Selasa, 19 Oktober 2010

IRAMA PROVOKASI DALAM TEROMPET YANG RETAK "I"

-------------------------------------------------------------------
Pendidikan (yang dibuat) mahal..
Sebagai mahasiswa harus peka terhadap fenomena yang terjadi disekitar kita. Menempuh pendidikan perlu proses, di dalam pendidikan menuju ‘pintar’ seringkali kita harus mengeluarkan banyak biaya yang tidak perlu, semisal untuk pk2. Acara pengenalan lingkungan kampus sering kali menjadi celah yang sering digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Esensi dari acara pengenalan adalah membantu mahasiswa baru melewati masa transisi dari kehidupan SMA menuju kehidupan kuliah., tetapi nyatanya terkesan menjadi ajang eksploitasi mental dan materi bagi mahasiswa baru. Mahasiswa baru dikenakan biaya-biaya tambahan yang sangat tidak perlu, semisal tas dari kain blancu. Proses eksploitasi tidak berhenti disitu, bahkan untuk buku pedoman pun mahasiswa di wajibkan membayar. Padahal mereka sudah membyar DP( saat mendaftar pertama kuliah) , dalam slip tersebut sudah jelas terperinci bahwa pernik seperti buku sudah terbayar di awal. Setelah melakukan investigasi di fakultas lain, hasil yang lumayan mencencangkan didapat, ternyata di fakultas lain TIDAK DIPUNGUT BIAYA SILUMAN UNTUK PK2!!!!. Yang paling memprihatinkan adalah intimidasi yang dilakukan panitia terhadap mahasiswa baru seperti ancaman tidak mendapat serftifikat sering memberi trauma bagi mahasiswa baru yang belum tau kondisi lapangan.
Kita sebagai mahasiswa, dicetak untuk menjadi individu yang kritis dan analitis, berpikir idealis adalah kewajiban mahasiswa untuk berevolusi (meribah Pemikiran yang salah).
Aliran dana PK2 akan lebih efektif jika dana-dana dari mahasiswa baru digunakan untuk kepentingan bersama seperti digunakan untuk membeli buku-buku baru yang belum tersedia di perpus.
STOP EKSPLOITASI!!!
STOP INTIMIDASI!!!
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan diatas diketik ulang sesuai dengan apa yang tertempel di beberapa ruang sekitar  FSUJ (Fakultas Sastra Universitas Jember). Saya selaku panitia PK2 lanjutan –BOMB 2010- berupaya menganalisa tulisan yang bernada provokasi tersebut. Dengan terlebih dahulu menganggap berbagai kesalahan kosakata ataupun cara penulisan sebagai suatu hal yang manusiawi ataupun salah ketik. Seperti kata di- yang harusnya dipisah ketika kata tersebut menunjukan suatu tempat. Beberapa hal lainya seperti huruf besar kecil yang kurang mendapat perhatian, dan berbagai bentuk singkatan tanpa penjelasan yang lebih.

Tulisan dengan tema Pendidikan (yang dibuat) mahal tersebut dikandung dalam satu bilik rubrik yaitu terompet sastra. Terompet identik suatu properti yang digunakan sebagai ajang bersenang-senang ataupun pencarian sensasi belaka. Kemudian diantar dengan tema Pendidikan (yang dibuat) mahal, yang dapat dikatakan merujuk pada kepanitiaan ospek. Anggapan langsung yang cenderung memvonis tanpa investigasi real terhadap situasi dilapangan. Memang terdapat pemisahan antara pemikiran dan realitas.

Penulis yang mengharuskan seorang mahasiswa untuk peka terhadap fenomena sekitarnya. Dalam dasar pemikiran PK2 lanjutan, panitia mencantumkan harapannya agar mahasasiwa baru peka terhadap permasalahan sosial yang ada disekitarnya. Terdapat dua anggapan berbeda dalam penyelenggaraan PK2 lanjutan ini. Antara “fenomena” dan di lain pihak menyatakan “permasalahan sosial”.

Yang dimaksud fenomena adalah seorang kaum intelektual yang hanya merespon – fenomenal kuantitatif- ataupun peka terhadap permasalahan sosialnya ketika bertemu dengan fenomena –juga bisa dikatakan isu hangat ataupun kejadian yang dianggap luar biasa atau heboh- disekitar kampusnya. Terlebih dalam satu paragraf pertama penulis berupaya mengingatkan kata “seringkali” sebanyak tiga kali. Hal ini mungkin karena penulis ingin membuat pembaca sesensitif mungkin dengan isu yang dianggapnya selalu terjadi dan berulang.

Jika disambung sengan kalimat selanjutnya, penulis menyimpulkan jika pendidikan adalah proses menuju pintar. Sangat absurd sekali ketika kita mencoba mendefinisikan kata “pintar”. Berarti besar sekali harapan penulis, agar seluruh mahasiswa dan elemen organisasinya untuk sesegera mungkin mengantongi ribuan sertifikat,title, dsb tentunya agar secara instan dianggap sebagai orang pintar.

Dalam kalimat ketiga, penulis mengatakan jika acara PK2 lanjutan selalu dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Jika ditinjau ulang, para panitia PK2 lanjutan tergabung delegasi dari semua ORMAWA FSUJ. Penulis berupaya memvonis secara universal seluruh jajaran elemen kampus tersebut.

Dalam panitia PK2 lanjutan terdapat heterogenitas yang menyangkut berbagai latar belakang organisasi. Tentunya dengan mengutamakan angkatan ’09 untuk berdialektika dalam proses kepanitiaan tersebut. Memang terkesan meragukan karena beberapa panitia adalah mahasiswa yang belum menguasai perputaran roda organisasi. Tapi, dengan berbagai ruang konsolidasi untuk mengumpulkan  panitia yang terlkesan maksimal –tentunya sesuai sesuai dengan kemampuan mereka- walaupun jauh dari kesempurnaan.

Sehubungan dengan tas blancu yang disimpulkan leh penulis sebagai kegiatan eksploitasi kepada mahasiswa baru. Dapat dikatakan terjadi miss komunikasi antara penulis yang mendapat sumber dari anggota panitia semi aktif, dapat dikatakan informasi yang penulis dapatkan putus-putus. Dari anggota panitia sebagai nara sumber penulis tersebut menginformasikan harga tas tersebut sebesar “dua puluh lima ribu”, padahal dalam rapat terakhir panitia menetapkan harga tas tersebut menjadi “empat ribu” melewati berbagai macam usaha meminimalisir dana dengan mencari penjahit dan kain yang murah. Seiring dengan perimbangan semangat komunal (kebersamaan) yang akan hadir bersamaan dengan tas tersebut. Pendamping kelompok MABA diharuskan membuat forum konsolidasi angota kelompoknya unuk berkumpul dan membuat kreativitas bersama lewat media tas tersebut. Hingga pendamping yang akan mendapat evaluasi dari seuruh panitia bila terdapat anggota kelompoknya belum mendesain tas tersebut. Dalam pengerjaanya pun, anggota kelompoknya diharuskan membuatkan desain tas teman kelompoknya yang jarang berkumpul. Pembahasan tas tersebut memang menjadi suatu polemik tersendiri. Seperi halnya konsep teknis tas tersebut sampai dibahas dalam lima kali rapat panitia. Salah satu pendukungnya ialah banyak panitia yang tidak mencatat, memahami, dan minimnya tingkat kehadiran dalam rapat.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan share di sini