Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Minggu, 31 Agustus 2014

ISIS dan Layunya Ilmu Pengetahuan

Banyak orang tak paham asal muasal Negara Islam Irak dan Suria (ISIS). Begitu juga saya. Saya tak terlalu yakin penyebabnya. Mungkin karena tak banyak orang berani begitu saja mempercayai sejarah. Bisa jadi, hasil pelacakan yang dikemas dalam bentuk sejarah, sengaja tak dibuat untuk membuat orang lain paham. Ada bagian yang sebenarnya paling ringkih dalam sejarah, yaitu sebuah upaya untuk menginventarisasi kubu. Semacam penjelasan yang ditujukan untuk meraih simpati. Namun disertai esensi magnetik yang di awali dengan kemarahan.

Saya tak memiliki pengetahuan yang kuat memang tentang ISIS. Akan tetapi, bolehlah jika saya mencoba untuk sekadar memanifestasikan keresahan. Meskipun tak ada manifestasi yang bisa disampaikan secara penuh. Apa yang pada akhirnya sampai kepada pembaca pun akan melalui proses tumbuh. Pemaknaan akan berkembang biak, terus bercabang. Bagi saya, hal tersebut yang pada akhirnya membuat kita sadar bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang. Jika berhenti, bisa dikatakan telah mati, layak untuk diabaikan sebagai ilmu pengetahuan.

Ada yang tiba-tiba merimba di pemikiran orang Indonesia. Dalam waktu yang singkat, kita bisa sama-sama memahami jika infomasi tentang perkumpulan garis keras itu, pada awalnya sebuah berita. Semakin kuat media memberitakan isu ISIS, bukan hal yang aneh jika di bawah, keresahan masyarakat semakin berlipat ganda derasnya.

Sebagai warga Indonesia, kita memang hidup dengan cara yang setengah-setengah. Tak sepenuhnya menganut paham tertentu secara fundamental. Seolah berpura-pura bahagia berada dalam fase ‘di antara’. Ada banyak bagian dari paham macam manapun yang hadir dengan terlebih dahulu melalui proses penyaringan. Inti sari dari sebuah paham itulah yang pada akhirnya direstui untuk dijadikan acuan hidup. Selalu saja hanya bagian terkecil. Akan tetapi, sebelumnya telah ditelaah, direvisi, dan disesuaikan dengan keadaan sosial budaya negeri ini. Maksud setengah-setengah tadi, menurut saya ialah kita tak sepenuhnya ortodoks atau mewarisi dan mengimpor wacana secara mentah. Bahkan kita pun tak sepenuhnya sepakat menjadi beragam.

Sebagai salah satu bagian dari generasi pemuda negeri ini, saya masih menganggap bahwa Indonesia adalah salah satu tulang punggung bagi kelahiran organisasi kuat. Untuk mengetahui mengapa begitu, mudah saja. Bisa dilihat dari kita yang setengah-setengah tadi. Di sana, organisasi macam manapun yang berkeinginan besar untuk bertindak menginternasional butuh jaringan di Indonesia. Bagian terpenting dari Indonesia ialah menyimpan potensi menjadi kuat. Oleh karenanya, ISIS tak sedang menyasar di negeri ini. Akan tetapi mereka jeli membaca perkembangan pemikiran suatu negara.

ISIS membutuhkan dukungan dari beberapa titik. Biasanya minimal hanya perlu mengguncang satu kota. Misalnya saja di Indonesia, untuk melakukan perubahan massal, cukup adakan desakan secara sporadis di Jakarta. Kebanyakan memang mengecoh daerah lain dari pusat negara akan lebih ringan untuk dilakukan. Jika dalam tiap negara terdapat satu titik, gerakan besar bisa segera dimulai.

Di Indonesia, entah mengapa saya merasa yakin jika lambat laun kita akan mendapati ada yang menyambut dengan riang dasar pemikiran ISIS. Tak mungkin secara individual, karena untuk mengawali bisa mendatangkan personal yang membawa bingkisan ideologi garis keras itu. Dengan begitu, injeksi pemikiran tidak akan berlangsung beserta rasa sakitnya. Perlahan dan halus sekali.

Oleh karenanya, di awal, mereka akan ada dalam bentuk kelompok. Setelahnya, mereka akan memerangi kelompok manapun. Tentu saja yang berseberangan atau berlainan ide dengan kelompoknya sendiri. Hal itu dilakukan pertama untuk menegaskan keberadaan mereka yang disusul dengan menjemput rekan dari kelompok lain. Mungkin bisa diistilahkan dengan memancing di kolam tetangga.

Jangankan memeranginya, berharap kesadaran kritis senantiasa terjaga untuk mewaspadai penyebarannya saja sulit. Mereka bisa menyelinap masuk dalam negeri ini dengan nama lain. Meskipun ada satu hal yang sebenarnya mereka butuhkan, yaitu deklarasi. Tanpa hal itu, akan sulit sekali bertahan hidup. Barangkali sebabnya ialah pasokan dana yang hanya bisa ditagih dengan bukti bertambahnya pengikut. Tak murah memang menjadi kubu dengan pola penyebaran yang sengaja dibuat instan dan keras.

Jika ditinjau lebih dalam, tak ada gagasan dari sebuah gerakan yang melata datang dari omong kosong belaka. Pada umumnya, pasti melalui serangkaian proses berpikir yang panjang. Ada keseriusan di sana. Begitu pula ISIS yang menurut saya digerakkan oleh kekecewaan yang giga. Setiap kekecewaan akan membutuhkan imajinasi liar untuk mencapai solusi.

ISIS memang telah merumuskan solusi untuk mengobati kekecewaannya. Mereka memiliki jalan sendiri. Tak banyak orang tahu apa bagian terpenting yang memunculkan kekecewaan beratnya. Kebanyakan kita hanya mampu menerka-nerka melalui dampak keberadaan ISIS. Dari sana, akan tampak mengapa mereka tidak puas dengan perwujudan dinamika sejarah. Persoalannya terletak pada bagaimana manusia memandang realitas dan memaksakan pandangan keagamaan sebagai solusi.

Teks agama selalu saja pecah berkeping-keping ketika sampai ke masing-masing pembacanya. Tumbuh sedemikian lebat. Bercabang-cabang. ISIS adalah salah satu cabangnya. Sayangnya, setelah cabang itu diadopsi oleh ISIS akan segera menjadi layu dan kering. Salah satu sudut pandang untuk memahami teks agama tersebut akan berhenti tumbuh. Sederhananya, menjadi sesuatu yang bersifat tetap. Maka dari itu, solusi yang ditawarkan oleh ISIS bagi para penganutnya akan berlaku mutlak.

Bukan hanya sebagai landasan. Lebih dari itu, saya rasa ISIS menjaga agama agar tetap tajam karena mereka memfungsikannya sebagai parang. Bukan hanya untuk menakut-nakuti melainkan untuk membunuh. Bisa saja bagi para penganutnya, rasa kemanusiaan harus diacuhkan demi bayang-bayang ketuhanan ala ISIS. Pembantaian dan penghancuran dianggap sebagai tahapan untuk mencapai solusi. Seolah ISIS berambisi mencapai suatu kedamaian yang dibangun dari jutaan kemuraman.

Tak heran jika hingga detik ini, ISIS akan terus memperluas medan perangnya. Siapapun bisa menjadi musuh atau kawan. Percayalah, hari akhir belum dimulai. Masing-masing cabang pengetahuan belum mencapai titik akhirnya. Sebisa mungkin buatlah terus berkembang.[]

*) Esai ini pernah dimuat dalam Rubrik Social Midjournal http://midjournal.com/2014/08/isis-dan-layunya-ilmu-pengetahuan/