Pada dasarnya setiap manusia berusaha keras menunda kematiannya.
Namun ada kalanya orang lain justru yang menjemput kematian untuk
diberikan pada kita. Satu hal yang melekat dalam pikiran saya mengenai
kematian yang diinginkan manusia ialah Socrates.
Ia dituduh merusak kaum muda Athena dan dijatuhi hukuman mati. Ia tak
gentar dengan ancaman pembunuhan itu, tak ada niat melarikan diri.
Waktu terakhirnya dimanfaatkan untuk berdiskusi dengan teman-temannya,
sembari meminum secangkir
hemlock beracun dari algojo. Setelah
minum racun, Socrates dibuat untuk berjalan sampai kakinya terasa berat,
hingga sekujur tubuhnya mati rasa.
Di waktu yang berbeda, duta tahun yang lalu di Indonesia, Susilo
Bambang Yudhoyono mendorong kebijakan untuk menyelamatkan warga negara
Indonesia dari hukuman mati di luar negeri. Saat itu dua orang asal
Indonesia yang bernama Heni dan Indah terjerat hukuman mati di Malaysia
karena tindak pidana narkotika. Untuk menyelamatkan warganya ini,
sebagai gantinya SBY berjanji akan membebaskan atau mengurangi hukuman
bagi warga negara asing yang diancam hukuman mati di Indonesia.
Di waktu sekarang ada polemik berkepanjangan di negara kita. Polemik
itu ialah warga Australia yang diputuskan presiden saat ini untuk
mendapat hukuman mati. Keputusan tersebut diambil berdasarkan hak
preogratif seorang presiden. Sekian jauh bangsa ini menapak kepedulian
pada HAM, namun kali ini praktek barbarianisme dihidupkan kembali.
Kita tengah terdampar pada sikap ambigu pemerintahan Indonesia yang
meminta negara lain tidak menghukum mati WNI, namun akan menghukum mati
warga asing, meski di sisi lain pemerintahan kita menolak aborsi atau
pembunuhan pada janin.
Myuran Sukumaran dan Andrew Chan akan dieksekusi bersama-sama karena
mereka telah melakukan penyelundupan narkotika. 17 April 2005, Myuran
Sukumaran dan Andrew Chan bersama tujuh orang yanng lain, tertangkap
karena berencana menyelundupkan 8,3 kg heroin ke Australia dari Bali.
Setahun kemudian Sukumaran dan Chan dikenai hukuman mati. Keduanya
sempat mendekam dalam cemas di penjara Krobokan Bali namun telah
dipindahkan ke Nusakambangan. Tak jauh dari sana, mereka berdua akan
dieksekusi mati oleh para juru tembak.
Ini mengingatkan kembali saat tahun 1834, waktu itu Pennsylvania
menjadi negara bagian pertama yang memindahkan eksekusi jauh dari mata
publik, membawa mereka keluar dalam lembaga pemasyarakatan.
Duo terpidana ini adalah bagian dari gerombolan Bali Nine. Sukumaran
dan Chan telah menghabiskan masa tahanan kurang lebih 10 tahun dengan
mendedikasikan diri untuk sesama. Usia muda keduanya membuat rentang
waktu dalam penjara menjadi mudah untuk ruang belajar akan hal-hal baru.
Australia yang pada 1985 silam menghapus hukuman mati untuk semua
jenis kejahatan, memohon grasi dengan alasan Sukumaran dan Chan telah
berhasil direhabilitasi. Ancaman hukuman mati selama ini juga telah
terlebih selalu didahului menyiksa mereka secara psikologis.
Presiden kita menolak grasi dan pembatalan hukuman mati karena kasus
yang mengidap Sukamaran dan Chan adalah narotika. Padahal sejauh ini
secara internasional, belum ada dampak hukuman mati bagi pengurangan
pengguna atau pengedar narkotika. Bagi Jokowi, langkah menghukum mati
merupakan sebuah upaya untuk memutus mata rantai pengedaran narkotika.
Aksioma ini, merupakan pedapat yang dijadikan dalil pertama sekaligus
diterima sebagai kebenaran umum tanpa memerlukan pembuktian. Seolah
presiden tengah memakai kaca mata aliran positivis, Jhon Austin, yang
bisa kita cari dalam buku The Province of Jurisprudence Determined dan
Lecture on Jurisprudence.
Bagi Austin, Hukum ialah seperangkat perintah, baik langsung ataupun
tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya.
Pemerintah Indonesia memang memegang otoritas tertinggi dalam negara.
Dapat dipastikan juga bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber
hukum.
Sebagai besar warga Indonesia, khususnya kelas menengah yang
ngehek,
barangkali akan berpikir, betapapun buruknya peraturan dan ketentuan
yang ada, asalkan telah menjadi Undang-undang yang harus diterapkan maka
biarkan saja bergulir. Abaikan. Anggap benar.
Lantas apa bedanya kebijakan pemerintahan Indonesia saat ini dengan
jaman Athena dari pemerintahan Sparta menuju Demokrasi, dengan alegori
kitab perjanjian lama, ‘mata ganti mata’. Di negeri ini, kita pun tak
asing dengan semboyan kuno, ‘hutang nyawa dibayar dengan nyawa’.
Hal tersebut tampak serupa dengan pandangan presiden, bahwa dua warga
negara asing yang dijatuhi hukuman mati berhak mendapatkan hukuman
tersebut, karena bangsa kita telah menderita karena narkoba. Maka
kematian, penderitaan, dan sebagainya dianggap layak ditukar dengan
nyawa penyelundup.
Upaya Balas Dendam
Hukuman mati merupakan upaya perampasan hak untuk hidup seseorang.
Keji, tidak manusiawi, dan merendakan martabat. Sebuah bentuk penyiksaan
yang dilembagakan. Bentuk totaliter pemerintah yang secara sistematis
melanggar hak-hak individu.
Lex talionis termaktub dalam alkitab yang menjadi warisan sebelum era
aufklarung,
balas mata dengan mata, merupakan modus balas dendam. Barangkali pak
presiden terilhami cara berpikir yang ditanamkan oleh pemerintahan
feodal Indonesia. Cara melawan kekerasan dengan kekerasan yang dia
lakukan. Bertolak belakang dengan Mahatma Gandhi, yang berpendapat mata
ganti mata akan membuat seluruh dunia buta.
Terkait kasus pembunuhan pun, kita tidak bisa melawan kematian korban
dengan lebih kematian pelaku kejahatan. Pembunuhan terhadap pelaku
tidak menyelesaikan atau menyembuhkan luka keluarga korban. Tentu tidak
pula mengembalikan keluarga korban atau masyarakat lain yang turut
dilukai menuju perdamaian bersama. Balas dendam justru akan mengabadikan
siklus kekerasan di Indonesia.
Dalam artian yang sederhana, keputusan hukuman untuk mencabut nyawa
seseorang, merupakan pengambilalihan terhadap kehendak yang kuasa.
Hukuman mati adalah capaian terakhir dari semua jenis hukuman. Tak ada
peluang untuk rehabilitasi dan pemulihan perilaku personal.
Dengan kata lain, eksekusi mati tak lain merupakan hukuman yang tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan.
Penafsiran kita mengenai sebuah hukuman harus segera diperbaiki.
Hukuman adalah salah satu bentuk pendidikan bagi pelanggar peraturan.
Penjara dibuat untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali
terpidana yang diisolasi dengan masyarakatnya (reintegrasi). Dalam
artian tahap rehabilitasi menjadi poros penting diarahkan untuk
memulihkan kehidupan pelaku kejahatan dan mempersiapkan dirinya kembali
kepada masyarakat.
Hukuman mati sudah usang. Nalar kritis harusnya mampu memoderasi
kehausan setiap orang untuk menumpahkan darah. Sudah bukan waktunya lagi
menciptakan sebuah kedamain dengan cara menakut-nakuti, hukum kita
harus disesuaikan dengan keadaan kekinian.
Masyarakat berkembang lebih cepat dari pada pembentukan peraturan
perundang-undangan yang membutuhkan waktu dan tata cara tertentu.
Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan
dengan masyarakat.
Indonesia negara hukum, bukan negara undang-undang. Penafsirah hukum
selayaknya disesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat,
sehingga menekankan hati nurani daripada kepastian hukum positivis yang
gejalanya nampak saat ini.
Negara memiliki wewenang yang sah untuk mengeksekusi penjahat, tetapi
harus menahan diri jika memiliki cara lain. Biaya eksekusi hukuman mati
bisa jadi lebih mahal daripada mendanai kebutuhan hukuman seumur hidup.
HAM dan Aparatus Korup
Hukuman mati merupakan pelanggaran terang-terangan dari Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia. Setiap orang memiliki hak asasi manusia
untuk hidup, kebebasan, keamanan pribadi, dan hak untuk tidak disiksa.
Namun faktanya tak ada metode manusiawi untuk membasmi kehidupan.
Hukuman mati melegitimasi tindakan kekerasan irasional oleh negara.
Upaya untuk melenyapkan pelaku-pelaku kejahatan yang tidak mungkin dapat
diperbaiki lagi. Namun, selama para korban vonis mati masih bisa
menghentikan kejahatannya dan melakukan rehabilitasi, lantas mengapa
hukuman mati ini masih tetap akan dilakukan. Bukankah hal tersebut
merupakan penghianatan terhadap keadilan HAM objek hukum.
Alternatif hukuman pengganti harus dicarikan dengan segala
pertimbangan rasional. Menjadikan hukuman mati sebagai solusi adalah
kurang tepat. Yang bisa dilakukan adalah memberikan pembinaan melalui
kesempatan untuk memperbaiki perilaku diri, sebab sistem pemidanaan
modern lebih bersifat perbaikan terhadap perilaku pelaku kejahatan,
bukan terdiri dari berbagai lapisan penyiksaan.
Kedamaian itu harus diciptakan dari adonan pendidikan bukan kebencian
dalam dendam. Bagi Cesare Beccaria satu hal yang penting ialah
menegaskan kepastian hukuman, menjadi pencegah yang lebih efektif.
Padahal jika presiden memandang hukum dalam perspektif positivis,
segala jenis keputusan yang dilakukan baru bisa dieksekusi jika aparatus
negara telah dinyatakan bersih. Ada kemungkinan besar bahwa penyebab
tindak kriminal ada pada timpangnya kondisi ekonomi dan aparatus negara
yang korup.
Di balik proses penyelidikan dari sistem reot negara kita, resiko
membunuh orang tak bersalah menjadi lebih besar. Jangan sampai Indonesia
tenggelam dalam arus peniadaan terhadap HAM hanya karena sistem sosial
yang rancu. Jika hal tersebut terjadi, barangkali pengacara Death Row,
Bryan Stevenson, ada benarnya dengan berkata, “Kenyataannya hukuman mati
adalah lotere. Ini adalah hukuman yang dibentuk oleh kendala
kemiskinan, ras, geografi dan politik lokal.”
Jika meninjau lebih jauh ke belakang, mengapa vonis hukuman mati tak
pernah diberikan pada subjek atau pelaku pelanggaran HAM berat?
Peristiwa 1965, Tanjung Priuk, Talangsari, dan sebagainya. Hukuman mati
berdasarkan kebencian pada ras tertentu di Papua. Ada kesamaan antara
Socrates dengan saudara kita di Papua. Keduanya akan sulit mendapatkan
legitimasi dari negara karena memiliki logos.
Saya rasa sangat mengherankan jika negara mengeksekusi mati dengan
senyap Munir Said Thalib, akan tetapi Pollycarpus tidak dibalas dengan
hukuman mati. Justru Pollycarpus dibebaskan Desember 2014 silam. Banyak
juga tindak pidana korupsi tanpa proses penyelesaian hukum yang
memuaskan. Sederhananya, ada akrobat sistem hukum kita yang tebang
pilih.
Rata-rata mereka yang disiksa secara mengerikan adalah kalangan bawah
yang tak punya relasi kekuasaan. Sedangkan mereka yang punya strata
sosial tinggi atau bisa menggunakan kekayaan dan kekuasaan guna
melarikan diri dari hukuman. Distribusi ketegasan kebijakan hukum tidak
merata. Tingkat konomi dan status sosial seseorang memainkan peranan
besar dalam menentukan siapa yang hidup dan yang mati.
Dari segala macam tindakan kriminal, satu hal yang perlu dituntaskan
mungkin saja adalah terkait persoalan hulunya. Evaluasi terhadap tubuh
pemerintahan kita akan membentuk perbaikan sistem bea cukai,
profesionalisme kepolisian, dan sebagainya.
Menyisir akar penyebab dan faktor yang berkontribusi terhadap
kejahatan menjadi penting, yang tentu diiringi juga dengan penguatan
independensi dan kebersihan aparatus hukumnya. Allan Badiou pernah
menyinggung hal ini, baginya keadilan dan kesetaraan merupakan pondasi
dari sebuah kebenaran.
Pemimpin negara memegang andil yang besar dalam putusan hukuman mati,
hal tersebut juga berhubungan dengan arsitektur diplomasi. Dari sana
bisa dikatakan bahwa penghukuman mati hanya sekedar peristiwa politik,
namun dampak dari vonis mati yang berdasarkan asa kekerasan dan
pelanggaran HAM akan mewujud dalam peristiwa budaya.
Pernyataan terkait vonis mati akan menjadi
causa celebre
(pemicu) bagi kehadiran kembali praktik vonis mati di masa berikutnya.
Kekerasan antar sesama untuk menghancurkan HAM akan menghantui setiap
individu. Hidup menjadi serangkaian hari ke hari perjuangan tanpa rasa
kebersamaan atau kesatuan. Kekerasan akan terus berlangsung mengurangi
kepedulian sosial. Menyilaukan empati.
Dalam artian lain hukuman mati bukan cara terbaik untuk mencegah agar tindak kriminal tidak terulang.
Ada kalanya Jokowi harus bertindak tegas dan berpikiran maju dengan memegang
real politic
ala Alan Badiou. Ada rasa kemanusiaan yang harus dihadirkan dengan
sempurna di antara topeng kapitalisme, demokrasi, dan undang-undang yang
tak manusiawi.
Keadilan bukan sekedar tindakan perampasan HAM, bukan pula ajang
balas dendam, ataupun pengkambinghitaman terhadap kerugian negara.
Tetapi seharusnya menjadi ajang mencari keadilan yang tidak hanya untuk
korban atau untuk masyarakat tetapi untuk pelaku kejahatan juga.
Maka dari itu ada urgensi bahwasanya Indonesia harus menghapus
hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Tentu agar kejahatan HAM di
Indonesia tidak terulang.
*) Esai ini sudah terlebih dahulu dimuat di Midjournal, berikut sumbernya
Jika Hukuman Mati di Indonesia Dihapuskan Oleh Pak Presiden.