Urban Protest Against Fuel Price Hike

Planting seeds reversing the city walls

Combing Into Jogja

Spend the twilight alone

Carnaval Music Patrol XII Jember

Sabtu malam, sampai senin dini hari (28-29/07), Carnaval Music Patrol (CPM) merupakan sebentuk usaha untuk melestarikan kesenian tradisi yang mulai meredup eksistensinya karena tergeser oleh arus modernisasi. Kegiatan CMP XII ini, diselenggarakan kesekian kalinya, oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember (UKMK UJ).

Abrasi di Bibir Papuma

Jember (13/01) dini hari beberapa teman mencari nasi menyisir warung, mereka berjalan pelan-pelan lewat belakang warung.

Berdagang di Pasar Tradisional

Para pedagang di Pasar Tanjung Jember yang memulai aktivitasnya dini hari.

Rabu, 11 April 2018

Bisnis 'Heroin Elektrik' Mobile Legends

Ada bisnis legit di tiap lapis olahraga virtual e-Sports.

Revolusi digital memindai gaya hidup orang Indonesia. Gim online berbasis ponsel seperti Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) merangsek pelbagai ruang. Anda jadi lebih sering melihat orang-orang bermain gim di warung-warung, kantor, hingga sekolahan. Mereka lebih terobsesi main gim daripada ngobrol, makan, atau tidur. 

“Dulu waktu saya ngejar top global rank itu main gim 20 jam sehari,” ungkap Afrindo Valentino, 22 tahun, kepada reporter Tirto. Hasilnya, ia menjadi pemain terbaik di musik ke-7 di seluruh negara yang jadi persebaran MLBB. 

Afrindo adalah kapten tim NXL yang berinisial “G”, yang awal April lalu menyabet juara pertama Mobile Professional League (MPL). 

Di Indonesia, e-Sports atau olahraga virtual berkembang pesat. Ada lebih dari 9,5 juta penggemar e-Sports, di antaranya 2,8 juta tinggal di Vietnam dan 2 juta di Indonesia. Olahraga ini minim risiko cedera dan tak perlu otot besi. Tapi, sebagaimana olahraga dengan pemain lebih dari satu orang, ia membutuhkan kerja sama tim, strategi, kecepatan berpikir, dan yang menjadi pembedanya: jari yang gesit. 

Berdasarkan riset Newzoo, antara 2014 hingga 2016, audiens e-Sports tumbuhsebanyak 43 persen dari 204 juta menjadi 292 juta. Proyeksi pada 2019, audiens ini akan melebihi 427 juta. Industri e-Sports dalam dua tahun ini juga meningkat dari 194 juta dolar AS menjadi 463 juta dolar AS. Diperkirakan, tahun tahun 2020 bakal mencapai keuntungan sekitar 1,5 miliar dolar AS. 

Penelitian Newzoo menunjukkan Asia Tenggara adalah kawasan industri e-Sports dengan pertumbuhan tercepat. Lebih dari setengah penggemar paling bersemangat olahraga virtual ini ada di kawasan Asia Pasifik. Angka ini dilaporkan akan berlipat ganda pada 2019. Rencananya, e-Sports akan menjadi olahraga resmi pada Asian Games 2022 yang akan dihelat di Hangzhou, Tiongkok. 


Senin, 02 April 2018

Senjakala TVRI: Dijauhi Anak Muda, Digerakkan PNS Berusia Tua

Lembaga penyiaran publik ini telah renta, kusut, gemuk, malas, dan lamban.


Tampilan kelabu identik dengan Televisi Republik Indonesia. Televisi publik yang dibiayai negara itu menjadi tua, rimba masalah, dan kusut. Ia masih berisi acara seremonial pemerintah minim kritik. Ia menyajikan 60 persen tayangan berulang tanpa memproduksi konten baru. 

Bahkan ada program yang mereplikasi sebuah tayangan dari stasiun televisi swasta. Roy Thaniago dari Remotivi, sebuah pusat studi media dan komunikasi berkedudukan di Jakarta, menilai langkah menduplikasi tayangan itu karena TVRI terjebak dalam logika komersial. 

“Ada tayangan namanya 'Keren'. Itu namanya saja jelek. Itu tayangan meniru 'Dahsyat',” kata Thaniago merujuk acara hiburan dari RCTI berisi guyonan, guyonan, dan guyonan. 'Dahsyat' pernah disemprit Komisi Penyiaran Indonesia karena mengabaikan "norma kesopanan, penghormatan terhadap etika profesi, dan perlindungan anak." 

Selain itu, tayangan edukatif di TVRI misalnya dialog buku dikemas secara monoton. Tayangan yang membosankan dan terus diulang ini diproduksi oleh jumlah sumber daya melimpah. Pada medio 2010, jumlah karyawan TVRI sebanyak 6.823 orang, 2.000 di antaranya bekerja di kantor pusat. 

Apni Jaya Putra, direktur program dan berita TVRI, mengatakan kini jumlah pegawai TVRI ada 4.300 orang, dan sekitar 1.800 pegawainya bekerja di Jakarta. 

Dari nisbah itu, artinya, sekitar 2.500 karyawan TVRI berada di daerah, dan mereka hanya menggarap 20 persen tayangan dalam 22 jam. Di setiap daerah, jumlah karyawan antara 150 hingga 200 orang. 

“Kalau kami cerita komposisi beban kerja, rasio produksi dengan jumlah karyawan, ya kebanyakan,” keluh Apni. 

Senin, 23 Maret 2015

Jika Hukuman Mati di Indonesia Dihapuskan Oleh Pak Presiden*

Pada dasarnya setiap manusia berusaha keras menunda kematiannya. Namun ada kalanya orang lain justru yang menjemput kematian untuk diberikan pada kita. Satu hal yang melekat dalam pikiran saya mengenai kematian yang diinginkan manusia ialah Socrates.

Ia dituduh merusak kaum muda Athena dan dijatuhi hukuman mati. Ia tak gentar dengan ancaman pembunuhan itu, tak ada niat melarikan diri. Waktu terakhirnya dimanfaatkan untuk berdiskusi dengan teman-temannya, sembari meminum secangkir hemlock beracun dari algojo. Setelah minum racun, Socrates dibuat untuk berjalan sampai kakinya terasa berat, hingga sekujur tubuhnya mati rasa.

Di waktu yang berbeda, duta tahun yang lalu di Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono mendorong kebijakan untuk menyelamatkan warga negara Indonesia dari hukuman mati di luar negeri. Saat itu dua orang asal Indonesia yang bernama Heni dan Indah terjerat hukuman mati di Malaysia karena tindak pidana narkotika. Untuk menyelamatkan warganya ini, sebagai gantinya SBY berjanji akan membebaskan atau mengurangi hukuman bagi warga negara asing yang diancam hukuman mati di Indonesia.

Di waktu sekarang ada polemik berkepanjangan di negara kita. Polemik itu ialah warga Australia yang diputuskan presiden saat ini untuk mendapat hukuman mati. Keputusan tersebut diambil berdasarkan hak preogratif seorang presiden. Sekian jauh bangsa ini menapak kepedulian pada HAM, namun kali ini praktek barbarianisme dihidupkan kembali.

Kita tengah terdampar pada sikap ambigu pemerintahan Indonesia yang meminta negara lain tidak menghukum mati WNI, namun akan menghukum mati warga asing, meski di sisi lain pemerintahan kita menolak aborsi atau pembunuhan pada janin.

Myuran Sukumaran dan Andrew Chan akan dieksekusi bersama-sama karena mereka telah melakukan penyelundupan narkotika. 17 April 2005, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan bersama tujuh orang yanng lain, tertangkap karena berencana menyelundupkan 8,3 kg heroin ke Australia dari Bali. Setahun kemudian Sukumaran dan Chan dikenai hukuman mati. Keduanya sempat mendekam dalam cemas di penjara Krobokan Bali namun telah dipindahkan ke Nusakambangan. Tak jauh dari sana, mereka berdua akan dieksekusi mati oleh para juru tembak.

Ini mengingatkan kembali saat tahun 1834, waktu itu Pennsylvania menjadi negara bagian pertama yang memindahkan eksekusi jauh dari mata publik, membawa mereka keluar dalam lembaga pemasyarakatan.

Duo terpidana ini adalah bagian dari gerombolan Bali Nine. Sukumaran dan Chan telah menghabiskan masa tahanan kurang lebih 10 tahun dengan mendedikasikan diri untuk sesama. Usia muda keduanya membuat rentang waktu dalam penjara menjadi mudah untuk ruang belajar akan hal-hal baru.

Australia yang pada 1985 silam menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan, memohon grasi dengan alasan Sukumaran dan Chan telah berhasil direhabilitasi. Ancaman hukuman mati selama ini juga telah terlebih selalu didahului menyiksa mereka secara psikologis.

Presiden kita menolak grasi dan pembatalan hukuman mati karena kasus yang mengidap Sukamaran dan Chan adalah narotika. Padahal sejauh ini secara internasional, belum ada dampak hukuman mati bagi pengurangan pengguna atau pengedar narkotika. Bagi Jokowi, langkah menghukum mati merupakan sebuah upaya untuk memutus mata rantai pengedaran narkotika.

Aksioma ini, merupakan pedapat yang dijadikan dalil pertama sekaligus diterima sebagai kebenaran umum tanpa memerlukan pembuktian. Seolah presiden tengah memakai kaca mata aliran positivis, Jhon Austin, yang bisa kita cari dalam buku The Province of Jurisprudence Determined dan Lecture on Jurisprudence.

Bagi Austin, Hukum ialah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya. Pemerintah Indonesia memang memegang otoritas tertinggi dalam negara. Dapat dipastikan juga bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber hukum.

Sebagai besar warga Indonesia, khususnya kelas menengah yang ngehek, barangkali akan berpikir, betapapun buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan telah menjadi Undang-undang yang harus diterapkan maka biarkan saja bergulir. Abaikan. Anggap benar.

Lantas apa bedanya kebijakan pemerintahan Indonesia saat ini dengan jaman Athena dari pemerintahan Sparta menuju Demokrasi, dengan alegori kitab perjanjian lama, ‘mata ganti mata’. Di negeri ini, kita pun tak asing dengan semboyan kuno, ‘hutang nyawa dibayar dengan nyawa’.
Hal tersebut tampak serupa dengan pandangan presiden, bahwa dua warga negara asing yang dijatuhi hukuman mati berhak mendapatkan hukuman tersebut, karena bangsa kita telah menderita karena narkoba. Maka kematian, penderitaan, dan sebagainya dianggap layak ditukar dengan nyawa penyelundup.


Upaya Balas Dendam
Hukuman mati merupakan upaya perampasan hak untuk hidup seseorang. Keji, tidak manusiawi, dan merendakan martabat. Sebuah bentuk penyiksaan yang dilembagakan. Bentuk totaliter pemerintah yang secara sistematis melanggar hak-hak individu.

Lex talionis termaktub dalam alkitab yang menjadi warisan sebelum era aufklarung, balas mata dengan mata, merupakan modus balas dendam. Barangkali pak presiden terilhami cara berpikir yang ditanamkan oleh pemerintahan feodal Indonesia. Cara melawan kekerasan dengan kekerasan yang dia lakukan. Bertolak belakang dengan Mahatma Gandhi, yang berpendapat mata ganti mata akan membuat seluruh dunia buta.

Terkait kasus pembunuhan pun, kita tidak bisa melawan kematian korban dengan lebih kematian pelaku kejahatan. Pembunuhan terhadap pelaku tidak menyelesaikan atau menyembuhkan luka keluarga korban. Tentu tidak pula mengembalikan keluarga korban atau masyarakat lain yang turut dilukai menuju perdamaian bersama. Balas dendam justru akan mengabadikan siklus kekerasan di Indonesia.

Dalam artian yang sederhana, keputusan hukuman untuk mencabut nyawa seseorang, merupakan pengambilalihan terhadap kehendak yang kuasa. Hukuman mati adalah capaian terakhir dari semua jenis hukuman. Tak ada peluang untuk rehabilitasi dan pemulihan perilaku personal.

Dengan kata lain, eksekusi mati tak lain merupakan hukuman yang tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan.

Penafsiran kita mengenai sebuah hukuman harus segera diperbaiki. Hukuman adalah salah satu bentuk pendidikan bagi pelanggar peraturan. Penjara dibuat untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana yang diisolasi dengan masyarakatnya (reintegrasi). Dalam artian tahap rehabilitasi menjadi poros penting diarahkan untuk memulihkan kehidupan pelaku kejahatan dan mempersiapkan dirinya kembali kepada masyarakat.

Hukuman mati sudah usang. Nalar kritis harusnya mampu memoderasi kehausan setiap orang untuk menumpahkan darah. Sudah bukan waktunya lagi menciptakan sebuah kedamain dengan cara menakut-nakuti, hukum kita harus disesuaikan dengan keadaan kekinian.

Masyarakat berkembang lebih cepat dari pada pembentukan peraturan perundang-undangan yang membutuhkan waktu dan tata cara tertentu. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.

Indonesia negara hukum, bukan negara undang-undang. Penafsirah hukum selayaknya disesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, sehingga menekankan hati nurani daripada kepastian hukum positivis yang gejalanya nampak saat ini.

Negara memiliki wewenang yang sah untuk mengeksekusi penjahat, tetapi harus menahan diri jika memiliki cara lain. Biaya eksekusi hukuman mati bisa jadi lebih mahal daripada mendanai kebutuhan hukuman seumur hidup.


HAM dan Aparatus Korup
Hukuman mati merupakan pelanggaran terang-terangan dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Setiap orang memiliki hak asasi manusia untuk hidup, kebebasan, keamanan pribadi, dan hak untuk tidak disiksa. Namun faktanya tak ada metode manusiawi untuk membasmi kehidupan.

Hukuman mati melegitimasi tindakan kekerasan irasional oleh negara. Upaya untuk melenyapkan pelaku-pelaku kejahatan yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Namun, selama para korban vonis mati masih bisa menghentikan kejahatannya dan melakukan rehabilitasi, lantas mengapa hukuman mati ini masih tetap akan dilakukan. Bukankah hal tersebut merupakan penghianatan terhadap keadilan HAM objek hukum.

Alternatif hukuman pengganti harus dicarikan dengan segala pertimbangan rasional. Menjadikan hukuman mati sebagai solusi adalah kurang tepat. Yang bisa dilakukan adalah memberikan pembinaan melalui kesempatan untuk memperbaiki perilaku diri, sebab sistem pemidanaan modern lebih bersifat perbaikan terhadap perilaku pelaku kejahatan, bukan terdiri dari berbagai lapisan penyiksaan.

Kedamaian itu harus diciptakan dari adonan pendidikan bukan kebencian dalam dendam. Bagi Cesare Beccaria satu hal yang penting ialah menegaskan kepastian hukuman, menjadi pencegah yang lebih efektif.

Padahal jika presiden memandang hukum dalam perspektif positivis, segala jenis keputusan yang dilakukan baru bisa dieksekusi jika aparatus negara telah dinyatakan bersih. Ada kemungkinan besar bahwa penyebab tindak kriminal ada pada timpangnya kondisi ekonomi dan aparatus negara yang korup.

Di balik proses penyelidikan dari sistem reot negara kita, resiko membunuh orang tak bersalah menjadi lebih besar. Jangan sampai Indonesia tenggelam dalam arus peniadaan terhadap HAM hanya karena sistem sosial yang rancu. Jika hal tersebut terjadi, barangkali pengacara Death Row, Bryan Stevenson, ada benarnya dengan berkata, “Kenyataannya hukuman mati adalah lotere. Ini adalah hukuman yang dibentuk oleh kendala kemiskinan, ras, geografi dan politik lokal.”

Jika meninjau lebih jauh ke belakang, mengapa vonis hukuman mati tak pernah diberikan pada subjek atau pelaku pelanggaran HAM berat? Peristiwa 1965, Tanjung Priuk, Talangsari, dan sebagainya. Hukuman mati berdasarkan kebencian pada ras tertentu di Papua. Ada kesamaan antara Socrates dengan saudara kita di Papua. Keduanya akan sulit mendapatkan legitimasi dari negara karena memiliki logos.

Saya rasa sangat mengherankan jika negara mengeksekusi mati dengan senyap Munir Said Thalib, akan tetapi Pollycarpus tidak dibalas dengan hukuman mati. Justru Pollycarpus dibebaskan Desember 2014 silam. Banyak juga tindak pidana korupsi tanpa proses penyelesaian hukum yang memuaskan. Sederhananya, ada akrobat sistem hukum kita yang tebang pilih.

Rata-rata mereka yang disiksa secara mengerikan adalah kalangan bawah yang tak punya relasi kekuasaan. Sedangkan mereka yang punya strata sosial tinggi atau bisa menggunakan kekayaan dan kekuasaan guna melarikan diri dari hukuman. Distribusi ketegasan kebijakan hukum tidak merata. Tingkat konomi dan status sosial seseorang memainkan peranan besar dalam menentukan siapa yang hidup dan yang mati.

Dari segala macam tindakan kriminal, satu hal yang perlu dituntaskan mungkin saja adalah terkait persoalan hulunya. Evaluasi terhadap tubuh pemerintahan kita akan membentuk perbaikan sistem bea cukai, profesionalisme kepolisian, dan sebagainya.

Menyisir akar penyebab dan faktor yang berkontribusi terhadap kejahatan menjadi penting, yang tentu diiringi juga dengan penguatan independensi dan kebersihan aparatus hukumnya. Allan Badiou pernah menyinggung hal ini, baginya keadilan dan kesetaraan merupakan pondasi dari sebuah kebenaran.

Pemimpin negara memegang andil yang besar dalam putusan hukuman mati, hal tersebut juga berhubungan dengan arsitektur diplomasi. Dari sana bisa dikatakan bahwa penghukuman mati hanya sekedar peristiwa politik, namun dampak dari vonis mati yang berdasarkan asa kekerasan dan pelanggaran HAM akan mewujud dalam peristiwa budaya.

Pernyataan terkait vonis mati akan menjadi causa celebre (pemicu) bagi kehadiran kembali praktik vonis mati di masa berikutnya. Kekerasan antar sesama untuk menghancurkan HAM akan menghantui setiap individu. Hidup menjadi serangkaian hari ke hari perjuangan tanpa rasa kebersamaan atau kesatuan. Kekerasan akan terus berlangsung mengurangi kepedulian sosial. Menyilaukan empati.

Dalam artian lain hukuman mati bukan cara terbaik untuk mencegah agar tindak kriminal tidak terulang.

Ada kalanya Jokowi harus bertindak tegas dan berpikiran maju dengan memegang real politic ala Alan Badiou. Ada rasa kemanusiaan yang harus dihadirkan dengan sempurna di antara topeng kapitalisme, demokrasi, dan undang-undang yang tak manusiawi.

Keadilan bukan sekedar tindakan perampasan HAM, bukan pula ajang balas dendam, ataupun pengkambinghitaman terhadap kerugian negara. Tetapi seharusnya menjadi ajang mencari keadilan yang tidak hanya untuk korban atau untuk masyarakat tetapi untuk pelaku kejahatan juga.
Maka dari itu ada urgensi bahwasanya Indonesia harus menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Tentu agar kejahatan HAM di Indonesia tidak terulang.



 *) Esai ini sudah terlebih dahulu dimuat di Midjournal, berikut sumbernya Jika Hukuman Mati di Indonesia Dihapuskan Oleh Pak Presiden.

Manusia dalam Jajahan Mitos Batu Akik*

Kemarin sore ketika menunggu pesanan nasi, saya bertemu dengan seorang perempuan berkerudung. Bersama rekan lelakinya, ia tengah menunggu pesanan juga. Di kedua jari tangan kanan permpuan itu, bertengger cincin bermata batu akik hijau muda. Tanpa berpikir keras, tubuh saya meresponnya dengan bergidik keanehan.

Kala itu saya tengah berada di Jogja yang terkenal sebagai kota wisata kerakyatan, lumbung seniman, dan sarang pelajar, meski yang tersembunyi di dalamnya berupa kehendak intoleran, basa-basi pledoi plagiasi poster, riuh tawuran suporter bola, dan rentan begal.

Saya menyimpan keheranan, mengapa persepsi saya mengenai batu akik berbeda dengan perempuan tersebut.

Bagi saya, entah sejak kapan, akik merupakan benda yang dikultuskan memiliki kekuatan magis. Persepsi yang mengambang dalam bawah sadar tersebut, membuat bulu kuduk saya merinding. Tentu ketika berpapasan dengan penggunanya.

Belakangan ini saya mulai memahami apa yang terkandung di dalam batu akik dan dalam persepsi manusia. Saya menarik kesamaan antara akik dengan sebilah keris. Keduanya kerap dianggap memiliki daya magis yang menyatu pada benda. Ada bagian tak kasat mata yang mengiringi persepsi manusia mengenai benda itu. Unsur-unsur remahan simbol seolah menjadi roh yang berdiam di dalamnya. Energi yang dibentuk dari adonan kekhasan mistis menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sebilah keris. Padahal bagi seorang empu, keris merupakan penyatuan kekuatan fisika dan seni. Tentu serupa dengan akik.

Namun yang menginap dalam tiap butir batu akik bukan perolehan fisika dan seni lagi. Akan tetapi citra atau persepsi yang ditanam di dalamnya. Benda tersebut dihilangkan kediriannya, lalu dimasuki dengan serangkaian makna. Proses pengiriman makna tersebut berlangsung secara dialektis di kalangan masyarakat. Hingga satu dengan lainnya mempunyai persepsi yang seragam.

Barangkali, permasalahan ini serupa dengan menjamurnya pola pikir kelas menengah tentang cafe atau resto. Apa yang kelas menengah cari di dalamnya? Jika pun mengobati kelaparan, toh persepsi kita tentang kenyang sudah dibentuk sedemikian rapi.

Alih-alih memetakan analisis sosial, memang sudah menjadi hal yang wajar jika kelas menengah cenderung lebih gemar mapping spot spesial tempat bermukimnya colokan listrik. Selain itu kebanyakan kelas menengah menilai kualitas tempat tongkrongan, berdasarkan harga dan suasana. Bisa jadi saya salah, mereka punya hidangan favorit yang pas di indra pengecap. Akan tetapi tetap saja, seperti yang dikatakan oleh Paul Riceour, cita rasa kita telah dibentuk.

Orang Padang akan suka dengan makanan bericita rasa pedas. Masyarakat Jogja lebih dekat dengan rasa manis. Warga Sunda, lebih memilih makanan yang pedas dan asin. Cara membentuk rasa yang disalurkan dalam kepala dan membentuk perspektif kita cukup unik. Modus penyebaran rasa secara serentak melalui kehendak mewariskan.

Di kala masyarakat kita ribut dan tenggelam dalam banjirnya informasi di era kekinian. Ada perang yang terjadi dalam senyap. Sebuah upaya merebut definisi. Barangkali pendefinisian terhadap materi konkrit tersebut merupakan serangkaian tingkah laku dari mitos.

Dengan malu-malu mitos membentuk persepsi kita. Pemilahan terjadi antara yang baik-buruk, cantik-jelek, berani-penakut, lezat-tidak lezat, dan sebagainya. Jika tak mengandalkan nalar kritis, kita akan tergulung dalam arus perspektif mainstream.

Bisa jadi ada benarnya jika batu akik dianggap orang kebanyakan sebagai aksesoris semata. Jika ditinjau ke akarnya, bukankah aksesoris hanya merupakan pemanis bagian tubuh kita? Tak ada fungsi yang bisa disaring dari ide kritis kita mengenai apa fungsi aksesoris. Jangan-jangan hanya sekedar ajang menghimpun citra kelas elit semata. Sama halnya ketika kita memilih kaos berdasarkan label. Tentu perspektif kita tentang kualitas masih dinaungi oleh harga dan citra yang melekat di dalamnya. Ada harapan yang kuat bahwasanya merk tersebut mampu mengangkat strata sosial penggunanya. Maka dari itu ketika menggunakan sepatu Adidas, seolah kita tengah berubah wujud menjadi Adidas yang tengah melangkah.

Bisa kita refeleksikan jika mitos ternyata mampu mengalienasi identitas diri. Ketika kita berubah menjadi citra yang dihimpun dalam sebuah aksesoris, kedirian kita lumpuh tak berdaya. Berubah serupa benda yang bisa ditanami mitos.

Siapa yang tidak heran jika batu akik Sulaiman mampu membuat penggunanya mengalami peningkatan kecerdasan. Belum lagi batu akik jenis Kecubung yang dianggap mampu menguatkan relasi hubungan sosial pemakainya. Ada pula batu amber, diklaim memancarkan karisma. Ada lagi batu Onix yang disangka berkekuatan melindungi bisnis penggunanya. Masih banyak mitos mengenai jenis batu akik yang lain.

Beragam mitos mencoba menghancurkan gerbang nalar kritis kita dan memenuhi diri kita dengan sugesti. Dalam genggaman hipnotis dalam ketidakberdayaan, pola pikir kita tengah disetir oleh sistem pasar. Dominasi ekonomi kapital telah memperalat bagaimana sebuah komoditas hadir dan bagaimana harus dimaknai. Mitos yang dilahirkan dalam bayang semu fantasi sengaja dibuat tak berjarak dengan realitas. Bahkan khayalan yang melampaui realitas tersebut, bergerilya mengambil alih realitas kita.

Mitos telah melakukan pembalakan liar terhadap pola pikir kita. Kekuatan pasar dengan modal besar memainkan perspektif kita. Memangkas kemajemukan menjadi perspektif homogen. Antara satu dengan yang lain punya pandangan yang sama. Ketika hal itu terjadi kita tengah terjebak dalam sementasi pasar. Hasrat untuk mengkonsumsi komoditas pasar akan terus meningkat dan sulit dikontrol.

Saya tidak sedang memaksa kelas menengah atau kalangan yang manapun untuk membenci akik. Apalagi belakangan ini akik tengah meraja lela menjadi salah satu alternatif untuk investasi. Tentu setiap orang bermodal besar beranggapan bahwa lebih aman menukar rupiah dengan sebuah benda, dibanding harus mencemaskan kembang kempisnya nilai rupiah.

Atau bisa saja, seorang perempuan yang dijari manisnya diselipkan cincin bermata akik itu tengah menyuarakan kepeduliannya pada budaya Indonesia. Sebuah sikap yang dihantarkan oleh rasa nasionalisme yang berlebihan. Sama halnya dengan beberapa daerah Indonesia yang sengaja dimarakkan akik sebagai wujud keunikan daerah. Acara daerah berubah menjadi pameran atau festival akik yang tidak berhubungan dengan peningkatan kualitas nalar kita. Capaiannya akik digunakan sebagai penarik wisatawan. Aromanya serupa dengan produksi citra bentukan pasar yang dijadikan sebagai tumbal penarik minat berkunjung wisatawan. Pondasi makna atas benda atau mitos, dilahirkan dari sebuah euforia terhadap fantasi yang diterjemahkan dari harapan masyarakat kekinian.

Tapi ketersesatan mana yang membuat kita, merusak ekosistem alam hanya demi mengemasnya menjadi aksesoris. Pengorbanan bias demi meraih materi penujang citra penggunanya. Harus berapa bagian dari bumi kita yang dikorbankan demi 10.000 PNS di Purbalingga yang diwajibkan Pemerintah Kabupaten Purbalingga memakai cincin akik?

Jika diameter tiap batu akik yang digunakan untuk cincin 1×1 sentimeter, maka untuk 10.000 orang, Indonesia harus mengorbankan 100 meter batu alamnya. Belum lagi tiap PNS tersebut dihimbau untuk memasarkan batu akik ke luar daerah. Mereka bilang, itu varian dari ekonomi kerakyatan. Tapi persepsi saya, kebijakan malu-malu Pemkab Purbalingga adalah penambangan batu alam yang dibuat legal.


Esai ini sudah terlebih dahulu dimuat oleh Midjournal, berikur sumbernya  Manusia dalam Jajahan Mitos Batu Akik.

Minggu, 31 Agustus 2014

ISIS dan Layunya Ilmu Pengetahuan

Banyak orang tak paham asal muasal Negara Islam Irak dan Suria (ISIS). Begitu juga saya. Saya tak terlalu yakin penyebabnya. Mungkin karena tak banyak orang berani begitu saja mempercayai sejarah. Bisa jadi, hasil pelacakan yang dikemas dalam bentuk sejarah, sengaja tak dibuat untuk membuat orang lain paham. Ada bagian yang sebenarnya paling ringkih dalam sejarah, yaitu sebuah upaya untuk menginventarisasi kubu. Semacam penjelasan yang ditujukan untuk meraih simpati. Namun disertai esensi magnetik yang di awali dengan kemarahan.

Saya tak memiliki pengetahuan yang kuat memang tentang ISIS. Akan tetapi, bolehlah jika saya mencoba untuk sekadar memanifestasikan keresahan. Meskipun tak ada manifestasi yang bisa disampaikan secara penuh. Apa yang pada akhirnya sampai kepada pembaca pun akan melalui proses tumbuh. Pemaknaan akan berkembang biak, terus bercabang. Bagi saya, hal tersebut yang pada akhirnya membuat kita sadar bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang. Jika berhenti, bisa dikatakan telah mati, layak untuk diabaikan sebagai ilmu pengetahuan.

Ada yang tiba-tiba merimba di pemikiran orang Indonesia. Dalam waktu yang singkat, kita bisa sama-sama memahami jika infomasi tentang perkumpulan garis keras itu, pada awalnya sebuah berita. Semakin kuat media memberitakan isu ISIS, bukan hal yang aneh jika di bawah, keresahan masyarakat semakin berlipat ganda derasnya.

Sebagai warga Indonesia, kita memang hidup dengan cara yang setengah-setengah. Tak sepenuhnya menganut paham tertentu secara fundamental. Seolah berpura-pura bahagia berada dalam fase ‘di antara’. Ada banyak bagian dari paham macam manapun yang hadir dengan terlebih dahulu melalui proses penyaringan. Inti sari dari sebuah paham itulah yang pada akhirnya direstui untuk dijadikan acuan hidup. Selalu saja hanya bagian terkecil. Akan tetapi, sebelumnya telah ditelaah, direvisi, dan disesuaikan dengan keadaan sosial budaya negeri ini. Maksud setengah-setengah tadi, menurut saya ialah kita tak sepenuhnya ortodoks atau mewarisi dan mengimpor wacana secara mentah. Bahkan kita pun tak sepenuhnya sepakat menjadi beragam.

Sebagai salah satu bagian dari generasi pemuda negeri ini, saya masih menganggap bahwa Indonesia adalah salah satu tulang punggung bagi kelahiran organisasi kuat. Untuk mengetahui mengapa begitu, mudah saja. Bisa dilihat dari kita yang setengah-setengah tadi. Di sana, organisasi macam manapun yang berkeinginan besar untuk bertindak menginternasional butuh jaringan di Indonesia. Bagian terpenting dari Indonesia ialah menyimpan potensi menjadi kuat. Oleh karenanya, ISIS tak sedang menyasar di negeri ini. Akan tetapi mereka jeli membaca perkembangan pemikiran suatu negara.

ISIS membutuhkan dukungan dari beberapa titik. Biasanya minimal hanya perlu mengguncang satu kota. Misalnya saja di Indonesia, untuk melakukan perubahan massal, cukup adakan desakan secara sporadis di Jakarta. Kebanyakan memang mengecoh daerah lain dari pusat negara akan lebih ringan untuk dilakukan. Jika dalam tiap negara terdapat satu titik, gerakan besar bisa segera dimulai.

Di Indonesia, entah mengapa saya merasa yakin jika lambat laun kita akan mendapati ada yang menyambut dengan riang dasar pemikiran ISIS. Tak mungkin secara individual, karena untuk mengawali bisa mendatangkan personal yang membawa bingkisan ideologi garis keras itu. Dengan begitu, injeksi pemikiran tidak akan berlangsung beserta rasa sakitnya. Perlahan dan halus sekali.

Oleh karenanya, di awal, mereka akan ada dalam bentuk kelompok. Setelahnya, mereka akan memerangi kelompok manapun. Tentu saja yang berseberangan atau berlainan ide dengan kelompoknya sendiri. Hal itu dilakukan pertama untuk menegaskan keberadaan mereka yang disusul dengan menjemput rekan dari kelompok lain. Mungkin bisa diistilahkan dengan memancing di kolam tetangga.

Jangankan memeranginya, berharap kesadaran kritis senantiasa terjaga untuk mewaspadai penyebarannya saja sulit. Mereka bisa menyelinap masuk dalam negeri ini dengan nama lain. Meskipun ada satu hal yang sebenarnya mereka butuhkan, yaitu deklarasi. Tanpa hal itu, akan sulit sekali bertahan hidup. Barangkali sebabnya ialah pasokan dana yang hanya bisa ditagih dengan bukti bertambahnya pengikut. Tak murah memang menjadi kubu dengan pola penyebaran yang sengaja dibuat instan dan keras.

Jika ditinjau lebih dalam, tak ada gagasan dari sebuah gerakan yang melata datang dari omong kosong belaka. Pada umumnya, pasti melalui serangkaian proses berpikir yang panjang. Ada keseriusan di sana. Begitu pula ISIS yang menurut saya digerakkan oleh kekecewaan yang giga. Setiap kekecewaan akan membutuhkan imajinasi liar untuk mencapai solusi.

ISIS memang telah merumuskan solusi untuk mengobati kekecewaannya. Mereka memiliki jalan sendiri. Tak banyak orang tahu apa bagian terpenting yang memunculkan kekecewaan beratnya. Kebanyakan kita hanya mampu menerka-nerka melalui dampak keberadaan ISIS. Dari sana, akan tampak mengapa mereka tidak puas dengan perwujudan dinamika sejarah. Persoalannya terletak pada bagaimana manusia memandang realitas dan memaksakan pandangan keagamaan sebagai solusi.

Teks agama selalu saja pecah berkeping-keping ketika sampai ke masing-masing pembacanya. Tumbuh sedemikian lebat. Bercabang-cabang. ISIS adalah salah satu cabangnya. Sayangnya, setelah cabang itu diadopsi oleh ISIS akan segera menjadi layu dan kering. Salah satu sudut pandang untuk memahami teks agama tersebut akan berhenti tumbuh. Sederhananya, menjadi sesuatu yang bersifat tetap. Maka dari itu, solusi yang ditawarkan oleh ISIS bagi para penganutnya akan berlaku mutlak.

Bukan hanya sebagai landasan. Lebih dari itu, saya rasa ISIS menjaga agama agar tetap tajam karena mereka memfungsikannya sebagai parang. Bukan hanya untuk menakut-nakuti melainkan untuk membunuh. Bisa saja bagi para penganutnya, rasa kemanusiaan harus diacuhkan demi bayang-bayang ketuhanan ala ISIS. Pembantaian dan penghancuran dianggap sebagai tahapan untuk mencapai solusi. Seolah ISIS berambisi mencapai suatu kedamaian yang dibangun dari jutaan kemuraman.

Tak heran jika hingga detik ini, ISIS akan terus memperluas medan perangnya. Siapapun bisa menjadi musuh atau kawan. Percayalah, hari akhir belum dimulai. Masing-masing cabang pengetahuan belum mencapai titik akhirnya. Sebisa mungkin buatlah terus berkembang.[]

*) Esai ini pernah dimuat dalam Rubrik Social Midjournal http://midjournal.com/2014/08/isis-dan-layunya-ilmu-pengetahuan/

Senin, 30 Juni 2014

Cahaya

Beberapa hari yang lalu saya bertanya kepada seorang teman mengenai momen apa yang paling estetik selama dia memelihara ayam? Dengan respon cepat dia menjawab, “Ketika tangan saya terkena tai ayam.” Rentang sesaat tersebut bagi saya, ayam tak lebih dari sekedar tengah menghadiahkan cermin. Koreksi. Saya jadi teringat dengan pepatah kuno di pintu masuk Kuil Delphi, berbunyi gnothi seauton yang berati kenalilah dirimu sendiri.

Sebelumnya beberapa kali teman saya tadi menegaskan, jika dirinya telah diperbudak oleh ayam-ayam peliharaannya sendiri. Bagaimana itu bisa terjadi? Secara sederhana sebenarnya dia sedang berkomunikasi sama ayam, dengan cara menerka-nerka. Sama saja dengan berkomunikasi dengan diri sendiri. Komunikasi satu arah, dari dan kepada dirinya sendiri.

Sesekali ia menyadari bahwa, bentuk interaksi yang terjalin antara dirinya dengan ayam, hanyalah pemaknaan terhadap ayam. Akhirnya apa yang dipersepsikan oleh si ayam tak lain dari perilaku menanggapi diri sendiri. Hanya saja kerap terlambat dipahami.

Bisa jadi secara tak sadar, teman saya terjebak dalam proses penyatuan antara aku dan kehendak. Bagi Nietzsche penyatuan dalam kesementaraan tersebut menimbulkan aku-tuan. Seolah terbentuk struktur hirarki antara dia-tuan dengan ayam. Namun setelahnya selalu hadir ketidakmampuan untuk melebur dengan dominasi diri. Mungkin saja rentang yang tak sepenuhnya kosong tersebut, mengakibatkan keterserakan sentimen yang berujung pada aku-budak. Misalnya jika dikontekskan pada kondisi aku-tuan selalu memberi makan atau bahkan terkena tai ayam. Dalam hal ini, teman saya bukan menjadi subjek yang terbelah, akan tetapi terebut. Terseret ke dalam kehendak yang hidup dalam realitas imajinasi.

Sebenarnya ayam senantiasa mengajari kita akan banyak hal. Mengenai telur misalnya, bagaimana dia menyimpan kehidupan di dalam cangkang yang kuat. Di sisi lain, proses peralihan antara malam menuju terang bisa ditandai dengan berkokoknya para ayam. Seolah beralih fungsi menjadi lonceng, mengingatkan manusia, untuk segera bergegas menjemput yang terang. Terang yang membuat sebagian besar dari semesta menjadi terlihat.

Asal mula cahaya barangkali api. Bagi Heraklitos api merupakan bapak dari segala sesuatu. Alam mengalami metamorfosis setelah kemunculan api. Ia menyebutnya sebagai Arche, asal dan penyangga alam semesta. Api memang bergerak, tapi dia sedang beristirahat dalam proses geraknya. Segalanya ada tersebab cahaya. Matahari menghidupkan mata sekaligus mematikan cemas semesta.

Di negeri matahari terbit, Jepang ada legenda yang diremajakan setiap waktu. mengenai genealogi pulau-pulau Jepang yang merupakan hasil dari perkawinan Dewa Izanagi dan Dewi Izanami. Setelah melahirkan Jepang, Izanagi melahirkan Dewi Matahari, Amaterasu. Dewi yang dilahirkan dari mata kiri ayahnya itu, kemudian menjadi titik koordinat bagi silsilah keluarga kerajaan Jepang.

Amaterasu adalah cahaya. Bersamaan dengan datangnya roh-roh halus yang melekat di kegelapan dan menyatu pada tiada. Amaterasu mengajari kepada orang-orang tentang waktu kosong yang harus segera diisi. Sesuatu yang harus dijadikan kebiasaan atas dasar kebutuhan untuk bertahan hidup. Manusia harus segera berbenah menanam padi dan gandum, menenun, dan membudidayakan ulat sutera.

Pemikiran tentang Amaterasu Oomikami dan kosmologi menjadi masa silam yang diyakini orang Jepang. Peran  Amaterasu Oomikami menjadi aspek yang utama dalam ideologi pemerintah Jepang. Namun  sekaligus menjadi mekanisme pengontrol ideologi kerajaan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18. Ia menganggap ideologi sebagai visi yang komprehensif, cara memandang segala sesuatu. Dia orang pertama yang mendefinisikan identitas rasio tiap individu tersebut.

Struktur Amaterasu Oomikami yang tri-adik menjadikannya sebagai penjaga lingkungan langit, lingkungan bumi, dan lingkungan manusia. Hubungan penetrasi berpusat pada Amaterasu Oomikami yang merupakan sumber keselarasan yang dilestarikan dalam kebudayaan Jepang.

Dunia terdiri dari dunia ideal yaitu dunia pengetahuan dan dunia nyata. Hubungan kedua dunia ini berlangsung terus menerus, melibatkan alam semesta dan pengetahuan manusia. Orang Jepang menyadari baik secara sadar maupun tidak sadar bahwa, semesta harus harmonis dengan dirinya, lingkungannya, dan para dewa. Keselarasan merupakan cara terbaik untuk menghindari harmoni kehidupan yang sumbang. Antara manusia dan segala yang ada di alam semesta harus selaras, merupakan bagian satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Pohon, rumput, burung, bunga, dan sebagainya disematkan pada corak pakaian yang mereka kenakan. Begitu pula dalam meracik menu dan cita rasa masakan. Mereka sangat menghargai masakan sebagaimana bentuk alaminya. Bentuk, warna, dan rasa masakan dipertahankan se-alami mungkin.

Lingkungan sebagai sebuah mikrokosmos, menjadi arsitektur yang selaras dengan bangunan masa, yaitu rumah). Di dalamnya, keteraturan selalu berjalan beriringan dengan ketidakteraturan. Sebagaimana berlangsung terus menerus secara dialektis. Kewajiban dan tanggung jawab manusia adalah untuk mengembalikan keseimbangan dunia dari ketidakteraturan.

Amaterasu adalah matahari. Sumber kehidupan. Anak-anak matahari yang dijahit untuk menyisir jalur politheis bisa saja kelak akan berani berkata, agama kami adalah semesta yang tak angkuh. Dari pemaknaan tersebut, Amaterasu, nenek moyang kami, juga disimbolkan sebagai cermin yang berarti kerendahan hati, koreksi. Notalgia menyisir yang telah lalu barangkali, merupakan langkah koreksi terbesi. Itu merupakan bagian dari teologi Shinto yang menuntun jiwa.

Mungkin mereka terdengar sebagai seorang Budhisme, mempunyai prinsip samsara yang berarti menjalani kehidupan dengan mengontrol harapan dan keinginan. Lagi pula mereka bertujuan mencapai satori. Dalam tradisi pemikiran orang Jepang yang natural, pragmatik, dan realistis telah diaplikasikan dan direkonstruksi dari bonno o tatsu (mengontrol harapan dan keinginan) menjadi bonno o ikasu (mengendalikan harapan dan keinginan).

Akar realitas bagi Jepang bisa jadi, merupakan visi berlebihan untuk tetap ada sinkronitas antara ilmu langit dengan perilaku manusia di bumi. Akan tetapi di semesta ini, tak selalu kehadiran cahaya atau penerang disambut dengan gembira. Sebagaimana kelahiran bagi yang bernama kedewasaan dalam berpikir. Pembaharuan bagi ilmu pengetahuan acap kali dimusuhi, diredam, atau dihilangkan.

Sebagai penganut pragmatisme, John Dewey menganggap terlalu mengakar dalam memikirkan sifat realitas, hanya akan membuatmu menjadi gila. Berbeda dengan Galileo Galilei misalnya, dia berani menerima resiko dianggap gila karena menentang tatanan kebenaran umum yang bebal.

Bumi mengintari matahari, teori dari Fisikawan dan Astronom Galileo, kala itu seketika memancing amarah Paus Urbanus VIII (pada era abad pertengahan) beberapa saat pasca diproklamirkan. Satu setengah abad yang lalu, masa tersebut adalah era kegelapan. Fase dalam sejarah yang ditandai dengan terkekangnya kehendak untuk bebas. Kegilaan akan dianggap sebagai ancaman yang harus diberangus. Sebab kegilaan berawal dari ketidaksesuain cara berkipikir orang kebanyakan. Segala jenis penemuan baru yang berkontradiksi dengan keyakinan gereja akan dianggap menyimpang. Sesat.

Kekuatan yang luar biasa dari Gereja Katolik Roma berasal dari susunan rapi beberapa rohaniawan yang melestarikan dogma. Para rohaniawan memiliki otoritas untuk menyebarkan agama atau doktrin Gereja. Masyarakat dipaksa berlutut untuk menyepakati kebenaran versi gereja.

Berbagai ancaman penyiksaan, penjara, bahkan ancaman dibakar di tiang mewarnai masa kegelapan. Otoritas gereja harus dijaga ketat agar tak surut, demi status quo. Ada harapan yang kuat bahwa situasi yang mengganggu harus segera menguap. Lewat kekuasaannya, gereja mengasingkan kebebasan berpikir.
Gereja telah memutuskan gagasan bahwa, matahari bergerak mengelilingi bumi adalah fakta mutlak dari kitab suci. Maka tak boleh ada tingkah kompromis untuk memperdebatkannya. Galileo diperintahkan untuk menyerahkan diri ke Kantor Kudus. Dia dipaksa memulai percobaan untuk memegang keyakinan Gereja Katolik Roma, bahwa bumi, bukan matahari, adalah pusat alam semesta.

Galileo diberitahu kemudian bahwa, ia bisa mempertimbangkan ide sebatas hipotetis yang tak perlu diuji. Tak mampu bertindak lebih, Galileo sepakat untuk tidak mengajarkan ajaran sesat lagi. Sebagai konsekuensi ia harus menghabiskan sisa hidupnya untuk mendekam dalam tahanan rumah. Butuh waktu lebih dari 300 tahun bagi gereja untuk mengakui bahwa Galileo benar, sekaligus untuk membersihkan nama Galileo dari klaim menyimpang.

Kekuasaan dihuni oleh, yang menurut Focault sebagai rezim diskursus (kekuasaan wacana). Ada permainan dan penetapan kebenaran absolut. Celakanya setiap kekuasaan hanya mampu diraih dan dirobohkan degan cara, menguasai mesin produksi kebenaran. (kebenaran dogmatis dan kebenaran rasio yang besifat dinamis)
Aufklarung pada mulanya hanya sekedar bayang-banyang ide semata. Kemunculan era pencerahan tersebut, merupakan sebuah ruang yang selalu dalam proses menuju, klaim diri sebagai spesies subjek yang merdeka. Pelepasan diri dari anomali mitos yang menciptakan kebenaran absolut tanpa argumen yang logis. Berharap terbit masa perayaan kebebasan tanpa campur tangan kekuatan di luar dirinya. Masing-masing dari kita menjadi subjek otonom. Terputus dari rantai ketergantungan. Ada adalah tindakan. Cerahan harus segera dijemput, tak hanya sekali, namun berulangkali.[]

*) Esain ini pernah dimuat di http://persmaideas.com/2014/06/23/cahaya/

Kamis, 08 Mei 2014

Sister in Danger

Sebuah lembaga dokumentasi yang didirikan untuk mengakhiri tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, Virtual Knowledge Centre, mendapati antara 20.000 sampai 50.000 perempuan diperkosa. Fenomena buruk tersebut terjadi selama perang 1992-1995 di Bosnia dan Herzegovina. Sementara itu terdapat pula sekitar 250.000 sampai 500.000 perempuan dan anak perempuan, menjadi sasaran dalam genosida tahun 1994 di Rwanda.

Di tempat yang lain, Kongo atau Democratic Republic of Congo timur, setidaknya terdata 200.000 kasus kekerasan seksual. Kebanyakan melibatkan perempuan dan anak perempuan. Angka tersebut telah didokumentasikan sejak tahun 1996. Namun ada dugaan besar jika jumlah yang sebenarnya jauh lebih tinggi dari itu.

Itu masih sebagaian kecil dari rentetan sejarah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Lantas sebesar apa jika dikalkulasi dalam tingkatan internasional?

Situs media daring The Guardian, pada Juni 2013 mengutip data World Healt organization (WHO) bahwa 35,6% perempuan di dunia, telah menjadi korban tindak kekerasan. Sedangkan di Asia Selatan sendiri mencapai 40,2%.

Kepala WHO Margaret Chan, kepada BBC pada Juni 2013 mengatakan, kekerasan terhadap perempuan merupakan, “Masalah kesehatan global yang bersifat epidemi.” Lebih dari satu dari tiga wanita di seluruh dunia telah mengalami kekerasan fisik atau seksual. Terus berlangsung, ibarat bola salju, akan semakin membesar dan terjadi dengan cepat.

Menurut National Crime Record Bureau (NCRB), pada tahun 2009, di India terdapat laporan 89.546 kasus kekejaman suami dan kerabat, 21.397 kasus perkosaan, 11.009 kasus pelecehan seksual, dan 5.650 kasus pelecehan mahar.

Sedangkan di Indonesia sendiri, berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu)  Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap  Perempuan (Komnas Perempuan),  menunjukkan  sepanjang  tahun  2012  ada  4.336  kasus kekerasan  seksual. Data tersebut merujuk dari  total  211.822  kasus  kekerasan  terhadap  perempuan  yang  dilaporkan. Kasus  kekerasan  seksual  paling  banyak  terjadi  di  ranah  publik yaitu  2.920  kasus. Bentuk kekerasan seksual yang didapati antara lain yaitu  pencabulan  dan perkosaan 1.620 kasus,  percobaan perkosaan  8 kasus, pelecehan seksual  118 kasus,  dan  women  trafficking 403 kasus.  Di samping itu sebanyak 1.416  kasus-kasus kekerasan seksual terjadi di ranah personal.

Bagi Jacques Lacan, pendiskriminasian terhadap kaum perempuan terjadi atas sebab keterasingan yang dialami perempuan ketika ia tumbuh dewasa. Ada berbagai simbol yang berkeliaran di sekitarnya yang dikomunikasikan melalui bahasa maskulin. Wacana di masyarakat didominasi oleh para lelaki. Penggeseran menujuh struktur di bawah lelaki, membuat perempuan terasing dari dirinya sendiri. Struktur maskulin memainkan peran sebagai perumus kebenaran yang bersifat sentral dan dominan. Oleh karena itu, barangkali perempuan menjadi begitu sulit untuk menyampaikan permasalahan yang ia alami kepada publik. Semenjak bahasa atau alat komunikasi tersebut bukan menjadi milik mereka lagi.

Tak pelak jika para korban  kekerasan  seksual kerap merelakan diri untuk bungkam. Bagi mereka menceritakan kasus kekerasan yang menimpa dirinya sendiri merupakan aib bagi diri, keluarga, dan  wilayah sosial terdekatnya. Di samping itu para perempuan  korban  kekerasan  seksual kerap diposisikan  menjadi  pihak  yang salah. Munculnya tindak kekerasan diklaim murni karena perempuan itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Di sisi lain perempuan korban kekerasan dilabeli stigma negatif. Pada kenyataannya hal tersebut yang kemudian masyarakat meresponnya dengan tindakan diskriminatif.

Ketakutan para perempuan  korban tindak kekerasan kebanyakan dipicu oleh beredarnya stigma negatif tentang dirinya. Bagi Komnas Perempuan, dukungan masyarakat untuk melawan kekerasan seksual semakin bertambah. Roadshow  Sister  In  Danger, bekerjasama dengan  band  musik  Simponi salah satunya. Masyarakat turut tergerak untuk mengenali dan  menangani  kekerasan  seksual  terhadap  perempuan.
Dalam mini albumnya, Sindikat Musik Penghuni Bumi yang kerap disingkat Simponi, menyuarakan betapa pentingnya tanggung jawab sosial bagi masing-masing personal, untuk empati terhadap perempuan korban kekerasan. Mini album bertajuk ‘Cinta Bumi Manusia’ tersebut berisikan empat lagu yaitu Sejenak Mengerti, Sister In Danger, Vonis, We Are Sinking.

Pada setiap album yang dijual seharga 30.000 rupiah itu, pembeli telah sekaligus berdonasi 5.000 rupiah untuk Pundi Perempuan, Komnas Perempuan yang dikelola Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (YSIK), untuk kemudian disalurkan kepada beberapa Women Crisis Center di Indonesia. Kemudian bagian 5.000 rupiah lagi berdonasi untuk organisasi donor darah ‘Blood For Life Indonesia’.

Di lain sisi, Simponi secara kontinyu melakukan ‘Tur Diskusi Musikal’. Konsepnya sederhana, di beberapa kota, mereka melakukan kombinasi dari presentasi, diskusi, dan pentas musik akustik selama 2 jam. Setelah itu mengajak para peserta diskusi musikal untuk bersama-sama mendiskusikan persoalan kekerasan seksual. Terlebih Simponi juga mensosialisasikan tentang kekerasan seksual: siapa pelaku, siapa korban, berbagai jenis kekerasan, dasar hukum, kesetaraan gender, bagaimana mencegah atau melawan, kenapa harus bersimpati kepada korban dan penyintas (survivor), bagaimana agar laki-laki menghormati perempuan dalam ucapan dan tindakan sehari-hari, bagaimana agar perempuan berani menolak ucapan atau tindakan yang melecehkan, dan berani melaporkan jika menjadi korban. Dengan kata lain Simfoni berupaya menyampaikan pendapatnya bahwa jika hanya dengan bermusik saja, masalah macam apapun tak akan selesai.

Permasalahan kekinian di Indonesia ialah, proses menjadi setengah modern dan setengah tradisional. Modern dengan pilihan sebagaimana tetap menjunjung tinggi nilai-nilai feodal. Proyeksinya ke arah ideologi para lelaki sebagai pusat kontrol negara, gejala patriarki. Maka dari itu menurut Gadis Arivia, perempuan tak pernah dianggap sebagai bagian dari budaya. Akan tetapi hanya sekedar dipandang sebagai bagian dari alam yang hadir secara natural dan mekanis. Sebagaimana pemikiran Helene Cixous, lelaki dianggap mewakil simbol aktif. Sedangkan perempuan disimbolkan sebagai mereka yang pasif. Dalam hal ini perempuan dipaksa mengenakan busana sebagai pemeran sekunder atau pelengkap saja.

Ada satu senjata yang dimiliki oleh kaum lelaki, yaitu penguasaan diskursus. Lewat perilaku tersebut, dengan mudah nilai-nilai dan keyakinan masyarakat direkayasa. Pembentukan konsensus dari ideologi dominan tersebut menjadi bagian yang melegitimasi kekerasan kepada perempuan. Cara berpikir dan sikap kita terhadap menjadikan perempuan sebagai bagian sekunder dibentuk. Jalurnya bisa lewat mana saja. Melalui pemberitaan mengenai jangan lemah seperti perempuan, iklan-iklan komersil yang menjadikan perempuan sebagai komoditas pelaris, dan sebagainya.

Di Nanking, para tentara pemerkosa ratusan perempuan berkata, “Mungkin kami sedang memperkosanya, kami melihatnya hanya sebagai perempuan dan ketika kami membunuhnya kami melihatnya sebagai babi.” Para tentara yang memanfaatkan kondisi perang dalam negara yang kacau tersebut melecehkan hak asasi manusia. Bagi mereka, kehormatan perempuan tak ada bedanya dengan kehormatan seekor babi.

Perempuan dan berita populer mengenai kekerasan terhadap dirinya menjadi bagian yang secara kontinyu diacuhkan oleh negara. Kaum perempuan dengan sengaja dikurung dalam by design partiarkal yang haus kekuasaan. Menjadikannya sebagai reranting rapuh yang tak akan sanggup berontak ketika diinjak-injak. Jika anda perempuan atau bagian dari masyarakat yang peka terhadap bagaimana semestinya perjuangan hak asasi manusia. Maka berhati-hatilah, di manapun dan kapanpun anda rentan mendapatkan ancaman.[]

*) Esai ini pernah dimuat dalam rubrik Kolom http://persmaideas.com/2014/05/01/sister-in-danger/

Senin, 14 April 2014

Golput

Tenggang menuju pemilihan umum (pemilu) semakin rapat. Kemeriahan kosong itu muncul sebagaimana mayat-mayat di pemakaman tua yang dibangkitkan kembali. Karakternya tetap sama seperti yang silam. Namun kemasannya keriput dan compang-camping. Pemilu tinggallah ampas saja. Tak lebih dari sekedar mayat politik. Roh yang dianggap sebagai gagasan telah menguap entah ke mana.

Banyak hal yang tiba-tiba muncul begitu saja. Masyarakat dipaksa bernostalgia pada kebisingan pemilu yang sia-sia. Mulai dari spanduk di jalur protokol dan yang dipaku di pohon. Sampai mobil bermotif partai politik tertentu yang tak pernah terjebak kemacetan karena dikawal polisi. Itu semua alat kampanye modern yang bagi Sumbo Tinarbuko dianggap sebagai sampah visual. Bertujuan  mengedepankan aspek popularitas. Memajang foto diri. Semakin besar ukuran wajah sama halnya dengan semakin bergemanya teriakan.
Bukan hal yang aneh jika para elit politik berubah wujud menjelma sales. Menjajakan yang sekedar kata-kata ke masyarakat. Tercerabutnya nilai sosial tak masalah yang penting laku jual. Hadir bukan untuk mendengar melainkan sekedar mengenalkan diri. Menghamburkan kalimat yang berapi-api disertai bualan janji-janji di atas panggung.

Tak ada yang sepenuhnya baru. Para tokoh yang membantai mahasiswa di era 1998 tetap ada. Pembunuh sipil di Papua tetap ada. Para pelaku penghilangan pejuang hak asasi manusia tetap ada. Tokoh yang dibesarkan dan ditimang politik redaksi berbagai media tetap ada. Penyebab berhamburnya lumpur Lapindo Sidoarjo tetap ada. Para tokoh penebang keberagaman tetap ada. Penjual aset-aset negara juga tetap ada. Para tokoh pencipta petaka yang lain pun tetap ada. Tokoh-tokoh tersebut masih bermain di arena suprastruktur politik. Di sadari atau tidak, semua masalah yang dibuat para tokoh tersebut masih belum terselesaikan sampai saat ini.

Rutinitas dangkal itu di kala mereka pergi ke daerah, lalu para demagog itu menyelenggarakan ritual pagan. Masyarakat dihadirkan untuk menjadi budak politik. Isi otak masyarakat terlebih dahulu dikuras dengan goyangan erotis para penari dangdut. Setelah terlena dan melayang, pemimpin pagan mengagresi wacana masyarakat untuk memilih dia. Dari sana pola pikir masyarakat diskenariokan oleh partai politik tertentu. Terlucuti. Masyarakat berubah menjadi berbagai benda yang mengambang di sungai. Bergerak mengikuti arus. Berhasil ditundukkan oleh kekuatan bahasa. Tak berdaya dihantam barisan kata-kata pseudo ilmiah. Padahal rumusan ilmiah yang dilontarkan belum tentu melalui proses kedewasaan berpikir. Tak sepenuhnya digodok dalam metode yang ketat.

Upaya untuk mempercayai janji atau retorika para demagog hanya sia-sia belaka. Sama halnya dengan melakukan evaluasi terhadap seseorang yang belum melakukan apa-apa. Kosong. Akan tetapi dipaksa memiliki makna penting. Apologi irasional para demagog menembus alam bawah sadar masyarakat. Friedrich Kittler pernah menghimbau agar masyarakat lebih berhati-hati, “Semua wacana adalah informasi, tetapi tidak semua informasi adalah wacana.”

Dari sekian masyarakat yang pola pikirnya di-kanal-kan. Masih ada sebagian yang menolak pengulangan uforia pemilu yang dangkal itu. Bisa jadi mereka sudah merasa sangat letih. Bagi mereka pemilu hanya ornamen semu yang sengaja dibangun berulang. Monoton. Pada akhirnya mempercayai partai politik sama saja dengan mengasingkan diri sendiri.

Kewenangan menjalankan negara memang disusun secara bertahap, lewat instrumen lembaga penyokong demokrasi. Akan tetapi yang terjadi kekinian ialan kondisi yang bagi Jacques Ranciere sebut sebagai post-demokrasi. Gejalanya ialah ketika suprastruktur demokrasi tergelincir kembali dalam kontrol kelompok elit. Perputaran kembali pola kerja imitasi semacam ini mengembalikan ke masa pra-demokrasi. Ketika demokrasi yang rapuh itu bermutasi, pemerintahan secara tidak langsung telah beralih fungsi menjadi agen bisnis.

Para jurnalis juga seringkali lalai mengemban tugas suci menjadi perwakilan kaum marjinal. Minim keberanian untuk menggali jejak dan ide para tokoh dengan kritis. Sebagian besar justru asik sendiri  menjadi elemen pemanis buatan. Eufemisme berserakan di mana-mana. Para pendahulu dianggap sebagai investasi bagi pengembangan citra. Semacam membentuk intertekstualitas, tokoh ini dihubungkan dengan pejuang yang itu. Jangan-jangan secara diam-diam beralih menjadi pemuja terselubung. Di sisi yang lain, sebagian jurnalis memicu sentimen dan fanatisme. Ketegangan muncul bukan karena benturan ide. Melainkan serangan politik yang menghujam ke dalam anomali partai. Menambang sinisme. Bagi Giorgo Agamben, mereka telah memasung diri sendiri untuk menjadi spesies bidak dalam strategi politik.

Demokrasi tak sedangkal itu. Ada baiknya kita merefleksikan ulang beberapa baris kalimat dalam puisi Walt Whitman, seorang penyair yang mendedikasikan hidupnya untuk cemas pada perkembangan politik, “Demokrasi, bila dipahami dengan baik, bukan hanya sistem pemerintahan, tetapi komitmen untuk kesetaraan manusia universal.” Ada ketakutan yang akan berlipat ganda dalam diri Whitman, jika perbudakan semakin meluas. Dominasi elit politik yang mengontrol negara harus segera digantikan dengan kehendak rakyat.

Lantas bagaimana seharusnya respon para mahasiswa terkait fenomena sosial menjelang pemilu? Bisa jadi takkan mungkin memilih untuk menjadi golongan paternalis. Dalam artian mengadopsi tokoh mana yang dipilih oleh orang tua, pemimpin pesantren, dosen, rektor, dan sebagainya. Budaya membuntut.
Kaum intelektual memiliki keteguhan, sensitivitas, dan gagasan yang mandiri. Mereka ialah ahli waris dari kesadaran kritis. Senyawa yang paham bahwa setiap kebenaran itu takkan berdurasi panjang. Keberanian untuk berjarak dan menelaah lebih dalam, membuat kesadaran mereka tak mudah dimanipulasi. Pemilu bukan fasilitas transisi agar siapapun yang terpilih bebas melakukan malpraktek terhadap negara.

Besar kemungkinan para mahasiswa tetap memilih untuk menjadi golongan yang tidak memilih. Jika dirujuk lebih dalam, maka akan ditemui esensinya bahwa sebenarnya mereka tidak menjadi golongan putih (golput). Hanya saja mereka tidak ingin menyia-nyiakan hak pilihnya untuk disumbangkan pada kedangkalan pemilu.[]


*) Esai ini pernah dimuat di rubrik Kolom http://persmaideas.com/2014/04/07/golput/