Banyak orang tak paham asal muasal
Negara Islam Irak dan Suria (ISIS). Begitu juga saya. Saya tak terlalu
yakin penyebabnya. Mungkin karena tak banyak orang berani begitu saja
mempercayai sejarah. Bisa jadi, hasil pelacakan yang dikemas dalam
bentuk sejarah, sengaja tak dibuat untuk membuat orang lain paham. Ada
bagian yang sebenarnya paling ringkih dalam sejarah, yaitu sebuah upaya
untuk menginventarisasi kubu. Semacam penjelasan yang ditujukan untuk
meraih simpati. Namun disertai esensi magnetik yang di awali dengan
kemarahan.
Saya tak memiliki pengetahuan yang kuat
memang tentang ISIS. Akan tetapi, bolehlah jika saya mencoba untuk
sekadar memanifestasikan keresahan. Meskipun tak ada manifestasi yang
bisa disampaikan secara penuh. Apa yang pada akhirnya sampai kepada
pembaca pun akan melalui proses tumbuh. Pemaknaan akan berkembang biak,
terus bercabang. Bagi saya, hal tersebut yang pada akhirnya membuat kita
sadar bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang. Jika berhenti, bisa
dikatakan telah mati, layak untuk diabaikan sebagai ilmu pengetahuan.
Ada yang tiba-tiba merimba di pemikiran
orang Indonesia. Dalam waktu yang singkat, kita bisa sama-sama memahami
jika infomasi tentang perkumpulan garis keras itu, pada awalnya sebuah
berita. Semakin kuat media memberitakan isu ISIS, bukan hal yang aneh
jika di bawah, keresahan masyarakat semakin berlipat ganda derasnya.
Sebagai warga Indonesia, kita memang
hidup dengan cara yang setengah-setengah. Tak sepenuhnya menganut paham
tertentu secara fundamental. Seolah berpura-pura bahagia berada dalam
fase ‘di antara’. Ada banyak bagian dari paham macam manapun yang hadir
dengan terlebih dahulu melalui proses penyaringan. Inti sari dari sebuah
paham itulah yang pada akhirnya direstui untuk dijadikan acuan hidup.
Selalu saja hanya bagian terkecil. Akan tetapi, sebelumnya telah
ditelaah, direvisi, dan disesuaikan dengan keadaan sosial budaya negeri
ini. Maksud setengah-setengah tadi, menurut saya ialah kita tak
sepenuhnya ortodoks atau mewarisi dan mengimpor wacana secara mentah.
Bahkan kita pun tak sepenuhnya sepakat menjadi beragam.
Sebagai salah satu bagian dari generasi
pemuda negeri ini, saya masih menganggap bahwa Indonesia adalah salah
satu tulang punggung bagi kelahiran organisasi kuat. Untuk mengetahui
mengapa begitu, mudah saja. Bisa dilihat dari kita yang
setengah-setengah tadi. Di sana, organisasi macam manapun yang
berkeinginan besar untuk bertindak menginternasional butuh jaringan di
Indonesia. Bagian terpenting dari Indonesia ialah menyimpan potensi
menjadi kuat. Oleh karenanya, ISIS tak sedang menyasar di negeri ini.
Akan tetapi mereka jeli membaca perkembangan pemikiran suatu negara.
ISIS membutuhkan dukungan dari beberapa
titik. Biasanya minimal hanya perlu mengguncang satu kota. Misalnya saja
di Indonesia, untuk melakukan perubahan massal, cukup adakan desakan
secara sporadis di Jakarta. Kebanyakan memang mengecoh daerah lain dari
pusat negara akan lebih ringan untuk dilakukan. Jika dalam tiap negara
terdapat satu titik, gerakan besar bisa segera dimulai.
Di Indonesia, entah mengapa saya merasa
yakin jika lambat laun kita akan mendapati ada yang menyambut dengan
riang dasar pemikiran ISIS. Tak mungkin secara individual, karena untuk
mengawali bisa mendatangkan personal yang membawa bingkisan ideologi
garis keras itu. Dengan begitu, injeksi pemikiran tidak akan berlangsung
beserta rasa sakitnya. Perlahan dan halus sekali.
Oleh karenanya, di awal, mereka akan ada
dalam bentuk kelompok. Setelahnya, mereka akan memerangi kelompok
manapun. Tentu saja yang berseberangan atau berlainan ide dengan
kelompoknya sendiri. Hal itu dilakukan pertama untuk menegaskan
keberadaan mereka yang disusul dengan menjemput rekan dari kelompok
lain. Mungkin bisa diistilahkan dengan memancing di kolam tetangga.
Jangankan memeranginya, berharap
kesadaran kritis senantiasa terjaga untuk mewaspadai penyebarannya saja
sulit. Mereka bisa menyelinap masuk dalam negeri ini dengan nama lain.
Meskipun ada satu hal yang sebenarnya mereka butuhkan, yaitu deklarasi.
Tanpa hal itu, akan sulit sekali bertahan hidup. Barangkali sebabnya
ialah pasokan dana yang hanya bisa ditagih dengan bukti bertambahnya
pengikut. Tak murah memang menjadi kubu dengan pola penyebaran yang
sengaja dibuat instan dan keras.
Jika ditinjau lebih dalam, tak ada
gagasan dari sebuah gerakan yang melata datang dari omong kosong belaka.
Pada umumnya, pasti melalui serangkaian proses berpikir yang panjang.
Ada keseriusan di sana. Begitu pula ISIS yang menurut saya digerakkan
oleh kekecewaan yang giga. Setiap kekecewaan akan membutuhkan imajinasi
liar untuk mencapai solusi.
ISIS memang telah merumuskan solusi
untuk mengobati kekecewaannya. Mereka memiliki jalan sendiri. Tak banyak
orang tahu apa bagian terpenting yang memunculkan kekecewaan beratnya.
Kebanyakan kita hanya mampu menerka-nerka melalui dampak keberadaan
ISIS. Dari sana, akan tampak mengapa mereka tidak puas dengan perwujudan
dinamika sejarah. Persoalannya terletak pada bagaimana manusia
memandang realitas dan memaksakan pandangan keagamaan sebagai solusi.
Teks agama selalu saja pecah
berkeping-keping ketika sampai ke masing-masing pembacanya. Tumbuh
sedemikian lebat. Bercabang-cabang. ISIS adalah salah satu cabangnya.
Sayangnya, setelah cabang itu diadopsi oleh ISIS akan segera menjadi
layu dan kering. Salah satu sudut pandang untuk memahami teks agama
tersebut akan berhenti tumbuh. Sederhananya, menjadi sesuatu yang
bersifat tetap. Maka dari itu, solusi yang ditawarkan oleh ISIS bagi
para penganutnya akan berlaku mutlak.
Bukan hanya sebagai landasan. Lebih dari
itu, saya rasa ISIS menjaga agama agar tetap tajam karena mereka
memfungsikannya sebagai parang. Bukan hanya untuk menakut-nakuti
melainkan untuk membunuh. Bisa saja bagi para penganutnya, rasa
kemanusiaan harus diacuhkan demi bayang-bayang ketuhanan ala ISIS.
Pembantaian dan penghancuran dianggap sebagai tahapan untuk mencapai
solusi. Seolah ISIS berambisi mencapai suatu kedamaian yang dibangun
dari jutaan kemuraman.
Tak heran jika hingga detik ini, ISIS
akan terus memperluas medan perangnya. Siapapun bisa menjadi musuh atau
kawan. Percayalah, hari akhir belum dimulai. Masing-masing cabang
pengetahuan belum mencapai titik akhirnya. Sebisa mungkin buatlah terus
berkembang.[]
*) Esai ini pernah dimuat dalam Rubrik Social Midjournal http://midjournal.com/2014/08/isis-dan-layunya-ilmu-pengetahuan/
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan share di sini