Kamis, 23 Januari 2014

Nuklir, Perjalanan, dan Gang Kecil di Jakarta


Selepas kelas yang dimentori Janet Steele, saya diajak seorang teman untuk singgah di rumah Fawas. “Rumahnya tak jauh dari sini,” teman saya menjelaskan, “Kita bisa menginap di sana, dari rumah Fawas ke Kantor Pantau cuma satu kali naik angkutan.”  Tak lama setelah itu Fawas datang, kami bersalaman lalu menuju rumah Fawas dengan berboncengan tiga. “Deket kok, aman gak ada polisi,” Fawas mencoba meyakinkan kami. Sepanjang perjalanan saya melihat dua supir bajai meludah di dalam kendaraanya sendiri.
Di depan rumah Fawas terdapat meja kecil berbentuk lingkaran. Ada empat kursi yang di tata melingkar mengikuti setengah lengkungan sisi meja. Di tempat itu kami bertiga menghabiskan sisa sore. Akhir-akhir ini Fawas sedang sibuk merampungkan masa pendidikannya, sebagai mahasiswa pasca sarjana, jurusan teknik nuklir.
“Sudah baca buku Hirosima?” Saya merespon disiplin ilmu akademik yang Fawas tempuh.
“Belum.”
“Dalam buku itu diceritain kalo nuklir itu gak meledak, cuma ngeluarin kilat, emang gitu ya?”
“Oh kalo di dalam zona ledakan mah emang gak kedengeran ledakannya. Tapi kalau dari luar baru kedengeran.” Sembari menyeruput kopi, saya membayangkan sejenak, entah sudah berapa banyak orang yang percaya secara mutlak, jika nuklir tidak mengeluarkan suara dentuman dari John Hersey. Sambil meletakkan gelas kopi saya kembali bertanya, ”Kapan kira-kira Indonesia bakal punya nuklir?”
“Sudah lama siap. Indonesia punya banyak orang yang sanggup bikin nuklir. Tapi gak ada fasilitas dari negara.”
“Bukannya negara yang boleh punya nuklir itu yang dianggap tidak pernah menyalahi hukum HAM?”
“Gak lah, masalah undang-undang cuma lobi-lobi politik dengan PBB, cuma masalah siapa yang paling kuat saja.”
Beberapa jam setelahnya saya diantar Fawas ke halte busway. Saya hendak memenuhi janji dengan seorang teman jurnalis untuk menemaninya ke Petak Sembilan. Dia sedang membuat foto esai tentang kegiatan di Klenteng tertua Jakarta.
Di depan peron busway saya bertanya, “Mbak, ke Glodok lewat mana?”
“Sana,” singkat sekali dia menjawab sembari  menunjuk ke arah ruang tunggu.
“Mana mbak, kiri atau kanan?”
“Sudah sana!” raut mukanya menampakkan kemarahan.
Betapa tak ramahnya petugas busway trans jakarta. Kemudian saya terpaksa masuk ke ruang tunggu. Tempat duduk model berderet hanya ada di bagian ujung. Ada belasan orang yang sedang menunggu, namun kursi tersebut hanya diisi seorang perempuan. Di bagian kanan dan kiri ruang tunggu terdapat tiga pintu. Satu pintu khusus bagi penumpang wanita dan dua yang lain agar tak terlalu berdesakan masuk.
Seperti kebanyakan orang, saya memilih untuk menunggu sambil berdiri tepat di depan pintu. Ini cara termudah agar bisa cepat dan sigap masuk ke dalam bus way. Di depan saya terdapat jalur khusus busway. Namun lebih dari setengah jam saya menunggu, sudah ada 38 sepeda motor yang melintasinya dengan sangat cepat sekali.
Dari Halte Busway Glodok saya melihat di sebrang jalan teman saya sudah menunggu. Kemudian kami menuju Petak Sembilan. Gang menuju Klenteng Kim Tek le, Vihara Dharma Bhakti sebesar ukuran satu setengah lebar mobil. Di jalan masuk terdapat puluhan lampion kecil yang masing-masing menyala merah. Ujung kawat pengait lampion itu diikat di rumah warga. Cara orang-orang memperlakukan kesakralan imlek indah sekali.
Ketika mengarahkan pandangan kebawah, para pengunjung akan mendapati bagian tengah jalan yang berlubang-lubang. Malam ini seluruh  lubang terisi air berbau busuk. Keberadaan para pedangan berderet sepanjang bibir gang, menambah kuatnya aroma khas pasar. Sisa-sisa dagangan sayur dan sampah plastik berserakan. Di samping kanan mulut gang, terdapat seorang penjual sate yang barang dagangannya dikerubungi 5 kucing.
Ternyata klenteng sudah tutup. Pintu masuknya tak dibuka lebih dari jam sembilan malam. Di depan pintu masuk klenteng yang digembok, tiba-tiba hadir tujuh orang. Masing-masing dari mereka membawa alat musik. Ada gitar, gendang, kecrek, microphone, dan empat sound kecil. Hanya satu orang yang tak membawa alat musik, tangan kanannya memegang topi. Perempuan berkulit putih, make up tebal, dan alis palsu itu berkeliling sembari menyuguhkan topinya kepada warga di sekitarnya. Dia berharap orang-orang menaruh uang pada topi itu. Setelah selesai memainkan satu lagu dangdut, mereka berpindah tempat.
Kemudian saya berlari menyusul mereka. “Sudah dari mana aja nih?” Setelah mendapatkan ijin untuk memotret aktivitas mereka, saya bertanya pada perempuan tadi.
“Jauh, keliling dari Jembatan Lima.”
Setelah itu saya meloncat geli, ada seekor tikus berukuran besar tengah lari ke arah saya. []


*) Tulisan ini merupakan tugas yang diberikan oleh Janet Steele ketika saya mengikuti Kelas Jurnalisme XII Sastrawi Yayasan Pantau.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini