Selasa, 28 Januari 2014

Pagi di Gang Kecil


Saya memang enggan memakai kamar mandi umum. Sambil menunggu kamar mandi kontrakan kosong, teman saya bercerita mengenai anak kecil yang mencuri sepasang sandalnya beberapa hari yang lalu. Kami berdua duduk di kursi kayu. Bau masakan dari dalam rumah seorang warga silih berganti dengan bau gorong-gorong. Ada banyak rumah bertingkat yang membuat sinar matahari tak sampai ke bawah. Maka dari itu gang kecil tersebut cenderung lembab.
Kontrakan berlantai dua itu memang terisi lebih dari sepuluh kamar, akan tetapi hanya disediakan satu kamar mandi. Selain itu di depan kontrakan terdapat satu kamar mandi umum. Berjarak tiga rumah dari terdapat pula bangunan berderet berisi tiga kamar mandi umum.
Kami berada di dalam di gang kecil. Dari jalan beraspal berjarak sekitar seratus meter. Jalan masuknya berukuran sekitar satu setengah meter. Satu meter untuk lalu lalang warga sedangkan bagian yang lain merupakan gorong-gorong. Berjarak sekitar lima puluh meter mendekati kontrakan, jalan mengecil, sekitar setengah meter sepenuhnya dibangun di atas gorong-gorong. Untuk menyusuri gang kecil tersebut memang harus berdesakan. Ada warteg kecil yang dapurnya tepat di jalur masuk, warga yang kerap menghabiskan waktunya untuk bercengkrama, dan lalu lalang warga yang lain. Maka dari itu untuk berjalan hanya bisa dilalui oleh satu orang saja. 
Jika hujan turun terlalu lama, air dari gorong-gorong akan meluap. Kalau memaksakan diri berjalan ke luar, air akan merendam kaki sampai lima sentimeter di atas mata kaki. Baunya mirip dengan tempat pembuangan sampah.
Seorang perempuan muda melintas di depan kami. Rambut panjangnya diikat sekenanya, kulitnya putih. Dia tak memakai apapun selain selembar handuk yang dibuntal ke separuh bagian tubuhnya, menutupi dada sampai setengah bagian pahanya. Tangan kirinya menenteng gayung yang berisi peralatan mandi. Sedangkan tangan kanannya memegang lipatan handuk tepat di bagian atas dadanya. Dia menuju kamar mandi umum yang berisikan tiga kamar.
Selang beberapa menit perempuan itu keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang masih basah dibiarkan tergerai. Warna kulitnya terlihat lebih putih dari sebelumnya. Ketika dia berpapasan dengan tiga laki-laki muda yang memakai baju muslim dan sarung, dua orang dari pemuda itu memegang bagian tubuh perempuan itu. Tepat di bagian yang dilapisi dengan handuk. “Eh, apa Lu pegang-pegang, bayar tauk!” sambil tersenyum perempuan itu berkata. Suaranya keras sekali namun dia sedang bercanda. Ketiga pemuda itu meresponnya dengan tertawa keras. Kemudian mereka bertiga berlalu menuju masjid di ujung gang.
Beberapa kali tikus besar yang sebagian tubuhnya bewarna putih karena bulunya rontok, para pedagang air, ibu-ibu yang membawa piring kotor untuk dicuci dikamar mandi, dan pedagang jajanan melintas di depan kami. Selain itu ada pula lebih dari lima orang pemuda yang melintas. Tiga dari mereka membawa ayam jago. Ketika sampai di ujung gang, mereka membentuk lingkaran. Tak pernah terpikirkan oleh saya jika di kota sebesar ini masih saja ada orang yang hobi mengadu ayam. Selang beberapa saat, seorang pria berbaju putih hijau, di punggungya bertuliskan Front Pembela Islam melintas di depan kami. Dia seperti hendak menunju masjid. Namun dia berhenti di ujung gang.[]

*) Tulisan ini merupakan tugas deskriptif yang diberikan oleh Andreas Harsono ketika saya mengikuti Kelas Jurnalisme XII Sastrawi Yayasan Pantau. 


2 komentar:

Silahkan share di sini