Dalam sebuah puisinya, Wiji Thukul melemparkan
pendapat ke publik, dia seperti sedang berteriak lantang, pada dasarnya manfaat
dari ilmu pengetahuan terletak pada distribusi pada kelompok sosial terdekat.
Tak ada yang lebih dari sia-sia, dari menggunungnya wacana dalam kedirian,
tanpa disertai proses dialektika dalam poros ilmu pengetahuan an sih.
Betapa gilanya Socrates, seorang filsuf yang bagi
beberapa orang proses kediriannya hanya mampu dilacak lewat Plato, setiap kali
masa senggang hadir, dia menyisir beberapa sirip jalan. Kemudian berhenti di
depan seorang pedagang untuk bertanya, Apa arti keberanian menurut kamu? Lalu
berjalan lagi dan berhenti lagi, untuk sekedar bertanya hal yang sama kepada
seorang pandai besi. Demikian seterusnya.
Jika Socrates adalah ilmu pengetahuan, maka setiap
tapak kaki yang menindih tanah adalah perjalanan dari sebuah ilmu pengetahuan.
Selalu ada jeda untuk sekedar memahami apa yang ada di dalam, kemudian
melemparkan pada tembok di luar dirinya. Dia lemparkan dengan keras. Keras
sekali, sampai pecah. Seoalah segenap kekuatan yang diikatnya untuk melempar,
mewakili ketidakpercayaannya pada sebuah kebenaran absolut yang tunggal. Lalu
mengajak mereka yang diluar, merangkai bersama-sama.
Entahlah apa
yang diinginkan oleh mereka yang secara kontinyu
menerima-memahami-mengolah-menolak ilmu pengetahuan. Bisa saja kebenaran bagai
mereka, hanyalah titik klimaks yang berlaku dengan sangat sementara. Seperti
gelisah Aristoteles pada warna apel. Bukankah warna merah hanya berlaku
sementara. Bagaimana bisa menyatakan apel bewarna merah, jika waktu adalah
tuhan kecil yang senantiasa bekerja untuk merubah. Merubah yang sebelumnya kita
maknai sebagai sebagai kebenaran. Merubah warna apel yang merah menjadi merah
kecoklatan dalam rentang waktu tertentu.
Di sisi lain, terjadi pula proses menaklukan waktu.
Sebuah perjalanan menggeser posisi tuhan. Menjadikan diri sebagai peletak
kebenaran tunggal. Namun di setiap bilik waktu yang manapun, tetap saja hanya
mampu bernafas sepanjang fiksi mini. Berlalu cepat. Secepat satu kali
menyeruput kopi. Namun yang tersisa dan berlaku lama hanyalah endapannya. Dia
yang tak selalu hitam tapi selalu sulit untuk diputihkan.
Mungkin Hitler secara tidak sengaja pernah mengkudeta
waktu atau meniadakan dialektika. Ketika tentara Rusia mendesak Jerman.
Terjadilah proyek pengosongan arsip negara. Seluruh arsip yang tadinya
tersimpan rapi di laci dan berbagai tempat aman lainnya, dibuang lewat jendela
untuk dikumpulkan di tengah lapangan. Kemudian dibakar dengan sangat tergesa.
Entah dalam keadaan sadar atau tidak, berubahlah makna sebuah ritual upacara,
yang tadinya untuk mengenang segala kerjadian masa lalu demi melestarikan rasa
nasionalisme. Menjadi sebuah perayaan untuk meraba-raba masa lalu, apa
sebenarnya yang terjadi di masa itu.
Bukankah sama halnya dengan apa yang dilakukan
jenderal besar angkatan darat kita, Soeharto. Pada masa ketuhannannya, hampir
seluruh media yang mengkritik dirinya harus dibredel. Sambil lalu, membentuk
sebuah kelompok kecil sejarawan, kebetulan diketuai oleh Nugroho Notosusanto.
Tidak hanya itu, untuk mengagungkan atau mengekalkan fiksi mini tentang
kepahlawananya, dia juga membuat sebuah film pendek. Tentu saja segala yang dia
lalukan hanyalah seputar bagaimana cara mempengaruhi publik untuk mengabadikan
kebenaran kediriannya, lewat jalur yang tak sepenuhnya patas. Harapan terbesar
bagi dirinya adalah, kelahiran dan berkembangbiaknya kubu positivis dengan
meniadakan mereka yang kritis.
Bolehlah jika saya sedikit berujar bilamana
perpustakaan adalah pos kasir. Ada jeda di sana bagi sebuah perjalanan ilmu
pengetahuan. Ada embrio hening yang terus bernapas dalam lalu lalang di sana. Sebuah
institusi atau kelompok dengan modal sosial tertentu, selalu menyediakan tempat
ini sebagai jantung bagi dirinya. []
*) Tulisan ini pernah dipublikasikan di Bulletin Partikelir LPMS Ideas
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan share di sini