Senin, 16 Juli 2012

Sepasang Sepatu yang Berjalan di Tempat

Jika waktu adalah lembaran kertas yang kosong. Maka setiap kedipan adalah sebuah coretan kecil. Pagi itu saya berjalan-jalan. Tapi tak menggunakan sepasang kaki. Yang saya butuhkan hanyalah mata dan kedua tangan. Karena perjalanan panjang yang saya tempuh adalah ringkasan dari dunia. Meski tak seluruhnya dari dunia bisa diringkas.

Orang-orang menyebutnya sebagai dunia maya. Sebuah lipatan dari realitas yang ditampilkan dalam layar kaca. Memang kita tak akan membutuhkan sepasang kaki jika ingin berlarian kecil di dalamnya. Biasanya saya hanya butuh seperangkat perlengkapan pinjaman.

Jika browsing adalah sebuah perjalanan. Pastilah demi sebuah kenyamanan dan keamanan saya punya versi sendiri. Laptop sebagai sepatunya. Catatan kecil tentang situs-situs favorit disulap jadi kompas. Selain itu harus membangun istana kecil di dekat Basecamp. Tak perlu susah payah membagun istana yang megah. Sederhana saja ambil bantal dan jadilah pemukiman kecil yang nyaman.

Tapi, pagi itu bukan saya yang sedang melakukan perjalanan. Akan tetapi kedua teman saya. Mereka adalah perempuan dengan gelar gaya hidup yang sok tinggi. Alangkah sialnya warisan waktu yang diberikan pada mereka. Karena yang mereka lakukan hanyalah menyakiti waktu dengan cara bersenang-senang. Tentu saja bukan bersenang-senang seperti apa yang selama ini ada dibenak kita.

Bagi mereka kesenangan terjadi di saat mereka menjelajahi dunia maya hanya untuk memilih sepatu. Aih, memang ketika pertamakali saya mengetahui kalau ternyata ada perempuan yang sejenis itu, rasanya seperti tertampar petir. Betapa mengherankannya mereka. Perempuan seperti mereka itu bisa saja terdefinisikan sebagai perempuan pemalas.

Sebenarnya sebagian dari kita telah tergolong sebagai kaum mereka. Entah disadari atau tidak. Kita telah terjebak pada segala hal yang cenderung terlipat. Atau sederhananya bisa kita sebut tingkah laku instan.

Bukankah lebih menyenangkan kalau kita berkeliling dari toko-ke-toko untuk mencari sepatu. Kita bisa berinteraksi langsung dengan penjualnya. Bukan hanya masalah tawar menawar harga. Budaya saling sapa pastilah hadir di sana. Sekedar berkenalan atau saling tanya kabar.

Akan tetapi coba lihat apa yang gemar teman saya lakukan. Tanpa sadar, dia telah terjebak dalam siklus sebuah pasar maya yang hadir dengan modal yang besar. Pasar itu memperlebar arena publiknya sampai ke ruang sosial di dunia maya sekalipun. Yang mereka tawarkan sebuah barang yang bisa dibeli dengan cara yang mudah. Selain itu, dengan menampilkan beraneka ragam jenis model sepatu. Para konsumer menjadi mempunyai keinginan lebih besar untuk tidak membeli satu sepatu saja.

Tak hanya itu tingkah pasar dengan modal yang besar. Diam-diam mereka mempengaruhi pemikiran para konsumen. Upaya yang mereka lakukan, memainkan hasrat para konsumen. Pertama-tama masyarakat dipecah menjadi berbagai kelas. Kelas rendahan, kampungan, ndeso, elit, dan gaul. Kemudian ditiupkan arwah pada setiap komoditas yang mereka produksi. Arwah itu mengandung status kelas sosial.

Maka muncullah berbagai macam bentuk roh yang sering didengungkan dalam iklan. Misalnya saja dengan memakai sepatu Adidas kamu bakal gaul. Jika ingin dipandang sebagai manusia dengan kelas sosial kaya dan elit maka pakailah Nike.

Kembali lagi pada kedua teman perempuan saya. Mereka berdua tak sadar jika dirinya hanyalah mengkonsumsi roh dari sebuah komoditas. Kesenangan membeli terletak pada cita rasa ilusi dan fantasi yang didembor-gemborkan oleh iklan. Namun bukan pada subtansi material atau nilai guna benda yang mereka beli.

Pantaslah jadinya kalau kedua teman saya itu ketagihan membeli sebuah ilusi. Mungkin karena terdapat kejayaan tertentu ketika status sosialnya terangkat. Harapan yang dia impikan adalah menjadi setara dengan kelas sosial yang biasa mengkonsumsi komoditas tersebut. Misalnya anak pegawai bank, anak pejabat, dan sebagainya.

Padahal jika kita mencoba membaca pesan yang dianut dalam sebuah foto. Tentu saja foto yang frame-nya mempunyai point of interest pada sepasang sepatu. Barangkali kita akan memahami jika foto tersebut sedang bercerita. Atau lebih sederhananya pemilik foto itu sedang berkomunikasi dengan kita lewat sebuah benda.

Sebagian orang ketika memaksa dirinya untuk memaknai foto itu. Barangkali dia akan menjawab, si pemilik foto sedang bercerita tentang proses hidup. Sepatu dimaknai sebagai kita yang sedang bernafas. Satu jejak yang sepatu jalani bagaikan satu hembusan nafas yang kita lalui. Bahkan lewat sepatu, kita bisa mencari tau dari mana si pemiliknya pergi.

Lantas apa hubungannya antara kedua teman saya dan sepasang sepatu gaulnya dengan pesan yang dikandung foto tadi?

Keduanya tidak sama-sama berjalan dalam waktu. Teman saya menjadi sepasang sepatu yang berjalan di tempat. Sedangkan waktu, yang berlari melampaui dirinya. Entahlah apakah sang sepatu tau jika pemiliknya hidup dalam keadaan yang setengah sadar. Kalau dia tau, mungkin dia tak pernah sempat mengingatkan.[]

*Tulisan untuk memprovokasi perang 'GJ' (tema: sepatu)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini