Senin, 16 Juli 2012

Untuk Selesai, Butuh Uang

Pagi itu seperti biasa, saya berangkat dari rumah jam setengah tujuh pagi. Kemudian nongkrong di samping jalan pantura sembari menunggu angkot. Bisanya saya tak sendiri. Teman-teman sekampung sering berangkat bareng-bareng dalam satu angkutan umum.

Saya dikenal sebagai murid yang selalu terlambat. Ketika datang terlambat, beberapa anak yang telat selalu di kumpulkan oleh satpam di gerbang masuk sekolah. Pernah suatu kali saya datang terlambat. Kemudian si satpam menyodorkan buku absensi khusus siswa yang terlambat. Di buku absensi itu terdapat kolom nama, kelas, dan lebih dari lima kotak sebagai tempat tanda tangan.

Karena sudah terlalu sering melakukan ritual semacam itu. Saya jadi terbiasa dengan aturan tanda tangan di buku besar itu. Tentusaja nama saya dan beberapa tanda tangan sudah tercantum di sana. Kemudian pagi itu saya mencari nama saya. Nah, ketemu! Lalu tinggal mencari kolom yang kosong untuk tanda tangan. Dan ternyata sial sekali, gak ada kolom kosong yang siap saya bubuhi tanda tangan. Otomatis saya tanda tanggan di luar kolom.

Hari berikutnya dan seterusnya saya masih datang terlambat ke sekolah. Sampai lebih dari lima tanda tangan saya berada di luar kolom. Pada akhirnya ketika proses belajar mengajar, saya dan beberapa teman dipanggil ke kantor. Entahlah saya tak begitu ingat tentang apa yang dikatakan oleh guru bimbingan konseling waktu itu. Namun yang jelas waktu itu diakhir ceramah yang sangat riuh, masing-masing dari kami diberi surat. Nah, surat tersebut berisi panggilan agar orang tua kami datang ke sekolah.

Setelah kami mendapat surat berukuran besar, bewarna putih, tersegel rapat, dan tertuliskan ‘Kepada Yth. Wali Murid …,” kami tak langsung masuk ke dalam kelas. Sambil bergerombol, di depan kantin kami saling mengungkapkan kegelisahan. Seorang teman perempuan berkali-kali mengusap air mata. Wuh, cantik sekali dia di kala itu. Dengan kulitnya yang putih, rok pendek bewarna biru tua, rambutnya pendek, dan tahi lalat di hidungnya. Dengan muka yang semakin memerah dia bertanya pada kami, apa yang akan kami lakukan dengan surat ini.

Sedangkan beberapa teman saya yang laki-laki, mereka hanya diam sambil menatap jauh ke depan, sebagian lainnya menerawang ke langit-langit kantin. Entah apa yang sedang mereka pikirkan. Yang jelas, mereka sedang menyesal berat. Sedangkan saya sibuk mengamati ekpresi mereka. Memikirkan apa yang sedang mereka pikirkan. Jika mereka gusar saya sedikit berlagak sombong dengan meremehkan permasalahan. Cukup sederhana saya hanya bilang ke mereka kalau surat ini takkan berarti apa-apa bagi saya. Ya, hanya surat. Tinggal menyampaikan kepada orang tua. Kalau orang tua memarahi, cukup pamitan keluar untuk main atau pasang headset kemudian tidur.

Sebenarnya apa yang saya katakan pada mereka tak sepenuhnya akan terjadi. Paling tidak tujuan utama saya adalah dengan meremehkan permasalahan, mereka akan merasa tenang. Selain itu mungkin mereka akan menganggap kalau ini hanya sekedar permasalahan kecil semata. Ya, alhasil mereka sedikit tenang. Kemudian ketenangan yang sementara itu, menumbuhkan berbagai ide baru. Seorang teman saya bilang kalau dia akan membayar tukang becak untuk menghadiri guru bimbingan konseling besok. Sedangkan salah satu teman yang lainnya hampir serupa, dia akan menyuruh temannya yang tua dan bekerja di bengkel untuk ke kantor dan menukar jasanya dengan sebungkus rokok. Wuiihh, ide yang bagus.

Mungkin saat itu adalah pertamakalinya saya memahami jika pelaksanaan sebuah ide itu selalu butuh uang. Dasar generasi instan. Bagi kami waktu itu, masa kecil adalah kehidupan yang tak pernah terlepas dari dominasi uang. Bayangkan untuk bersenang-senang dan tertawa bersama saja kami butuh uang. Misalnya beli Topi Miring atau main PS. Ya, kita akan tertawa bersama. Selain itu ikatan emosional kami lebih gampang untuk rekat antara satu dengan lainnya. Ya, karena keberadaan uang maka kami adalah kelompok yang kompak. Kemana-mana selalu bersama.

Contoh paling sederhana saja misalnya, anak sejaman saya harus merangkai ikatan emosional dengan modal uang. Biasanya kami kalau ingin akrab atau sekedar basa-basi semata, cukup keluarin rokok kemudian satu batang untuk bersama. Haha, iya joinan. Maka dari itu setiap berangkat sekolah saya tak pernah lupa beli rokok eceran. Biasanya ritual merokok bersama itu di toilet sekolah. Mungkin karena tak selamanya menjadi zona yang aman. Maka dari itu semenjak banyak grebekan, kami lebih sering merokok di kantin sekolah. Tentu saja dengan terlebih dahulu kong-kalikong dengan pemilik kantin. Lalu di ruang tersembunyi dalam kantin biasanya kami saling bercerita dan selalua ada tawa.

Memang tak perlu banyak uang. Tapi pastinya selalu harus ada uang yang mengalir dari salah satu dari kami. Beberapa teman memang mempunyai hobi meminta. Biasanya satu snack bisa dimakan berlima, satu plastik es bisa disedot bertujuh, satu gorengan dibelah jadi empat, dan sebagainya. Terkadang saya juga meminta juga. Dan terkadang mereka juga meminta pada saya.

Terlepas dari itu semua, waktu itu sayapun masih tak paham. Sebenernya mengapa kami butuh uang untuk sekedar berinteraksi. Atau sekedar merekatkan jaringan. Mungkin karena keterbatasan wacana atau kemalasan untuk sekedar melamun dan mengoreksi habis-habisan. Sampai saat inipun saya tak sepenuhnya memahami, mengapa kami butuh uang?

*Tulisan perang "GJ" dengan Si Sadam

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini