Apakah
hanya negara yang bebas menentukan mana yang benar dan mana yang salah? Mengapa negara
menganakemaskan golongan mayoritas dan mereka yang bermodal besar? Disembunyikan
di manakah suara mereka yang tergolong minoritas? Sampai
kapan kita akan bertahan untuk pura-pura merdeka?
Negara
dalam artian pemerintahan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara,
mempunyai legalitas penuh terhadap pengaturan norma warga negara. Cita-cita
kemerdekaan telah tertuang dalam
preambule Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945. Telah termaktub dan secara
jelas menyatakan bahwa, negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Memajukan kesejahteraan
umum. Mencerdaskan kehidupan
bangsa. Ikut serta dalam
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Preambule
ini adalah kontrak politik antara warga negara dengan pemerintahan dalam
membentuk dan mendirikan negara Indonesia. Semenjak dilahirkan, kita telah menjalin kontrak untuk ikut serta dalam
permainan pura-pura merdeka.
Legalitas
kebijakan terbentuk dalam nadi politik berwujud kontrak politik antar beberapa kepentingan yang membangun
pemerintahan. Sehingga, berbagai macam legalitas itu rawan penyalahgunaan
karena bisa menjadi kedok untuk memenuhi kepentingan politik golongan tertentu.
Kepentingan-kepentingan
yang berkedok legalitas kebijakan dapat menimbulkan efek negatif pada pemenuhan
hak hidup atas warga negara. Indikasinya didasarkan pada bagaimana bisa seorang warga negara
tidak mendapatkan haknya dalam berbagai kehidupan sosial bermasyarakat. Seperti
hak warga dalam berkeyakinan, kesejahteraan ekonomi, berserikat, berpendapat, berbudaya,
sampai pada haknya dalam mendapatkan pendidikan.
Mereka yang mengaku warga
negara pun secara tidak langsung terdiskriminasi kepentingan-kepentingan
politik golongan tertentu. Padahal secara hak asasi, setiap individu berhak mendapatkan
kesejahteraan (sesuai yang termaktub dalam preambule UUD 1945).
Contohnya
dalam ruang-ruang beragama, masih saja terjadi diskriminasi, seperti kasus
Syiah Sampang. Mereka sebagai
kelompok minoritas yang diklaim sebagai penyebar agama sesat dan penodaaan
terhadap agama. Aksi klaim dilakukan oleh lembaga yang bernaung di bawah pemerintahan
atau negara. Tentu saja dengan senjata legitimasi, isntitusi negara bisa
semena-mena menjadi tuhan. Dalam artian menjadi kelompok yang menentukan mana
yang benar, mana yang salah, terlebih mana yang sesat. Kemudian klaim akan
berujung pada bagaimana nantinya publik memandang Syiah Sampang. Secara tidak
langsung klaim berubah menjadi konsensus yang mengarahkan perilaku kelompok
mayoritas.
Dalam
sektor
ekonomi dan pertanian, terjadi sengketa lahan dengan korban warga-warga yang puluhan tahun
sudah menetap di daerah sengketa. Sengketa
lahan antara rakyat dengan negara ataupun investor menjadi polemik yang panjang
dan tak kunjung selesai. Seringkali terjadi ketimpangan keberpihakan negara
yang ditujukan kepada mereka yang bermodal besar. Di sisi lain ada pula
permainan para tengkulak yang mendominasi hasil pertanian. Para petani yang
sengaja dijauhkan dari dunia pendidikan kerap terjerumus ke dalam arus
permainan tengkulak.
Begitu pula dalam ranah
pendidikan, masih banyak anak yang tidak mendapatkan haknya untuk bersekolah. Berapa jumlah modal yang dimiliki seringkali
menjadi ujung permasalahan. Terlebih dari sana merupakan ujung bagi
penyeleksian siapa yang berhak dan siapa yang kalah secara materi. Kurikulum
pendidikan pun semakin mengarahkan para siswa untuk menjadi sekrup para
pemodal. Mereka seolah disiapkan untuk menjadi robot-robot yang akan
dipekerjakan dengan upah murah.
Sedangkan dalam laju hidup budaya, juga masih terjadi perselisihan antara moral dan estetika. Sudah bukan hal yang aneh lagi jika banyak
pihak sudah sering menginginkan agar para penari tradisional memakai baju yang
tertutup. Lebih dari itu seringkali para pewaris kebudayaan harus mendapat teror
sebagai pelestari kebudayaan sesat.
Dengan
kata lain legalitas negara berdasarkan pada politik yang berkuasa di
pemerintahan. Berbagai kepentingan yang berkedok legalitas ini harus bisa
dilawan dengan perjuangan terhadap hak-hak masyarakat. Hak-hak asasi manusia
(HAM) yang dilindungi dan diperjuangkan oleh seluruh negara di dunia
internasional. Dimana hak-hak ini adalah klaim moral individu setiap manusia.
Dalam
relasi HAM, individu, dan negara. Setiap
individu, baik secara personal maupun kelompok sebagai
pemegang hak
(right holder). Sedangkan negara (eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan sejenisnya) sebagai pemegang kewajiban untuk memenuhi hak (duty bearer). Di luar keduanya ada yang berperan sebagai pengawas untuk mengawal
proses eksekusi.
Berdasarkan
hal tersebut, bentuk diskriminasi atas dasar legalitas negara seharusnya
menjadi fokus kajian. Idealnya mampu mengembalikan tujuan kemerdekaan ke arah yang lebih demokratis.
Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Nantinya
bukan hanya menjadi jargon semata. Praktisi politik pun harus bekerja secara
etis dalam menentukan segala bentuk
kebijakan. Tendensinya pada basis rakyat secara keseluruhan, bukan pada kelompok mayoritas semata.
Goenawan Mohamad dan beberapa kawannya dalam
buku Surat dari dan untu Pemimpin berpikir,
apakah kita sudah merdeka? Jika benar, maka sampai kapankah kemerdekaan akan
berakhir? Di sisi lain para Sejarawan pun pernah berujar, siapa yang merdeka?
Barangkali ada yang bisa dikatakan telah merdeka, yaitu hanya Jakarta.
Sedangkan Indonesia hanyalah Jakarta. Selebihnya semu.
Selama ini yang kita lakukan untuk
menasionalismekan diri ialah dengan cara pura-pura akrab. Kita tak pernah tau
siapa itu orang Papua, Kalimantan, Aceh. Namun dengan hati besar seringkali
kita mengatakan bahwa mereka adalah saudara.
Jika memang upaya untuk mewujudkan hak asasi
terus dikebiri, lantas apa gunanya kita bernegara? Apa gunanya menjadi warga
negara jika selalu digolonggkan sebagai kelompok yang liyan. Lantas sudah
merdekakah kita? Sudah Indonesiakah kita?[]
*) Oleh Dian Teguh Wahyu Hidayat dan Dieqy H Widhana. Tulisan ini merupakan Term of Reference Workshop Penulisan Esai Pers Mahasiswa 19-21 Juli 2013 di Jember.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan share di sini