Senin, 16 Juli 2012

Melipat Amarah

Apa yang anda lakukan ketika terlalu banyak orang-orang yang terlalu sulit untuk sepaham dengan anda. Seolah mereka mendominasi pemikiran publik dan berhasil merumuskan mana yang bisa dimaknai sebagai kebenaran. Kalau saya, tentu saja akan lebih memilih untuk berlari. Berlari untuk memberi jarak sejenak.

Memang tempat pelarian tidak selalu harus jauh. Tapi setidaknya saya akan berlari. Chairil juga pernah blang, jika ada peluru yang menembus tubuhnya, dia akan segera membawa tubuh beserta peluru itu untuk berlari. Mungkin dengan berlari maka segala rasa akan dilalui dengan penuh ketidaksadaran. Maka sakitpun tak akan terasa.

Begitulah, saya serigkali mencoba untuk berjarak dengan apapun. Ya, termasuk realitas. Bagaimana tidak, jarak realitas sendiri tak sejauh jarak Jember ke Surabaya. Hanya jarak antara dunia nyata dengan alam imajinasi. Atau jarak dirimu sekarang dengan dunia cyber. Bah, bukankah kedua dunia itu bisa dilalui dengan bersamaan.Dekat sekali. Bahkan lebih rapat dari nada bicara yang keluar dari mulut dengan udara.

Akan tetapi upaya untuk berjarak dengan realitas hanyalah sebuah lintasan kecil untuk menetralisir hegemoni. Tak lebih dari itu. Mungkin di sanalah letak kelahiran sebuah pemikiran independent tanpa campur tangan orang itu sendiri. Ya, walaupun segala wacana yang dilibatkan dalam pikiran kita tidak akan terlepas dari orang lain. Setidaknya kita dapat memetakan permasalan terlebih dahulu. Kemudian memploting siapa musuh dan siapa kawan.

Saya yakin perlakuan saya terhadap masalah akan mempermudah penyelesaian permasalahan itu sendiri. Plato juga pernah menemukan permasalahan pelik dalam memahami realitas. Ketika dia memandang sebuah benda misalnya botol bir. Maka yang pertama dia lakukan adalah kontak fisik dengan mata. Kemudian mata itu sendiri tidak secara independent mampu memaknai benda itu. Akan tetapi celah kekurangan yang dimiliki oleh mata kemudian ditambal oleh pikiran. Lalu pikiranlah yang akan bekerja keras untuk memaknai realitas. Namun tetap saja pikiran an sich tidak akan mampu memaknai realitas. Bahkan tanpa pandangan mata pada benda itu sebelumnya maka kita tak akan mampu mengenal benda itu. Bahkan menganggap sebagai benda yang nireksistensial.

Jika contoh tersebut dihubungkan dengan sangat terpaksa dengan Mahatma Gandhi yang pernah berkata, jika kau membalas tatapan mata dengan tatapan mata maka dunia akan buta. Mungkin sama halnya ketika kita berusaha membalas perlakukan dengan perlakuan yang serupa maka dunia akan hancur. Atau bila kita membalas amarah dengan amarah maka akan muncul kerugian antara kedua belah pihak.

Okelah, saya tetap berdiri satu kaki pada sebuah sikap saya sendiri yang memperlakukan amarah sebagaimana kawan lama yang harus kita sambut dengan sangat riang. Saya akan menyerap amarah yang kata orang kebanyakan terselip dalam simbol api atau merah. Karena bagi salah satu Filsuf pra Socrates, api adalah udara dan udara adalah air. Oleh karena itu anggap saja api terkanstruk dari substansi material utama berupa air yang dingin. Dingin sekali. Dingin.

*) Tulisan ini adalah provokasi untuk meledakkan perang "GJ" dengan kalian yg saya tag

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini