Selasa, 19 Oktober 2010

IRAMA PROVOKASI DALAM TEROMPET YANG RETAK "II"

Soal buku pedoman masasiwa, kami pun sempat mendapat isu itu. Kemudian beberapa dari kami berupaya konfirmasi ke PD III. Ternyata PDIII tidak mengetahui juga mengenai hal tersebut. Sepertinya memang terdapat anomali koordinasi antara dekanat dengan kemahasiswaan. Panita PK2 lanjutan ataupun Ospek Fakulas hanya mampu menjangkau prosesi tkonsep dan teknis berjalanya Ospe Fakultas, sedangkan permasalahan tersebut masih mengikuti periode Ospek Universitas. Dengan PEDE-nya penulis kemudian mencoba menarik perhatian pembaca dengan memberikan cetak tebal pada kata, “ternyata di fakultas lain TIDAK DIPUNGUT BIAYA SILUMAN UNTUK PK2!!!!”. Entahlah stereotipe penulis ditujukan pada panitia Ospek PK2 (Ospek Universias) atau PK2 Lanjutan (Ospek Fakultas). Selain itu ironis sekali asumsi penulis tersebut, padahal fakultas ekonomi memungut kontribusi maba sebesar seratus ribu, fakultas hukum dan fisip delapan puluh ribu. Jika ditinjau kebelakang, ospek PK2 lanjutan atau ospek fakultas sastra memungut dana enam puluh ribu dari MABA. Sedangkan tahun ini dengan bertambanya jumlah MABA malah biaya ospek fakultas sedikit diminimalisir menjadi lima puluh lima ribu.

Hal lain yang dapat dinyatakan penuh ketimpangan ialah penulis menorehkan kata, “Kita sebagai mahasiswa, dicetak untuk menjadi individu yang kritis dan analitis, berpikir idealis adalah kewajiban mahasiswa untuk berevolusi (merubah Pemikiran yang salah)”. Kata pasif “dicetak” yang dapat diartikan sebagai bentuk pasif dari objek yagng menunggu subjek merubahnya. Dalam konteks kaum intelektual dapat dikatakan seseorang yang hanya menunggu disadarkan. Bukankah mahasiswa sebagai kelas menengah yang menjadi tulang punggung perubahan sistem bukan menunggu sebuah sistem merubahnya. Dengan demikiaan akan memperlambat proses perubahan dan mahasiswa bukanlah menjadi kaum revlusioner akan tetapi reaksioner –hanya merespon ketika terdapat isu panas dalam kampusnya-. Seharusnya penulis berupaya membuat kalimat aktif untuk kegiatan krirtis dan analistis yang diajukanya. Sedangan kata “evolusi” –perubahan dengan proses lambat- cenderung berpihak pada ruang liberal.

Dalam kalimat penutup, penulis berupaya menawarkan solusinya mengenai dana yang dianggapnya siluman –dibalik ketidak tahuan panitia pk2 lanjutan seputar dana tersebut- agar dialokasikan untuk membeli buku-buku yang nantinya disumbangkan ke perpustakaan. Jika ditelaah ulang, itu adalah himpunan dana dari kantong orang tua ataupun wali MABA. Terdapat definisi secara khusus yaitu MABA. Yang seharusnya berkewajiban memperbarui ataupun menambah pasokan buku dalam perpustakaan adalah pemerintah.

Sehubungan dengan realitas yang diungkapkan oleh penulis bukanlah realitas yang alamiah, teapi sudah melalui porses pemaknaan ataupun telah melewati jalur penafsiran. Maka dalam represenatasi, begitu rentannya terjadi misreprsentasi keidakbenaran penggambaran seseorang, suatu kelompok, pendapat, sebuah gagasan tidak diampilkan apa adanya. Tetapi digambaran secara buruk.  Oleh kerena itu dalam hal ini penulis perlu menjelaskan lebih seputar kawan dan lawan. Disini penulis mencba mendefinisikan anggapanya dengan memanfaatkan ide common sense, mengolah asumsinya menjadi sesuatu yang logis sehingga, meskipun kenyataannya tidak ada –atau belum terjadi- tidak dipertanyakan kebenarannya. Menurut van Dijk –dalam bukunya “ structure of Discourse and Structure of Power”, proses produksi teks semacam ini akan dengan mudah melewati gerbang legitimasi melalu kontrol pikiran hingga mampu membentuk kesadaran dan konsensus.

Media bukanlah sekedar saluran yang bebas. Ia adalah subjek yang mengkonsruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakanya. Seperi apa yang dikatakan oleh Tony Bennett, media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.

Dalam kontruksivisme, subjek –penulis- dianggap sebagai faktor sentral. Menurut A. S Hikam, subyek memiliki kemampuan melakukan konrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana yang ia lontarkan. Jika ditelusuri, berbagai pernyataan –penulis- pada dasarnya adalah penciptaan makna.

Terompet sastra dapat dikatakan retak karena, pertama pembaca tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut pandang mengenai suatu peristiwa. Walaupun tidak harus dikatakan wacana yang terpinggirkan adalah wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak beragamnya perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua dapat dikatakan peminggiran wacana sebagai praktik ideologi. Seiring terdapat pihak yang termarjinalkan lewat penciptaan makna-makna tertentu. Disinilah terdapat sudut yang retak yang dengan mudah dihinggapi oleh stereotipe. Misalnya stereotipe terhadap anggota PKI yang memancing phobia masyarakat.

Karena posisi penulis sebagai subjek, maka ia bukan hanya mempunyai keleluasaan menceritakan peristiwa tetapi juga menafsirkan berbagai tindakan yang membangun peristiwa tersebut, kemudian hasil penafsiranya mengenai peristiwa itu digunakan untuk membangun pemaknaan yang ditransformasikan kepada pembaca. Selain mendefinisikan dirinya sendiri, penulis juga mendefinisikan pihak lain dalam perspektif ataupun sudut pandangnya sendiri. Ini hanyalah analisis, bukanlah sebuah pembenaran…

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini