Senin, 03 Februari 2014

Mengapa Persma dan Bagian Darinya



Saya sebenarnya merasa curiga terhadap Andreas Harsono terkait tawaran mengubah istilah pers mahasiswa menjadi media mahasiswa. Apakah dia menyimpan harapan besar agar persma menjadi media humas kampus?


BUKAN HANYA saya ternyata, di Jember salah satu tulisan Andreas Harsono ramai diperbincangkan. Bertepatan ketika LPMS IDEAS sedang bermasalah dengan elit birokrasi kampus, karena majalahnya yang memuat berita mengenai Malapetaka Pasar Tradisional dan Kebijakan Jam Malam. Kemudian salah seorang reporter LPME Ecpose, dikerubungi beberapa beberapa dosen ketika melakukan wawancara. Mereka tengah mengawasi bagaimana cara dan apa yang sedang ditanyakan oleh awak Ecpose terhadap narasumbernya. Sedangkan di STAIN Jember, UPM Millenium dipaksa oleh pembinanya dari kalangan elit birokrasi, agar tidak melulu mengangkat isu yang mengkritisi fenomena dan kebijakan kampus. Jika tidak, maka STAIN akan membuat organisasi persma tandingan. Dampaknya banyak awak Persma yang salah paham terhadap apa yang ditawarkan dan dijelaskan Andreas lewat tulisannya. Beruntunglah kami membahasnya dalam forum Persma Jember beberapa hari yang lalu (28/1).

Di beberapa era, Persma berjaya menjadi media alternatif. Banyak sekali tokoh besar yang menjadi narasumber dalam media persma. Sebagian besar justru narasumbernya sendiri yang berebut. Besar kemungkinan karena terdapat kekangan yang kuat bagi pers umum untuk memberitakan mengenai realitas sosial. Era rezim otoriter Soeharto. Maka dari itu, kebanyakan narasumber lebih percaya kepada persma.

Saya yakin Andreas paham mengenai beberapa hal penting seputar peranan Persma. Banyak hal yang memang luput dan sulit dipantau oleh wartawan pers umum. Entah itu terkait fenomena sosial maupun kekuatan untuk menggali fakta secara mendalam dan dikemas mengikat. Pers umum punya tekanan yang kuat di dalam redaksinya sendiri. Lebih dari itu mereka bekerja dalam tenggat waktu yang relatif pendek. Selebihnya terkait rentannya sikap kompromis wartawan pers umum. Namun perubahan istilah pasti akan membuat banyak awak Persma sedikit tersedak. Tentu saja karena banyak dari mereka tahu, terkait bagaimana Persma lewat PPMI berdinamika dengan sebutan Persma atau penerbitan. Maklumlah jika selain dianggap terlalu praktis memahami alur hidup persma. Usulan Andreas akan dianggap terlalu tergesa.

Pers mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) memang pernah berkompromi dengan Dikti, khususnya dalam hal penamaan atau penggunaan istilah antara penerbitan dengan pers. Perdebatan panjang bermula dari Surat Edaran Dikti No. 849/D/T1989. Menteri Penerangan menganggap, hanya ada satu pers nasional yang diatur melalui Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Sedangkan penerbitan khusus yang menyangkut persma di dalamnya, diatur dengan Surat Tanda Terbit (STT). Meski berdampak perpecahan pada internal, pada akhirnya mereka mencoba tidak memperdulikan sebutan pers mahasiswa yang harus dirubah menjadi penerbitan mahasiswa. Hal tersebut terjadi karena dirasa perlu ada payung hukum yang menaungi persma. Namun Dikti hanya mengakui penerbitan mahasiswa. Bagi PPMI kala itu, tidak masalah asalkan paradigma berpikir kritis dan fungsi kontrol masih bisa jalan.

Kala itu ketika menyebut persma, maka ada hal-hal berbau negatif lain yang menyertainya. Seperti halnya awak persma Yogyakarta yang sempat akan berkunjung ke Universitas Brawijaya Malang. Dengan memakai embel-embel persma, maka mereka tidak diperbolehkan untuk berkunjung ke Brawijaya.

Namun ternyata dugaan salah. Dikti tidak peduli apakah pers atau penerbitan. Justru karena keunikan organisasi, terdapat kebingungan pers mahasiswa masuk dalam kategori yang mana. Kala itu organisasi kemahasiswaan internal kampus hanya ada Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Indonesia (SMPTI) dan organisasi kepemudaan KNPI. Sedangkan Persma tidak tergolong dua varian tersebut. Namun desakan dari pemerintah terus terjadi, organisasi macam apapun yang berharap diakui keberadaannya, harus dinaungi oleh lembaga pemerintahan tertentu.

Di Indonesia memang tak ada lembaga seperti Student Press Law Center (SPLC) yang telah dikhususkan untuk mendukung media berita mahasiswa. Salah satu fungsinya mengawal kebebasan dalam meliput isu-isu penting. Memastikan lolos kode etik dan bebas dari sensor.

Maka dari itu Upaya untuk melegalkan PPMI terus dilakukan. Terpaksa harus rela menempuh jalur rumit dan berbelit khas prosedur birokrasi pemerintahan. Di kala Direktorat Jenderal Pengembangan Pers dan Grafika (Dirjen PPG) bersedia untuk menaungi PPMI. Dikti justru menghalang-halangi niatan tersebut. Hambatan berbau politis dipraktekkan Dikti lagi.

Pada kongres kedua PPMI, harapan besar di era sebelumnya untuk berkompromi ditebang habis. Perdebatan mengenai pers atau penerbitan berakhir sudah, seiring pernyataan tegas PPMI untuk menolak legalisasi. Dalam Deklarasi Tegalboto, PPMI menyatakan sikapnya, “PPMI bertekat untuk terus memperjuangkan demokrasi, independensi, dan kebebasan pers mahasiswa Indonesia dengan tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT.” Sebuah langkah strategis untuk memudarkan kekangan terhadap kebebasan memperoleh informasi dan berpendapat. Kemudian dieksekusi. Menegasikan tubuh organisasinya menjadi otonom. Dalam artian tidak berada di bawah organisasi pemerintahan apapun. Selain itu PPMI juga turut menolak adanya sinkronisasi kurikulum diklat Persma. Ada perbedaan mendasar antara pembinaan yang dilakukan oleh Dikti dengan pengembangan versi Persma. Sebagai langkah konkrit, PPMI kemudian meracik sendiri materi dan kurikulum bagi awak Persma. Setidaknya berupaya menetralisir intervensi terhadap fungsi Persma sebagai pengontrol kebijakan dan menyesuaikan terhadap kondisi kala itu.

Kemudian beberapa keputusan yang berhasil dirumuskan dalam Kongres II PPMI direspon dengan kegiatan Sarasehan Pekan Nasional Penerbitan Mahasiswa, 19-20 September 1996 bertempat di Makassar. Terdapat tiga hal penting yang kemudian dinamakan sebagai Surat Terbuka Pena Emas 1996. Antara lain berisi: Menyerukan kepada segenap pers mahasiswa untuk menggunakan istilah pers mahasiswa bukan penerbitan mahasiswa, turut memperjuangkan hasil Kongres II PPMI tentang pengembalian nama Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT.

Penggunaan kata ‘penerbitan’ mendiskrediktan fungsi persma sebagai pengontrol kebijakan. Dalam artian ditemukan indikasi untuk melunakkan dengan cara mengarahkan fokus pembahasan persma pada dunia keilmuan.

Barangkali bagi para pegiat persma, kampus tak sekedar menjadi laboratorium kecil. Lebih dari itu, kampus merupakan Lapangan Banteng. Di sana Persma menembak mati siapapun dengan amunisi fakta dan data yang kuat. Seperti apa yang dikatakan oleh Dwijo Utomo Maksum, harus berdasarkan fakta yang sesuai lazimnya kaidah-kiadah pers yang benar. Maka jika ditanya apakah ada targetan-targetan itu, tentu ada. Namun tidak kemudian secara serampangan asal njeplak saja. Di sini ada konsep investigasi dan reportase di dalamnya. Ini yang menjadi tantangan bagi pers mahasiswa. Sehingga pilihan-pilihan yang berani dan beresiko menjadi konsekuensi.”


ADA BEBERAPA fokus persma. Pertama sebagai pers kampus mahasiswa, bergerak di bagian riset yang mewujud jurnal. Kedua, pers mahasiswa yang mempunyai keterbatasan akses terhadap pendanaan dan narasumber. Tentu saja kerap ada karena persma meng-ada sebagai unsur oposisi terhadap kebijakan kampus. Maka dari itu terdapat kekangan terhadap pola hidup terbitan mereka. Sedangkan yang terakhir, persma yang harus menjadi media kampus.

Jika ditinjau lebih dalam, media kampus merupakan medan informasi yang dikelola dengan cara memposisikan informan sebagai humas kampus. Tak heran jika konten penuh sesak dengan unsur pencitraan. Entah itu event yang berhasil diselenggarakan oleh kampus, jadwal ujian, ataupun proyek seolah ilmiah karya elit kampus. Mana mungkin media kampus www.unej.ac.id memuat ulasan mengenai kritik terhadap buku terbitan dosen. Misalnya saja terkait buku terburuk sepanjang masa, berjudul Sejarah Indonesia Lama 1500, terbitan Unit Pelaksanaan Teknis Penerbitan Uni ersitas Jember, ditulis Latifatul Izzah. Hampir seluruh isi buku itu mengutip wikipedia. Bukankah itu salah satu bentuk pelecehan terhadap ilmu pengetahuan? Bahkan lebih dari itu, bukankah kita sama-sama menyadari jika knowledge is power. Ada berapa kaum intelektual yang tertipu kemudian?

Dampak yang lebih parah ialah buku tersebut dipakai sebagai bahan wajib menempuh mata kuliah.

Jika pun Andreas Harsono berharap bahwa persma harus fokus terhadap bisnis media saya rasa juga perlu. Akan tetapi hanya untuk fokus pada peraturan mengenai sponsor atau cara menggali dana versi persma. Misalnya saja tak boleh sponsor rokok, perusahan pertambangan, institusi politik, dan sebagainya. Selanjutnya tak perlu jenuh atau terlalu serius memikirkan mengenai berbisnis. Barangkali Persma juga tegolong intelektual organik, seperti kata Antonio Gramsci. Mereka tak akan rela membagi sebagian besar energinya untuk berbisnis. Bisa jadi yang mereka cari ialah pengalaman. Tinggal eksekusi di wilayah teknis saja. Ada banyak hal yang lebih penting daripada memikirkan bisnis media yaitu kekuatan advokasi, pelatihan internal, penguatan jejaring, dan beberapa hal yang lain.

Di sisi lain independensi ruang redaksi harus dijaga ketat dari unsur terkait intervensi. Entah itu dari elit birokrasi kampus, sponsor, atau unsur kekerabatan.

Terkait persma harus segera migrasi ke media online, saya rasa perlu melihat kebutuhan. Namun dalam prosesnya tentu tak akan mudah. Selain harus mempertimbangkan kekuatan sumber daya manusia di internal. Komitmen untuk serius rutin update harus dikalkulasi secara matang.

Apakah media semacam Pantau akan menggunakan media online? Beberapa kali Andreas Harsono dan Imam Sofwan menjawab, iya akan segera. Lantas apa yang akan mereka lakukan dengan portal online tersebut? Akan mengunggah pdf dari format cetak Majalah Pantau? Atau akan menyesuaikan dengan kekurangan media online yang tak mungkin memuat tulisan panjang. Ada resiko yang besar untuk diacuhkan oleh pembacanya. Kredibilitas juga akan mengganggu. Di sisi lain kekuatan dumi atau unsur visual dan kreativitas perwajahan versi cetak akan hilang. Akan tetapi yang Pantau lakukan menurut perkiraan saya, seperti apa yang dikatakan oleh Andreas bahwa selain tulisan panjang, harus diberikan pula tulisan-tulisan pendek sebagai pendukung konten. Barangkali kita juga sama-sama paham jika Pantau memang menghindari elemen visual pendukung tulisan. Bagi Pantau ilustrasi, foto, atau karikatur merupakan opini. Jika disusun dalam halaman yang sama, maka kesucian fakta dalam berita akan terganggu.

Bagi saya mempelajari kekurangan dan kelebihan media online memang perlu. Akan tetapi persma punya ciri khas bahwa mereka akan terus menggunakan tulisan panjang, ini seperti Pantau meski berbeda pula pada banyak hal. Bahkan persma terus mengembangkan metode advokasi reporting. Seringkali yang terjadi, media online hanya akan diadopsi untuk menguatkan pola distribusi media cetak. Sedangkan hal yang lain kebanyakan dianggap tak terlalu penting.

Lantas untuk apa berpikir keras untuk mengganti istilah menjadi media mahasiswa? Secara esensi setelah bernegasi toh tetap sama. Pertimbangan Andreas Harsono hanya berdasarkan istilah saja, asal kata to press yang lebih dekat kepada media cetak. Terbitan persma tak hanya di media daring. Bahkan jarang sekali yang mampu untuk mengadopsi kekuatan audio visual. Lagi pula memangkas banyak hal termasuk bagaimana istilah persma ada, akan beresiko.

Namun saya salut kepada semangat Andreas Harsono untuk mendukung jika di masa depan macam apapun, Persma harus tetap ada. Fungsi persma mengatur keseimbangan wacana. Persma juga tak selalu benar. Sebagaimana pers umum misalnya BBC London pernah membuat kesalahan sehingga seorang narasumber mereka bunuh diri. Kemudian BBC memberitakan peristiwa itu dalam medianya sendiri. Ketika reporter The New York Times dianggap telah melakukan penipuan, The New York Times memberitakannya. Koran itu juga pernah keliru dalam soal senjata pemusnah masal di Irak dan diberitakan oleh The New York Times beserta permohonan maaf. Bagi Andreas Harsono sendiri, upaya untuk meminta maaf dan mengakui kesalahan adalah bagian dari jurnalisme an sich.

Publik juga harus mengambil bagian menjadi pembaca yang kritis. Selayaknya bertingkah laku dewasa terkait bagaimana cara untuk mengkritisi media. Perbuatan konvesional semacam ajakan adu fisik ala barbar, ancaman pembekuan, dan sebagainya. Seharusnya sudah tak terulang kembali. Tunjukkan bahwa diskusi publik, seperti apa yang dikatakan John Stuart Mill, bermoral. Benturan ide-ide merupakan penanda kehadiran dinamika ilmu pengetahuan yang selalu dalam proses menjadi.[]


Bahan bacaan:
Fathoni, Moh, Dkk. 2012. Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia. Jakarta: Komodo Books.
http://andika-khagen.blogspot.com/2009/06/andreas-harsono-praktisi-pers.html (Diakses 1 Februari 2014).

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini