Selasa, 08 Januari 2013

Menjadi Pembaca yang Kritis*

     Mengapa orang indonesia yang berjuang kala itu disebut sebagai pahlawan, sedangkan lawan perangnya disebut sebagai penjajah? Padahal mereka saling bunuh. Di sisi lain pemaknaan yang muncul di Belanda sendiri justru sebaliknya. Bisa jadi hal tersebut hadir karena setiap kelompok mempunyai definisi masing-masing dalam memaknai realitas. Setelahnya mereka akan membangun wacana tertentu untuk menyampaikan realitas versi kelompoknya.

     Kedua pemaknaan tersebut berangkat dari satu peristiwa yang sama. Namun masing-masing dari kedua belah pihak mempunyai penilaian yang berbeda. Hal tersebut terjadi karena sudut pandang atau kerangka frame yang disajikan berlainan.

     Dalam hal ini media memiliki peranan sentral sebagai penyampai. Menginformasikan sebuah realitas yang berjarak dengan publik. Namun secara sekaligus media juga menyampaikan kepada publik definisinya atau pemaknaannya atas realitas. Publik dikatakan Ignas Kleden sebagai kaum literasi sekunder. Dalam artian menerima informasi mengenai peristiwa tertentu lewat berita. Atau dengan kata lain sebagai pembaca realitas yang telah terlebih dahulu dikunyahkan oleh media. Publik memaknai sebuah peristiwa yang telah dimaknai media.

    Media mengemas realitas dalam bentuk berita. Ada bagian tertentu yang ditonjolkan atau sengaja dihilangkan. Potongan-potongan realitas yang diinginkan oleh media untuk ditojolkan kerap kali berhubungan dengan pengulangan atau penguatan aspek tertentu dari sebuah peristiwa. Biasanya dengan cara mengatur gaya bahasa, bantuan foto, penempatan berita pada headline, karikatur, dll. Media tersebut berharap publik akan mudah mengenali atau bahkan mengingatnya. Sedangkan terkait penghilangan aspek tertentu dibuat sebaliknya. Renik peristiwa yang tidak ingin disampaikan akan dianaktirikan atau bahkan tidak dimasukkan dalam tubuh berita. Akan tetapi hal ini sudah terjadi sejak awal, ketika wartawan memandang fakta dari sudut pandang tertentu otomatis dia telah menghilangkan dan mempertajam bagian tertentu dari realitas.

     Bentuk penyajian berita antara satu media dengan yang lain berbeda. Karena setiap kelompok memiliki ideologi maka setiap media memiliki standart objektif versinya sendiri. Lewat metode penulisan berita 5w+1h yang diploting dalam piramida terbalik, media memainkan unsur peristiwa. Mana bagian yang dianggap penting untuk disampaikan dan mana yang tidak. Terlebih model penyampainnya disistematiskan mulai dari yang paling penting sampai bagian yang dianggap tidak terlalu penting.

    Wartawan pada umumnya terikat terhadap aturan perusahaan persnya. Cara mereka membingkai berita, memahami peristiwa dari sudut pandang tertentu, mengemas berita dan mengarahkan pembaca merupakan pola kerja bentukan perusahaan persnya. Tuntutan dari redaksi membuat wartawan harus patuh terhadap nilai berita yang telah menjadi ketetapan di perusahaan itu. Tidak semua hal terkait sebuah peristiwa bisa dilaporkan, wartawan harus menilainya terlebih dahulu bagian mana dari peristiwa yang dianggap bernilai berita tinggi. Hingga memunculkan rumusan mana peristiwa yang layak dianggap sebagai berita dan mana yang bukan berita.

     Karena publik memiliki kelemahan dalam mendapatkan informasi maka media memiliki fungsi penting terhadapnya. Fungsi pertamanya sebagai pengontrol realitas sosial. Dalam hal ini media massa memiliki peranan sebagai transparasi dan pengontrol kebijakan yang menyangkut publik. Di sisi lain juga melakukan monitoring terhadap fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya tawuran antar suku, kenakalan remaja, tumbuh suburnya ayam kampus, dll. Sedangkan yang kedua, media memiliki fungsi untuk mendidik masyarakat. Bagaimana membuat masyarakat peka, mampu mengatasi, memposisikan moral dan etika terhadap realitas sosial yang terjadi di sekitarnya. Sedangkan yang terakhir sebagai penghibur. Hal ini yang kerap kali dimanfaatkan oleh media sebagai adegan komersil. Misalnya saja menyulap gosip menjadi rentetan berita rutin yang dikemas seolah serius dan penting untuk diketahui masyarakat.

     Sebuah realitas tidak hadir secara natural dari seorang wartawan. Fakta yang dikemas oleh wartawan dan dilaporkan ke publik bukan comotan seluruh bagian dari realitas yang disampaikan mentah-mentah. Setiap media memiliki pola kerja tertentu untuk memaknai, memilah, dan menyampaikan fakta. Maka dari itu tidak ada realitas yang disampaikan secara apa adanya. Bentuk penyajian berhubungan dengan ideologi atau sangat dekat dengan visi dan misi dari sebuah media.

    Harusnya loyalitas atau keberpihakan seluruh media massa diperuntukkan ke publik. Setiap media menjadi ada karena terdapatnya hak publik untuk tahu. Namun seringkali kita temui beberapa media yang cenderung lebih loyal terhadap pemerintah atau sumber dana tertentu. Mereka tidak sedang menyampaikan fakta yang mengandung unsur kontrol realitas sosial dan mendidik. Barangkali mereka lebih bisa dikatakan sedang memaksakan sebuah pandangan atas suatu peristiwa kepada masyarakat.

     Kecenderungan berpihaknya media kepada pemerintah atau sumber dana tertentu sengaja menghalusinasi publik. Misalnya saja bagaimana peristiwa lumpur lapindo disampaikan dalam dua hal. Yaitu menggunakan diksi tragedi dan bencana. Contoh lain misalnya bagaimana media memberitakan penggusuran sebagai pemindahan tempat pedagang. Ataupun demontrasi mahasiswa yang lebih fokus terhadap peristiwanya bukan apa yang membuat mahasiswa melakukan demonstrasi. Terlebih media seringkali menerima tawaran untuk menyampaikan berita pesanan dari tokoh politik tertentu untuk disampaikan kepada publik.

     Menjadi pembaca yang kritis untuk memahami agenda setting di balik kemasan berita adalah hal yang barangkali mutlak harus dilakukan. Pembaca harus selalu merasa curiga terhadap bagaimana media memilah, mengolah, menyajikan, menempatkan berita dalam memberitakan peristiwa tertentu. Terlebih mencoba mengawasi alur pemberitaan media, bagaimana mereka menskenariokan alur pikir publik.[]


Daftar bacaan: http://www.satrioarismunandar6.blogspot.com diakses 17 Juni 2012. Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Kontstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LKIS. Yogyakarta. Fairclough, Norman. 2003. Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi. Boyan publishing. Malang.



*) Tulisan ini merupakan Term of Reference untuk diskusi seputar media di Aula STAIN Jember, 7 Januari 2013. Dalam salah satu agenda Launching Majalah UPM Millenium.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini