Sabtu, 15 Oktober 2011

Ngaji Surat Keragaman di Kening Ramadhan?

Sebagaimana tuhan yang tidak bertanggung jawab atas segala yang ia ciptakan. Maka kita bertanggung jawab atas takdir masing-masing dari kita. Entahlah saya tiba-tiba ingin bercerita tentang polusi pesan yang beberapa hari ini menimbun inbox saya. Ya, tentang ucapan permohonan maaf menjelang bulan yang mereka anggap sebagai area pemutihan dosa. Memang kedua teman saya yang telah menulis tentang hal ini, telah secara tidak langsung menggandeng saya untuk berbicara tentang hal serupa.

Pesan permohonan maaf tersebut mulai membentuk barisan tsunami sejak kaki-kaki bulan ramadhan menginjak bumi. Suasana di daerah sekitar saya tinggal pun berubah secara instan. Mulai dari beberapa manusia beranjak memenggal masa lalunya untuk bersedekah pita usara di masjid. Peserta ritual ngopi memadati setiap warung kopi yang berjajar di pinggir jalan. Jalanan yang macet mendadak kala menjelang sahur dan berbuka puasa. Cafe-cafe mendadak penuh, sampai  beberapa mobil tanpa permisi menyerobot jalanan umum sebagai ganti parkiran. Berita di media masa mana pun berbusa-busa memberitakan tentang harga sembako yang direncanakan naik, arus pulang kampung, kitab suci tanpa HAKI yang dijadikan modal lawakan yang diselipkan dalam tayangan televisi, dan sebagainya.

Memang, saya tidak pernah merasa marah ketika pesan dan segala rutinitas khas ramadhan itu memonopoli kehidupan saya. Ketika menjelang hari Natal beberapa bulan yang lalu. Saya pernah mengirimkan sebuah pesan pendek tentang ucapan selamat merayakan hari kesucian. Akan tetapi hampir semua orang yang saya kirimi pesan tersebut malah kembali menghantam saya bagai cahaya senter yang dihantamkan ke sebuah kaca cembung. Alhasil cahaya itu berbalik arah ke saya dengan cahaya yang lebih besar dan keruh. Yah, memang sebagian dari mereka malah memaki-maki saya.

Padahal ketika mengirimkan pesan tersebut. Salah satu yang saya pikirkan ialah, bagaimana caranya membagi sebuah kebahagiaan tersebut minimal kepada orang-orang yang dekat dengan saya. Tentunya atas dasar toleransi antar sesama. Yang saya pikirkan kemudian ialah, mereka pasti akan meniupkan makna atas pesan yang saya kirim tersebut. Maka dari itu saya sebagai pengirim pesan ialah orang pertama yang berhak mengedit dan menilai apakah pesan tersebut bisa diterima oleh mereka. Dengan pikiran itu saya lebih lega dan dengan segala keyakinan menjadi bulat untuk mempublish.

Sebagaimana puisi atau jenis tulisan apa pun. Pembacalah yang berhak meniupkan roh ataupun arti dari tulisan si penulis. Maka dari itu saya mengganggap pembacalah yang kemudian harus bertanggung jawab atas makna yang ia ciptakan atas karya penulis. Yah memang bukan malah sebaliknya dalam artian penulis yang bertanggung jawab. Karena penulis bukanlah raja otoriter yang berhak memberikan makna secara absolut atas karyanya. Misalnya ketika saya menuliskan hujan dan saya sebagai penulis menganggap arti kata tersebut sebagai sebuah keromantisan entah dengan tuhan atau sesamanya. Nah trus bagaimana dengan anak-anak keturunan komunis yang keluarganya dibantai gerombolan militer dikala hujan, memaknai kata hujan tersebut?

Aduh, di paragraf ini saya mulai binggung mau dibawa kemana tulisan ini...hahahaha...

Entahlah, mungkin karena warga negara indonesia ini terlalu banyak orang muslimnya. Padahal kalau kita bermukim di bali. Maka segala rutinitas khas bali harus dijalankan oleh siapapun. Misalnya ketika hari raya nyepi, semua orang harus mengistirahatkan rutinitas. Bahkan mentri agama pun merelakan orang islam mengikuti ritual nyepi tersebut dengan mematikan lampu, tidak berkeliaran di luar rumah, dan sebagainya.

Pastilah lagi-lagi atas dasar toleransi, mentri agama tersebut mengijinkan semua warga bali yang beragama islam turut dalam hari kesucian nyepi. Atau saya pernah merasakan ngekos di dekat masjid. Dan yang saya rasakan ialah polusi yang mendera selama lima waktu. Sampai saya pernah mengusulkan pada seorang teman. Mending setiap rumah dipasang semacam speaker dan alat peredam. Kemudian difungsikan sebagai alarm pengingat waktu berharap (asline berdoa). Nah, ketika alarm itu memekik keras, para tetangganya yang nonmuslim ostomatis tidak terganggu.

Tentusaja ketika pendapat saya tersebut diresmikan oleh negara. Maka yang terjadi ialah perlahan peradaban melangkah sembari menciptakan mahluk-mahluk planet yang individual banget. Hal ini pun serupa dengan berbagai kasus individual yang mendera kalangan teroris. Entahlah kelompok jihad tersebut mempunyai sifat yang dekat sekali dengan kefanatikan beragama yang berdasarkan atas kepentingan kelompoknya sendiri. Lantas toleransi dipukul rata bila apa yang kelompoknya senangi maka itulah yang menjadi kesenangan publik.

Sujiwo Tejo pakar Djiancuuk (lihat aktivitas twitternya) pernah mengatakan bila setiap individu yang terlahir sebagai warga negaranya, menganggap sesamanya hanya sebatas teman. Tentu saja aku ya aku. Kesenanganku adalah apa yang mereka senangi. Hal tersebut karena putusnya ikatan darah yang menjadikan aku adalah kamu sebagai saudara. Dalam artian tak ada ikatan saudara yang saling menggenggam rasa yang sama minimal dari dua orang manusia. Yang muncul kemudian ialah bagaimana cara memonopoli kesenangan di kalangan publik. Satu per satu dari kita saling berebut kesenangan pribadi demi kelangsungan hidup yang indah.

Bila rasa ialah tembok berlin. Maka muntahan moncong meriam ialah kesenangan individual yang sangat membenci toleransi yang siap menghantamnya. Akan tetapi apa yang terjadi bila setiap bata ditembok itu saling menghormati walapun harus saling menempati ruang kiri, kanan, atas, bawah tanpa saling iri?

Haruskan kita menunggu tuhan mengubah apa yang terjadi di dunia ini? Entahlah berapa milliar juta generasi yang harus menunggu tuhan menanam benih mukjizat pada salah satu diantara mereka. Bukankah setiap manusia ialah subjek dari sejarah. Entah si miskin, si kaya, atau si apapun ialah roda penggerak peradaban. Setidaknya itu menurut Pramoedya.

Jamput bingung maneh, arep digowo nank ndi tulisan iki...hehe.. ^_^’’

Para warga Renaissan pernah berhasil melewati masa suramnya dengan menganggap setiap dari mereka adalah subjek bagi dirinya sendiri. Dalam artian setiap orang bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Mereka mulai membenci apa yang sering diberi label sebagai mitos. Dan yang muncul ialah rasa saling menghormati antar sesama lewat aliran humanisme. Walaupun setelahnya Filsafat ketimuran pun bergentayangan di Alexandria.

Selain itu, dalam keadaan sehat, bukankah rujak komplikasi beraneka buah-buahan itu lebih nikmat daripada hanya sebuah mangga muda. Dan pelangi lebih indah dengan aneka warnanya dari pada biru langit. Maka dari itu segala campuran warna dari masing-masing kita bukanlah merupakan kekurangan bagi kita. Malah sebaliknya, kita akan semakin kaya dengan keaneka ragaman. Aku punya hitam kau punya apa, mari saling melengkapi. Sampai disini saya mengucapkan terimakasih banyak atas semua pesan khas momentum sesaat yang bermukin di inbox saya. Maklum, karena salah satu kakak saya bekerja di perusahaan operator selular. Tapi jangan sekali-kali mentransfer dosa lewat sms kepada saya, karena saya akan bersedia menelan dosa itu mentah-mentah. Gila, siapa yang mau masuk surga. Orang-orang di surga itu individualis banget. Saudaranya pada di siksa di neraka tapi mereka tidak membantu sama sekali malah beradu nafsu dengan kemewahan. Satu lagi, jangan kuatir setiap sms permohonan maaf yang dikirm kepada saya, akan langsung saya forward ke nomor tuhan.

 Mohon maaf sebelumnya, mungkin kesan pertama yang kalian dapatkan dari saya lewat tulisan ini, ialah saya sebagai mahluk tengik yang atheis. Tapi bagi saya itu tidak masalah. Tapi yang jadi masalah jika ada orang yang mengatakan Nietzshe adalah penganut atheis. Hahaha...

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini