“Saya tahu bahwa saya tidak tahu”
(Socrates)
Sosok berbadan gemuk dan kumuh itu terus mengejar lawan bicaranya
dengan serangkaian pertanyaan. Dia adalah Socrates. Entahlah betapa
geramnya jika saya harus memposisikan diri sebagai lawan bicaranya.
Mungkin yang akan saya lakukan ialah secepatnya balik ke kamar kost dan
kembali dengan topik pembicaraan yang telah matang. Tentu saja beserta
berbagai jawaban dari segala kemungkinan yang akan dia tanyakan. Akan
tetapi saya akan segera menyadari jika dia sedang tidak memposisikan
diri sebagai tuhan. Dalam artian segala pembicaraan yang dia sampaikan
kepadaku tidak beratribut kebenaran yang bersifat absolut (kebenaran
final tanpa sanggahan). Dia tidak sedang merendamku dalam genangan
doktrinnya, melainkan merangkulku untuk ikut serta berpikir bersama.
Dari sanalah muncul sebuah keberanian untuk berpikir.
Jika ide adalah sebuah bayi, maka socrates selalu berusaha membantu
proses kelahiran bayi masyarakat sekitarnya. Dan sebuah jawaban takkan
berdiam diri di garis final dalam rentang waktu yang terlalu lama.
Sebagaimana Socrates yang selalu menganggap segala kebenaran tentang
semesta tak lebih dari sekedar asumsi sementara. Mengenai hal ini teman
saya pernah mengatakan, “Bagaimana jika sebuah pertanyaan adalah jawaban
dari pertanyaan itu sendiri?”. Tiba-tiba temanku mengajak berolahraga
otak. Tentu saja sebuah kalimat dari temanku itu segera membuat pagi
hari itu semakin buta.
Betapa kagetnya jika
seandainya kamu mendapat jawaban yang bertanya. Tak jauh dari hal ini,
Socrates pun selalu mengawali diskusinya dengan sebuah pertanyaan.
Semisal tanpa aba-aba dia berkata, “Apa itu kebijaksanaan” atau “apa itu
keadilan”. Lantas ketika kamu selesai menjawab, maka segeralah muncul
pertanyaan baru begitu seterusnya. Setelah ludah berubah menjadi busa
tebal karena dialog terus berjalan menabrak-nabrak tanpa henti.
Disanalah para peserta olahraga intelektual itu memahami jika mereka tak
sepenuhnya mengetahui kebenaran yang sejati.
Socrates selalu meragukan segala hal selain keraguan itu sendiri.
Disamping ajakan untuk selalu meletakkan keraguan di gardu terdepan itu.
Dia selalu berusaha merendahkan dirinya sendiri. Tentu saja demi sebuah
kebijaksanaan dalam usahanya melacak sebuah kebenaran. Pantas saja jika
Oracle Delphi mengatakan bahwa orang yang paling bijaksana ialah
Socrates. Hal tersebut karena Socrates selalu menganggap dirinya sebagai
orang terbodoh di antara seluruh manusia. Karena baginya pengetahuan
lahir dari upaya mengoreksi sebuah asumsi kemudian menyanggah asumsi
tersebut dengan bertanya. Lantas apakah sesuatu yang patut dikatakan
sebagai pengetahuan ialah jawaban yang bertanya?
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan share di sini