Sabtu, 15 Oktober 2011

Sebuah Cerita

Apa yang sedang dikerumuni oleh mereka yang terlalu bosan dengan himpitan aktivitas kaum urban? Siapapun dia pasti akan mencoba mencari hal lain yang bisa dikatakan aneh. Namun hal tersebut yang pada akhirnya melekat pada dirinya sebagai sebuah ciri khas. Begitu juga jika hal ini dalam sebuah ruang bernama musik. Tentu saja musik kaum urban ialah musik independent yang sedikit aneh ketika pertama kali didengar.

   Independet yang saya maksud bukan pada penekanan bagaimana proses pendanaan mereka berjalan. Akan tetapi independent yang tertanam dalam aliran musik mereka. Ya, aliran musik yang sangat berlawanan dengan band popular masa kini. Semisal “.....”, “.......”, “........”, dan sebagainya yang senantiasa digandrungi kaum muda. Sory, saya malas menyebutkan nama bandnya. Biasanya aliran musik indie dicerca sebagai aliran aneh, jadul, amoral (masalah lirik), sebagian lainnya setia pada garis perlawanan.

   Saya memang sama sekali tidak mempunyai latar belakang yang wah di bidang permusikan. Begh, apalagi jika harus mendefinisikan aliran apa yang di usung masing-masing band di indo. Tentulah saya akan menjawab tantangan itu sambil menggigil ketakutan sembari menggali kembali bakat ngibul. Lantas mengapa saya ingin menulis tentang musik indie? Atau jangan-jangan pembahasan indie ini hanya jebakan di awal tulisan dan tentu saja diakhiri dengan beberapa kalimat mengecam tuhan. Oh, tidak..!! kali ini saya hanya ingin bercerita (daripada nonton tv) mengenai musik aneh yang indah. Tapi mungkin saja saya sedang berbohong..haha yang penting saya hanya bisa meyakinkan anda jika cerita ini bukan tentang peri, angsa, putri cantik, dan semacamnya.

   Ketika masa SMA dulu, semacam ada hobi yang selalu datang tanpa bisa diramalkan kemudian menyerang keseharian kaum sebaya saya. Yaitu musim ngumpul dengan sesama pecinta aliran musik. Misalnya mereka kerap menyebut anak punk (kalo gak salah biasa ngumpul di media alfa), pecinta cobain anak grunge, anak hiphop yang biasanya main breakdance di lapangan dan alun-alun kota, yang terakhir anak metal yang sering disebut underground. Aneh, saya kenal beberapa anak di semua lini aliran musik itu. Tapi tak satupun seluk beluk aliran musik mereka yang saya tau.

   Pernah suatu kali saya main ke tempat teman saya yang katanya anak punk. Ketika dalam perjalanan ke rumahnya, saya bertanya banyak hal mengenai punk. Sesampai di rumahnya malah teman saya memberikan beberapa lembar kertas fotokopian yang isinya membahas mengenai scene musik yang ia gandrungi. Belakangan saya memikir ulang, mungkin yang dia berikan waktu itu adalah sebuah media alternatif bernama zine. Tapi saya terlalu lugu untuk bertanya mengenai hal yang tidak terlalu penting.

   Saya masih ingat, tulisan pertama yang saya baca waktu itu tentang sosok yang bisa dipanggil Waga. Entahlah itu kisah nyata ataupun karangan tapi saya sangat menikmatinya. Seingat saya, ada seorang tokoh bernama Satu-Dua-Tiga (serius, namanya emang itu) dengan perilaku menyimpang dari orang kebanyakan. Orang tua si Waga sangat mapan sekali perihal mengelola jantung perekonomian keluarga. Akan tetapi Waga mencoba berlari menjauh dari dunia keluarganya yang terlalu mapan itu. Dengan bermodal vespa, saya lupa di Malang dia ngontrak atau ngekos ya, pokoknya di kamarnya hanya ada satu poster. Poster bergambar tokoh Sakera. Dalam hal penampilan memang aneh sekali. Rambutnya dibiarkan separuh panjang dan separuhnya lagi botak begitu juga dengan kumisnya. Setiap harinya Waga hanya mau makan masakan indonesia khususnya jawa seperti rawon, lodeh, dan sebagainya.

   Tibalah suatu saat dia melintasi perempatan di jalan rampal (malang) tanpa mematuhi instruksi lalu lintas. Dengan vespa tuanya yang dipacu berkecepatan tinggi. Tanpa ia sadari ternyata ada seorang polisi yang mengejarnya, kemudian berhasil membuatnya berhenti dan menepi di bibir jalan. Lalu polisi itu sedikit kaget ketika mengetahui penampilan Waga ketika ia membuka helmnya. Tanpa memikirkan hal aneh itu terlalu panjang kemudian dia bertanya pada Waga.

“Mana surat-surat anda?”
“Sura-surat bapak mana?”, Waga malah balik bertanya.
“Jangan main-main. Saya sebagai petugas berhak meminta surat-surat anda” polisi itu sedikit menekan.
“Loh, saya sebagai warga negara juga berhak meminta surat-surat bapak” Waga malah memberikan serangan balik.

   Saya lupa percakapan selanjutnya seperti apa. Yang saya ingat setelah adu mulut itu berujung pada adu jotos. Kemudian kedua polisi yang sedari tadi mangkal di pos ternyata turun tangan juga. Ujung dari semua itu adalah tiga peluru yang bersarang di tubuh Waga. Semacam peradilan di tempat yang sangat tidak manusiawi. Bahkan bisa dikatakan Waga dibunuh tanpa melalui proses peradilan. Hal itu terjadi karena kesenjangan sosial atas nama profesi. Polisi yang semula menjadi pengaman bagi masyarakat malah justru menakut-nakuti masyarakatnya sendiri. Sekarang saja bila kalian bertemu dengan polisi apa yang kalian rasakan. Perasaan aman dan tentram? Mana mungkin, walau tak punya salah pun kalian pasti akan sedikit merinding.

   Setelah itu waga dimakamkan. Tepat di nisan Waga, beberapa temannya menulis, “Satu Dua Tiga punk sejati”. Itulah penghargaan terakhir dari kerabatnya. Cerita di atas memang tak secara persis sama dengan apa yang saya baca sekitar lima tahun yang lalu. Tapi saya yakin kurang lebih ceritanya semacam itu.

   Setelah itu saya ngobrol sedikit hal seputar punk. Sambil ngobrol mata saya menyisir seluruh bagian area kamar teman saya. Di pojok saya melihat sepasang sepatu bots warna hitam dengan talinya bewarna hitam juga. Dia juga cerita mengenai perbedaan pada warna tali sepatu itu. Betapa herannya saya ketika dia mengatakan jika punk power white itu pake wana putih, sedangkan punk nazi pake warna merah. Yang membuat saya terheran-heran ketika punk punya lebih dari satu ragam jenis. Entahlah saya tidak tau banyak mengenai hal itu.

   Terakhir ketika dia mengantarkan saya di perempatan Bonagung untuk mencari bus. Berkali-kali dia meyakinkan jika punk anarko itu bukan terfokus pada tindak anarki semacam suporter bola. Punk anarko itu punya kebersamaan yang kuat dan selalu dianggap galak karena selalu mencoba melawan ketidakadilan. Terkesan seperti terlalu muluk-muluk ya. Tapi itu memang apa yang teman saya katakan waktu itu, meskipun higga kini orang yang dia ajak ngobrol itu tidak tahu sama sekali tentang apa itu keadilan.

   Sesuatu yang aneh dari teman saya. Dia tidak berambut mohawk berbahan lem kayu rajawali. Biasa saja masalah rambutnya. Cuma dia kerap kali memakai (apa ya itu namanya) hitam-hitam yang dioleskan di sekitar mata. Selain itu selalu memakai celana street. Sampai model celana seragam SMA pun dibuatnya versi street. Saya sering diajaknya nonton gigs yang paling mahal tiket masuknya seharga dua ribu. Sialnya seringkali selalu menolak ajakan itu. Sebagai gantinya saya berjanji akan mendengarkan cerita tentang event itu di warung kopi. Ah, saya mendadak merindukan masa lalu. Yang paling saya ingat sembari tersenyum teman saya berkata, “Dadi menungso pasif iku pilihan, tapi aku luweh milih dadi wong aktif. Dan punk adalah pilihan”. Sampai saat ini aku masih gak mudeng dengan apa yang dia katakan. Lewat senyum tipis itu mungkin dia ingin mengatakan sesuatu yang paling dalam pada dunia. Tentang lirik bunga hitam yang senantiasa menjadi pemantik semangat.

Buka mata hati, buka telinga
Ciptakan semangat sampai akhir hayat
Hancurkan negri ini, ciptakan negri baru
Negeri ini butuh nurani.

   Di kalimat yang ini saya tiba-tiba menyadari, mengapa saya bercerita tentang serpihan kenangan itu. Padahal saya sangat tidak tahu menahu mengenai punk. Sudahlah, anggap saja hanya cerita. Di awal sebenarnya saya berniat akan mendongeng tentang White Shoes & The Couples Company. Tapi, ya sudahlah lain kali saja.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini