Selasa, 19 Oktober 2010

"Konsep" yang hilang sebelum "aplikasi"

Siang itu (24/8) Halaman Fakultas Sastra digenangi dengan MaBa. Terlihat panitia BOMB '10 berbaris di depan maba dengan mimik muka yang sedikit terbalut nervous. Tentu saja ini bukanlah semacam hal yang aneh, itu semua karena memang inilah penampilan perdana kami di depan 270 MaBa Fakultas Sastra. Tiba-tiba si kudsi (sie.acara) menyambar mic untuk mengambil alih jalanya acara dengan berlagak macam MC. Beberapa saat kemudian mic diserahkan pada ratih (co.komdis), dengan lantang ia merapikan barisan maba dengan meneriakkan beberapa komando khas militer.
    Setelah barisan maba dianggap rapi, panitia seperti kehilangan konsep acara. Mungkin beberapa ingatan yang terbangun dari konsensus forum termakan oleh rasa nervous yang berlebihan. Sehingga ada satu rangkaian acara yang dirasa terputus dan hilang yaitu pengelompokan maba dan perkenalan pendamping pada kelompok masing-masing. Memang acara tersebut hilang sebagai gantinya ratih langsung mensosialisasikan seputar atribut yang harus dipakai MaBa untuk tanggal 27 september nanti. Semestinya kami berupaya mengelompokkan maba terlebih dahulu agar segala informasi yang terasa sulit dicerna maba dapat ditanyakan langsung pada pendampingnya.

    Selang beberapa detik aku tak mendengar suara panitia dari pengeras suara. Semacam jeda yang memancing kedatangan anomali tentang kinerja kepanitiaan. Hingga mengundang refleksitas kepalaku untuk menoleh ke barisan panitia. Ternyata beberapa orang kemahasiswaan lagi bernegosiasi dengan panitia.

    Pak santiman berada di samping kanan barisan, sedang mengutarakan beberapa kemauannya sembari berharap mic berada ditanggannya. Heru ( sosok jejaka kemahasiswaan yang konon katanya penggila wanita)  sedang berbincang dengan panitia lainya tepat di belakang Santiman. Sedangkan si doraemon Satiman menyilangkan kedua tanganya tepat di atas dadanya sambil ngobrol dengan Opel (sie.humas) di barisan paling belakang, tepatnya didepan pintu yang berlantai tinggi di sayap kiri aula.

    Shittt....!!! Ini tak lebih dari semacam provokasi dadakan yang menimpa panitia BOMB '10. Rupanya mereka berharap maba harus menyelesaikan FKRS pada hari ini juga. Ah, bukanya tahun kemarin malah molor sampai sekitar tiga hari. Aku pun berupaya mendekati santiman sambil berkata, “gini aja pak.. gimana kalau kasih waktu aja kami tiga puluh menit untuk nyelesain ini, terus kami kembalikan maba kedalam kelas lagi..”, tapi rasanya seperti sedang bernego dengan batu besar. Tak ada jawaban atau apapun yang menunjukan respon dari kata-kataku tadi. Mungkin amarahku yang terlanjur membatu takkan kuledakkan tepat di mukanya karena ini bukan demonstrasi. Pemaksaan negosiasi demi memperjuangkan kepentingan kaum mayor. Semua itu terlalu berlebihan jika dilakukan karena maba akan lebih membutuhkan pemrogram mata kuliahnya daripada ospek fakultas.

    Setelah aku sedikit menganalisa beberapa metode kepanitiaan yang ternyata banyak mengabaikan Job Desciptionnya. Hingga akhirnya terjadi miss comunication antara panitia dengan trio kemahasiswaan itu. Walaupun si kusnadi (ketupat) mengaku telah meminta izin pak hadiri ( pengakuanya di depan forum evaluasi pasca kegiatan teknis ini) tetapi beberapa dari kami merasa belum kuat dikarenakan belum mengantongi izin dari kemahasiswaan. Hingga akhirnya si santiman berhasil menguasai mic dengan mendendangkan beberapa petisi seputar FKRS dan mengumumkan pada maba untuk kembali lagi jam empat sore di halaman ini untuk melanjutkan kegiatan ini. Jam empat tersebut adalah keputusan mendadak dari beberapa panitia yang sempat bergulat dalam arena negosiasi. Setelah itu MaBa pun bubar dengan beberapa suara gemuruh dari barisan, entahlah mereka langsung pulang atau meneyelesaikan FKRSnya.

    Pasca kegiatan yang terputus itu, beberapa kritik maba menghujamku. Diantaranya seperti apa yang dikatakan MaBa Jurusan Sastra Indonesia, "panitia seperti gak niat", mungkin ini ada benarnya jika kami berupaya melirik kedalam tubuh kepanitiaan yang lebih dominan dihuni oleh orang awam dibidang ini. Satu lagi sebuah kritik dari seorang MaBa yang menitipkan argumenya kepada Alfan (Sie. Pubdekdok). Tentang contoh ID Card buat MaBa yang hanya ditunjukan pada MaBa dengan barisan paling depan saja, aku rasa mereka terlalu manja. Padahal tadi pagi aku dan Firman (Co. Perlengkapan) meminta izin bagian perlengkapan untuk memasang pamflet seputar atribut maba. Bahkan kami berdua dengan bantuan Ratih sudah menempel atribut dan tatib maba di beberapa kaca sekitar area yang sering dilalui maba.

    Sepertinya acara tersebut telihat kacau karena mentahnya pemahaman tentang konsep yang dirakit perlahan dalam forum. Hal ini yang menjadi sumber efek domino karena kegagalan mengconvert konsep kedalam wujud aplikasi teknis dilapangan.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini