Saya sebenarnya merasa curiga terhadap Andreas Harsono terkait tawaran mengubah istilah pers mahasiswa menjadi media
mahasiswa. Apakah dia menyimpan harapan besar agar persma menjadi media humas
kampus?
BUKAN HANYA saya
ternyata, di Jember salah satu
tulisan Andreas Harsono ramai diperbincangkan. Bertepatan ketika
LPMS IDEAS sedang bermasalah dengan elit birokrasi kampus, karena majalahnya
yang memuat berita mengenai Malapetaka Pasar Tradisional dan Kebijakan Jam
Malam. Kemudian salah seorang reporter LPME Ecpose, dikerubungi beberapa
beberapa dosen ketika melakukan wawancara. Mereka tengah mengawasi bagaimana
cara dan apa yang sedang ditanyakan oleh awak Ecpose terhadap narasumbernya.
Sedangkan di STAIN Jember, UPM Millenium dipaksa oleh pembinanya dari kalangan
elit birokrasi, agar tidak melulu mengangkat isu yang mengkritisi fenomena dan
kebijakan kampus. Jika tidak, maka STAIN akan membuat organisasi persma
tandingan. Dampaknya banyak awak Persma yang salah paham terhadap apa yang ditawarkan
dan dijelaskan Andreas lewat tulisannya. Beruntunglah kami membahasnya dalam
forum Persma Jember beberapa hari yang lalu (28/1).
Di beberapa era, Persma berjaya menjadi media alternatif.
Banyak sekali tokoh besar yang menjadi narasumber dalam media persma. Sebagian
besar justru narasumbernya sendiri yang berebut. Besar kemungkinan karena
terdapat kekangan yang kuat bagi pers umum untuk memberitakan mengenai realitas
sosial. Era rezim otoriter Soeharto. Maka dari itu, kebanyakan narasumber lebih
percaya kepada persma.
Saya yakin Andreas paham mengenai beberapa hal penting
seputar peranan Persma. Banyak hal yang memang luput dan sulit dipantau oleh
wartawan pers umum. Entah itu terkait fenomena sosial maupun kekuatan untuk
menggali fakta secara mendalam dan dikemas mengikat. Pers umum punya tekanan
yang kuat di dalam redaksinya sendiri. Lebih dari itu mereka bekerja dalam
tenggat waktu yang relatif pendek. Selebihnya terkait rentannya sikap kompromis
wartawan pers umum. Namun perubahan istilah pasti akan membuat banyak awak
Persma sedikit tersedak. Tentu saja karena banyak dari mereka tahu, terkait
bagaimana Persma lewat PPMI berdinamika dengan sebutan Persma atau penerbitan. Maklumlah
jika selain dianggap terlalu praktis memahami alur hidup persma. Usulan Andreas
akan dianggap terlalu tergesa.
Pers mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Pers
Mahasiswa Indonesia (PPMI) memang pernah berkompromi dengan Dikti, khususnya
dalam hal penamaan atau penggunaan istilah antara penerbitan dengan pers. Perdebatan
panjang bermula dari Surat Edaran Dikti
No. 849/D/T1989. Menteri Penerangan menganggap, hanya ada satu pers
nasional yang diatur melalui Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Sedangkan
penerbitan khusus yang menyangkut persma di dalamnya, diatur dengan Surat Tanda
Terbit (STT). Meski berdampak perpecahan pada internal, pada akhirnya mereka
mencoba tidak memperdulikan sebutan pers mahasiswa yang harus dirubah menjadi
penerbitan mahasiswa. Hal tersebut terjadi karena dirasa perlu ada payung hukum
yang menaungi persma. Namun Dikti hanya mengakui penerbitan mahasiswa. Bagi
PPMI kala itu, tidak masalah asalkan paradigma berpikir kritis dan fungsi
kontrol masih bisa jalan.
Kala itu ketika menyebut persma, maka ada hal-hal berbau
negatif lain yang menyertainya. Seperti halnya awak persma Yogyakarta yang
sempat akan berkunjung ke Universitas Brawijaya Malang. Dengan memakai
embel-embel persma, maka mereka tidak diperbolehkan untuk berkunjung ke
Brawijaya.
Namun ternyata dugaan salah. Dikti tidak peduli apakah pers
atau penerbitan. Justru karena keunikan organisasi, terdapat kebingungan pers
mahasiswa masuk dalam kategori yang mana. Kala itu organisasi kemahasiswaan
internal kampus hanya ada Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Indonesia (SMPTI)
dan organisasi kepemudaan KNPI. Sedangkan Persma tidak tergolong dua varian
tersebut. Namun desakan dari pemerintah terus terjadi, organisasi macam apapun
yang berharap diakui keberadaannya, harus dinaungi oleh lembaga pemerintahan
tertentu.
Di Indonesia memang tak ada lembaga seperti Student Press
Law Center (SPLC) yang telah dikhususkan untuk mendukung
media berita mahasiswa. Salah satu fungsinya mengawal kebebasan dalam meliput
isu-isu penting. Memastikan lolos kode etik dan bebas dari sensor.
Maka dari itu Upaya untuk
melegalkan PPMI terus dilakukan. Terpaksa harus rela menempuh jalur rumit dan
berbelit khas prosedur birokrasi pemerintahan. Di kala Direktorat Jenderal
Pengembangan Pers dan Grafika (Dirjen PPG) bersedia untuk menaungi PPMI. Dikti
justru menghalang-halangi niatan tersebut. Hambatan berbau politis dipraktekkan
Dikti lagi.
Pada kongres kedua PPMI, harapan besar di era sebelumnya
untuk berkompromi ditebang habis. Perdebatan mengenai pers atau penerbitan
berakhir sudah, seiring pernyataan tegas PPMI untuk menolak legalisasi. Dalam
Deklarasi Tegalboto, PPMI menyatakan sikapnya, “PPMI bertekat untuk terus
memperjuangkan demokrasi, independensi, dan kebebasan pers mahasiswa Indonesia
dengan tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT.” Sebuah langkah strategis untuk
memudarkan kekangan terhadap kebebasan memperoleh informasi dan berpendapat. Kemudian
dieksekusi. Menegasikan tubuh organisasinya menjadi otonom. Dalam artian tidak
berada di bawah organisasi pemerintahan apapun. Selain itu PPMI juga turut
menolak adanya sinkronisasi kurikulum diklat Persma. Ada perbedaan mendasar
antara pembinaan yang dilakukan oleh Dikti dengan pengembangan versi Persma.
Sebagai langkah konkrit, PPMI kemudian meracik sendiri materi dan kurikulum
bagi awak Persma. Setidaknya berupaya menetralisir intervensi terhadap fungsi
Persma sebagai pengontrol kebijakan dan menyesuaikan terhadap kondisi kala itu.
Kemudian beberapa keputusan yang berhasil dirumuskan dalam
Kongres II PPMI direspon dengan kegiatan Sarasehan Pekan Nasional Penerbitan
Mahasiswa, 19-20 September 1996 bertempat di Makassar. Terdapat tiga hal
penting yang kemudian dinamakan sebagai Surat
Terbuka Pena Emas 1996. Antara lain berisi: Menyerukan kepada segenap pers
mahasiswa untuk menggunakan istilah pers mahasiswa bukan penerbitan mahasiswa,
turut memperjuangkan hasil Kongres II PPMI tentang pengembalian nama
Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa
Indonesia, tidak mengakui lembaga SIUPP dan STT.
Penggunaan kata ‘penerbitan’ mendiskrediktan fungsi persma
sebagai pengontrol kebijakan. Dalam artian ditemukan indikasi untuk melunakkan
dengan cara mengarahkan fokus pembahasan persma pada dunia keilmuan.
Barangkali bagi para pegiat persma, kampus tak sekedar
menjadi laboratorium kecil. Lebih dari itu, kampus merupakan Lapangan Banteng.
Di sana Persma menembak mati siapapun dengan amunisi fakta dan data yang kuat.
Seperti apa yang dikatakan oleh Dwijo Utomo Maksum, harus berdasarkan fakta
yang sesuai lazimnya kaidah-kiadah pers yang benar. Maka jika ditanya apakah
ada targetan-targetan itu, tentu ada. Namun tidak kemudian secara serampangan
asal njeplak saja. Di sini ada konsep investigasi dan reportase di dalamnya.
Ini yang menjadi tantangan bagi pers mahasiswa. Sehingga pilihan-pilihan yang
berani dan beresiko menjadi konsekuensi.”
ADA BEBERAPA
fokus persma. Pertama sebagai pers kampus mahasiswa, bergerak di bagian riset
yang mewujud jurnal. Kedua, pers mahasiswa yang mempunyai keterbatasan akses
terhadap pendanaan dan narasumber. Tentu saja kerap ada karena persma meng-ada
sebagai unsur oposisi terhadap kebijakan kampus. Maka dari itu terdapat
kekangan terhadap pola hidup terbitan mereka. Sedangkan yang terakhir, persma
yang harus menjadi media kampus.
Jika ditinjau lebih dalam, media kampus merupakan medan
informasi yang dikelola dengan cara memposisikan informan sebagai humas kampus.
Tak heran jika konten penuh sesak dengan unsur pencitraan. Entah itu event yang
berhasil diselenggarakan oleh kampus, jadwal ujian, ataupun proyek seolah
ilmiah karya elit kampus. Mana mungkin media kampus www.unej.ac.id memuat
ulasan mengenai kritik terhadap buku terbitan dosen. Misalnya saja terkait buku
terburuk sepanjang masa, berjudul Sejarah
Indonesia Lama 1500, terbitan Unit Pelaksanaan Teknis Penerbitan Uni ersitas
Jember, ditulis Latifatul Izzah. Hampir seluruh isi buku itu mengutip
wikipedia. Bukankah itu salah satu bentuk pelecehan terhadap ilmu pengetahuan?
Bahkan lebih dari itu, bukankah kita sama-sama menyadari jika knowledge is power. Ada berapa kaum
intelektual yang tertipu kemudian?
Dampak yang lebih parah ialah buku tersebut dipakai sebagai
bahan wajib menempuh mata kuliah.
Jika pun Andreas Harsono berharap bahwa persma harus fokus
terhadap bisnis media saya rasa juga perlu. Akan tetapi hanya untuk fokus pada
peraturan mengenai sponsor atau cara menggali dana versi persma. Misalnya saja
tak boleh sponsor rokok, perusahan pertambangan, institusi politik, dan
sebagainya. Selanjutnya tak perlu jenuh atau terlalu serius memikirkan mengenai
berbisnis. Barangkali Persma juga tegolong intelektual organik, seperti kata
Antonio Gramsci. Mereka tak akan rela membagi sebagian besar energinya untuk
berbisnis. Bisa jadi yang mereka cari ialah pengalaman. Tinggal eksekusi di
wilayah teknis saja. Ada banyak hal yang lebih penting daripada memikirkan
bisnis media yaitu kekuatan advokasi, pelatihan internal, penguatan jejaring,
dan beberapa hal yang lain.
Di sisi lain independensi ruang redaksi harus dijaga ketat
dari unsur terkait intervensi. Entah itu dari elit birokrasi kampus, sponsor,
atau unsur kekerabatan.
Terkait persma harus segera migrasi ke media online, saya
rasa perlu melihat kebutuhan. Namun dalam prosesnya tentu tak akan mudah.
Selain harus mempertimbangkan kekuatan sumber daya manusia di internal. Komitmen
untuk serius rutin update harus
dikalkulasi secara matang.
Apakah media semacam Pantau akan menggunakan media online?
Beberapa kali Andreas Harsono dan Imam Sofwan menjawab, iya akan segera. Lantas
apa yang akan mereka lakukan dengan portal online tersebut? Akan mengunggah pdf
dari format cetak Majalah Pantau? Atau akan menyesuaikan dengan kekurangan
media online yang tak mungkin memuat tulisan panjang. Ada resiko yang besar
untuk diacuhkan oleh pembacanya. Kredibilitas juga akan mengganggu. Di sisi
lain kekuatan dumi atau unsur visual dan kreativitas perwajahan versi cetak
akan hilang. Akan tetapi yang Pantau lakukan menurut perkiraan saya, seperti
apa yang dikatakan oleh Andreas bahwa selain tulisan panjang, harus diberikan
pula tulisan-tulisan pendek sebagai pendukung konten. Barangkali kita juga
sama-sama paham jika Pantau memang menghindari elemen visual pendukung tulisan.
Bagi Pantau ilustrasi, foto, atau karikatur merupakan opini. Jika disusun dalam
halaman yang sama, maka kesucian fakta dalam berita akan terganggu.
Bagi saya mempelajari kekurangan dan kelebihan media online
memang perlu. Akan tetapi persma punya ciri khas bahwa mereka akan terus
menggunakan tulisan panjang, ini seperti Pantau meski berbeda pula pada banyak
hal. Bahkan persma terus mengembangkan metode advokasi reporting. Seringkali
yang terjadi, media online hanya akan diadopsi untuk menguatkan pola distribusi
media cetak. Sedangkan hal yang lain kebanyakan dianggap tak terlalu penting.
Lantas untuk apa berpikir keras untuk mengganti istilah
menjadi media mahasiswa? Secara esensi setelah bernegasi toh tetap sama. Pertimbangan
Andreas Harsono hanya berdasarkan istilah saja, asal kata to press yang lebih dekat kepada media cetak. Terbitan persma tak
hanya di media daring. Bahkan jarang sekali yang mampu untuk mengadopsi
kekuatan audio visual. Lagi pula memangkas banyak hal termasuk bagaimana
istilah persma ada, akan beresiko.
Namun saya salut kepada semangat Andreas Harsono untuk
mendukung jika di masa depan macam apapun, Persma harus tetap ada. Fungsi
persma mengatur keseimbangan wacana. Persma juga tak selalu benar. Sebagaimana
pers umum misalnya BBC London pernah membuat kesalahan
sehingga seorang narasumber mereka bunuh diri. Kemudian BBC memberitakan
peristiwa itu dalam medianya sendiri. Ketika reporter The New York Times dianggap
telah melakukan penipuan, The New York Times memberitakannya. Koran itu juga
pernah keliru dalam soal senjata pemusnah masal di Irak dan diberitakan oleh The
New York Times beserta permohonan maaf. Bagi Andreas Harsono sendiri, upaya
untuk meminta maaf dan mengakui kesalahan adalah bagian dari jurnalisme an
sich.
Publik juga harus mengambil bagian menjadi pembaca yang
kritis. Selayaknya bertingkah laku dewasa terkait bagaimana cara untuk
mengkritisi media. Perbuatan konvesional semacam ajakan adu fisik ala barbar, ancaman
pembekuan, dan sebagainya. Seharusnya sudah tak terulang kembali. Tunjukkan
bahwa diskusi publik, seperti apa yang dikatakan John Stuart Mill, bermoral.
Benturan ide-ide merupakan penanda kehadiran dinamika ilmu pengetahuan yang
selalu dalam proses menjadi.[]
Bahan bacaan:
Fathoni, Moh, Dkk. 2012. Menapak
Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia. Jakarta: Komodo Books.
http://andika-khagen.blogspot.com/2009/06/andreas-harsono-praktisi-pers.html
(Diakses 1 Februari 2014).
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan share di sini