu proses kelahiran bayi masyarakat sekitarnya. Dan sebuah jawaban takkan berdiam diri di garis final dalam rentang waktu yang terlalu lama. Sebagaimana Socrates yang selalu menganggap segala kebenaran tentang semesta tak lebih dari sekedar asumsi sementara. Mengenai hal ini teman saya pernah mengatakan, “Bagaimana jika sebuah pertanyaan adalah jawaban dari pertanyaan itu sendiri?”. Tiba-tiba temanku mengajak berolahraga otak. Tentu saja sebuah kalimat dari temanku itu segera membuat pagi hari itu semakin buta.


    Betapa kagetnya jika seandainya kamu mendapat jawaban yang bertanya. Tak jauh dari hal ini, Socrates pun selalu mengawali diskusinya dengan sebuah pertanyaan. Semisal tanpa aba-aba dia berkata, “Apa itu kebijaksanaan” atau “apa itu keadilan”. Lantas ketika kamu selesai menjawab, maka segeralah muncul pertanyaan baru begitu seterusnya. Setelah ludah berubah menjadi busa tebal karena dialog terus berjalan menabrak-nabrak tanpa henti. Disanalah para peserta olahraga intelektual itu memahami jika mereka tak sepenuhnya mengetahui kebenaran yang sejati.


    Socrates selalu meragukan segala hal selain keraguan itu sendiri. Disamping ajakan untuk selalu meletakkan keraguan di gardu terdepan itu. Dia selalu berusaha merendahkan dirinya sendiri. Tentu saja demi sebuah kebijaksanaan dalam usahanya melacak sebuah kebenaran. Pantas saja jika Oracle Delphi mengatakan bahwa orang yang paling bijaksana ialah Socrates. Hal tersebut karena Socrates selalu menganggap dirinya sebagai orang terbodoh di antara seluruh manusia. Karena baginya pengetahuan lahir dari upaya mengoreksi sebuah asumsi kemudian menyanggah asumsi tersebut dengan bertanya. Lantas apakah sesuatu yang patut dikatakan sebagai pengetahuan ialah jawaban yang bertanya?

Minggu, 08 Mei 2011

fiksi mini yang agak panjang dikit

ini

judul

Nya







aku lainnya bertanya padaku, "mengapa ketika hujan deras siang tadi, matahari tak segera menjadi arang karenanya?".. sambil menyulut ketidakmungkinan aku menjawab sekenanya, "seandainya ramalan tentang kemarahan besar tuhan itu terjadi, sebesar apapun ombak tangis penghuni segala semesta, tak akan sanggup memadamkan api amarahnya.."



"oh, berarti matahari itu egois dan otoriter banget ya", ujar aku yang lainya sambil tak sadarkan diri jika ia telah menyandera kebenaran universal..



"yah, jika dirimu adalah mata yang jarang sekali tertangkap basah ketika berbohong. atau kau yang tibatiba menjelma serupa lintah, sungguh rumit merumuskan alat pengukur kerataan tanah bagi hewan sepertimu. dalam waktu yang tak lama kau pasti melakukan ritual bunuh diri", aku menjemputnya dalam mimpi sambil mengantarkan kata tersebut.



kemudian aku yang lainya pecah layaknya tembok berlin yang tibatiba tertampar ludah canon. seketika masing-masing pecahan reruntuhan itu membentuk aku yang lainya. mereka membiak. merimba.



aku menghela nafas panjang, mengisi udara sebanyak-banyaknya pada rongga jiwaku. hingga tak ada sudut sekecil apapun yang mampu digenangi keresahan. tentu saja sembari menertibkan brigade mental, sebelum bermesum ria dengan jutaan pertanyaan yang akan mereka ajukan..

***




bersambung, , , , , , ,


(NB:dengan syarat ada yang mau nyambung...)

Semangat Bisu Perdamaian Ditengah Kuasa Perang Salib*

Walaupun film ini dirilist 6 tahun yang lalu (2005), akan tetapi sangat layak untuk ditonton berulang kali. Bisa dikatakan dalam film tersebut terselip misteri karena kebenarannya masih terselimuti kesamaran. Perang antara kaum muslim dan nasrani dalam memperebutkan Yarusalem berupaya didaur ulang dalam film ini.

Di awali oleh Balian yang ingin menebus dosa istrinya dengan menempuh perjalanan ke Yarusalem. Istri Balian melakukan bunuh diri karena terlilit duka atas kematian anaknya. Bukan hanya karena itu, dia juga akan memohon pengampunan di Yarusalem atas dosanya membunuh pendeta yang telah memenggal kepala istrinya.

Balian bersama Godfrey yang mengaku sebagai ayahnya menuju Yarusalem. Di tengah perjalanan, mereka bertemu pasukan yang berniat menangkap Balian karena perbuatannya membunuh seorang pendeta. Namun Godfrey melarang penangkapan yang dilakukan oleh pasukan yang di utus uskup dari utara itu semata untuk melindungi Balian. Akhirnya pecahlah pertempuran antar keduanya, hingga mengakibatkan Godfrey teluka parah.

Kemudian mereka menuju Messina. Karena kesehatan Gordfrey yang tak kunjung membaik, dia mengangkat Balian sebagai Ksatria dan Tuan atas daerah Ibelin untuk menggantikannya. Godfrey meninggal setelah meminta Balian untuk membela sang raja dan jika raja telah tiada, Balian harus melindungi rakyat. Setelah kematian Gordfrey pergilah balian menuju Yarusalem. Sedangkan pasukan Gordfrey akan mengikutinya seminggu kemudian.

Ketika melewati laut untuk menuju Yarusalem, kapal yang ditumpangi Balian ditelan ombak. Ketika dia tersadar laut telah membawa dirinya dan puing kapal ke daratan. Balian membunuh salah satu ksatria besar di kalangan muslim yang ingin merebut kudanya.

Sesampainya di kota, dengan cepat para prajurit Godfrey mengenali Balian lewat pedang warisan ayahnya. Kemudian dia dibawa untuk menemui patner terbaik ayahnya yaitu Tiberias. Lalu esok harinya dia diajak mengikuti acara perjamuan yang dihadiri para ksatria. Dengan diantar Sibylla, dia memenuhi panggilan sang raja.
Raja Baldwin IV adalah pemimpin Yarusalem pada masa itu. Raja tersebut mempunyai hubungan fekat dengan Sibylla, adiknya. Dialah yang setia menemani keseharian Baldwin IV yang terpaksa memakai topeng untuk menutupi penyakit kustanya. Raja bercerita perihal ayah Balian yang menaruh perhatian lebih padanya. Selain itu, raja juga bercerita tentang kemenangan besarnya melawan Saladin ketika ia berumur 16 tahun. Dia mendapatkan Yarusalem sebagai hadiah dari kemenangan besar itu. Setelah itu raja memerintahkan kepada Balian agar merawat daerahnya dan melindungi kaum yang lemah di Ibelin.

Luas tanah Ibelin sekitar seratus hektar dan dihuni kaum kristen, islam, dan yahudi. Bisa dikatakan heterogenitas penganut agama dalam Iberis yang membuat semangat perdamaian tumbuh di jiwa ayahnya. Kemudian Balian ikut bekerja bersama warganya untuk menggali tanah, agar desa mereka tidak kekeringan lagi. Di saat yang sama, Reynald dan Guy membunuh rombongan kaum muslim Saracen yang mereka temui. Hal ini membuat Saladin geram dan mengirimkan pasukannya untuk menyerang Kerak (daerah kekuasaan Reynald). Raja memimpin para prajurit untuk menghadang Saladin dan menyuruh Balian untuk melindungi penduduk desa. Balian memenuhi perintah raja agar menghadang kavaleri Saracen yang dipimpin Saladin sampai raja tiba.

Selang kekalahan Balian dalam menghadang kavaleri, sang raja datang untuk berunding dengan Saladin. Raja menawarkan agar peperangan dibatalkan dan berjanji akan menghukum Reynald. Pasca penawaran raja disepakati oleh Saladin, raja menuju Kerak dan memenjarakan Reynald.

Raja Baldwin IV ingin mengekalkan perdamaian lewat perintahnya, agar Balian dan Sibylla menjalin hubungan pernikahan. Hal tersebut dilakukan agar Balian melanjutkan titah raja, sebagai penerus kebebasan memluk agama dan menjunjung tinggi rasa perdamaian. Akan tetapi perintah raja itu tidak disetujui oleh Balian. Hal itu dikarenakan dia tidak ingin menjadi penyebab hukuman mati bagi Guy.
Akhirnya Guy yang memegang kendali Yarusalem setelah kematian raja. Di awal kekuasaannya, Guy membebaskan Reynald dari penjara. Tentunya dengan permintaannya agar Reynald memberikan semangat peperangan padanya. Permintaan tersebut dilaksanakan oleh Reynald dengan membunuh kaum muslim dan menawan adik dari Saladin.
Kemarahan Saladin kembali meledak. Dia mengirim pesan lewat salah satu prajuritnya agar mengatakan pada Guy supaya lekas menyerah dan memberikan Yarusalem padanya. Lalu Guy menusuk leher pengirim pesdan itu dan mengirim kepalanya ke Damaskus sebagai bentuk ketidaksepakatannya sekaligus pernyataan perang.

Genderang perang pun akhirnya ditabuh. Guy membawa seluruh pasukan untuk berperang. Sehingga pertahanan Yarusalem menjadi lemah. Perjalanan menuju medan peperangan yang jauh dan jauh dari mata air membuat pasukan kewalahan. Bahkan satu persatu dari mereka mati sebelum berperang. Hal tersebut yang pada akhirnya membuat Saladin dengan mudahnya membunuh seluruh pasukan Guy.

Di lain pihak, Balian mencoba membentuk pertahanan di Yarusalem. Dia memimpin warga Yarusalem dalam kekosongan prajurit. Salah satu pesan dari ayahnya untuk melindungi rakyat ketika raja telah mati membuat semangatnya berkobar. Balian memerintahkan agar semua pria bersenjata ikut serta memperkuat pertahanan dengannya.

Sekian lama pertahanan Balian mampu membendung serangan Saladin. Namun tibalah saatnya Saladin ingin mengajukan kesepakatan dengan Balian. Dia sempat tidak percaya dengan tawaran Saladin untuk mengawal seluruh rakyat Yarusalem menuju tanah kaum kristen. Karena menurut Balian, kaum kristen membantai seluruh kaum muslim ketika mereka merebut tanah Yarusalem saat sang raja berumur 16 tahun. Akan tetapi Balian menyepakati perjanjian tersebut setelah Saladin memcoba meyakinkannya tidak akan membalas perbuatan kaum kristen tersebut. Diakhir cerita film ini, Saladin memenuhi janjinya dan Balian kembali menjadi pandai besi. Sebagai penutup, raja Richad dari inggris menemui Balian untuk merebut kembali Yarusalem. Akan tetapi Balian menolaknya dengan mengatakan bila dia hanyalah seorang tukang besi.

Film ini mencoba untuk menjunjung tinggi gelora humanitas. Memperkecil kemungkinan pengkotak-kotakan kubu atas nama agama tertentu. sedangkan untuk melacak keaslian sejarah yang diungkap film ini masih dirasa sulit. Hal itu dikarenakan ada banyak versi mengenai kisah perang salib dan saling bertolak belakang. Ditambah lagi terlebih dahulu melewati intepretasi sutradara terhadap sejarah tersebut. Disanalah terjadi improvisasi. Selain visaualisasi pesan agama sebagai instrumen kehendak berkuasa. Suasana agama terlihat kental, misalnya ungkapan “allahu akbar” dan di lain pihak menyerukan “god wills it”. Selain itu seperti busana dan sholat berjamaah prajurit saladin. Yang membuat film ini dirasa kurang ialah, ketika nihilnya pesan ataupun tanda akan adanya kelahiran Baldwin V yang akan menggantikan raja Yarusalem sebelumnya.[]


* Term Of Refrence diskusi film studi sejarah 2010-2011. Minggu (20/03) pukul 07.00-10.00WIB, di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Puger.

Dua Ruang, Dua Agenda


Senin (20/12), UKMK menyelenggarakan pameran foto di gedung PKM. Selain telah disediakan makanan oleh panitia, beragam karya sastra pun dihadirkan. Beberapa diantaranya semisal penampilan band. Yang menurutku menarik dari acara itu, ialah ketika pertama kali kami hadir disambut oleh penampilan perkusi.


Permainan perkusi tersebut dipentaskan kurang lebih oleh tujuh pemain. Masing-masing pemain membawa alat yang berbeda salah satu diantaranya jimbe. Diawal penampilan, mereka hanya unjuk kekompakan dengan ritme pukulan jimbe yang berlainan. Saling mengiringi dengan cepat antara pukulan pemain satu dengan lainnya. Perlahan satu persatu dari mereka berupaya menunjukkan skil permainan alat musiknya. Tentunya dengan satu persatu bergantian lebih mendekat ke penonton. Banyak hal yang menarik disitu. Mulai dari kekompakan team sampai skil yang mereka tunjukkan. Bahkan di tengah permainan mereka meminta beberapa penonton memainkan alat musiknya. Akan tetapi suara permainan penonton yang malu-malu itu sangat jauh dari renyahnya penguasaan alat musik mereka.

Setelah itu berganti dengan iringan musik modern dari sebuah band. Banyak anomali sebelum mereka bermain. Seperti efek yang terdengar nyempling dan memekakkan telinga penonton. Hal tersebut tidak hanya terjadi waktu para pemain menyetem alat musiknya. Akan tetapi sering secara tiba-tiba berbunyi di pertengahan penampilan. Bahkan terjadi sedikit teknis yang mengganggu ketika salah satu gitar melody mati. Untung saja kesalahan tenis tersebut mampu diatasi oleh additional yang secepat mungkin memperbaiki sound. Sepertinya suara nyempling yang berkali-kali tersebut disebabkan oleh sound yang jelek. Hal itu terbukti ketika band selanjutnya bermain di atas panggung. Kemudian yang terdengar aneh ketika mereka memainkan music jazz tetapi masih terdengar seperti permainan rock.

Selain acara tersebut, ada juga acara yang tak kalah menariknya. Yaitu acara “perang pusi” di UKPKM Tegal Boto. Lain halnya dengan jumlah penonton ataupun peserta yang hadir dalam Dies Natalis UKMK. Lingkaran tak utuh yang hadir dalam agenda ini hanya lima belas orang. Tidak ada pembukaan dalam acara ini. Awalnya memang suasana membeku. Saling tuding siapa yang akan membaca puisi di awal pertemuan. Ditengah topik yang ketika itu terasa tidak akan melelahkan tiba-tiba Cak Kandar masuk ke TB. Nah, pada akhirnya dialah yang menjadi korban sasaran pembaca puisi di awal. Tidak seperti kami, Cak kandar tidak berupaya membentengi diri denga ribuan alasan untuk melarikan diri. Akan tetapi tanpa basa-basi dia langsung berdiri di tengah lingkaran dan membacakan beberapa puisinya. Dia hadir bersamaan dengan riuh tawa kami. Dia seperti matahari yang dengan sekejap mampu mencairkan suasana forum tersebut. Kemudian disusul satu persatu dari peserta forum.

Ketika mas Lutfi mendapat giliran membacakan puisinya. Dia malah memilih membaca puisi milik orang lain. Puisi tersebut menjadi suatu hal yang menarik karena berbahasa Madura. Kemudian puisi tersebut yang menstimulus topik forum untuk beralih segera beralih. Topik diskusi pun beralih seketika membahas puisi lokal ataupun tradisional. Yang pertama memberikan tanggapan ialah mas Arys, dengan mengatakan jika puisi lokal memang mempunyai ketertarikan. Menurutnya puisi tersebut mengandung kekayaan dan misteri, ketika tidak diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia. Disusul dengan argument mas Widi yang mengatakan jika pusi tradisional itu struktural banget. Dalam artian selalu patuh pada sajak ABAB dan lain sebagainya. Kemudian keterbatasan malam yang semakin larut menumbuhkan inisiatif untuk segera diakhiri. Diiringi beberapa awak TB yang berjanji akan memnyambung agenda tersebut di kemudian hari. Acara tersebut di tutup oleh puis berjuduli “untuk apa puisi ini” karya OO_Zaki. Tentunya dibacakan oleh sang fasilitator tamu yaitu tuhan, master, sang legendaris, calon wisudawan Edi Wibowo YME. []

Sabtu, 23 April 2011

Pertemuan Akhir Senja

ketika langit telanjang malam itu
di atas setengah lingkarannya kita duduk berdua
aku membelai irama potongan pasir sutra
dalam nyanyianmu tentang lagu edelwis senja

"kasih, mengapa kau sulut lagu remang ini
di tengah kegelapan malam"
aku bertanya padamu

"kau tau mengapa edelwis hanya ada di puncak gunung?"
kau menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan baru

"bukankah keabadian selalu bernama harapan?"
aku pun menjawabnya dengan pertanyaan lainnya

"lantas mengapa edelwis selalu berlumur senja?"
dari adamu lahir pertanyaan baru lagi

"entahlah, dendam seperti apa yang
dianut oleh senja pada sang edelwis"
akupun menjawab dengan pertanyaan yang bertanya

"tapi, bisakah edelwis hidup tanpa gunung?"
jawabmu dari pertanyaan yang bertanya tanya


seketika percakapan selanjutnya sirna
setelah sang mentari datang untuk membakar mereka
kini mereka melepuh dalam gumpalan abu yang hijau





09022011
dari awan hitam, wakilkan bulan yang hilang untuk FS










dimuat Buletin Sastra Pawon Solo Edisi Puisi...



Like Us On Facebook

Jumat, 18 Maret 2011

Dinaskahkan jadi kumcer di E-LoveStory #19







Buku E-LoveStory #19

* Rama dan Cinta, Arien
* Valentine berkulit gelap itu RINDU, Dieqy Hasbi Widhana
* Bertemu My True Love Lewat Facebook, Tri Lego Indah F N
* Perfect World, Apendi
* Pemetik Bulu Mata @fiksimini Twitter, Muh. Husen Arifin
* Jurnal Tentang Dia, Nian Kartika Sari
* Percakapan di atas Vespa, Sinatrya Mayapada
* Goodbye and Hello, Emilia Natarina
* Kado Cinta Buat Eyang, Nelfi Syafrina
* Cinta Alff Dii Flay, Fitrah Abdul Quddus
* Oh, My Valentine Day, Rugyinsun
* Love Means, Jaumil Aurora
* Biru, Mentari Meida Rahmalah
* Neli - Cicak, Natalie Putri Febrianto
* Piala Sebuah Keberanian, Ambar Tisnawati


Cara Pemesanan buku-buku E-Love Story ini dapat melalui email, caranya:

kirim email ke writers4indonesia@gmail.com
Harga buku @Rp 45.000,- (Belum termasuk ongkos kirim)


dinaskahkan olen nulisbuku.com


Dua Sajak (Perihal) Kekalahan


Orang-orang Sisa Kekalahan

revolusi berjalan mundur
kurakit asap debu untuk selimut alam pikiran

pada cambukan pertama mental berserakan
selanjutnya kau berlari memunggungi realita
kembali kepada sisa usang

bertubuh lima jalur indra,
berjiwa semangkuk akal budi

adonan dua alam pahit,
berbuah tumpukan pengetahuan

bebas berpikir,
ukuran segalanya
***


Pledoi Supir


salahkah aku mengejar asap rimba secepat kupasrahkan nafas masa depan keluarga
pada pundak terkaman bus ini

kutumpahkan segala amarah hingga anakku tak hanya berhenti mendadak
di bangku sekolah dasar

kaca spion itu selalu mengingatkanku pada masa lalu
ini pilihan lain menambal lubang derita

di persimpangan kutabrak kijang plat merah

salahkah aku menabrakmu,
yang dengan mudahnya
meredam masalah besar bagiku

sedangkan dia, yang kau sebut sebagai pengingat terdekatku
yang membuat kesabaran terkelupas dan besi rasaku semakin memerah

bukankah kau tau
aku pun tak akan bisa terbang hanya dengan
sebelah sayap derita

maka restuilah aku sebagaimana nama
bukankah aku pemungut yang paling rajin
***









dimuat di ceritanet.com edisi 204, kamis 17 maret 2011




Jumat, 28 Januari 2011

(masih) mencari


Sorot matanya berpijar menampar apa yang dipandangnya
Seperti ada serpihan mentari yang tertinggal dalam retinanya
Anak itu masih berlari
berlari
berlari
berlari
dan berlari
satu satu bukunya berjatuhan
namun ia masih berlari
berlari
berlari
di ujung jalan setapak ia menemukan apa yang dicari
kemudian dia mendulang beberapa pertanyaan pada apa yang dicari
seperti menyuguhkan segelas kopi yang telah tumpah


tu(h)an, kapan kau tuliskan kitab suci kita
esok, ketika semuanya telah usai
dari balik jeruji besi tu(h)an bergumam


lantas apa yang akan kau lakukan sebelum hari esok datang
menanti sampai antitesa bosan memperkosa tesa

oh, tu(h)an mengapa kau selalu menjawab pertanyaan dengan sebuah pertanyaan baru

karena tak pernah ada kebenaran yang absolut
biarlah sebuah pertanyaan menjawab pertanyaan sebelumnya
begitu dan seterusnya









sekret ID'

05112010


ini malamnya ini..

Seperti ada perapian dalam kepalaku

Entah apa yang menarik ulur otot kepala ini

Nafasku jadi sepanas terik matahari



Tubuhku melemah

Tiba-tiba berubah menjadi

Padi yang tak mampu menopang buahnya



Sial,

Banyak lingkaran yang terpaksa kubuat tak utuh

Setidaknya aku telah hadir dala,m lingkaran kecil

Berupaya membujuk rasa sakitku

Dengan segelas kopi beserta beberapa bungkus ilmu



Setelah itu pusing ini karam dalam dunia nyata

Karna tak mampu mengejar aku yang berlari jauh dalam mimpi











jember,

101102010

Terserah Arsitek Cerita

Di samping, terdengar suara benda berat terjatuh yang diiringi suara setengah lenguhan. Kemudian di susul dengan teriakkan panjang. “haaa… dimana aku..?”, suara lelaki setengah baya itu menggema. Dia masih berdiri kebingungan, dalam sepetak ruangan yang hanya berjejal lampu temaram lima watt. Sepi tak ada keriuhan dari suara apapun. Kosong tak ada benda apapun selain dirinya. Jarak pandangnya hanya dua jangka kaki pendeknya.



Gerakannya kacau, tergesa mencari sesuatu yang masuk akal untuk membayar kegelisahannya. Sorot matanya menelanjangi keremangan tanpa batas itu. Dia berjalan perlahan kira-kira sejauh tiga meter, tapi kegelisahannya semakin menumpuk. Ketakutan tiba-tiba menggertaknya dengan keras tepat di pangkal gendang pikirannya. Akhirnya dia berlari. Sesaat kemudian berhenti.



“aneh aku merasa berlari sejauh ribuan jangka, tapi rasa capek belum menyapaku. Bahkan rasanya tak kunjung beralih dari waktu yang sementara tadi. Dimana aku? Suaraku tadi menggema, seperti berada dalam kerongkongan gunung. Cahaya remang akan tetapi tidak ada matahari, lampu, bintang, bulan, atau benda apapun yang dapat mengeluarkan cahaya”.



Dia merasa tersesat di dalam ruang tanpa waktu. Lelaki berambut gundul itu berjalan perlahan sambil terus berpikir. Sesaat kemudian dia berhenti lalu berjongkok. Sekitarnya masih hening. Tiba-tiba dia meloncat, meringkuk seperti orang kedinginan. Sepertinya dia menyadari sesuatu.



“gila.. aku merasa berjalan di awang-awang. Entah apa yang kupijak ini. Tak ada permukaan, apa aku melayang? Yang lebih tak masuk akal, sedari tadi tak ada suara selain suara dari mulutku sendiri. Aku harus mengakhiri hariku sekarang juga“



Dia memukul berkali-kali tubuhnya sendiri. Mencoba bunuh diri. Baginya percuma menunggu kematian jika tak ada waktu yang akan menjadikannya tua kemudian mati.



“bertambah aneh tepat ini. Sekuat apapun tanganku menghantam tubuhku, tak ada rasa sakit. Tubuh ini seperti mati rasa. Bagaimana ini, aku tak bisa mati cepat”.



Ia bergegas duduk. Kali ini nada bicaranya melunak. Ia diam agak lama. Mau tau apa yang dia lakukan? Kali ini ia memaksa raut mukanya untuk memelas. Seperti kucing kecil yang sedang memohon makanan dari tuannya.



“heh penulis.. kau telah menciptakan sebuah tokoh lelaki berkaki pendek. Memainkan emosiku. Membuat aku berulang kali merasakan tamparan kebingunan. Kejam sekali kau..” dia berupaya protes kepadaku.



Yah, aku meemang sedang menuliskan cerpen dengan dia sebagai tokohnya.



“sudah diam.. cepat selesaikan cerita ini agar aku segera musnah..”, protesnya lagi.



“iya aku sedang memprotesmu sedari tadi. Berhentilah mendeskripsikan apapun tiap kali aku berbicara. Langsung saja berdialog denganku..”, kali ini dia mengkritikku.

“hahahaha… hey, hanya penulislah yang berhak menuliskan kisahmu. Kau tak boleh protes. Entah nanti kau mati dengan merasakan kepedihan terlebih dahulu. Atau mati menyenangkan selagi penismu dikulum ribuan perawan. Penulis sepertiku punya kebebasan tanpa batas”, suara penulis menggema dan menggetarkan ruang absurd tempat tokoh itu berada. Hingga membuatnya terpental jauh ke belakang. ia seperti air dalam kaleng yang kemudian dikocok.



“kau bohong.. di sini aku tak merasakan apapun. Sedari tadi kau juga bohong mengenai kaki pendekku. Aku tak punya tubuh disini. Sekarang aku sedikit memahami, jika yang hanya hidup dariku ialah sebuah pikiran. Kau bahan lupa jika di awal cerita kau seperti menjatuhkanku dari atas dengan suara yang terdengar berat, sedangkan di tengah cerita kau mengatakan tak ada suara selain suara yang keluar dari mulutku. Kau mencoba membohongi pembaca ya? Tidak hanya membuat cerita seenaknya. Lebih dari itu kau berupaya memanipuasi keadaan. Pasti kau ingin dianggap hebat oleh pembaca kan?”

Tiba-tiba meja makan hadir di depannya. Lelaki itu terperangah sejenak, lalu gurat wajahnya menunjukkan kegembiraan yang berlebihan.



“wahai pembaca, penulis berupaya membohongimu lagi. Dia tak sekalipun menaggapi ucapanku. Wahai pembaca, tolonglah selamatkan aku. Bila dia menyuruhmu mengedit atau membaca tulisan ini, lekas bakarlah kertas berisi cerpen tentangku ini. Agar aku musnah dan aku tak pernah ada. Kumohon lakukan itu. Aku tak berdaya di sini”.[]

Minggu, 09 Januari 2011

Penyesalan

Nak, jagalah ibu dari angin malam..
Lawanlah arah angin dengan apimu..


Angin malam mencoba mengikat sekujur tubuh mencekik ibu maka bunuhlah angin sebelum malam agar ibu angin tidak bertutur sapa dengan ibu malam berangin jagalah malam untuk ibu lawanlah arah angin dengan apimu menari gelisah ketakutan melawan angin malam itu api kecilmu.

Nak, ibu terbunuh anginKu. malam kemarin pagi..

Rektorat Akan Merespon Lewat Pengiriman Hasil Investigasi ke Seluruh UKM UNEJ

Rabu (5/1) perwakilan Forum Komunikasi Mahasiswa Unej (FOR KAMU) berupaya berdialek dengan rektorat. Pada dasarnya mereka ingin bertemu dengan Rektor, akan tetapi humas dan satpam Rektorat mencoba mengalihkan agar Forkamu menemui Pembantu Rektor I. Tentunya dengan dalih bahwa ini adalah perintah Rektor.

Setelah penantian selama 30 menit, akhirnya perwakilan rektorat menerima kedatangan Forkamu tepat pukul sepuluh pagi. Dialek tersebut dihadiri oleh PR I, Humas, Kemahasiswaan, dan sebelas orang mahasiswa. Tujuan dari pertemuan tersebut ialah menindaklanjuti pertemuan sebelumnnya. Salah satu diantaranya mengenai permintaan untuk mengadakan forum terbuka. Forum tersebut nantinya sebagai jembatan untuk mempertemukan antara mahasiswa Universitas Jember (Unej) dengan pihak rektorat. Dalam artian Forkamu berupaya memberikan wadah untuk menampung demokratisasi di lingkungan kampus.

Diawal pertemuan PR I meminta masing-masing perwakilan mahasiswa dari beberapa fakultas untuk memperjelas siapa mereka. Semua mahasiswa tersebut mengaku jika mereka hadir atas nama personal bukan organisasi intranya.

Sedikit terjadi miss komunikasi antara PR I dengan Forkamu terkait maksud kehadiran mereka. Hal tersebut ditengarai karena belum adanya koordinasi sebelumnya antara Rektor, humas, dan PR I yang sekarang menerima kedatangan Forkamu. Hingga menyebabkan pada akhirnya beberapa perwakilan Rektorat yang ikut pertemuan dengan Forkamu sebelumnya dipanggil ke ruangan pertemuan itu. Kemudian disana terjadi pengulangan informasi dan renik-renik isu yang membuat Forkamu meminta mengadakan forum terbuka.

Beberapa saat kemudian PR I menganggap permasalahan tersebut adalah kasus yang tidak dialami semua fakultas. Sehingga pihak rektorat akan terlebih dahulu mengkonfirmasi ke tiap fakultas. “saya akan menanyakan ke tiap fakultas, apa benar diterapkan”, jelasnya. Dia juga menjelaskan akan melakukan metode semacam penyebaran intel di tiap fakultas.

Selain itu, dia juga merespon beberapa permasalahan yang dibawa Forkamu tersebut. “nanti saya akan mengirim ke seluruh UKM terkait keluhan-keluhan anda”, dia berupaya memberikan kepastian. Sekitar pukul 11.00, kepala humas selaku moderator menutup pertemuan tersebut.