Tenggang menuju pemilihan umum (pemilu) semakin rapat. Kemeriahan
kosong itu muncul sebagaimana mayat-mayat di pemakaman tua yang
dibangkitkan kembali. Karakternya tetap sama seperti yang silam. Namun
kemasannya keriput dan compang-camping. Pemilu tinggallah ampas saja.
Tak lebih dari sekedar mayat politik. Roh yang dianggap sebagai gagasan
telah menguap entah ke mana.
Banyak hal yang tiba-tiba muncul begitu saja. Masyarakat dipaksa
bernostalgia pada kebisingan pemilu yang sia-sia. Mulai dari spanduk di
jalur protokol dan yang dipaku di pohon. Sampai mobil bermotif partai
politik tertentu yang tak pernah terjebak kemacetan karena dikawal
polisi. Itu semua alat kampanye modern yang bagi Sumbo Tinarbuko
dianggap sebagai sampah visual. Bertujuan mengedepankan aspek
popularitas. Memajang foto diri. Semakin besar ukuran wajah sama halnya
dengan semakin bergemanya teriakan.
Bukan hal yang aneh jika para elit politik berubah wujud menjelma
sales. Menjajakan yang sekedar kata-kata ke masyarakat. Tercerabutnya
nilai sosial tak masalah yang penting laku jual. Hadir bukan untuk
mendengar melainkan sekedar mengenalkan diri. Menghamburkan kalimat yang
berapi-api disertai bualan janji-janji di atas panggung.
Tak ada yang sepenuhnya baru. Para tokoh yang membantai mahasiswa di
era 1998 tetap ada. Pembunuh sipil di Papua tetap ada. Para pelaku
penghilangan pejuang hak asasi manusia tetap ada. Tokoh yang dibesarkan
dan ditimang politik redaksi berbagai media tetap ada. Penyebab
berhamburnya lumpur Lapindo Sidoarjo tetap ada. Para tokoh penebang
keberagaman tetap ada. Penjual aset-aset negara juga tetap ada. Para
tokoh pencipta petaka yang lain pun tetap ada. Tokoh-tokoh tersebut
masih bermain di arena suprastruktur politik. Di sadari atau tidak,
semua masalah yang dibuat para tokoh tersebut masih belum terselesaikan
sampai saat ini.
Rutinitas dangkal itu di kala mereka pergi ke daerah, lalu para
demagog itu menyelenggarakan ritual pagan. Masyarakat dihadirkan untuk
menjadi budak politik. Isi otak masyarakat terlebih dahulu dikuras
dengan goyangan erotis para penari dangdut. Setelah terlena dan
melayang, pemimpin pagan mengagresi wacana masyarakat untuk memilih dia.
Dari sana pola pikir masyarakat diskenariokan oleh partai politik
tertentu. Terlucuti. Masyarakat berubah menjadi berbagai benda yang
mengambang di sungai. Bergerak mengikuti arus. Berhasil ditundukkan oleh
kekuatan bahasa. Tak berdaya dihantam barisan kata-kata pseudo ilmiah.
Padahal rumusan ilmiah yang dilontarkan belum tentu melalui proses
kedewasaan berpikir. Tak sepenuhnya digodok dalam metode yang ketat.
Upaya untuk mempercayai janji atau retorika para demagog hanya
sia-sia belaka. Sama halnya dengan melakukan evaluasi terhadap seseorang
yang belum melakukan apa-apa. Kosong. Akan tetapi dipaksa memiliki
makna penting. Apologi irasional para demagog menembus alam bawah sadar
masyarakat. Friedrich Kittler pernah menghimbau agar masyarakat lebih
berhati-hati, “Semua wacana adalah informasi, tetapi tidak semua
informasi adalah wacana.”
Dari sekian masyarakat yang pola pikirnya di-kanal-kan. Masih ada
sebagian yang menolak pengulangan uforia pemilu yang dangkal itu. Bisa
jadi mereka sudah merasa sangat letih. Bagi mereka pemilu hanya ornamen
semu yang sengaja dibangun berulang. Monoton. Pada akhirnya mempercayai
partai politik sama saja dengan mengasingkan diri sendiri.
Kewenangan menjalankan negara memang disusun secara bertahap, lewat
instrumen lembaga penyokong demokrasi. Akan tetapi yang terjadi kekinian
ialan kondisi yang bagi Jacques Ranciere sebut sebagai post-demokrasi.
Gejalanya ialah ketika suprastruktur demokrasi tergelincir kembali dalam
kontrol kelompok elit. Perputaran kembali pola kerja imitasi semacam
ini mengembalikan ke masa pra-demokrasi. Ketika demokrasi yang rapuh itu
bermutasi, pemerintahan secara tidak langsung telah beralih fungsi
menjadi agen bisnis.
Para jurnalis juga seringkali lalai mengemban tugas suci menjadi
perwakilan kaum marjinal. Minim keberanian untuk menggali jejak dan ide
para tokoh dengan kritis. Sebagian besar justru asik sendiri menjadi
elemen pemanis buatan. Eufemisme berserakan di mana-mana. Para pendahulu
dianggap sebagai investasi bagi pengembangan citra. Semacam membentuk
intertekstualitas, tokoh ini dihubungkan dengan pejuang yang itu.
Jangan-jangan secara diam-diam beralih menjadi pemuja terselubung. Di
sisi yang lain, sebagian jurnalis memicu sentimen dan fanatisme.
Ketegangan muncul bukan karena benturan ide. Melainkan serangan politik
yang menghujam ke dalam anomali partai. Menambang sinisme. Bagi Giorgo
Agamben, mereka telah memasung diri sendiri untuk menjadi spesies bidak
dalam strategi politik.
Demokrasi tak sedangkal itu. Ada baiknya kita merefleksikan ulang
beberapa baris kalimat dalam puisi Walt Whitman, seorang penyair yang
mendedikasikan hidupnya untuk cemas pada perkembangan politik,
“Demokrasi, bila dipahami dengan baik, bukan hanya sistem pemerintahan,
tetapi komitmen untuk kesetaraan manusia universal.” Ada ketakutan yang
akan berlipat ganda dalam diri Whitman, jika perbudakan semakin meluas.
Dominasi elit politik yang mengontrol negara harus segera digantikan
dengan kehendak rakyat.
Lantas bagaimana seharusnya respon para mahasiswa terkait fenomena
sosial menjelang pemilu? Bisa jadi takkan mungkin memilih untuk menjadi
golongan paternalis. Dalam artian mengadopsi tokoh mana yang dipilih
oleh orang tua, pemimpin pesantren, dosen, rektor, dan sebagainya.
Budaya membuntut.
Kaum intelektual memiliki keteguhan, sensitivitas, dan gagasan yang
mandiri. Mereka ialah ahli waris dari kesadaran kritis. Senyawa yang
paham bahwa setiap kebenaran itu takkan berdurasi panjang. Keberanian
untuk berjarak dan menelaah lebih dalam, membuat kesadaran mereka tak
mudah dimanipulasi. Pemilu bukan fasilitas transisi agar siapapun yang
terpilih bebas melakukan malpraktek terhadap negara.
Besar kemungkinan para mahasiswa tetap memilih untuk menjadi golongan
yang tidak memilih. Jika dirujuk lebih dalam, maka akan ditemui
esensinya bahwa sebenarnya mereka tidak menjadi golongan putih (golput).
Hanya saja mereka tidak ingin menyia-nyiakan hak pilihnya untuk
disumbangkan pada kedangkalan pemilu.[]
*) Esai ini pernah dimuat di rubrik Kolom http://persmaideas.com/2014/04/07/golput/
Senin, 14 April 2014
Golput
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan share di sini