Selepas kelas yang dimentori Janet Steele, saya diajak
seorang teman untuk singgah di rumah Fawas. “Rumahnya tak jauh dari sini,”
teman saya menjelaskan, “Kita bisa menginap di sana, dari rumah Fawas ke Kantor
Pantau cuma satu kali naik angkutan.” Tak lama setelah itu Fawas datang, kami
bersalaman lalu menuju rumah Fawas dengan berboncengan tiga. “Deket kok, aman
gak ada polisi,” Fawas mencoba meyakinkan kami. Sepanjang perjalanan saya melihat
dua supir bajai meludah di dalam kendaraanya sendiri.
Di depan rumah Fawas terdapat meja kecil berbentuk
lingkaran. Ada empat kursi yang di tata melingkar mengikuti setengah lengkungan
sisi meja. Di tempat itu kami bertiga menghabiskan sisa sore. Akhir-akhir ini
Fawas sedang sibuk merampungkan masa pendidikannya, sebagai mahasiswa pasca
sarjana, jurusan teknik nuklir.
“Sudah baca buku Hirosima?” Saya merespon disiplin ilmu
akademik yang Fawas tempuh.
“Belum.”
“Dalam buku itu diceritain kalo nuklir itu gak meledak, cuma
ngeluarin kilat, emang gitu ya?”
“Oh kalo di dalam zona ledakan mah emang gak kedengeran
ledakannya. Tapi kalau dari luar baru kedengeran.” Sembari menyeruput kopi,
saya membayangkan sejenak, entah sudah berapa banyak orang yang percaya secara
mutlak, jika nuklir tidak mengeluarkan suara dentuman dari John Hersey. Sambil meletakkan
gelas kopi saya kembali bertanya, ”Kapan kira-kira Indonesia bakal punya
nuklir?”
“Sudah lama siap. Indonesia punya banyak orang yang sanggup
bikin nuklir. Tapi gak ada fasilitas dari negara.”
“Bukannya negara yang boleh punya nuklir itu yang dianggap
tidak pernah menyalahi hukum HAM?”
“Gak lah, masalah undang-undang cuma lobi-lobi politik
dengan PBB, cuma masalah siapa yang paling kuat saja.”
Beberapa jam setelahnya saya diantar Fawas ke halte busway.
Saya hendak memenuhi janji dengan seorang teman jurnalis untuk menemaninya ke
Petak Sembilan. Dia sedang membuat foto esai tentang kegiatan di Klenteng
tertua Jakarta.
Di depan peron busway saya bertanya, “Mbak, ke Glodok lewat
mana?”
“Sana,” singkat sekali dia menjawab sembari menunjuk ke arah ruang tunggu.
“Mana mbak, kiri atau kanan?”
“Sudah sana!” raut mukanya menampakkan kemarahan.
Betapa tak ramahnya petugas busway trans jakarta. Kemudian
saya terpaksa masuk ke ruang tunggu. Tempat duduk model berderet hanya ada di
bagian ujung. Ada belasan orang yang sedang menunggu, namun kursi tersebut
hanya diisi seorang perempuan. Di bagian kanan dan kiri ruang tunggu terdapat
tiga pintu. Satu pintu khusus bagi penumpang wanita dan dua yang lain agar tak
terlalu berdesakan masuk.
Seperti kebanyakan orang, saya memilih untuk menunggu
sambil berdiri tepat di depan pintu. Ini cara termudah agar bisa cepat dan
sigap masuk ke dalam bus way. Di depan saya terdapat jalur khusus busway. Namun
lebih dari setengah jam saya menunggu, sudah ada 38 sepeda motor yang
melintasinya dengan sangat cepat sekali.
Dari Halte Busway Glodok saya melihat di sebrang jalan
teman saya sudah menunggu. Kemudian kami menuju Petak Sembilan. Gang menuju Klenteng
Kim Tek le, Vihara Dharma Bhakti sebesar ukuran satu setengah lebar mobil. Di jalan
masuk terdapat puluhan lampion kecil yang masing-masing menyala merah. Ujung
kawat pengait lampion itu diikat di rumah warga. Cara orang-orang memperlakukan
kesakralan imlek indah sekali.
Ketika mengarahkan pandangan kebawah, para pengunjung akan
mendapati bagian tengah jalan yang berlubang-lubang. Malam ini seluruh lubang terisi air berbau busuk. Keberadaan
para pedangan berderet sepanjang bibir gang, menambah kuatnya aroma khas pasar.
Sisa-sisa dagangan sayur dan sampah plastik berserakan. Di samping kanan mulut
gang, terdapat seorang penjual sate yang barang dagangannya dikerubungi 5
kucing.
Ternyata klenteng sudah tutup. Pintu masuknya tak dibuka
lebih dari jam sembilan malam. Di depan pintu masuk klenteng yang digembok,
tiba-tiba hadir tujuh orang. Masing-masing dari mereka membawa alat musik. Ada
gitar, gendang, kecrek, microphone,
dan empat sound kecil. Hanya satu orang yang tak membawa alat musik, tangan kanannya
memegang topi. Perempuan berkulit putih, make up tebal, dan alis palsu itu
berkeliling sembari menyuguhkan topinya kepada warga di sekitarnya. Dia
berharap orang-orang menaruh uang pada topi itu. Setelah selesai memainkan satu
lagu dangdut, mereka berpindah tempat.
Kemudian saya berlari menyusul mereka. “Sudah dari mana aja
nih?” Setelah mendapatkan ijin untuk memotret aktivitas mereka, saya bertanya
pada perempuan tadi.
“Jauh, keliling dari Jembatan Lima.”
Setelah itu saya meloncat geli, ada seekor tikus berukuran besar
tengah lari ke arah saya. []
*) Tulisan ini merupakan tugas yang diberikan oleh Janet Steele ketika saya mengikuti Kelas Jurnalisme XII Sastrawi Yayasan Pantau.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan share di sini