Senin, 23 Maret 2015

Jika Hukuman Mati di Indonesia Dihapuskan Oleh Pak Presiden*

Pada dasarnya setiap manusia berusaha keras menunda kematiannya. Namun ada kalanya orang lain justru yang menjemput kematian untuk diberikan pada kita. Satu hal yang melekat dalam pikiran saya mengenai kematian yang diinginkan manusia ialah Socrates.

Ia dituduh merusak kaum muda Athena dan dijatuhi hukuman mati. Ia tak gentar dengan ancaman pembunuhan itu, tak ada niat melarikan diri. Waktu terakhirnya dimanfaatkan untuk berdiskusi dengan teman-temannya, sembari meminum secangkir hemlock beracun dari algojo. Setelah minum racun, Socrates dibuat untuk berjalan sampai kakinya terasa berat, hingga sekujur tubuhnya mati rasa.

Di waktu yang berbeda, duta tahun yang lalu di Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono mendorong kebijakan untuk menyelamatkan warga negara Indonesia dari hukuman mati di luar negeri. Saat itu dua orang asal Indonesia yang bernama Heni dan Indah terjerat hukuman mati di Malaysia karena tindak pidana narkotika. Untuk menyelamatkan warganya ini, sebagai gantinya SBY berjanji akan membebaskan atau mengurangi hukuman bagi warga negara asing yang diancam hukuman mati di Indonesia.

Di waktu sekarang ada polemik berkepanjangan di negara kita. Polemik itu ialah warga Australia yang diputuskan presiden saat ini untuk mendapat hukuman mati. Keputusan tersebut diambil berdasarkan hak preogratif seorang presiden. Sekian jauh bangsa ini menapak kepedulian pada HAM, namun kali ini praktek barbarianisme dihidupkan kembali.

Kita tengah terdampar pada sikap ambigu pemerintahan Indonesia yang meminta negara lain tidak menghukum mati WNI, namun akan menghukum mati warga asing, meski di sisi lain pemerintahan kita menolak aborsi atau pembunuhan pada janin.

Myuran Sukumaran dan Andrew Chan akan dieksekusi bersama-sama karena mereka telah melakukan penyelundupan narkotika. 17 April 2005, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan bersama tujuh orang yanng lain, tertangkap karena berencana menyelundupkan 8,3 kg heroin ke Australia dari Bali. Setahun kemudian Sukumaran dan Chan dikenai hukuman mati. Keduanya sempat mendekam dalam cemas di penjara Krobokan Bali namun telah dipindahkan ke Nusakambangan. Tak jauh dari sana, mereka berdua akan dieksekusi mati oleh para juru tembak.

Ini mengingatkan kembali saat tahun 1834, waktu itu Pennsylvania menjadi negara bagian pertama yang memindahkan eksekusi jauh dari mata publik, membawa mereka keluar dalam lembaga pemasyarakatan.

Duo terpidana ini adalah bagian dari gerombolan Bali Nine. Sukumaran dan Chan telah menghabiskan masa tahanan kurang lebih 10 tahun dengan mendedikasikan diri untuk sesama. Usia muda keduanya membuat rentang waktu dalam penjara menjadi mudah untuk ruang belajar akan hal-hal baru.

Australia yang pada 1985 silam menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan, memohon grasi dengan alasan Sukumaran dan Chan telah berhasil direhabilitasi. Ancaman hukuman mati selama ini juga telah terlebih selalu didahului menyiksa mereka secara psikologis.

Presiden kita menolak grasi dan pembatalan hukuman mati karena kasus yang mengidap Sukamaran dan Chan adalah narotika. Padahal sejauh ini secara internasional, belum ada dampak hukuman mati bagi pengurangan pengguna atau pengedar narkotika. Bagi Jokowi, langkah menghukum mati merupakan sebuah upaya untuk memutus mata rantai pengedaran narkotika.

Aksioma ini, merupakan pedapat yang dijadikan dalil pertama sekaligus diterima sebagai kebenaran umum tanpa memerlukan pembuktian. Seolah presiden tengah memakai kaca mata aliran positivis, Jhon Austin, yang bisa kita cari dalam buku The Province of Jurisprudence Determined dan Lecture on Jurisprudence.

Bagi Austin, Hukum ialah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya. Pemerintah Indonesia memang memegang otoritas tertinggi dalam negara. Dapat dipastikan juga bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber hukum.

Sebagai besar warga Indonesia, khususnya kelas menengah yang ngehek, barangkali akan berpikir, betapapun buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan telah menjadi Undang-undang yang harus diterapkan maka biarkan saja bergulir. Abaikan. Anggap benar.

Lantas apa bedanya kebijakan pemerintahan Indonesia saat ini dengan jaman Athena dari pemerintahan Sparta menuju Demokrasi, dengan alegori kitab perjanjian lama, ‘mata ganti mata’. Di negeri ini, kita pun tak asing dengan semboyan kuno, ‘hutang nyawa dibayar dengan nyawa’.
Hal tersebut tampak serupa dengan pandangan presiden, bahwa dua warga negara asing yang dijatuhi hukuman mati berhak mendapatkan hukuman tersebut, karena bangsa kita telah menderita karena narkoba. Maka kematian, penderitaan, dan sebagainya dianggap layak ditukar dengan nyawa penyelundup.


Upaya Balas Dendam
Hukuman mati merupakan upaya perampasan hak untuk hidup seseorang. Keji, tidak manusiawi, dan merendakan martabat. Sebuah bentuk penyiksaan yang dilembagakan. Bentuk totaliter pemerintah yang secara sistematis melanggar hak-hak individu.

Lex talionis termaktub dalam alkitab yang menjadi warisan sebelum era aufklarung, balas mata dengan mata, merupakan modus balas dendam. Barangkali pak presiden terilhami cara berpikir yang ditanamkan oleh pemerintahan feodal Indonesia. Cara melawan kekerasan dengan kekerasan yang dia lakukan. Bertolak belakang dengan Mahatma Gandhi, yang berpendapat mata ganti mata akan membuat seluruh dunia buta.

Terkait kasus pembunuhan pun, kita tidak bisa melawan kematian korban dengan lebih kematian pelaku kejahatan. Pembunuhan terhadap pelaku tidak menyelesaikan atau menyembuhkan luka keluarga korban. Tentu tidak pula mengembalikan keluarga korban atau masyarakat lain yang turut dilukai menuju perdamaian bersama. Balas dendam justru akan mengabadikan siklus kekerasan di Indonesia.

Dalam artian yang sederhana, keputusan hukuman untuk mencabut nyawa seseorang, merupakan pengambilalihan terhadap kehendak yang kuasa. Hukuman mati adalah capaian terakhir dari semua jenis hukuman. Tak ada peluang untuk rehabilitasi dan pemulihan perilaku personal.

Dengan kata lain, eksekusi mati tak lain merupakan hukuman yang tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan.

Penafsiran kita mengenai sebuah hukuman harus segera diperbaiki. Hukuman adalah salah satu bentuk pendidikan bagi pelanggar peraturan. Penjara dibuat untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana yang diisolasi dengan masyarakatnya (reintegrasi). Dalam artian tahap rehabilitasi menjadi poros penting diarahkan untuk memulihkan kehidupan pelaku kejahatan dan mempersiapkan dirinya kembali kepada masyarakat.

Hukuman mati sudah usang. Nalar kritis harusnya mampu memoderasi kehausan setiap orang untuk menumpahkan darah. Sudah bukan waktunya lagi menciptakan sebuah kedamain dengan cara menakut-nakuti, hukum kita harus disesuaikan dengan keadaan kekinian.

Masyarakat berkembang lebih cepat dari pada pembentukan peraturan perundang-undangan yang membutuhkan waktu dan tata cara tertentu. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.

Indonesia negara hukum, bukan negara undang-undang. Penafsirah hukum selayaknya disesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, sehingga menekankan hati nurani daripada kepastian hukum positivis yang gejalanya nampak saat ini.

Negara memiliki wewenang yang sah untuk mengeksekusi penjahat, tetapi harus menahan diri jika memiliki cara lain. Biaya eksekusi hukuman mati bisa jadi lebih mahal daripada mendanai kebutuhan hukuman seumur hidup.


HAM dan Aparatus Korup
Hukuman mati merupakan pelanggaran terang-terangan dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Setiap orang memiliki hak asasi manusia untuk hidup, kebebasan, keamanan pribadi, dan hak untuk tidak disiksa. Namun faktanya tak ada metode manusiawi untuk membasmi kehidupan.

Hukuman mati melegitimasi tindakan kekerasan irasional oleh negara. Upaya untuk melenyapkan pelaku-pelaku kejahatan yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Namun, selama para korban vonis mati masih bisa menghentikan kejahatannya dan melakukan rehabilitasi, lantas mengapa hukuman mati ini masih tetap akan dilakukan. Bukankah hal tersebut merupakan penghianatan terhadap keadilan HAM objek hukum.

Alternatif hukuman pengganti harus dicarikan dengan segala pertimbangan rasional. Menjadikan hukuman mati sebagai solusi adalah kurang tepat. Yang bisa dilakukan adalah memberikan pembinaan melalui kesempatan untuk memperbaiki perilaku diri, sebab sistem pemidanaan modern lebih bersifat perbaikan terhadap perilaku pelaku kejahatan, bukan terdiri dari berbagai lapisan penyiksaan.

Kedamaian itu harus diciptakan dari adonan pendidikan bukan kebencian dalam dendam. Bagi Cesare Beccaria satu hal yang penting ialah menegaskan kepastian hukuman, menjadi pencegah yang lebih efektif.

Padahal jika presiden memandang hukum dalam perspektif positivis, segala jenis keputusan yang dilakukan baru bisa dieksekusi jika aparatus negara telah dinyatakan bersih. Ada kemungkinan besar bahwa penyebab tindak kriminal ada pada timpangnya kondisi ekonomi dan aparatus negara yang korup.

Di balik proses penyelidikan dari sistem reot negara kita, resiko membunuh orang tak bersalah menjadi lebih besar. Jangan sampai Indonesia tenggelam dalam arus peniadaan terhadap HAM hanya karena sistem sosial yang rancu. Jika hal tersebut terjadi, barangkali pengacara Death Row, Bryan Stevenson, ada benarnya dengan berkata, “Kenyataannya hukuman mati adalah lotere. Ini adalah hukuman yang dibentuk oleh kendala kemiskinan, ras, geografi dan politik lokal.”

Jika meninjau lebih jauh ke belakang, mengapa vonis hukuman mati tak pernah diberikan pada subjek atau pelaku pelanggaran HAM berat? Peristiwa 1965, Tanjung Priuk, Talangsari, dan sebagainya. Hukuman mati berdasarkan kebencian pada ras tertentu di Papua. Ada kesamaan antara Socrates dengan saudara kita di Papua. Keduanya akan sulit mendapatkan legitimasi dari negara karena memiliki logos.

Saya rasa sangat mengherankan jika negara mengeksekusi mati dengan senyap Munir Said Thalib, akan tetapi Pollycarpus tidak dibalas dengan hukuman mati. Justru Pollycarpus dibebaskan Desember 2014 silam. Banyak juga tindak pidana korupsi tanpa proses penyelesaian hukum yang memuaskan. Sederhananya, ada akrobat sistem hukum kita yang tebang pilih.

Rata-rata mereka yang disiksa secara mengerikan adalah kalangan bawah yang tak punya relasi kekuasaan. Sedangkan mereka yang punya strata sosial tinggi atau bisa menggunakan kekayaan dan kekuasaan guna melarikan diri dari hukuman. Distribusi ketegasan kebijakan hukum tidak merata. Tingkat konomi dan status sosial seseorang memainkan peranan besar dalam menentukan siapa yang hidup dan yang mati.

Dari segala macam tindakan kriminal, satu hal yang perlu dituntaskan mungkin saja adalah terkait persoalan hulunya. Evaluasi terhadap tubuh pemerintahan kita akan membentuk perbaikan sistem bea cukai, profesionalisme kepolisian, dan sebagainya.

Menyisir akar penyebab dan faktor yang berkontribusi terhadap kejahatan menjadi penting, yang tentu diiringi juga dengan penguatan independensi dan kebersihan aparatus hukumnya. Allan Badiou pernah menyinggung hal ini, baginya keadilan dan kesetaraan merupakan pondasi dari sebuah kebenaran.

Pemimpin negara memegang andil yang besar dalam putusan hukuman mati, hal tersebut juga berhubungan dengan arsitektur diplomasi. Dari sana bisa dikatakan bahwa penghukuman mati hanya sekedar peristiwa politik, namun dampak dari vonis mati yang berdasarkan asa kekerasan dan pelanggaran HAM akan mewujud dalam peristiwa budaya.

Pernyataan terkait vonis mati akan menjadi causa celebre (pemicu) bagi kehadiran kembali praktik vonis mati di masa berikutnya. Kekerasan antar sesama untuk menghancurkan HAM akan menghantui setiap individu. Hidup menjadi serangkaian hari ke hari perjuangan tanpa rasa kebersamaan atau kesatuan. Kekerasan akan terus berlangsung mengurangi kepedulian sosial. Menyilaukan empati.

Dalam artian lain hukuman mati bukan cara terbaik untuk mencegah agar tindak kriminal tidak terulang.

Ada kalanya Jokowi harus bertindak tegas dan berpikiran maju dengan memegang real politic ala Alan Badiou. Ada rasa kemanusiaan yang harus dihadirkan dengan sempurna di antara topeng kapitalisme, demokrasi, dan undang-undang yang tak manusiawi.

Keadilan bukan sekedar tindakan perampasan HAM, bukan pula ajang balas dendam, ataupun pengkambinghitaman terhadap kerugian negara. Tetapi seharusnya menjadi ajang mencari keadilan yang tidak hanya untuk korban atau untuk masyarakat tetapi untuk pelaku kejahatan juga.
Maka dari itu ada urgensi bahwasanya Indonesia harus menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Tentu agar kejahatan HAM di Indonesia tidak terulang.



 *) Esai ini sudah terlebih dahulu dimuat di Midjournal, berikut sumbernya Jika Hukuman Mati di Indonesia Dihapuskan Oleh Pak Presiden.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini