Minggu, 14 April 2013

Mengkalkulasi Imajinasi dan Amplop Tebal


Tiba-tiba beberapa hari sebelum benar-benar (8/2/2013), ada pesan singkat masuk ke ponsel saya. Ternyata pesan itu dari salah satu panitia kegiatan All Chemist in Action. Mereka akan mengadakan lomba mading 3 dimensi. Target pesertanya para siswa SMP se-Kresidenan Besuki. Mendengar diksi al chemist, saya jadi teringat salah satu novel Paulo Coelho, The Alchemist. Cerita dalam novel itu mengenai kisah hidup seorang pemuda yang sederhana. Hari-hari dia lalu dengan cara mengembara, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Akan tetapi tunggu dulu, sepertinya undangan dari panitia agar saya turut serta menjadi juri lomba mading 3 dimensi tersebut tidak berhubungan terlalu jauh dengan Coelho.

Memang saya tidak bisa berkata ‘iya’ secara gampang kepada panitia. Biasanya dua atau tiga hari sebelum kegiatan dimulai saya baru bisa memberikan konfirmasi. Akan tetapi semenjak pesan singkat tersebut masuk ke ponsel, saya sudah berkali-kali melamunkan mengenai apa yang harus saya lakukan ketika menjadi juri nanti.

Lomba yang diadakan di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Jember (UJ) tersebut, dikelola oleh mahasiswa yang bergiat di Himpunan Mahasiswa Kimia (Himaki). Ketika kegiatan dimulai, saya mendapat breifing dari panitia mengenai bagaimana nanti teknis menilai mading yang dilombakan. Kala itu yang menjadi juri bukan hanya saya sendiri. Ada dua orang yang lain. Tanti Haryati, S.Si., M.Si, Dosen Kimia FMIPA UJ, difungsikan untuk menilai teama setiap mading, seputar bagaimana konsep sebuah mading itu menjadi ada dan dikatakan sesuai dengan tema besar. Ada juga Yeni Fatmawati, Pengurus Himaki Bidang Jurnalistik, menilai mengenai karya tulis yang menempel di mading para siswa. Sedangkan saya sendiri mewakili Perhimpunan Pers Mahasiswa indonesia (PPMI) Kota Jember, terpaksa harus merubah hasil penampakan mata menjadi angka untuk mengkalkulasi kreativitas mading.

Menjadi juri lomba mading memang menjadi pengalaman pertama bagi saya. Memang pernah suatu kali saya ikut mengelola mading kampus. Namun itu bukan mading 3 dimensi. Kebanyakan konten dalam mading lebih menguatkan atau fokus terhadap karya dalam bentuk karikatur, ilustrasi, dan yang utama yakni tulisan. Hal tersebut berbading terbalik dengan mading 3 dimensi. Kerap kali kekuatan sebuah mading 3 dimensi terletak pada unsur kreativitas yang dibangun dari susunan peralatan sederhana yang membentuk sebuah bangunan estetis. Maka kekuatannya bukan pada karya tulis akan tetapi bentuk fisik bangunan itu, hampir mirip dengan puisi konkrit.

Kebetulan panitia kegiatan membuat satu peraturan yang cenderung unik bagi saya. Yaitu para peserta lomba harus memanfaatkan barang-barang bekas di sekitar mereka untuk dijadikan bahan dasar mading. Maka dari itu saya selalu memanfaatkan interaksi untuk mengetahui lebih dalam terkait kerja para peserta lomba. Peraturan yang lain yaitu, para peserta harus mengerjakan 50% bahan mading di rumah dan 50% lagi di tempat perlombaan. Akan tetapi banyak peserta yang mengeluh. Ketika saya bertanya, “Mengapa madingnya masih belum selesai penuh?” Sebagian besar dari mereka selalu menjawabnya dengan serentetan alasan yang cenderung beragam dan panjang. Namun ada satu hal yang saya tangkap yaitu panitia memajukan tanggal kegiatan secara mendadak. Belum jadinya mading adalah dampak dari hal tersebut.

Pada akhirnya saya tidak menghiraukan bentuk fisik secara penuh. Untuk menilai karya mereka yang khususnya belum sepenuhnya jadi, saya melakukan dengan cara bertanya. Pertanyaan tersebut seputar apa konsep kalian, pada nantinya apa mau kalian dengan menara yang belum jadi itu, apa fungsinya, apa tujuan kalian memasukkan mobil kecil ke dalam mading, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut membuat saya sendiri harus membangun mading impian mereka dalam pikiran saya. Kemudian saya menilai imajinasi saya sendiri.

Di sisi lain saya juga menanyakan kepada mereka mengenai bagaimana proses mencari bahan dan cara membuat. Rata-rata sebagian besar dari mereka mencari bahan barang-barang bekas di area pembuangan di dalam sekolah. Sedangkan mengenai cara membuatnya cenderung beragam. Pertanyaan yang saya ajukan sampai ke hal-hal mendasar, bagaimana cara merekatkan, dengan bahan apa kalian merekatkannya. Tak banyak dari mereka yang berani berkata jujur. Lebih dari separuh jawaban sekali dipenuhi dengan alasan yang cenderung tak logis dan bersifat membela karyanya. Barangkali pembelaan tersebut harusnya tak ada. Sebuah karya tak perlu dibela. Benda harus hidup mandiri tanpa pembuatnya. Sedangkan mereka yang membuat, harusnya hanya bercerita mengenai proses kreatifnya saja.

Setelah tugas untuk menjuri selesai, saya tak langsung pulang. Ada beberapa rekan persma dari Lembaga Pers Mahasiswa Sastra (LPMS) Ideas yang sedang meliput kegiatan tersebut. Pada akhirnya saya harus menemani mereka sampai pemenang lomba diumumkan.

Ketika asik mengobrol ditemani rintik gerimis di depan gedung PKM, ada seorang panitia yang memanggil saya. Dari jauh dia bilang, “Mas, ada yang ketinggalan.” Saya langsung berjalan mendekatinya sambil bertanya mengenai apa yang ketinggalan. Kemudian dia mengeluarkan amplop kecil dari dalam map yang sedari tadi dipeluknya. Sambil tersenyum dia bilang, “Ini buat Mas.” Kemudian saya sedikit terkaget ketika menyadi ternyata dia sedang menyodorkan amplop bewarna putih. Amplop itu kulitnya tipis, sehingga saya bisa melihat ada baluran warna biru. Selain itu amplop tersebut terlihat tebal. Sambil tersenyum saya berkata, “Oh, itu buat panitia saja, buat Himaki saja.” Setelahnya saya berjalan menjauh sambil tersenyum sedangkan di terus saja merengek minta amplopnya saya terima.

Terima kasih panitia karena sudah mengundang saya. Tentu saja undangan dan sambutan yang baik di saat saya hadir memenuhi undangan tersebut, harganya sudah sangat mahal. Lebih mahal dari amplop setebal apapun. Mari berjejaring dan saling menguatkan.[]

1 komentar:

  1. Anonim30/4/13

    Wow, super sekali.
    Tentu saja akan menolak itu amplop karena label/identitas yang sedang anda sandang saat menjadi juri adalah perwakilan dari PPMI Jember.
    Akan menjadi hal lain, ketika anda diundang secara personal tanpa identitas apapun, kecuali karena kredibilitas anda. Tapi itu kembali lagi ke anda sendiri.
    *hehe Cuman numpang comment

    BalasHapus

Silahkan share di sini