Senin, 14 Januari 2013

Jantung Habitus


Dalam sebuah puisinya, Wiji Thukul melemparkan pendapat ke publik, dia seperti sedang berteriak lantang, pada dasarnya manfaat dari ilmu pengetahuan terletak pada distribusi pada kelompok sosial terdekat. Tak ada yang lebih dari sia-sia, dari menggunungnya wacana dalam kedirian, tanpa disertai proses dialektika dalam poros ilmu pengetahuan an sih.

Betapa gilanya Socrates, seorang filsuf yang bagi beberapa orang proses kediriannya hanya mampu dilacak lewat Plato, setiap kali masa senggang hadir, dia menyisir beberapa sirip jalan. Kemudian berhenti di depan seorang pedagang untuk bertanya, Apa arti keberanian menurut kamu? Lalu berjalan lagi dan berhenti lagi, untuk sekedar bertanya hal yang sama kepada seorang pandai besi. Demikian seterusnya.

Jika Socrates adalah ilmu pengetahuan, maka setiap tapak kaki yang menindih tanah adalah perjalanan dari sebuah ilmu pengetahuan. Selalu ada jeda untuk sekedar memahami apa yang ada di dalam, kemudian melemparkan pada tembok di luar dirinya. Dia lemparkan dengan keras. Keras sekali, sampai pecah. Seoalah segenap kekuatan yang diikatnya untuk melempar, mewakili ketidakpercayaannya pada sebuah kebenaran absolut yang tunggal. Lalu mengajak mereka yang diluar, merangkai bersama-sama.

Entahlah  apa yang diinginkan oleh mereka yang secara kontinyu menerima-memahami-mengolah-menolak ilmu pengetahuan. Bisa saja kebenaran bagai mereka, hanyalah titik klimaks yang berlaku dengan sangat sementara. Seperti gelisah Aristoteles pada warna apel. Bukankah warna merah hanya berlaku sementara. Bagaimana bisa menyatakan apel bewarna merah, jika waktu adalah tuhan kecil yang senantiasa bekerja untuk merubah. Merubah yang sebelumnya kita maknai sebagai sebagai kebenaran. Merubah warna apel yang merah menjadi merah kecoklatan dalam rentang waktu tertentu.

Di sisi lain, terjadi pula proses menaklukan waktu. Sebuah perjalanan menggeser posisi tuhan. Menjadikan diri sebagai peletak kebenaran tunggal. Namun di setiap bilik waktu yang manapun, tetap saja hanya mampu bernafas sepanjang fiksi mini. Berlalu cepat. Secepat satu kali menyeruput kopi. Namun yang tersisa dan berlaku lama hanyalah endapannya. Dia yang tak selalu hitam tapi selalu sulit untuk diputihkan.

Mungkin Hitler secara tidak sengaja pernah mengkudeta waktu atau meniadakan dialektika. Ketika tentara Rusia mendesak Jerman. Terjadilah proyek pengosongan arsip negara. Seluruh arsip yang tadinya tersimpan rapi di laci dan berbagai tempat aman lainnya, dibuang lewat jendela untuk dikumpulkan di tengah lapangan. Kemudian dibakar dengan sangat tergesa. Entah dalam keadaan sadar atau tidak, berubahlah makna sebuah ritual upacara, yang tadinya untuk mengenang segala kerjadian masa lalu demi melestarikan rasa nasionalisme. Menjadi sebuah perayaan untuk meraba-raba masa lalu, apa sebenarnya yang terjadi di masa itu.

Bukankah sama halnya dengan apa yang dilakukan jenderal besar angkatan darat kita, Soeharto. Pada masa ketuhannannya, hampir seluruh media yang mengkritik dirinya harus dibredel. Sambil lalu, membentuk sebuah kelompok kecil sejarawan, kebetulan diketuai oleh Nugroho Notosusanto. Tidak hanya itu, untuk mengagungkan atau mengekalkan fiksi mini tentang kepahlawananya, dia juga membuat sebuah film pendek. Tentu saja segala yang dia lalukan hanyalah seputar bagaimana cara mempengaruhi publik untuk mengabadikan kebenaran kediriannya, lewat jalur yang tak sepenuhnya patas. Harapan terbesar bagi dirinya adalah, kelahiran dan berkembangbiaknya kubu positivis dengan meniadakan mereka yang kritis.

Bolehlah jika saya sedikit berujar bilamana perpustakaan adalah pos kasir. Ada jeda di sana bagi sebuah perjalanan ilmu pengetahuan. Ada embrio hening yang terus bernapas dalam lalu lalang di sana. Sebuah institusi atau kelompok dengan modal sosial tertentu, selalu menyediakan tempat ini sebagai jantung bagi dirinya. []

*) Tulisan ini pernah dipublikasikan di Bulletin Partikelir LPMS Ideas

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini