Selasa, 31 Agustus 2010

Monopoli Kebenaran Versi Kaum Fundamentalis Agama

“Agama adalah petunjuk ke jalan yang benar,
tetapi bukan kebenaran itu sendiri”

Beberapa kata yang terangkum dalam kalimat di atas mengandung efek samping yang membuat kita sedikit gauk-garuk kepala, mengarahkan pandangan ke atas, atau mengernyitkan dahi sejenak. Suatu pernyataan yang menganggap agama sebagai jalan, bukan diperlakukan sebagai tujuan akhir yang mutlak disepakati. Lebih jelasnya dianggap titik akhir atau ekspresi final suatu kebenaran. Kemudian berujung pada pengakuan agamanya yang paling benar dan harus ditegakkan hingga beragam cara ekstreme dilakukan.
Diantar oleh beberapa bahan obrolan yang sempat menjadi adegan panas di arena warung kopi. Agama yang sejatinya mengajarkan kedamaian, tiba-tiba membuka wajah seram di balik topengnya. bom bunuh diri, pembantaian, dibakar hidup-hidup, penghancuran gedung keagamaan, diperkosa secara massal, dan hal-hal lain yang menunjukkan wajah mengerikan dari suatu agama.
Karen Armstrong dalam "Sejarah Tuhan" juga telah membedah virus Fundamentalisme agama ini dengan komprehensif, sampai pada suatu kesimpulan bahwa Fundamentalisme tidak ayal lagi sangat dekat dengan radikalisme kekarasan”.
Sedikit belajar dari fenomena hindu yang masuk dengan berupaya menyesuaikan dengan nilai-nilai kebudayaan di indonesia. Sebagai contoh warga hindu di india yang mensakralkan hewan sapi hingga hewan tersebut diagungkan dan dianggap suci. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, umat hindu di negri ini bebas menyembelih hewan yang dianggap suci itu.
Lain halnya dalam konteks kekinian beberapa agama justru menolak nilai-nilai kebudayaan tradisional maupun yang telah berkembang.
Beberapa kelompok muslim yang bercita-cita mendirikan negara islam dengan sistem khilafah tentunya menurut versi mereka masing-masing. Yang perlahan merotasi kebudayaan suatu negara dengan mengembalikan pada masa lalu periode kejayaan agamanya. Dalam bayang-bayang “de javu” melahirkan kekaguman membabi buta yang akhirnya menguras habis wacana kritis. Sebagai akibat dari pemahaman kitab dalam acuan teks, tanpa memperdulikan konteks kitab itu sendiri. Dalam artian tidak meyakini adanya gerak sejarah.
Kompleksitas agama menjalar ke ranah kepentingan politik. entah dalam bentuk adu domba antar agama atau penjinakan kaum beragama. menakut-nakuti mereka dengan api neraka dan berbagai stigma bersemi karenanya. Lebih jelasnya bukan memperbaiki moral dalam berpolitik malah menjadikan agama sebagai senjata untuk berkuasa.
Agama yang seharusnya berperan sebagai perekat heterogenitas dan pereda konflik menjadi diragukan eksistensinya. Ajaran seputar moral itu yang seharusnya menuntun kita bukan hanya untuk menghormati perbedaan, tetapi mencintai perbedaan yang mengandung unsur kekayaan atas perbedaan itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini