Rabu, 05 Februari 2014

Pemulung Imajinasi; Sebuah Catatan Epigraf Genealogi Babebo Zine Persma Jember


Dalam sebuah organisasi (LPM), memang tak semua pengurus mampu (sempat) menyelidiki potensi anggotanya. Rutinitas monoton yang melulu jurnalistik memang tak pernah menjadi suatu warisan genetik, melainkan bentukan. Di sisi lain yang jarang sekali mampu dibaca adalah potensi yang lain dari anggota. Mungkin bisa kita sebut sebagai (yang mirip) karya sastra. Misalnya saja puisi, fotografi, cerpen, gambar, lukisan, dan esai sastra.

Sederhananya ketika kami mencoba melebarkan sayap organisasi (jaringan). Di antara celotehan khas warung kopi pasti ada saja seorang teman yang sedang menggambar. Kemudian jika anda mencoba bertanya, “Kalau sudah jadi nanti, gambarmu buat apa?” ada dua kemungkinan yang paling dominan patut dijadikan jawaban. Yang pertama untuk stok Tim Artistik Redaksi (Redaktur Artistik). Sedangkan yang kedua, dipasang di dinding kamar, kalau pindah kost ya masuk tong sampah.

Harusnya anda tertawa sepuas mungkin ketika membaca paragraf terakhir di atas. Tapi setelah tawa yang tak lebih dari tiga detik itu selesai. Anda pasti akan mencari tempat yang paling sepi untuk menangis dan pura-pura mengutuk diri sendiri.

Jika alasan yang pertama menjadi pilihan. Di Jember, kita sama-sama memahami tak ada LPM yang mampu merampungkan proses jurnalistik dengan profesional secara mutlak. Produktivitas karya seni pun hanya dianggap tumbuh ketika redaksi membutuhkan. Misalnya saja ketika sidang tema berakhir, Tim Artistik sudah mampu membaca apa yang dibutuhkan oleh redaksi. Setelah kebutuhan redaksi terpenuhi, lantas apa yang kemudian dilakukan oleh Tim Artistik? Nganggur? Itu pun kalau proses redaksi tidak mengaretkan dedline cetak. Lalu kalau tak ada proses perakitan media, Tim Artistik ngapain? Padahal proses kelahiran karya seni bisa di mana saja dan kapan saja. Cukup imajinasi sebagai bidannya.

Sedangkan jika alasan kedua yang diadopsi. Mungkin masing-masing dari kita sudah sangat memahami jika media jurnalistik terpenjara dalam kurungan kode etik. Di luar kurungan ada aneka jenis ranjau yang setia menanti. Ketika ingin berjalan-jalan ke luar dengan kegiatan semacam kuliner. Aih, meletus.

Tapi sudahlah, anggap saja kode etik bisa dimanipulasi. Tapi apakah semua LPM paham mengenai hal itu. Dan yang paling penting apakah LPM sanggup –siap- menjinakkan -perang wacana jurnalistik- ketika si ranjau ngidam untuk meledak. Sebenarnya gak penting juga saya membangkitkan nafsu emosi kehewanan anda dalam Laporan Pert-n-anggung Jawaban (LPJ) ini.

Akan tetapi intinya tetap saja tak ada kebebasan berkarya dalam media jurnalistik. Anggap saja redaksi adalah sebuah gerbang lapuk. Ketika semua benda-benda aneh yang nantinya digunakan sebagai bahan mentah media terkumpul. Otomatis harus melewati gerbang itu dahulu. Nah gerbang itulah yang menjadi janin bagi beberapa jenis permasalahan. Entah sebuah karya harus diendapkan sampai edisi yang cocok untuk mempublikasikan karya itu. Sampai pengembalian karya karena terlalu mesum, menyakiti SARA, tidak berbobot, terlalu pedas mengkritik, estetikanya kurang asin, dan sebagainya.

Lantas kemana larinya karya? Pulang pada yang sebelum imajinasi alias kehampaan. Atau malah menjadi sampah yang menyejarah di dalam loker sekret.

Proses pembentukan tim kerja
Mungkin karena kegagalan dari Sekolah PPMI, atau mungkin juga karena enggannya LPM untuk mendelegasikan anggotanya untuk PPMI-DK Jember. Maka secara darurat Sekertaris Jenderal (Sekjen) Kota membentuk tim kerja, (28/5/2011). Salah satu hasil perumusan Rapat Kerja (Raker) yang berhubungan dengan media baru ini adalah pembentukan Tim Kreatif (TK). Dalam pola hubungan dengan margin struktural yang lain, kerja-kerja TK tidak bisa dicampuri oleh pengurus yang terlibat dalam Forum PU Independent (FPI). Terlebih upaya pembentukan TK ini di dasari atas pembacaan FPI, atas rekomendasi Muskot yaitu pembentukan forum kesamaan profesi. Daripada tersesat terlalu jauh, untuk lebih jelasnya tentang hal ini, silahkan baca LPJ Sekjen kota wae.

Beberapa teman-teman yang terikat dalam LPM berkumpul di Warung Buleck, Kamis malam, (17/06/2011). Di sanalah awal mula konsep tentang media baru pertama kali dibahas secara serius. Jika mencoba mengingat kembali jauh ke belakang. Proses inisiasi bayang-bayang kecil sebuah media baru ini, hadir secara tiba-tiba, karena tak terwadahinya kontinyuitas produksi karya seni dalam LPM masing-masing.  Bahkan lebih dari itu, sebenarnya implikasi dari konsep media ini merujuk pada pertama, stok aneka jenis karya sastra untuk LPM. Kedua, forum sharing kesamaan profesi. Ketiga, berkarya secara bebas tanpa terbungkam kode etik jurnalistik.

Awalnya kami memang memaknai media baru ini sebagai ‘Buletin Komik Merah Putih’ (BKMP). Dalam penguatan konsep malam itu kami mencoba membentuk tim kerja. Tentu saja dengan menghimpun Sumber Daya Manusia (SDM) dari beberapa LPM. Secara kebetulan saja yang turut serta berdialektika dengan bayang-bayang ialah LPMM Alpha, UPM Millenium, LPMS Ideas, dan UKPKM Tegal Boto.

Dengan basis kesamaan profesi dalam LPM-nya masing-masing. Para illistrator dan layouter beberapa orang dari delegasi LPM mencoba menggabungkan dirinya. Memang tanpa kesepakatan dan bahkan kami tak sadar jika yang kami bentuk waktu itu adalah forum illustrator dan layouter.

Hasil dari pertemua malam itu, kami mencoba menyamakan persepsi tentang bagaimana agar BKMP nantinya bisa bertahan setelah hidup. Hingga kesepatakan bersama menyatakan jika media ini nantinya akan mengelola ‘kata dan gambar’. Pengertian “produksi kata” disini adalah segala macam tulisan yang berupa artikel, features, essai, puisi, cerpen. Sedangkan pemaknaan “produksi gambar” disini adalah berupa karikatur, ilustrasi, komik, foto hingga lukisan. Jadi BKMP menampung segala macam kata dan gambar yang diproduksi oleh TK.

Untuk proses kerjanya, TK kan mengadakan pertemuan tiap dua minggu sekali. Agenda pertemuan itu bisa dikatakan sebagai arena unjuk karya. Fokus utama kala itu memang pada produksi gambar, –komik, karikatur, lukisan, dan sebagainya- maka masing-masing personal diwajibkan minimal membawa satu gambar dalam pertemuan unjuk karya.  Satu-persatu secara bergiliran menceritakan mulai dari proses pembuatan karya sampai akan kita apakan karya kita ini. Di sisi lain dalam pertemuan dua mingguan itu kami harus menghasilkan satu karya yang digambar bersama-sama.

 Dalam pengelolaan karya, TK membentuk konsentrasi kerja. Sekjen kota menjadi koordinator yang disebut sebagai Pamong Imadjinasi. Kerja Sekjen adalah mendampingi kerja-kerja redaksi BKMP. Sedangkan Widi Widahyono yang dianggap senior desain grafis dan layouter Jember menjadi koerator Imadjinasi. Widi menjadi pembangkit semangat dan teman sharing bagi awak redaksi.

Sedangkan Sadam H. M. menjadi koordinator pengumpulan karya, atau kami menyebutnya sebagai Pengepoel Ingatan Lampau. Kerja Sadam sederhana sekali, berkeliling untuk menjemput karya anggota tim. Kemudian membantu hal-hal teknis seperti scan dan pengarsipan karya. Karena kelebihan Diyah A. Kalpika kepergok ketika kami mencoba menggambar bersama dalam satu kertas lusuh. Karena dengan daya kreatifnya mampu mengkombinasikan beragam coretan kecil masing-masing orang dalam tim. Maka Diyah dipercaya menjadi penyelaras karya, secara post-ilmiah kami memknainya sebagai penjelaras Karja.

Selain itu, ‘LJ’ dikutuk mejadi layouter, diberi gelar semacam gundik yaitu Penata Boesana. Tugasnya lebih sederhana daripada anggota tim yang lainnya. Hanya mengatur tata letak perwajahan media. Kemudian yang membantu kerjanya adalah Afwan F. B. sebagai Penata Rias. Dalam kerjanya Afwan menjadi perias karya dengan mengolahnya dalam aplikasi grafis. Entah mengatur tingkat kehitaman karya, cropping, membersihkan hasil scan yang lusuh, dan sebagainya. Sedangkan Umi Agustin dipaksa menjadi Badan Inteledjen Imadjinasi. Lalu yang terakhir ialah Uliel Petrix yang disewa untuk menjadi Pemanis Boeatan. Sama seperti Umi, Uliel juga menjadi kotributor yang setia menyumbangkan karya. Memang tidak menutup kemungkinan di dalam redaksi sendiri kami menginginkan beberapa orang yang fokus untuk menjadi kontributor tetap. Mungkin karena kami mengantisipasi tersendatnya produktivitas dalam berkarya. Maka dikala kesibukan teknis redaksi, harus ada beberapa orang dengan semangat tinggi dalam menghasilkan stok karya.

Namun dalam proses kerjanya, kami tidak melulu egois pada job disk masing-masing. Lebih seringnya kerja-kerja redaksi dilakukan secara bersama-sama saling saling membantu. Mungkin karena kami menyadari jika anggota tim juga sibuk dalam LPM-nya masing-masing.

Dalam pertemuan malam itu, selain pembentukan tim kerja. Kami juga berhasil merumuskan tema untuk edisi pertama yaitu, Phenomenameter. Hasil keliaran imajinasi ternyata menuntun kami untuk menyelidiki lebih detail mengenai realitas. Otomatis yang harus dilakukan sebelum berkarya adalah membaca realitas untuk kemudian diterjemahkan dalam coretan gambar. Memang pada dasarnya sebuah seni adalah hasil perkawinan antara realitas dengan imajinasi.

Format media cetak zine
Dua minggu kemudian, TK kami membawa karya sendiri-sendiri yang kemudian diapresiasi bersama. Selain itu, TK juga menggambar bersama dalam satu kertas. Terasa menyenangkan sekali, malam itu delapan orang yang berkumpul di Warung Kopi depan Galileo, kami meresmikan bentuk tubuh media cetak ini.

Hasil pertemuan kedua ini adalah;
Nama zine: Babebo
Tagline: teman belajar dan melawan
Rubrikasi zine: ada rubrik tetap dan rubrik bayangan (yang slalu berubah-ubah)
Zine disepakati berukuran kertas A4

Kemudian Babebo menggandeng Arys, pegiat Tikungan dan Dedi Supmerah, pegiat Sindikat untuk menjadi kontributor. Bukan hanya terkurung dalam wilayah Jember saja, babebo mencoba melebarkan sayap ke berbagai komunitas zine (KZ). Betapa kagetnya kami ketika apresiasi secara serentak berdatangan. Ternyata jaringan KZ mempunyai kultur yang sangat jauh sekali dari jaringan Persma. KZ merupakan media independent bawah tanah yang menjadi perantara komunikasi antara komunitas satu dengan yang lainnya.

Apresiasi pertama datang dari Anitha Silvia, seorang pegiat zine personal dan komunitas. Babebo menarik minatnya untuk mengadakan perjalanan ekpedisi Jember. Dia mencari kontributor daerah bagi zine yang dia rawat. Alhasil pasca pertemuannya di Warung Buleck dengan kami, salah seorang anggota tim Babebo diajak untuk menjadi kontributor bagi zine Halimun miliknya.

Tak hanya itu, ternyata Babebo menjadi inspirasi bagi beberapa komunitas zine. Misalnya saja Mind zine yang secara terang-terangan mengatakan jika mereka mengadopsi beberapa unsur yang ada di Babebo. Ternyata Mind zine memodifikasi beberapa unsur grafis yang telah ada dalam Babebo. Selain itu ada juga zine RAR. Mereka mengadopsi konsep Babebo yang berkarya seperti anak-anak. Dalam artian bocah kecil dimaknai sebagai individu yang bebas bertanya, berkarya tanpa tekanan, dan berimajinasi secara liar.

Salah satu anggota tim Babebo pernah berkata, seni itu seperti senyuman harusnya milik semua dan gratis. Memang pada dasarnya manusia mempunyai warisan genetik. Secara otomatis bertahan hidup dengan mencontoh atau mengadopsi dari generasi sebelumnya. Misalnya saja bagi Roland Barthes, tak ada karya yang bisa dianggap original atau baru tanpa terinspirasi dari karya lainnya. Maka dari itu demi ilmu pengetahuan dan proses pembelajaran bersama, Babebo meyakinkan dirinya sebagai media anti copyright.

Dalam edisi kedua, Babebo mengangkat isu mengenai kritik kebudayaan. Tema Babebo kala itu, Keganjilan di Sekitar Kita. Kami -hampir setengah- menyadari jika Pemerintah Daerah Jember lebih mengedepankan budaya asal yang mewah. Dalam artian Raja Jember lebih berorientasi praktis mencari laba. Oleh karenanya lebih memilih untuk menciptakan budaya baru daripada melestarikan budaya –Pandhalungan- yang sudah ada.

Kontributor Babebo perlahan meluas. Dalam edisi dua, di antaranya ada Perisman Nazara, Pelukis tinggal di Jogjakarta. Saiful  Bachri, Pelukis  asal  Jogjakarta. RupaRusak, Pegiat seni artwork bermukin di Jogjakarta. Anitha Silvia, pegiat zine dan pengurus di C2O Library Surabaya.

Pada edisi pertama, siruklasi Babebo dibagi menjadi dua. Edisi cetak hitam putih disebar ke LPM dan berbagai komunitas di Jember. Sedangkan versi bewarna dalam format *pdf diupload dalam situs database online dibantu promosi lewat microblogging atau situs jejaring sosial. Kemudian dalam edisi dua, karena kami tak memiliki kas untuk menyokong dana cetak. Maka dari itu dimulai pada edisi dua Babebo hanya akan disirkulasi dalam format *pdf. Selain itu menjadi sedikit terbantu ketika beberapa LPM juga turut serta mengiklankan Babebo dalam medianya.

Di sisi lain, Babebo membuat blog sederhana sebagai situs alamat dan situs olah karya yang berbeda dengan media cetak maupun pdf. Tentu saja blog dijadikan sebagai media baru yang digarap perlahan. Selain itu menjadi proses pembelajaran menuju situs Babebo(dot)com yang kami impikan.

Tak berhenti sampai di situ, edisi ketiga Babebo mengangkat isu tentang pencemaran ruang publik oleh iklan komersil. Tema yang dipakai ialah, Tingkah Laku Iklan. Kontributor dari luar Jember masih mampu dijaring dari orang-orang baru.

Masih banyak keinginan Babebo yang tak sempat terlaksana. Beberapa diantaranya
1.       Mengadakan bedah grafis dan layout media LPM.
2.       Menjadikan Babebo sebagai zine online.
3.       Dengan tidak meninggalkan ciri khasnya Babebo mengawal isu PPMI.
4.       Babebo menjadi rujukan stok artistik maupun kontributor pekerja artisik bagi LPM.
5.       Babebo sebagai tim kreatif dapat bekerjasama dengan BP-Jaringan Kerja untuk menambah kas PPMI.
6.       Babebo mempunyai jaringan yang bisa menguatkan BP-Litbang.


 
*) Tulisan ini merupakan Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Kota Perhimpunan Pers Masiswa (PPMI) Periode 2010-2012 yang ditulis oleh Dieqy Hasbi Widhana, telah dibahas dalam forum Musyawarah Kota, Sabtu-Senin, 23-25 Juni 2012, bertempat di Mini Hall Gedung D Unmuh Jember.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini