Kamis, 25 Juli 2013

Kemerdekaan Semu

Apakah hanya negara yang bebas menentukan mana yang benar dan mana yang salah? Mengapa negara menganakemaskan golongan mayoritas dan mereka yang bermodal besar? Disembunyikan di manakah suara mereka yang tergolong minoritas? Sampai kapan kita akan bertahan untuk pura-pura merdeka?


Negara dalam artian pemerintahan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, mempunyai legalitas penuh terhadap pengaturan norma warga negara. Cita-cita kemerdekaan  telah tertuang dalam preambule Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Telah termaktub dan secara jelas menyatakan bahwa, negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Ikut serta dalam ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Preambule ini adalah kontrak politik antara warga negara dengan pemerintahan dalam membentuk dan mendirikan negara Indonesia. Semenjak dilahirkan, kita telah menjalin kontrak untuk ikut serta dalam permainan pura-pura merdeka.

Legalitas kebijakan terbentuk dalam nadi politik berwujud kontrak politik antar beberapa kepentingan yang membangun pemerintahan. Sehingga, berbagai macam legalitas itu rawan penyalahgunaan karena bisa menjadi kedok untuk memenuhi kepentingan politik golongan tertentu. 

Kepentingan-kepentingan yang berkedok legalitas kebijakan dapat menimbulkan efek negatif pada pemenuhan hak hidup atas warga negara. Indikasinya didasarkan pada bagaimana bisa seorang warga negara tidak mendapatkan haknya dalam berbagai kehidupan sosial bermasyarakat. Seperti hak warga dalam berkeyakinan, kesejahteraan ekonomi, berserikat, berpendapat, berbudaya, sampai pada haknya dalam mendapatkan pendidikan.

Mereka yang mengaku warga negara pun secara tidak langsung terdiskriminasi kepentingan-kepentingan politik golongan tertentu. Padahal secara hak asasi, setiap individu berhak mendapatkan kesejahteraan (sesuai yang termaktub dalam preambule UUD 1945). 

Contohnya dalam ruang-ruang beragama, masih saja terjadi diskriminasi, seperti kasus Syiah Sampang. Mereka sebagai kelompok minoritas yang diklaim sebagai penyebar agama sesat dan penodaaan terhadap agama. Aksi klaim dilakukan oleh lembaga yang bernaung di bawah pemerintahan atau negara. Tentu saja dengan senjata legitimasi, isntitusi negara bisa semena-mena menjadi tuhan. Dalam artian menjadi kelompok yang menentukan mana yang benar, mana yang salah, terlebih mana yang sesat. Kemudian klaim akan berujung pada bagaimana nantinya publik memandang Syiah Sampang. Secara tidak langsung klaim berubah menjadi konsensus yang mengarahkan perilaku kelompok mayoritas.

Dalam sektor ekonomi dan pertanian, terjadi sengketa lahan dengan korban warga-warga yang puluhan tahun sudah menetap di daerah sengketa. Sengketa lahan antara rakyat dengan negara ataupun investor menjadi polemik yang panjang dan tak kunjung selesai. Seringkali terjadi ketimpangan keberpihakan negara yang ditujukan kepada mereka yang bermodal besar. Di sisi lain ada pula permainan para tengkulak yang mendominasi hasil pertanian. Para petani yang sengaja dijauhkan dari dunia pendidikan kerap terjerumus ke dalam arus permainan tengkulak.

Begitu pula dalam ranah pendidikan, masih banyak anak yang tidak mendapatkan haknya untuk bersekolah. Berapa jumlah modal yang dimiliki seringkali menjadi ujung permasalahan. Terlebih dari sana merupakan ujung bagi penyeleksian siapa yang berhak dan siapa yang kalah secara materi. Kurikulum pendidikan pun semakin mengarahkan para siswa untuk menjadi sekrup para pemodal. Mereka seolah disiapkan untuk menjadi robot-robot yang akan dipekerjakan dengan upah murah.

Sedangkan dalam laju hidup budaya, juga masih terjadi perselisihan antara moral dan estetika. Sudah bukan hal yang aneh lagi jika banyak pihak sudah sering menginginkan agar para penari tradisional memakai baju yang tertutup. Lebih dari itu seringkali para pewaris kebudayaan harus mendapat teror sebagai pelestari kebudayaan sesat.

Dengan kata lain legalitas negara berdasarkan pada politik yang berkuasa di pemerintahan. Berbagai kepentingan yang berkedok legalitas ini harus bisa dilawan dengan perjuangan terhadap hak-hak masyarakat. Hak-hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi dan diperjuangkan oleh seluruh negara di dunia internasional. Dimana hak-hak ini adalah klaim moral individu setiap manusia.

Dalam relasi  HAM, individu, dan negara. Setiap individu, baik secara personal maupun kelompok sebagai pemegang hak (right holder). Sedangkan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan sejenisnya) sebagai pemegang kewajiban untuk memenuhi hak (duty bearer). Di luar keduanya ada yang berperan sebagai pengawas untuk mengawal proses eksekusi.
 
Berdasarkan hal tersebut, bentuk diskriminasi atas dasar legalitas negara seharusnya menjadi fokus kajian. Idealnya mampu mengembalikan tujuan kemerdekaan ke arah yang lebih demokratis. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Nantinya bukan hanya menjadi jargon semata. Praktisi politik pun harus bekerja secara etis dalam menentukan segala bentuk kebijakan. Tendensinya pada basis rakyat secara keseluruhan, bukan pada kelompok mayoritas semata.

Goenawan Mohamad dan beberapa kawannya dalam buku Surat dari dan untu Pemimpin berpikir, apakah kita sudah merdeka? Jika benar, maka sampai kapankah kemerdekaan akan berakhir? Di sisi lain para Sejarawan pun pernah berujar, siapa yang merdeka? Barangkali ada yang bisa dikatakan telah merdeka, yaitu hanya Jakarta. Sedangkan Indonesia hanyalah Jakarta. Selebihnya semu.

Selama ini yang kita lakukan untuk menasionalismekan diri ialah dengan cara pura-pura akrab. Kita tak pernah tau siapa itu orang Papua, Kalimantan, Aceh. Namun dengan hati besar seringkali kita mengatakan bahwa mereka adalah saudara. 

Jika memang upaya untuk mewujudkan hak asasi terus dikebiri, lantas apa gunanya kita bernegara? Apa gunanya menjadi warga negara jika selalu digolonggkan sebagai kelompok yang liyan. Lantas sudah merdekakah kita? Sudah Indonesiakah kita?[]


*) Oleh Dian Teguh Wahyu Hidayat dan Dieqy H Widhana. Tulisan ini merupakan Term of Reference Workshop Penulisan Esai Pers Mahasiswa 19-21 Juli 2013 di Jember.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini