Selasa, 31 Agustus 2010

(MARSINAH) Kegelapan yang tak kunjung terang

Ketidak adilan di negri ini hanya untuk dirasakan, bukan untuk diungkap kebenaranya. Gugatan ini yang akan mengantar kita. tentunya untuk mengorek kembali coretan hitam negri ini yang perlahan sengaja dipendam. Hingga kini tak adal kepastian hukum yang mampu menjerat mata rantai pembunuh “MARSINAH”. Mungkin karena hadirnya ramalan jika kasus ini transparan akan memberikan efek domino yang berdampak sistemik bagi eksistensi penguasa orba. Hingga merangsang penguasa untuk memonopoli kebenaran versi mereka.

Mayoritas warga negara kekinian memang tak pernah menyadari. Bahwa “MARSINAH” adalah kaum hawa yang tegas memperjuangkan haknya berangkat dari elemen buruh. memang perjuanganya dalam ruang kecil kerangka pabrik yang relatif tak terkenal. Akan tetapi, gema kuantitas juangnya melambung luas melampaui sejuta cakrawala.
Meksipun ia sosok yang tak mencandu kedekatan emosional untuk menjadi idola publik. Paling tidak MARSINAH berhak menjadi kandidat pahlawan yang linear dengan beberapa tokoh pejuang yang hadir di medan perang seperti Dewi Sartika.

Dimata publik, eksistensinya sangat berbeda dengan KI Haji Abdurrahman wahid. ketika terdengar kabar atas kematia sosok yang renyah di panggil Gus Dur itu. Ribuan orang berlarian untuk menjunjung beliau agar mendapat title “Sang Guru Bangsa”. Bagaikan muntahan manusia dari berbagai pelosok negri yang berserakan mengantar kepergian jenazahnya.

Marsinah hanya manusia biasa yang tak mampu mempraksiskan konsep hegemoni Gramsci. Tak ada kekuasaan entah dalam bentuk struktur atau klasifikasi masyarakat yang mampu menjadi pemicu penanaman pengaruh darinya. Yang ada hanya bekal kemampuanya membaca realita sosial kemudian memberikan penyadaran untuk kawan seprofesinya.

Lain halnya dengan pahlawan negri ini yang dapat dipastikan borjuis ataupun embrio yang lahir dari rahim priyayi. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini merupakan buah kasih antara Sumini dan Mastin. Di usianya yang menginjak tiga Tahun, Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Masa balitanya dihabiskan dengan meneguk asuhan kasih sayang nenek dan bibinya.

Arena menggali sumber kebutuhan hidup di Desanya yang semakin sempit. Memaksanya meruncingkan tekat untuk bergelut di kota yang penuh gumpalan polusi. Di sebuah Pabrik arloji daerah kelurahan Siring Porong ia menggantungkan nasibnya.

Dengan lantang ia menyuarakan perlawanan di tengah lautan demonstran. Menyerukan tuntutan tentang tunjangan tetap yang belum dibayar pengusaha dan penetapan upah minimum sebesar 2.250/hari. Dengan landasan hukum sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Perempuan revolusioner ini yang menjadi pemicu bagi kawan-kawanya untuk mengambil kembali haknya yang dirampas oleh pengusaha.

Namun beberapa hari setelah proses negosiasi dengan pengusaha PT.CPS. Militer mendesak 13 buruh untuk menandatangani surat PHK. Belasan buruh yang diciduk Militer itu diludahi dengan berbagai bentuk stigma yang memvonis bahwa mereka golongan PKI yang memberontak negara.
Kemarahan Marsinah meluap di ubun-ubun kemudian meledak saat mengetahui perlakuan tidak humanis para tentara terhadap kawan-kawannya. Dengan gundah ia raih surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya, lantas pergi. Tapi entah kemana ia pergi, inilah yang menjadi awal kehilangan Marsinah.

Sayu-sayu entah darimana asalnya terdengar berita tentang kematian Marsinah.Mayatnya ditemukan di gubuk bersebelahan dengan sawah petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk (9/5/1993). Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul.

Lain halnya dengan sosok Kartini yang berjuang dengan menarasikan perlawanan melalui tulisan dan surat. Marsinah berjuang untuk mendapatkan hak-haknya dengan tenaga secara frontal, bahkan mempertaruhkan nyawa sebagai nilai tukar terhadap hak kaum buruh. Seharusnya simbol pejuang wanita ini menjadi bahan bakar bagi kita untuk melawan segala bentuk penindasan.

Seperti apa yang dikatakan Supaat Lathief dalam bukunya SASTRA : Eksistensialisme-Mistisisme Religius, Hidup adalah sebuah ironi. Pada hakikatnya manusia tidak pernah meminta agar dilahirkan ke dunia. Tetapi ketika ia lahir akan segera dihadapkan pada sebuah realitas yang menyakitkan hati dengan terpaksa mencintai kehidupan. Setelah itu suka atau tidak suka, senang ataupun tidak, mau tidak mau kelahiran dan kematian menjadi hal absolut yang harus dilalui.

Tapi kita tidak bisa mengingkari bahwa jiwanya tidak bisa dipenjara. Jiwanya akan membumbung tinggi untuk berubah menjadi lidah-lidah api yang akan menghanguskan segala bentuk ketidakadilan. Kematian adalah mediator untuk proses transendensi manusia itu sendiri. Badan mengidap kualitas kebendaan yang akan musnah dikala kematian datang, sedangkan jiwa mengandung kualitas rohani yang abadi walaupun kematian itu tiba.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini